SCRIPTA MANENT VERBA VOLANT

(yang tertulis akan tetap mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin)

Rumahku Surgaku

Rumah bukan hanya tempat berteduh dari sengat matahari dan derasnya hujan, tetapi ia juga tempat bertumbuh rasa kasih sayang, tempat kembali bersama kehangatan keluarga.

Allah Maha Pemurah

Burung yang keluar dari sangkarnya dengan perut kosong, akan kembali di sore hari dengan perut kenyang. Sungguh Allah Maha Pemuerah kepada semua makhluk-Nya.

Di Atas Langit Masih Ada Langit

Langit hanyalah batas dari ketidakmampuan pandangan mata kita, namun akanl dan iman kita akan selalu mengatakan bahwa masih ada langit di atas langit yang kita lihat.

Jalan Hidup

Jalan hidup tak selamanya datar. kadang ia menaik-turun, berliku dan terjal. Hanya pribadi yang kuatlah yang mampu menempuh jalan itu.

Lebah

Ia hanya makan dari sesuatu yang bersih dan bergizi sehingga ia menghasilkan sesuatu yang bersih dan bergizi pula. ia tak pernah merusak saat mencari makan. ia ada untuk bermanfaat.

Selasa, Desember 30, 2008

Pucuk Merapi

Hari ini (27/12) aku memberi materi pada Training Kepemimpinan yang diselenggrakan oleh salah satu komisariat. Aku menggantikan temanku yang harus pergi ke Jakarta untuk pertemuan dengan beberapa pengurus besar. Mendadak. Aku hanya punya waktu satu malam, bahkan kurang, untuk memprsipakan diri, karena tadi malam aku juga harus menjadi pembicara pada diskusi Usrah Daarul Hira.. Karena semalaman mempersipakan materi, aku kelelahan, tertidur di kursi ruang tamu, dan baru bangun saat satu panggilan masuk ke HP ku.



Pagi ini juga aku masih merasa ngantuk, namun aku harus segera berangkat ke lokasi pelatihan di Kaliurang. Udara terasa segar saat aku mulai menaiki jalan Kaliurang yang berliku. Angin berhembus sepoi meyapu wajahku yang tidak tertutup oleh kaca helm. Jauh di di depanku, nampak Merapi berdiri tegap menjulang langit.

Sesampai di lokasi pelatihan, aku mendapati motor salah seorang temanku masih di parkir di sana. Ini berarti dia masih menjadi pembicara di sana. Aku urung masuk, dan aku konfirmasi tentang jadwalku. ke temanku yang lain yang kebetulan juga diminta menjadi pembicara. Aku salah jam. Aku harus menunggu sekitar satu setengah jam lagi. Aku teringat kembali oleh keindahan Merapi yang nampak dari kota tadi. Aku pun naik ke atas, ke gardu pandang.

Merapi adalah gunung berapi yang masih aktif. Terakhir letusannya terjadi pada tahun 2006 yang lalu, sesaat sebelum Gempa Jogja, dan masih berlangsung sesaat setelah Gempa Jogja. Sehingga tahun 2006 adalah tahun bencana bagi Jogja. Pada tahun ini juga sosok kharismatik dan fenomenal muncul, Mbah Maridjan. Aku pernah sekali mengunjungi runahnya. Sangat sederhana, karena memang Mbah Maridjan adalah orang yang sederhana. Meski sudah nampak tua, beliau masih energik, tegas kata-katanya dan cukup berwibawa. Sayang, orang semacam beliau sering dipolitisasi karena ketenarannya, bukan hanya di Indonesia, tapi juga di Asia. Saat kunjunganku ke sana, teman-teman ku yang dari Malaysia mengatakan tidak asing dengan sosok Mbah Maridjan, bahkan mereka meminta foto bersama dan tandata tangan Mbah Maridjan.

Di sana aku duduk di satu gubug yang kosong, menatap pucuk Merapi. Memang hanya pucuknya saja yang nampak, yang lain terhalang oleh beberapa bukit yang ada di sekitar Kaliurang. Namun aku sunguh terpesona oleh pemandangan tersebut. Pagi itu cuaca Jogja masih cerah, sehingga tak sekelumitpun awan ataupun kabut membayangi pucuk gunung itu. Batu-batu dan pasir sisa-siasa letusan itu masih tampak jelas. Sebenarnya pemandangan seperti ini sudah sering kai aku saksikan, namun akli aku menemukan sesuatu yang baru, aku melihat dengan cara yang baru dan dalam suasana yang baru pula.

Saat kali ini aku datang ke gardu pandang ini sendiri. Aku pun tak tahu mengapa aku langsung menempati gubuk itu dan megeluarkan buku harianku. Aku sendirian di tengah keramain para pengunjung dari beberapa kota di Jawa ini. Maklum, hari-hari ini adalah libur panjang, dan Jogja adalah kota wisata. Pun demikian dengan daerah Kaliurang ini.

Daerah semacam Kaliurang ini sebenarnya banyak terdapat di tanah Jawa. Ada Puncak di Bogor, Batu Raden di Purwokerto, Bukit Batu di Malang. Daerah ini bukalah daerah wisata baru, namun telah berumur lebih dari dua abad. Dari buku seorang berkembnagsaan Prancis, Denys Lombard, aku mendapat data bahwa daerah-daerah semacam ini sudah ada sejak abad ke 18. orang-orang yang Eropa yang datang ke Nusantara membawa tradisi mereka ke sini. Di eropa, tempat yang paling banyak dikunjungi adalah bukit SPA, satu bukit di daerah Negara Eropa. Sekarang SPA menjadi satu kebudayaan diseluruh dunia, yaitu perwatan tubuh dengan air hangat. Dulu yang digunakan adalah air yang mendidih karena panas magma bumi. Yah, begitulah kebudayaan bertransformasi.

Aku masih menatap pucuk merapi dengan humbusan angin sepoi yang membawa lirik-lirik lagu Ebiet GAD dari pengeras suara menyebar ke daerah sekitar gardu pandang ini. Berita pada kawan, Kamelia, Elegi Esok Hari. Lagu-lagu yang sendu itu melantun, menelusuri gelombang udara menelusuk masuk ke hatiku melalui calah pori-pori. Syahdu. Aku seakan baru pertama mengalami ini, melihat pucuk merapi dalam kesyahduan. Aku hanyut dalam alam yang tak aku mengerti, yang tak pernah ku rasa sebelumnya. Saat aku asyik masuk dengan situasi itu, saat itulah seorang bapak menyapaku, duduk di sampingku. Dia dan keluarganya dari Jakarta, ke Jogja untuk menjenguk saudaranya yang terserang strock. Ternyata dia asli Lampung, satu daerah denganku. Obrolan berlangsung dalam waktu yang lamban. Mataku masih asyik dengan pucuk merapi, juga tingkah laku para pengunjung saat berpose dengan Merapi sebagai backround.

Hari semakin siang. Sedikit namun pasti, kabut putih mulai menyelimuti pucuk merapi. Dan satu setengah jam sudah aku duduk memandanginya. Akupun turun, saat beberapa bus pariwisata baru datang. Kantukku kambuh lagi. Aku mampir ke sebuah warung di pinggir jalan, menikmati segelas kopi ditemani oleh sebungkus kacang goreng. Di jalan, kendaran bermotor semakin ramai. Maklum nanti malam adalah malam minggu. Saat aku menyeruput kopi yang ada di depanku, saat itulah aku kembali merasa sendiri lagi, kesepian. Wajar. Biasanya aku lalui seruputan demi seruputan, teguk demi teguk bersama teman-temanku. Kini meraka telah pergi, kembali dan mengabdi ke daerah masing-masing. Dan aku masih di sini, entah sampai kapan.

Jumat, Desember 26, 2008

Hijrah Dan Pembentukan Masyarakat Madani

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Anfal: 72)

Penetapan awal dalam penanggalan Islam berbeda dengan penetapan kalender masehi yang dimulai dan diambil dari hari kelahiran Al-Masih. Dalam khazanah Islam, penetapan awal tahun penanggalan adalah diambil dari peristiwa hijrah, yaitu pindahnya nabi dan umat Islam dari kota Mekah menuju Madinah yang saat itu masih bernama Yatsrib. Kita tidak bisa melupakan peran Umar bin Khatab dalam penyusunan kalender Islam ini. Mengapa harus hijrah nabi, bukan kelahiran beliau? Hal ini dikarenakan hijrah merupakan suatu momentum yang penting dalam sejarah perkembangan Islam.

Peristiwa hijrah terjadi pada tahun ke tiga belas kenabian Muhammad SAW, dan ini merupakan hijrah untuk ke sekian kali, setelah nabi mengalami kegagalan dalam hijrah-hijrah sebelumnya. Peristiwa ini sangat penting karena bisa dikatakan bahwa sajak peristiwa hijrah inilah masyarakat Islam mulai terbentuk, suatu tatanan masyarakat yang egaliter, saling menghormati dan menghargai di mana nilai-nilai keadilan ditegakkan. Masyarakat Madinah ini yang kini sering menjadi citra masyarakat ideal, masyarakat madani. Di sini kita tidak akan berbicara hijrah hanya sebagai fakta mati, tetapi kita untuk mencoba melihat metodologi Nabi Muhammad SAW dalam membangun masyarakat tersebut.

Dalam catatan sejarah kita ketahui bahwa hal yang pertama kali dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabat ketika sampai di Madinah adalah mendirikan masjid. Pada masa nabi, masjid memegang peran penting. Masjid adalah tempat ibadah, di mana umat Islam melakukan ritual peribadatan kepada Allah. Masjid juga merupakan tempat mempelajari Islam dari nabi Muhammad SAW, penanaman akidah dan candradimuka bagi generasi-generasi Islam awal.

Selain itu, masjid juga merupakan ruang publik bagi semua golongan, baik Anshor maupun Muhajirin. Tidak ada dominasi satu kabilah atau golongan di dalam masjid tersebut, semua berhak untuk melakukan aktifitas dan berpendapat. Di masjid pula tempat Nabi dan para sahabat bermusyawarah membahas permasalahan agama, masyarakat sampai pada strategi peperangan. Dengan membangun masjid, sebenarnya rasulullah SAW telah membangun akidah umat, cara pandang tauhid yang merupakan fondasi dari masyarakat Islam.

Hal yang penting dari funsi masjid sebagai malis ilmu adalah pembangunana paradigma. Pasca hijarahnya umat muslim ke Madinah, Nabi Muhammad SAW melakukan satu perubahan paradigma (paradigm change). Sebelum kedatangan Islam, masyarakat Arab, demikian juga madinah atau Yatsrib kala itu, merupakan penganut politeisme, penyembahan berhala dan ruh nenek moyang. Pandnagan tersebut kemudian berubah menjadi pandangan dan keyakian tiada tuhan selain Alah. Semua berawal dari pandangan dunia (worl view) tauhid.hal ini kemudian akan berdampak pada pola hubungan horizontal, bahwa semua manusia di depan tuhanadalah sama. Dengan demikian erciptalah persaudaran atas dasar kesamaan (egaliterian).

Hal kedua yang dilakukan Nabi adalah mempersaudarakan kaum muhajirin (orang-orang yang hijrah bersama nabi) dan kaum Anshor (masyarakat Madinah yang menolong dan menyambut Nabi), sebagaimana digambarkan dalam ayat pada awal tulisan ini. Sebelumnya, di Madinah sendiri terjadi pertengkaran yang berkepanjangan antara kaum Aus dan Khajraj. Mereka baru berdamai setelah kedatangan nabi ke Madinah.

Jika ditarik lebih jauh lagi ke pada kehidupan masyarakat Arab waktu itu, sukuisme, atau klan menempati tempat yang sentral dalam pola hubungan sosiologis. Hubungan sosial sangat ditentukan oleh kesukuan. Orang sangat bangga dengan sukunya dan rela berperang dan mati demi menjaga martabat sukunya.hal demikian tidak berlaku pasca kedatangan Islam, khususnya pasca hijrah.

Persaudaran yang dibangun bukanlah persaudaran semu, tetapi atas dasar takwa, kasih sayang dan kepedulian. Hal ini dapat dilihat bagaimana mereka melaksanakan anjuran nabi bahwa kaum Anshor harus membagikan apa yang mereka miliki kepada kaum muhajirin yang memang tidak membawa harta bendanya ketika keluar kota Mekah. Bagi mereka yang mempunyai bakat di pertanian maka diberilah ia lahan pertanian. Bagi yang pedagang dia akan mendapatkan modal. Di sinilah kemudian muncul pembangunan ekonomi kolektif.

Selanjutanya yang dilakukan nabi adalah membangun komitmen bersama dengan ahlu kitab, Yahudi dan Nasrani, yaitu komitmen bersama untuk saling menghormati, tidak saling mengganggu dan menjaga keamanan bersama. Komitmen bersama ini kemudian yang dikenal dengan Piagam Madinah. Piagam ini bisa dikatakan konstitusi pertama yang ditetapkan atas dasar konsesus bersama antara beberapa pihak, sehingga semuanya menjunjung konsesus tersebut.piagam ini juga disinyalir sebagai dokum pertamatentang Hak Asasi Manusia. (HAM).
Pada perkembangan selanjutnya, masyarakat muslim awal ini adalah satu prototipe masyarakat Islam yang oleh Nuerchalis Madjid disebut sebagai Masyarakat Madani atau masyarakat kosmopolitan.

Menghijrahkan Indonesia
Jika kita merefleksikan diri dari perjalanan hijrah Nabi Muhammad SAW yang kemudian sampai terbentuknya masyarakat yang beradab, perlu kiranya kita untuk menghijrahkan Indonesia yang berarti menghijrahkan diri kita sebagai bangsa.. Apakah selama ini kita benar-benar mempunyai niatan untuk memperbaiki bangsa ini? Jika memang benar, perlu kiranya kita mengkoreksi diri kita. Sudahkah kita membangun cara pandang, mental dan kepribadian bangsa ini?

Masjid, yang merupakan candradimuka bagi generasi muslim kini justru menjadi tempat yang sepi dari pengunjung dan banyak dijauhi, kecuali pada hari raya. Masjid sebagai tempat pengkajian ilmu sudah sangat jarang kita temukan. Sebagai tempat yang terbuka untuk umum juga semakin sulit, karena masjid hanya dikuasi oleh satu golongan saja, lebih parah lagi untuk kepentingan politik.

Sementara sekolah (pendidikan) yang berfungsi sebagai tempat pembentukan karakter, menempa kemampuan intlektual dan mental hanya bisa diakses oleh orang berpunya saja. Meminjam bahasa Eko Prasetyo, orang miskin dilarang sekolah, sama artinya orang miskin dilarang untuk pintar, dilarang untuk mandiri, dilarang untuk memperbaiki kehidupannya, atau bahkan dilarang utuk hidup.

Setelah tidak bisa mengakses pendidikan, orang miskin dipersalahkan terkait kemajuan bangsa, bahkan mereka dianggap penyakit masyarakat yang harus disingkirkan. Tak heran jika kemudian banyak penggusuran.

Jika kita cermati bersama, yang menjadi penyakit sosial sebenarnya bukanlah kemiskinan, tetapi ketidakpedulian. Mereka memang miskin, tetapi sipa peduli dengan mereka? Siapa yang mau berkenan memberikan lapangan pekerjaan atau membagikan hartanya seperti yang dilakukan oleh kaum Anshor kepada kaum Muhajirin? Berapa banyak orang kaya di negeri ini, yang mengambil keuntungan dari naiknya harga barang, sementara miskin terengah-engah untuk hidup. Negara yang seharusnya bertanggungjawab terhadap nasib mereka justru tidak pernah memasukan mereka dalam pembangunan bangsa ini. Negara justru melakukan perselingkuhan dengan pasar, dan hanya mementingkan pasar yang uangnya masuk ke kocek para penguasa.

Hukum kitapun tidak terlepas dari keinginan pasar, dan ditetapkan atas dasar kepentingan golongan, bukan untuk kepentingan rakyat. Wajar jika kita tidak pernah tahu hukum-hukum yang keluar dari rumah dewan, karena mereka tidak mewakili kita, rakyat. Dan wajar pula ketika produk hukum kita selalu dtentang oleh rakyat, krena memang hukum tersebut dibuat bukan unttuk kemaslahatan warganya (yang diwakili), tetapi untuk kepentingan politik individu, golongan dan penguasa modal (kapitalis). Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun pernah menyatakan bahwa saat ini kita sedang berada pada moment kebangkitan nasionalisme 2009. nasionalisme, atau ketanah airan 2009 sudah mulai merucut pada satu hal. Baik presiden, DPR, pedagang, olahragawan, tau apapun dia, sedang menuju pad nasionalisme 2009, yaitu “nasionalisme uang”.
Di sini kita lihat, ternyata kita belum berniat untuk benar-benar hijrah, karena kita belum bisa meninggalkan kepentingan pribadi dan golongan untuk kepentingan bersama, kepentingan umat. Dan kita masih jauh dari masyarakat yang kita impikan.

Jangankan untuk keluar dari “kota mekah”, untuk keluar dari “rumah kita” saja kita masih berat. Rumah di sini adalah “keakuan”, “ananiyah” atau egoisme, yang berti juga nafsu. Untuk berhijrah kepada kehidupan yang lebih baik, kita harus mampu meninggalkan nafsu berkuasa, sifat tamak dan serakah serta keangkuhan yang menganggap kita yang paling benar. Kita harus bersedia menerima orang lain dan berbagi dengan mereka kaum papa. Karena melawan nafsu adalah jihad terbesar, karena dia menjadi penentu dalam perjalanan kita. Wallahu a’lam bishshawab.

Kamis, Desember 25, 2008

Kelompok Diskusi

Sejak aku dijogja, beberapa kali aku sudah membuat dan mengkoordinir kelompok diskusi, namun semua berakhir sama, tidak ada yang langgeng hingga saat ini. Ada kelompok studi bahasa yang aku koordinir pada semester-semester awal. Tujuan awalnya adalah membantu teman-teman kelas yang kuruang mumpuni, khususnya dalam bahasa arab. Sebagain teman-teman kelasku di Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kolompok ini kemudian bermetamorfosis menjadi kelompok studi yang lebih luas, yang diberi nama Forum Pemuda Peduli Pendidikan dan Sosial (FP3S), meski kemudian aku hanya menjadi ketua bidang pengembangan sumberdaya anggota. Kajian berlangsung sekitar lima kali.

Kelompok studi yang lain adalah yang aku bentuk saa awal-awal aku menjadi anggota HMI. Kelompok ini bernama OASE, dengan jargon, meneguk wacana, merubah dunia. Fokus Kajian ini adalah tentang pemikiran tokoh pembaharu Islam kontemporer. Baru berjalan sekali yang saat itu mengkaji pemikiran Hassan Hanafi dan aku sebagai pemakalahnya, forum ini mandeg. Kemandekan ini karena semua personilnya sibuk dengan urusan struktur.
Universitas Malam Marakom (UMM) adalah forum kajian lainnya yang aku koordinir ketika kau tinggal di Marakom (Markas Anggota Komisariat). Kajiannya berkisar tentang pemikiran kontemporer seperti Hassan Hanafi, Abid Al-Jabiri, Ali Syariati, Muhammad Syahrur, dan Amiah Wadud. Berjalan beberapa bulan, forum ini kemudian juga mandeg.
Ketika tinggal di secretariat HMI Cabang Yogyakarta, Madzahab Karangkajen terbentuk, atau lebih tepatnya dihidupkan lagi. Kajian dilaksanakan setiap hari Selasa dan Jumat pagi setelah subuh. Berjalan sekiotar lima kali.
Meski beberapa kali mengkoordinir kajian dan sejauh itu juga aku gagal, aku masih terus berfikir bahwa dari kelompok-kelompok diskusi yang semacam inilah gagasan-gagasan besar lahir. Aku ingat Ahmad Wahib dan kawan dengan limited group-nya. Aku ingat Jurgen Habermas dan Madzahab Fankfurt kedua, serta pemikir-pemikir besar lainnya yang mempunyai gagasan besar yang berawal dari kelompok diskusi kecil (creative minority). Aku masih meikirkan itu, aku masih merindukan hal tersebut, akau masih memimpikannya.
Mimpiku ternyata berada dalam satu frekuensi mimpi temanku, Zulkarnain Patwa, mahasiswa jurusan Hubungan Internasional UMY. Sama denganku, dia sering menkoordinir forum kajian dan sering bubar, namun, ketika bubar dia segera membentuk forum lagi. Mimpi yang berada dalam satu frekuensi itu pun bertemu, beradu dan kemudian memercikan cahaya terang, gagasan bersama. Unlimited Group, itulah kira-kira nama kelompok yang ingin kita bentuk.
Kerja pun dimulai. Pertama-tama yang kai lakukan adalah mencari masukan yang sebanyak-banyaknya dari beberapa orang tentang apa sebaiknya yang mesti dikaji dan dari aman memulainya. Orang pertama yang kita ajak berdialog dan tukar fikiran adalah Prof. Lesmana, guru besar linguistik UGM, beliau adalah lulusan Sorbon University, Prancis. Kami berdialog dengan beliau sekitar satu jam di kafe Lembaga Indonesia Prancis (LIP). Dari obralan bersama tersebut, beliau menyarankan untuk mengkaji pemikiran mulai Ferdinand de Sossrou yang berate muali dari awal-awal paham strukturalis, kemudian berlanjut pada pemikiran post strukturalis, baru masuk pada pemikiran kontemporer. Dari beliau pula aku tahu bahwa perkembangan wacan di Prancis sangat cepat seklai, dan itu sangat terdokumtesi. Dengan demikian pemikirannya selalu berkembang, tidak melingkar dan berputar-putar. Beliau juga menjelaskan bahwa, sossrow, yang dianggap sebagai bapak strukturalis, sesungguhnya tidak pernah ditemui kata strukturalis. Aneh.
Orang kedua yang kami kunjungi adalah bapak Andy Darmawan, M.Ag. beliau lulusan UIN Sunan Kalijaga dan konsentrasi pada filsafat. Kami mengunjungi rumah beliau pada malam hari dari jam 20.00 WIB sampai 23.30 WIB. Tempatnya pun berpindah-pindah, dari ruang tamu lalu ke dapur sambil menkmati udara malam di taman dengan hidangan makan malam, lalu kembali ke ruang tamu lagi. Beliau menyarankan agar kajian dimulai dari kajin fundamental yaitu filsafat ilmu. Itu berarti kami harus membicarakan terlebih dahulu tentang ontologi, epistemologi dan aksiologi, karena hal tersebut adalah sangat fundamental untuk memahami semua pemikiran.
Rencana sore tadi kami akan bertemu dengan teman Patwa dari Australia, tapi aku tidak bisa datang ke sana. Hingga kini diskusi belum juga bisa dimulai. Semoga sebelum akhir tahun diskusi sudah bisa dimulai. Semoga pula dia tidak mati sebelum lahir.

Sabtu, Desember 06, 2008

Marakom

Hari-hari aku banyak menghabiskan waktuku di marakom, bersama teman-teman aktivis HMI lainnya, ngobrol kemana-mana sambil ngopi dan kadang main catur. aku adalah generasi ke sekian dari marakom. Mereka sebagain atau mayoritas tidak pernah tertulis, namun mereka ada.

Marakom adalah Markas Anggota Komisariat. Markasnya anak-anak HMI-MPO UIN Sunan Kalijag Yogyakarta, sehingga mereka sering juga disebut HMI MARAKOM. Sering kali pemaknaannya dimelencengkan menjadi Markas Anggota Komunis. ini tidak terlepas dari bacaan, cara berfikir dan aksi penghuninya, juga keberadaan Partai Proletar sebagai partai kamps yang memiliki lambang bulan sabit, palu dan bintang, mirip seperti lambang partai komunis.

Marakom ada sebelum perpecahan HMI secara nasioanal. dia lahir dari permasalahan rasa tidak puas dari hasil Konferensi Cabang. Utusan IAIN waktu itu berjumlah 25 orang kalah dalam pencalonan. Mereka memebawa isu miring tetang kekalahan mereka ke komisariat di IAIN dan menyebarkan berita bohong bahwa IAIN telah menjadi cabang Jogjakarta Timur. namun setelah kader-kader UIN mengetahui hal sebenarnya, maka mereka menolak isu miring dari senior merka dan tetap mendukung kepemimpinan yang sah. 25 orang tersebut dipecat. Merka ini yang kemudian memotori cabang fiktif yang kemudian menjadi cabang HMI-DIPO. sementara kader-kader IAIN lainya kemudian mendirikan markas bersama yang ada hingga saat ini, sementara untuk markas putri berdirilah RUMAH KITA atau RUKI. Semula Ruki berada di Sapen GK .. selama beberapa tahun, samap kemudian Gempa JOgja 2006 menghancurkannya, namun tidak ada korban di sana.

Kini keduanya masih ada. Marakom masih seperti yang dulu, menjadi motor penggerak perkaderan HMI Jogja. RUKI, terus terang dari pantauanku masih melempem untuk dua tahun terakhir ini. belum ada aktivitas yang menggigit.

Telah banyak mereka yang dilahirkan dari sana. merka yang berjuang di HMI, meski kini mereka terlupakan. Dan saya mohon maaf kepada mereka karena telah menulis ini, karena tulisan ini tentu tidak mewakili siapa-siap kecuali saya sendiri. dan bisa jadi tulisan ini telah mengecilkan kebesaran marakam. saya mohon maaf.

Cahaya Di Atas Cahaya

Dalam Al-Quran Surat An-Nur ayat 35 Allah berfirman yang artinya: Allah cahaya langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada Pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya) yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Dari ayat di atas dapat kita ketahu bahwa Allah SWT mengindentikkkan dirinya dengan Cahaya atau nur Cahaya itu sendiri meliputi langit tujuh lapis serta bumi. Dengan demikian, seluruh alam ini diterangi oleh Cahaya Allah.

Allah bukan hanya Cahaya, tetapi Cahaya di atas cahaya, nurun ‘ala nurin. Atau dalam istilah Imam Al-Ghazali Allah adalah Nurul anwar, Cahayanya cahaya. Hal itu juga berarti bahwa Allah adalah sumber cahaya.
Sebagai sumber cahaya, nurun ‘ala nurin, nurul anwar, Allah memancarkan cahayanya ke seluruh makhluknya, sehingga terciptalah kehidupan di alam ini. Cahaya itu menyatu dalam Rahman Rahim-Nya, kasih sayang-Nya. Rasa kasih san sayang kemudian menjadi satu fitrah manusia, kecenderungan, serta harapan hidup manusia. Sebagaimana Manusia selalu mendamba dan mengharap kasih sayang, demikian pulalah seyogyanya mengaharap pada cahaya Allah. Alangkah naifnya jika ada orang yang tidak pernah terbesit dalam hatinya untuk mengharapakan cahaya Allah, sementara tumbuhan saja akan tumbuh dan condong mengikuti cahaya. Cobalah kita letakkan tanaman dalam satu ruangan, dan berilah dia pencahayaan dari satu arah tertentu, pastilah tanaman tersebut akan tumbuh mengikuti cahaya tersebut.

Sekarang kita mabil satu contoh, lampu. Bagian yang paling terang dari lampu adalah lampu itu sendiri, karena dia adalh sumber cahaya, kemudian sesuatu yang paling dekat dengan dia, kemudian semakin jauh suatu entitas atau benda, maka semakin sedikitlah intensitas cahaya yang mengenainya. Sebaliknnya semakin dekat benda tersebut dengan lampu, sumber cahaya, maka akan semakin tinggi pula intensitas cahaya. Dan orang yang berjalan diterangi oleh cahaya lampu tersebut, dia pasti akan berjalan dengan selamat, tidak berbenturan dan tidak akan tersesat serta celaka.

kita dating dari Allah, dan akan kembali kepada Allah. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Kita tercipta karena pancaran cahay kasih sayang Allah, maka kita juga harus kembali kepadanya. Seseorang yang semakin dekat dengan Allah sebagai sumber cahaya, sumber kehidupan, maka semakin tinggilah cahaya Allah yang mamapu ia serap, semakin tinggi pula kualitas kemanusiaan dia, baik sebagai hamba atau pun sebagai khalifah. Manusia yang memepunyai kulaitas kemanusia yang tinggi, kepribadian yang unggul tidak akan menjalani kehidupan ini dengan sikap optimis, pantang menyerah dan akan berbahagia di dunia dan akhirat. Sementara orang yang jauh dari Allah, dia semakin redup cahayanya. Semakin gelap sisi kehidupannya dan rendah kualitas hidupnya, tentu saja dalam pandangan Allah dan mungkin juga dalam pandangan manusia.

Allah itu suci, qudus. Sesuatu yang suci hanya bisa didekati dengan kesucian. Kesucian itu meliputi kesucian pikiran, kesucian hati dan kesucian perbuatan. Kesucian pikiran adalah dengan cara positif thinking terhadap segala hal, berfikir jernih dan selalu mengaitkan pemikiran kita dengan bismi robbik, dengan nama Tuhan, yng kemudian berujung pada kemaslahatan umat manusia.
Hati yang suci adalah hati yang terlepas dari buruk sangka, hati yang senantiasa menerima keputusan Allah dengan tawakal, yaitu: menyerahkan segala sesuatu kepada Allah setelah kita berusaha dengan sekuat tenaga. Hati yang selalu merasa cukup atau qana’ah dengan pemberiaan Allah. Hati yang ikhlas. Hal ini dapat dilatih dengan senantiasa kita berdzikir, yaitu menyebut, mengingat, dan menghadirkan Allah dalam hati dan kehidupan kita, sehingga perilaku ita juga menjadi perilaku yang suci, perilaku yang memberi manfaat dan kebahagian kepada umat manusia, perilaku yang membahagiakan manusia. Perilaku yang demikian bisa kita peroleh dengan meninggalkan egoisme, sifat tamak, serakah, dengki dan perilaku tercela lainnya yang menjauhkan kita dari Sumber Cahaya, Allah.

Sesuatu benda yang tidak mendapatkan cahaya maka dia berada dalamd kegelapan. Kegelapan dalam al_quran diungkapkan dengan kata dzulm dari kata kerja dzalam yadzlimu. Sementara subjeknya adalah dzalim. Dalam bahasa kita, dzalim berarti perilaku aniaya. Perbuatan dzalim inilah yang menjauhkan kita dari Allah. Perbuatan dzalim sangat bermacam-macam, dan yang terberat adalah syirik.
Dalam Al-Quran Allah menjelaskan: Al-An’am ayat 82. Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.

Saat ayat tersebut turun, sahabat bertanya, ya rasul, bagaimana mungin kami tidak mencampurkan kimanan kami denagn perbiatan dzalim? Rasul menjawab: tidakkah kamu ingat nasihat Lukam Al-Hakim kepada anaknya Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar" (QS. Luqman: 13) Perbuatan dzalaim lainnya dijelaskan oleh rosulullah dalam hadistnya yaitu, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah, tanpa sebab yang dibenarkan syariat baik pembunuhan itu secara langsung ataupun tidak, semisal melalui perantara, atau dengan kebijakan yang menyengsarakan dan berujung pada kematian. Dosa besar atau perbuatan dalamin lainnya yaitu perbuatan sihir, berzina, memakan harta anak yatim, menuduh wanita baik-baik berzina. Begitu juga mengambil hak orang lain. Perbuatan dzalim ini tidak akan pernah menyampaikan manusia kepada Cahaya yang sejati, kehidupan yang secat, kasih sayang Allah, justru sebaliknya, semakin menjauhkan manusia dari-Nya. Terkecuali, manusia tersebut bertobat, menyesali meminta maaf kepada Allah dan orang-orang yang pernah didzaliminya, dan tidak mengulanginya kembali, berbuat baik kepada sesamanya. Adakah diantara kita yang kuat selamanya dalam kegelapan?

Hari-hari ini, di tanah suci, saudara-saudara kita seiman seagama sedang menunaikan panggilan Allah, melaksanakan ibadah haji. Ada yang mengibaratkan mereka selayaknya laron yang terbang mendatangi cahaya. Hanya orang-orang yang berhati suci, pikiran dan perbuatan suci, orang yang ikhlas saja yang mampu mencerap cahaya Allah dan menjadi manusia yang unggul, dan mempunyai integrasi kepribadian. Orang tersebut mampu merenungkan pengalaman Ibrahim dan merefleksikannya dalam kehidupan kesehariannya. Merekalah haji-haji yang mabrur. Semoga saudara-saudara kita termasuk kedalamnya, sehingga ketika kembali ketanah air mampu mengurai problema kehidupan yang ada.

Sementara bagi yang beribadah haji lantaran ingin menigktakan setatus sosialnya, maka tidak ada baginya kecuali kesia-siaan dan murka Allah, na’udzubillah min dzalik.

Rabu, Desember 03, 2008

Kenangan Menjadi Mahasiswa

Meski telah berselang beberapa bulan, masa-masa menjadi mahasiswa masih saja terkenang. Masa-masa sibuk dengan tugas makalah, mencari referensi, mencari bahan diskusi biar bisa dianggap sebagai intelek. Masa-masa turun ke jalan, dengan semboyan “keindahaan ada di jalanan”. Ah, semboyan itulah yang menjadikan terik matahari terasai menyegarkan, dan tatapan beribu orang dan kaca media menjadi semakin menggairahkan untuk melompat dan berteriak LAWAN PENINDASAN.

Maaf, aku tidak punya cerita indah saat menjadi mahasiswa, karena aku lebih senang sendirian daripada pacaran, karena aku lebih suka di kamar tiduran daripada kencan, karena aku lebih senang makan di angkringan ketimbang nasi padang, karena aku lebih suka yang biasa daripada yang spesial, karena aku lebih memilih ini dari pada itu, karena kita mempunyai pandangan yang berbeda tentang keindahan.

Aku juga tidak punya prestasi yang membanggakan. Masuk melalui jalur tes regular, sering telat masuk kelas, harus mengulang materi di semester berikutnya, IP yang selalu jeblok di setiap semester dan berujung pada kelulusan dengan predikat IP yang pas-pasan dan masa studi yang pas-pasan pula. Yah mungkin aku memang orang yang pas-pasan. Kuliah pas-pasan alias nanggung. Jadi aktifis pun pas-pasan juga, malah sedikit gagal, karena aku aktivis yang tidak aktif dalam memperjuangkan hak-hak rakyat. Aku hanya reponsif.

Masa mahasiswa bagiku telah berlalu. Tinggal sekarang bagiku untuk mencari hidup yang pas-pasan, karena aku adalah orang yang pas-pasan. Yah hidup yang pas-pasan adalah kalau butuh makan ya pas ada makanan, kalau pas butuh mobil ya tinggal pakai, kalau pas pingin naik haji ya tinggal berangkat. Tapi aku tidak mau sendiri lagi. Aku ingin rakyat dan orang yang pernah berteriak memperjuangkan rakyat juga hidup pas-pasan. Aku hanya ingin hidup-pas-pasan, aku tak mau kaya, karena kalau mantan aktifis kok kaya, nanti orang curiga, darima dia kaya.

Tapi apa bedanya pas-pasan seperti pengertian di atas dengan kaya? Sama saja to? Emang kita tidak boleh kaya, la wong nabi aja nyuruh kita kay kok, biar kita bisa sodakoh? Dan nabi juga tidak menyuruh kita jadi miskin, karena miskin sangat dekat dengan kekafiran. Jadi yang aku pikir yang terpenting bukan pada pas-pasan, kaya atau miskinya, tetapi pada kesederhanaan dan kemerasacukupan atau qona’ah. Jikalaupun kaya adalaha pada abagaiman distribusi kekayaan tersebut. Kesederhanaan dan qona’ah itu tadi ada kalau semua kita lakukan dengan cara yang benar dan baik alias halalan thayiban.

Tentang Jogja

Lima tahun aku di Jojgja, dan beberapa hari inilah waktu bagiku untuk memutuskan apakah aku masih tetap di Jogja atu kembali pulang ke kampung halaman. Beberapa bulan yang lalu aku telah menyelesaikan studiku alias diwisuda. Dengan demikian, tibalah saat bagiku untuk melakasanakan pengabdian kepada masyarakat. Dan aku harus memilih tetap di Jogja atu keluar dai Jogja.

Terasa berat untuk meninggalkan kota ini. Yah kota yang sangat nyaman, sesuai dengan semobayannya, Jogja Berhati Nyaman. Memang benar, dari beberapa kota yang pernah aku singgahi, kota inilah yang terasa sangat istimewa. Banyak hal yang unik di Jogja, banyak hal yang istimewa.

Meski sudah merupakan perkotaan, tradisi jogja masih sangat kental. Kehidupan kekeluargaan masih teras sangat hangat. Kehidupan saling mengayomi mengalahkan egoisme. Hal ini berbeda dengan kehidupan di beberapa kota besar yang lebih menonjolkan egoisme, individualisme ketimbang kolektivisme.

Hal lain yang tidak terdapat di daerah lain adalah suasana keilmuannya. Semboyan Jogja sebagai kota pelajar mungkin telah dipertanyaan oleh sebagain orang, namun semboyan itu saya rasa masih cukup relevan. Saya belum menemukan budaya baca sekuat dan semengakar di Jogja. Budaya melek informasi sangat dijunjung tinggi. Toko buku, perpustakaan tersebar di man-mana, dari kels dunia sampai dengan obral kaki lima. Para penjual buku itu akan mudah kita temui sampai di lorong-lorong gang kecil juga pinggir-pinggir jalan. Begitu juga penerbitan buku akan mudah kita dapati dari pusat kota sampai ke pedalaman pedesaan. Penyebaran buku merata. Dan kepedulian terhdap hal itu besar. Di perkampungn pedalaman pun sering kita dapati perpustakaan. Selain perpustakaan di kampung, sering juga terdapat papan khusus yang disediakan untuk koran.

Budaya membaca dan melek informasi juga dapat kita lihat di pinggir jalan. Para tukang becak tak segan menyisihkan peghasilannya untuk membeli koran dan membacanya saat waktu senggang di atas becaknya.. begitu juga bila kita masuk ke warung-warung makan, kita akan mendapatkan surat kabar harian di sana.

Yah, itulah sekelumit tentang jogjakarta, kota kebudayaan, meski sekarang juga telah terserang budaya komsumerisme. Banyak warung makan dan pusat perbelanjaan yang didirikan. Mahasiswa menjadi sasaran targetnya. Mahasiswa yang dulu identik dengan membeli buku, sekarang telah berganti mode, yaitu dengan membeli barang-barang konsumsi, asesoris, pakain, dan segala macamnya yang hanya berorientasi mode, gaya hidup dan life style manusia urban. Dan mereka punn lupa membeli buku. Wajar kalau kemudian memebuat makalahnya copy paste dari internet. Beberapa hari yang lalu ada satu penelitian yang menyebutkan bahwa pengeluaran mahasiwa Jogja untuk membeli pulsa lebih besar dari yang dikeluarkan untuk membeli buku. Namun tentu tidak semua begitu. Masih banyak mahasiswa yang baik, rajin baca buku, rajin diskusi, rajin kuliah, rajin aksi dan rajin berkreasi. Dan jogja masih tetap seperti yang dulu, berbudaya.

Selasa, Desember 02, 2008

Nama Jalan

mungkin selama ini kita tidak begitu memeperdulikan dengan adanya nama jalan yang terpampang di setiap jalan yang kita lewati. ketita peduli dengannya jika kita membutuhkannya saja untuk mencari alamt rumah atau sejenenisnya.

Setidaknya ada dual hikmah yang bisa kita ambil dari adanya nama jalan. pertama, sebagai tanda. dengan adanya nama jalan, akan memudahkan kita dalam mencari alamat rumah atau instansi tertentu. inilah fungsi nama jalan sebagai tanda. Dia menandai keberadaan dia dan posisi dia. Dengan demikian, kita tidak akan tersesat atau salah alamat.

kedua, secara filosofis, pemberian anama jalan adalah satu anjuran bagi kita untuk menempuh jalan sesuaui dengan namanya. sebagai conoth, kita melalaui jalan Pangeran Diponegoro, maka kita dianjurkan untuk mengikuti jalan hidup pangeran Diponogoro. atau kita melewati jalan KH. Ahmad Dahlan, maka di situ kita untuk memepelajari ajaran dan laku hidup KH Ahmad Dahlan, agar kita selamat dalam menempuh hidup ini.

Jumat, November 28, 2008

Hujan di Akhir November

“Aku pergi”.
“Kemana kamu akan pergi?”
“Entahlah, yang penting aku harus pergi, meski sampai saat ini aku sendiri tidak tahu ke mana?”
“Iya, tapi mengapa engkau harus pergi?”
“Untuk hidup”.
“Apakah selama ini kamu mati atau setengah mati?”
“Tidak, aku hidup, tapi terasa mati. Hampa”.
“Kamu kehilangan makna”.
“Aku belum mempunyai makna”.
Dan kamu pun akhirnya pergi. Seperti yang kamu katakan. Kamu pergi diiringi hujan yang turun derasnya di ujung bulan November ini.
Aku tak tahu mengapa engkau harus pergi, hingga kini aku masih juga tak tahu. Engkau mengatakan harus, tanpa pernah engkau memberi alasan. Engkau mengatakan. Pokoknya. Siapapun tahu, bila kata pokoknya telah terucap, apa pun itu harus terlaksana dan tertunaikan, entah bagaimana caranya.
Aku tertegun dengan keputusanmu yang tiba-tiba. Selama kebersamaan kita, tak pernah aku mendengar bahkan sekedar guarauan, kamu akan pergi, namun ketika hujan turun di sore itu engkau mengatakannya. Bukankah dulu kamu bertekat tinggal di sini, di kota ini? “aku igin jadi penulis besar, dan kota ini sangat mendukung, suasananya kondusif”, katamu.

Penulis besar, itulah obsesimu. Aku pun yakin kamu bisa mewujudkannya. Jujur, aku sering jengkel karena obsesimu itu. Setiap aku keluar denganmu, selalu saja kau megajakku bertemu dengan teman-temanmu itu. Sebelum aku kenal mereka, aku sudah sering melihat wajah-wajah mereka di jalanan, denganmu juga tentunya. Begitu juga ketika kamu mengajak aku berbelanja, tentunya yang kamu maksud tempat belanja tidak lain adalah toko buku. Dari mu juga aku tahu tempat mencari dan membeli buku yang murah. Darimu juga aku tahu kalau kota ini memang kota buku. Bukan hanya toko buku, tetapi juga penerbitan. Kamu banyak mengenal para editor di penerbit-penerbit itu. “temanku”, katamu.
Aku sendiri heran, mengapa aku betah berjalan dengan dirimu, bersamamu. Aku merasa berbeda dengan mu. Teman-teman ku menjulukiku si mulut seribu, alis si cerewet. Dan kamu, pendiam, kalem, cool.
Jika kamu tidak mengajakku keluar, maka aku yang datang ke kosmu. Ku dapati kamu sedang asyik dalam tumpukan buku-buku mu. Kamarmu dihiasi oleh rak-rak buku. Karpetmu tertutupi oleh buku yang berserakan. Nampak di dinding yang tidak tertutupi oleh buku, poster-poster para pemikir-pemikir dunia. Di pojok kamarmu aku dapati komputer bututmu. Di depan komputer itulah akau duduk sembari main game, sesekali harus mengeluh karena komputernya hang. Dan kamu masih asyik dengan buku-bukumu.
“Eh, ad novel baru nih, bagus.” Katamu mecoba menyapaku yang sedang asyik dengan game yang ada di komputer. “mau baca gak nih?” lanjutmu
“Tidak ah, yang kemarin aja belum selesai” kataku. Dua minggu yang lalu kamu meminjami buku juga kepadaku, novel. Sampai saat itu aku juga belum membacanya, kecuali pada bagian awal bab pertama.
“Malas amat sih non!, baca buku setipis itu aja dua minggu belum selesai.
“Banyak tugas kuliah, tahu..”, protesku.
Beberapa kali kamu telah meminjamkan novelmu kepadaku, tanpa pernah aku memintanya. Bahakan saat ulang tahunku, engkau pun membelikan aku sebuah novel, novel feminis katamu. Itu semua tidak lepas dari saat perkenalan aku dengan mu. Aku bertemu denganmu di salah satu toko buku. Saat itu aku diajak oleh salah seorang temanku dalam acara bedah buku di lantai dua toko tersebut. Di situlah kita bertemu. Temanku memperkanlakanku kepadamu.
“Suka novel?” tanyamu.
“Ya, sedikit.”
“Kok sedkit sih, banyak juga tidak apa kok, tidak ada yang melarang. Oh, ya, suka novel apa”
“Tenleet”, aku tidak yakin. Sebenanya sejak dua tahun aku di sini, baru satu novel yang aku baca. Novel remaja yang bercerita tentang cinta SMA.
“Aku punya beberapa novel tenleet, kalau suka boleh kok pinjam”, katamu. Dan kita pun sering bertemu sejak saat itu. Atau tepatnya, kau sering main ke kontrakkanku.dan kita kemudian sering pula jalan bersama.
***
Sore itu, entah kenapa aku merasa kehilangamu. Sepanjang kebersaman kita, aku hanya menganggapmu sebagai kakak, tidak lebih dari itu. Dan kamu pun menganggap ku sebagai adik. Dan kita bersama dalam hubungan itu. Namun sore itu ada rasa yang hadir dalam hati ini. Ada rasa kehilangan di sini akan mu, tetapi bukan sebagi seorang adik yang kehilangan kakanya. Entahlah, rasa itu hadir sesaat setelah kamu pergi meninggalkanku dari kota ini. Sebagai seorang adik, aku berhak untuk merasa kehilangan dirimu, karena aku pernah merasa memilikimu. Tapi rasa kehilangan ini? Namun apa daya, aku tidak bisa mencegah Kereta Progo yang membawamu dengan satu tekad untuk pergi. Hujan di akhir November telah telah membasahi diriku sepulangku mengantarmu pergi, tiga tahun yang lalu tepatnya.
Seperti November tiga tahun yang lalu, akhir November ini pun hujan masih tetap turun. Dan aku masih menelusuri keberadaanmu di duni maya. Tak pernah ketinggalan, selalu aku buka friendster dan blog-mu, namun semu masih sama dengan tiga tahun yang lalu. Mesin pencari pun tidak menemukanmu, selain namamu di beberapa situs media masa di mana tulisanmu pernah dimuat sebelum tiga tahun yang lalu. Dan dirimu tak pernah aku temukan.
Di pojok warung kopi ini, di sinilah kamu sering mengajaku menghabiskan waktu malam. Di pojok lebih nyaman, katamu saat aku tanya mengapa kita memilih tempat di sini. Dari sini kita dapat melihat kemana-kemana, ke seluruh sudut ruangan, termasuk ke arah luar. Kala sunyi, suara gesekan daun padi terdengar mesra bersama tiupan angin malam. Namun tidak seperti tahun yang lalu, sekarng sudah ada fasilitas hotspot. Suasananya pun lebih hening dari beberapa waktu yang lalu, karena setiap orang asyik dengan dirinya masing-masing yang sedang berselancar di dunia maya.
Aku pun mulai berselancar di dunia maya. Meng-update foto di friendster-ku, meng-up loud tulisan di blog-ku. Aku juga harus mengirim tulisan ke salah satu media yang akan dimuat untuk edisi bulan depan. Malam ini sengaja aku tidak mencari jejakmu di dunia maya. Namun alangkah terkejutnya aku saat melihat namamu di inbook e-mailku. Saat aku tidak mencarimu, saat itulah kamu hadir kepadaku.
“Salam. Aku dapat e-mailmu dari novelmu…..”. Begitulah kalimat pembuka surat elektronikmu. Memang aku sertakan alamat e-mailku dalam biografi penulis yang ada dalam novelku yang terbit tiga bulan yang lalu. Dan aku tak pernah menyangka engkau mendapatkan novel itu. Selanjutnya kamu menanyakan kabarku. Lalu kamu bercerita tentang kehidupanmu, aktifitasmu sekarang, dan juga alasanmu mengapa dulu engkau pergi.
“Semula aku berfikir bahwa mencerahkan kehidupan rakyat adalah dengan menulis buku. Bukannya aku tidak lagi percaya bahwa buku dapat merubah dunia, namun aku baru sadar bahwa tidak semua orang bisa mengakses buku. Kiranya perlu bagimu untuk keluar sejenak dari jawa dan berjalan-jalan ke pelosok-pelosok kampung. Mereka tidak mampu untuk memebeli buku. Bagi mereka buku adalah barang yang mewah. Dari itu kitalah yang harus membacakan untuk mereka. Mereka bukan orang-orang bodoh, mereka hanya tidak mempunyai kesempatan yang sama dengan orang kota. Bahasamu masih seperti yang dulu, kritis dan provokatif. Sebenarnya aku ingin meniru bahasamu dalam novelku, tetapi editor telah memangkas bahasa seperti itu. Kurang populer katanya, tidak marketabel. Oh ya, dia itu adalah editor yang dulu kamu perkenalkan kepadaku.
Seperti orang yang lama tidak pernah bertemu dengan nasi lalu kemudian ketemu nasi, seperti itulah kamu menulis surat elektronikmu,.panjang dan lebar. Kamu pun tetap memotifasi aku untuk tetap menulis. “Setinggi apapun orang sekolah, kalau tidak berkarya, dia akan dilupakan oleh orang”. Begitu katamu mengutip Pramoedya Ananta Toer. Pada bagian selanjutnya kamu bercerita bahwa kamu telah beristri, bahkan baru satu minggu yang lalu istrimu melahirkan. Kamu pun menyarakan kepadaku untuk segera menyempurnakan agamaku.
Aku telah menemukanmu, meski dalam dunia maya. Aku telah tahu mengapa engkau pergi dari kota ini, aku juga tahu kamu masih kakakku dan juga guruku yang dulu, yang pernah mengajari aku membaca dan menulis, meski tetap ada rasa kehilangan dalam diri ini. Tak terasa ada yang mengalir di pipiku. Hangat. Semakin lama alirannya semakin deras, sederas hujan yang turun di akhir November.


Sabtu, November 22, 2008

Kriminalis intelektual

Mohon maaf, sebenarnya secara kebahasaan akan muncul kerancuan ketika kata kriminalis disandingkan dengan kata intelektual. Yang pertama menunjukkan suatu perilaku yang cenderung destruktif, sementara yang kedua bersifat konstrukstif. Namun di sini kita akan melihat dari sudut yang berbeda, bukan hanya pada tataran kebahasaan saja. Mungkin sedikit fenomenologis gitulah.
Perilaku kriminal sering diasosiasikan kepada perilaku kejahatan yang merugikan orang lain, dan biasanya dalam bentuk kekerasaan. Jadi sebagai contoh saja yaitu perilaku mencopet, maling, merampok, memperkosa, minum minuman keras, berkelahi dan membunuh. Perilaku-perilaku ini biasa juga disebut sebagai penyebab kerusuhan, kekhawatiran dan ketidaknyamanan bagi masyarakat.

Kriminalitas terjadi bukan tanpa sebab, tetapi dia banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Dari aspek ini, kriminalitas banyak terjadi di daerah urban. Gemerlapnya kehidupan urban telah begitu menggiurkan dan menarik bak magnet orang-orang dari pinggiran untuk mencoba merasakan kehidupan ini. Namun tidak semua bisa ditampung dalam sisitem kehidupan urban, ada di antara mereka yang masih juga tersingkir. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mereka mau melakukan segala sesuat. Yang terpenting adalah bagaimana bisa survival. Tidak jarang jalan pintas yang ditempuh. Mereka ini adalah orang-orang yang tidak mempunyai akses dalam bidang pendidikan dan hanya mengandalakan otot ketimbang otak. Secara structural pun mereka telah disingkirkan dengan tidak meletakkan mereka pada agenda pembangunana bangsa ini. Yang terjadi adalah mereka hidup di jalanan, makan dari jalanan, dengan cara apa saja, samapi pada tingkat dia harus membunuh orang lain untuk mendapatkan makan.

Kehidupan mereka seringkali bergerombol dalam satu komunitas yang menjunjung tinggi solidaritas dan kesetiakawanan. Ketika ada diantara anggota komunitas mereka yang berkelahi, terluka atau terbunuh oleh komunitas, maka prinsip mereka adalah darah dibayar dengan darah. Tawuran pun terjadi. Dan hal itu berlanjut pada anak cucu mereka, jika merka masih bisa hidup di tengah kesulitan ekonomi. Kita mungkin jengkel dan benci dengan fenomena tersebut. Atau bahakan kadang kita jijik melihat mereka. Namun ingat, mereka adalah orang-orang yang tidak mampu mengakses pendidikan, sehingga mereka “bodoh” (maaf kasar), orang tidak berpendidkan tidak akan diterima dalam sistem kapitalisme, karena dia bukan capital yang menghasilkan.

Meski diantara kita ada yang jijik dan ikut-ikutan meminggirkan mereka, namun kita sudah terbiasa dengan hal tersebut. Namun bagaimana dengan kriminalitas yang di lakukan oleh sekelompok orang yang mentasbihkan dirinya sebagai intelektual? Mereka yang sering disebut sebagai agen of change? Mereka itu adalah para mahasiswa yang berada di perguruan tinggi, di kampus-kampus megah. Mereka inilah yang dulu sering disebut sebagai garda depan perubahan bangsa. Tapi sekarang?

Aku masih sedikit bangga ketika melihat teman-temanku adu dorong dengan aparat keplisian memaksa masuk ke gedung DPR dan terjadi keributan di sana dengan aparat keamanan. Aku bangga karena mereka masih ada niatan mnyuarakan aspirasi rakyat. Tapi bagaimana ketika para mahasiswa itu rebut dengan sesama mahasiswa temananya sendiri?
Masih terasa segar dalam ingatan kita tawuran mahasiswa di Jakarta, Mataram, Maluku, Makasar dan bebreapa kota di Sumatra. Dengan segudang alasan yang tidak rasional, merka secara arogan melempari lawannya dengan batu, merusak kendaraan yang kebetulan parkir di dekat arena tawuran, merusak bahkan sampai memebakar kampus. Nampak jelas di-shoot oleh beberapa wartawan televise, para mahasiswa itu membawa senjata dari batu, kayu pemukul, ketapel, panah, pisau, golok atau bahkan samurai. Sepanjang sejarah, baru kali ini di instutusi pendidikan tinggi ada mahasiswa yang membawa benda tajam. Bukankah mereka seharusnya membawa pena, buku, kamus, alat praktikum ataupun laptop? Inilah yang saya maksud dengan kriminalis intelektual.

Mahasiswa adalah satu status yang disandang karena dia dianggap lebih banyak memahami ilmu ketimbang ia masih menjadi siswa. Mereka adalah sekolompok orang yang menggunakan akal sehatnya untuk memahami teori-teri ilmu pengetahuan guna memajukan masyarakatnya. Mereka seharusnya sadara bahwa merekalah calon pemimpin masa depan. Namun tegakah kita menyerahkan kepemimpinan bangsa ini kepada mereka yang suka bertengkar dengan sesame temannya sendiri, entah satu jurusan, entah satu kapmpus ataupun berbeda kampus? Namun saya yakin, masih banyak mahasiswa yang tekun belajr, berdiskusi, membaca buku, turun aksi menyuarakan aspirasi rakyat, terjun berbaur dengan kehidupan masyarakat. Merkalah yang sebenarnya intelektual yang oleh Gramsci disebut sebagi intelektual organik. Dan merka yang berhak meneruskan cita-cita bangsa ini. Wallahu a’lam.



Yang Awal dan Yang Akhir

Aku lahir karena cinta,
aku hidup karena cinta,
aku ingin mati karena cinta

Pernahakah sesekali kita menyempatkan diri untuk diam dan duduk merenung tentang diri kita? Sudahkah kita benar-benar mengenal diri kita? Bukan sebatas pada aku anak si anu, lahir di anu, tanggal sekian bulan sekian tahun sekian. Tidak juga sebatas aku ini punya neton ini, sifatnya begini dan hobinya ini itu. Bukan sebatas itu. Tetapi lebih fundamental dari itu, siapa kita? Dari mana kita? Dan hendak kemana kita?

Dalam filosofi jawa ada satu konsep yang selaras dengan ajaran Islam, yaitu sangkan paraning dhumadi, atau asal usul kejadian. Dalam konsep ini setidaknya ada beberapa hal yang harus dimengerti antara lain, asaling dhumadhi atau asal usul wujud, sangkaning dhumadhi atau dari mana datangnya dan bagaimana perkembangan wujud, tataraning dhumadhi atau martabat suatu wujud, dan paraning dumadhi atau cara atau arah perkembangan wujud.

Pertanyaan-pertanyaan diatas adalah pertanyaan fundamental bagi makhluk yang bernama manusia. Dalam filsafat eksistensialisme, seseorang akan menjadi manusia jika dia telah mempertanyakan dan menjawab persoaln-persoalan di atas. Mungkin ada yang mengatakan, ah, pertanyaan seperti itu sangat mudah jawabannya. Tapi ingat, setiap pilihan jawaban akan mempunyai satu konsekwensi logis. Atau mungkin ada yang belum sempat merenungkannya?

Baiklah pada awalnya kita bertanya dari mana asal wujud? Sebelumnya, yang dimaksud wujud di sini adalah sesuatu yang ada atau being, atau realitas. Sementara ketika kita berbicara realitas, tidaklah realitas itu terbatas pada sesuatu yang Nampak oleh indera alias konkrit, tetapi ada juga realitas yang abstrak. Sebagai contoh saja, kita mengenal apa yang dinamakan dengan grafitasi, namun apakah pernah kita melihat atau merabanya? Namun kita tetap yakin itu ada.
Wujud atau yang ada ini tentulah tidak ada dengan sendirinya, sebagaimana halnya kursi yang kita duduki atau pakaian yang kita pakai yang ada pembuatnya. Karena dalam akal kita tidak mungkin sesuatu itu ada tanpa ada yang membuat atau menciptanya. Dengan demikian yang mencipta itu juga Ada atau Wujud. Lalau sipa yang menciptakan Sang Pencipta? Tidak ada. karena Dia ada dengan sendiri-Nya. Bagaimana Dia ada dengan sendirinya? Karena Dialah Yang Awal, maka dari Dia “mucullah” segala sesuatu.

Jika manusia ada, hewan ada, alam ada dan Yang Pencipta ada, lalu apa bedanya diantara yang Pencipta (Khaliq) dengan yang dicipta (makhluk)? Bedanya adalah bahwa keber-ada-an manusia dan makhluk lainnya bergantung kepada keberadaan Sang Khaliq, sehingga dia disebut sebagai mumkinatul wujud atau wujud relatif/nisbi. Sementara kebera-ada-an Sang Khaliq adalah Mutlak, absolut sehingga Dia disebut sebagai Wujud Muthlaq atau Wajibul Wujud. Lalau bagaimana dengan keber-ada-an manusia?

Yang Pertama, manusia adalah makhluk. Sebagai makhluk, keber-ada-an manusia bergantung kepada keberadaan Wujud Muthlaq. Kedua, manusia, sebagaimana mkhluk lainnya, diciptakan oleh karena cinta Allah kepada diri-Nya. Dalam hadits qudsy yang sering disetir oleh Ibn ‘Arabi Allah berfirman: “Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, Aku ingin diketahui, maka Aku menciptakan makhluk. Dengan demikian, manusia dalam hidupnya haruslah mengenal penciptanya. Ketiga, sebelum kealam rahim dan alam dunia, ketika manusia masih di alam ruh, manusia telah melakukan perjanjian dengan Sang Pencipta bahwa dia bersakasi bahwa Allah, Wujud Yang Mutlak itu adalah Tuhan yang telah menciptakannya. Perjanjian itu sering disebut sebagai perjanjian primordial. Dengan demikian, manusia telah mengikatkan satu janji bahwa hanya kepada Pencipta-nyalah manusia akan beribadah. Keempat, manusia diciptakan dumuka bumi adalah untuk dijadikan sebagai khalifah Allah yang bertugas memakmurkan bumi. Di bumi atau di dunia inilah kemudian manusia berada pada tataran bagaimana wujud itu berproses.

Dalam diri manusia terdapat ruh Ilahiyah. Pertama karena Allah sendiri telah meniupkan ruh-Nya ke dalam diri manusia. Kedua, karena manusia telah mengikat janji primordial sebagaimana dijelaskan di atas. Namun setelah lahir ke dunia, ruh manusia terkungkung oleh jasad. Namun demikian, dalam diri manusia itu selalu ada hasrat untuk mencari yang Mutlak itu tadi, yang pada-Nya dia telah berjanji. Dalam menjalankan aktifitas kehidupannya, manusia sering lalai dengan dirinya dan amanah yang ia emban sebagai khalifah. Kelalain ini biasanya disebabkan oleh keengganan manusia untuk menge-tahu-i. dalam arti lain, manusia enggan untuk mencari tahu dan belajar tentang dirinya. Akhirnya dia berjalan laksana robot tanpa jiwa.

Hendaknya manusia senantiasa ingat bahwa dia adalah makhluk. Sebagai makhluk manusia mempunyai hubungan vertikal dengan Khaliqnya yang terejawantahkan dalam ibadah. Sebagai makhluk, manusia juga mempunyai hubungan horizontal dengan sesama makhluk. Prinsip yang digunakankan adalah baik manusia maupun makhluk lainnya hanya tunduk kepada Allah dan kepada hukum Allah atau sunnatullah, dan manusia adalah khalfiah Allah yang bertanggungjawb memakmurkan bumi. Dengan demikian hubungan dia dengan makhluk lainnya adalah pemanfaatan dengan tetap menjaga kelestarian dalam keharmonisan. Sebagai khalifah atau mandataris Allah di muka bumi, maka manusia harus menjalankan titah tersebut sesuai dengan kehendak Allah sebagaimana dijelaskan dalam kitab-Nya dengantidak memebuat kerusakan (fasad). Sedangkan sesama manusia adalah berada pada prinsip bahwa yang palingmulia di sisi Allah adalah orang yang paling tinggi tingkat kualitas dirirnya (takwa). Dengan demikian, manusia tidak berhak untuk melakukan penindasan kepada manusia lainnya. Karena yang berhak demikian hanyalah Allah SWT.

Saat berproses sebagai manusia, janganlah sampai lupa pada asal mula kita, dan jangn pula kita tidak mengetahui tujuan kita. Jika kita berawal dari ADA Mutlak, di mana keberadaan segala sesuatu diliputi olehnya, lalu adakah tempat kembali selain kepada yang Mutlak dan Meliputi tersebut? Dengan demikian, kita juga akan menuju ke sana, kepada Yang Mutlak yang meliputi segala sesuatu.

Syekh Al-Isyraqi Suhrawardi menggambarkan bahwa Allah adalah Nur ala nur atau nur al-anwar. Dia adalah Cahaya di atas cahaya. Dia adalah sumber cahaya yang kemudian menerangi semesta. Semakan suatu entitas dekat dengan sumber cahaya, semakin tinggi intensitas cahaya yang berada padanya. Semakin terang pula dirinya. Sebaliknya, semakin jauh satu entitas dari sumber cahaya, maka semakin reduplah sinarnya, atau bahkan gelap sama sekali. Kegelapan adalah lawan dari cahaya. Kegelapan dalam bahasa Al-Quran disebut sebagai dzulm. Kata ini kemudian menjadi kata dzalim atau aniaya. Dengan demikian, perbuatan yang aniayalah yang menghalangi kita dari menuju Sumber Cahaya atu Wujud Mutlak tersebut. Mari kita berlingdung kepada-Nya dari perbuatan aniaya, agar kita sampai pada Dia Yang Awal dan Yang Akhir.

Rabu, November 12, 2008

Arus Balik


Nusantara atau yang sekarang disebut sebagai Indonesia pada mulanya adalah negeri maritim. Secara geografis sangat jelas sekali. Negeri ini terdiri dari beribu pulau, yang mana tiap pulau dibatasi oleh lautan. Dengn adanya beribu pulau itu menunjukan luasnya lautan kita. Dengan demikian tidak sedikit dari masyarakat negeri ini bergantung pada laut.

Fakta yang kedua adalah fakta historis, bahwa Majapahit, yang konon merupakan cikal bakal Indonesia ini adalah kerajaan maritim. Majapahit tidak mungkin mampu menyatukan Nusantara yang terbentang di seantro lautan tanpa adanya armada laut yang kuat. Begitu juga dia mampu menjalankan misi diplomasi perdamainnya ke kerajaan-kerajaan sebrang. Kapal-kapal besar dibuat pada masa kejayaan Majapahit, konon oleh orang yang bernama Empu Nala. Armada Majapahit singgah di negeri-negeri utara dalam misi diplomasinya. Sejak saat itu, negeri-negeri yang diungkapkan oleh Pramoedya Ananta Toer, sebagai negeri atas angin, telah dijelajahi oleh Armda pasukan Majapahit yang datang untuk melakukan aktifitas perekonomian melalui jalur laut. Dan karena kuatnya armada laut Majapahit, lautanpun aman dan perompak atau bajak laut.

Namun ketika majapahit runtuh, tidak ada kerajaan yang mampu untuk menggantikan posisinya, menyamai besarnya armada lautnya. Tidak Tuban, tidak Pasai, tidak juga demak. Dengan lemahnya kekuatan laut nusantara, maka masuklah Portugus untuk mencari rempah-rempah yang dijual di negera-negara Eropa. Portugis masuk tidak sebagaimana negara-negra yang hendak berdagang, melainkan dengan senjata dan pasukan perang yang dilengkapi dengan peralatan yang lebih modern. Sementara kerajaan-kerajaan Nusantara mulai melemah, hancur menjadi kerajaan kecil-kecil yang saling bertikai antara satu sama lainnya, sehingga ketika Portugis masuk, mereka tak mampu melawannya. Pelawanan yang besar pernah dilakukan oleh Adipati Unus. Dia menyerbu Malaka yang dijadikan pangkalan oleh Portugis. Namun karena pengkhianatan Tuban, dan lengahnya sebagian dari pasukanya sendiri, pasukan gabungan yang dipimpin oleh Adipati Unus mengalami kekalahan, tidak kuasa menahan gempuran meriam Portugis. Namun dia diakui orang yang telah berani melawan Portugis dan berlayar dengan armada yang besar ke arah utara, Malaka. Oleh sebab itu dia digelari Pangeran Sabrang Lor.

Pasca penyerangan Unus, tidak adalagi pasukan besar yang menggempur Portugis, akhirnya Portugis menguasai lautan, menguasai daerah-daerah rempah. Karena siapa saja yang menguasai lautan, maka dia menguasai urat nadi kehidupan. Portugis menjadi lelanange jagad. Dan sejak saat itu, negara atas angin tidak lagi melakukan aktfitsnya di Nusantara. Kapal-kapal dari Nusantara pun tidak ada yang berani dan mampu berlayar ke arah utara, justru dari utara sekarang yang ke selatan. Terjadi arus balik.

Peristiwa tersebut digambarkan secara gambalng oleh Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya Arus Balik. Novel ini mencerirtakan tentang masa-masa akhir kejayaan Nusantara sebagai negeri maritim, yang kemudian runtuh dan tenggelam dan tidak bangkit lagi, sampai kini, sampai sekarang. Laut kita yang luas itu tidak pernah diimbangi dengan perhatian yang luas juga oleh para pemegang kekuasaan. Sehingga laut kita seakan menjadi laut tanpa tuan.

Penyelundupan kayu besar-besaran, jual beli anak dan wanita, imigran gelap, narkotika dan obat-batan terlarang begitu bebasnya keluar masuk ke negeri ini melalui lautan. Ikan-ikan kita dicuri oleh negeri tetangga yang memiliki peralatan yang lebih canggih, sementara nelayan kita sejak jaman Majapahit hingga sekarang masih menggunakan perahu tradisional buatan sendiri. Di laut kita kalah. Di darat kita keok, di uadara kita lemah. Masihkah kita bangga mengaku sebagai pewaris kebesaran Majapahit. Dan kita masih sibuk rebutan kue kekuasaan bertengkar sesame saudara. Saling intip, saling curiga, saling sikut, saling tidak percaya. Dan selalu yang jadi korban adalah wong cilik yang sebenarnya hanya mencari hidup sederhana saja, itupun tidak pernah diperoleh. Agenda-agenda politik, baik lokal mapun nasional tidak pernah menjadikan rakyat sebagai agenda prioritas bagi para pemegang kekuasaan, kecuali jika dia sedang membutuhkan dukungan. Apakah ini memang satu takdir negeri ini sejak dulu kala. Pertentangan, perselisihan, perebutan kekuasaan. Adakah mereka tidak belajar dari sejarah? Ah… Indonesia ku.

Kamis, November 06, 2008

Aku Tak Mau Seperti Keledai

pasca aku meninggalkan kampus
aku masih bergelut gengan buku,
meski tidak lagi berkecimpung dalam dunia akademik
namun kali inibeda,
pergelutanku dalam dunia buku adalah sebagai penjaja buku
berpindah dari satu tempat ke tempat lain,
dari pameran ke pameran lain, dari satu kota ke kota lain
kesibukkan ku dengan urusan jual beli,
tak jarang melupakan aku dari baca buku itu
aku tak mau seperti khimar atau keledai
yang memebawa bertumpuk-tumpuk buku di punggungnya
sementara dia tidak pernah memebaca
dan tidak pernah tahu kandungan dari yang ia bawa
keledai membawa salah satu sumber ilmu, namun dia tetap dungu
bahkan suara keledai disinyalir sebagai seburuk-buruk suara
itu tak lain karena keledai hanya mnementingkan diri sendiri
dantidalkalah ada yang mementingkan diri sendiri
kecuali dia adalah makhluk yang bodoh, dungu,
tidak berfikir dan tidak pernah memebaca
maka itu, aku tak mau seperti keledai
karena aku adalah manusia.

Minggu, November 02, 2008

Ponorogo

Baru beberapa hari saya di Ponorogo. lelah memeang. menjaga stand selama berhari-hari dan harus tiap malang menyetingnya. tapi itulah hidup
ada hal yang menarik saat tiba di sini. bari kali itu aku menyaksikan pertunjukkan Reog ponorogo. selama ini aku hanya mendengarnya atau hanya melihat di televisi. reog. memang asli Ponorogo.

Reog adalah kekayaan tradisi Indonesia, dan itu baru stu dari seabrek keanekaragaman budaya kita. dan saya kira itu baru salah satu tradisi di ponorogo ini. itu baru ponorogo, belum Jawa Timur. bayangkan seandainya dalam satu kabupaten ada minimal tiga seni tradisional, berapa dalam satu propinsi, dan berapa dalam satu kesantuan nusantara ini. betapa kaya seklai negeri ini. seabrek..breeeekk. 
dan kita tidak perlu pamer dengan kekeayaan kita. karena kita adalah bangsa yang besar dan kaya sejak dari sononya. dan bangsa kaya tidak mungkin mengambil milik orang lain, karena kita setidaknya tidak  berjiwa miskin. Hanya orang miskin aja yang mengambil milik orang. biarlah reog diaku bangsa lain, toh hanya diaku. pada dasar tetap milik kita.

Sabtu, Oktober 25, 2008

Pantura

Allah memberikan kesempatan kepadaku untuk melakukan perjalanan di pantai utara jawa (pantura), tepatnya di Rembang. aku singgah di Lasem dan menginap di sana. Lasem sendiri durlu bernama Lao Sam. kemungkinan besar bahasa China. banyak masyarakat Lasem yang merupakan keturunan Tiongkok. dari bukunya pram, "Arus Balik", aku baru tahu kalau warga Tiongkok di sana adalah bekas ata sisa-sisa earmada Laksamana Chengho yang tidak bisa kembali ke Tiongkok, lalu mendirikan perkampungan di sina dan berbisnis di sana.

Aku juga mengunjungi Pasujudan Sunan Bonang yang berdekatan dengan makam Putri Cempa (Cempo) , seorang putri keturunan China yang kemudian memeluk agama Islam. Konon penyanggah perumahan makam Putri Cempa terbuat dari tulang ikan yang besar yang mati dan ditemukan di tepi pantai beriring dengan kematian Putri Cempa. di sana juga ada makam yang dipercaya sebagai makam Sunan Bonang.

Selain situs itu, kami mampir juga di Masjid Adung Demak, masjid yang dibangun oleh para wali. Ada rasa kesejukan dan kedamaian saat berada di sana.

Ketika membaca repotase KOMPAS saat ekspidi Pantura beberapa bulan lalu, ada dikatakan bahwa pemerintah hendaknya harus belajar dari pantura,, dengan pembangunan yang dilakukan oleh Deandles yang memusatkan pada pembangun jalan pantura, ekonomi jadi tidak merata, hanya berada memanjang di pantura. namun juka kita telisik lebih jauh lagi, sebenarnya Pantura sudah maju jauh sebelum Deandles membangun jalan itu. Pantura sudah maju sejak nenek moyang nkita masih merajai lautan. karena sebenarnya setiap kota di pantura itu memiliki sebuah dermaga di mana kapal-kapal perniagaan berlabuh dan bertransaksi. hal itulah yang menyebabkan pantura maju dari dulu. Karena nenek moyang kita adalah penguasa lautan.

Nusantara atau Nuswantoro adalah negeri maritim. wajar jika ada lagu anak-anak yang berbunyi nenek moyangku seorang pelau... kemana keperkasaan negeri maritim itu sekarang. di laut kita lemah. ikan-ikan kita di curi, kepulauan kita diambil orang, penyelundupan lewat laut adalah yang paling aman dan paling banyak. nelayan kita tertinggal jauh dari negera-negara tetangga... ah.. kemana negeri maritim itu?

Rabu, Oktober 22, 2008

Wonorejo Pesawaran Indah

Beberpa tahun aku meninggalkan kampung halaman Wonorejo Pesawaran Indah Padang Cermin(kadang-kadang pulang sih) tidak banyak perubahan yang terjadi. suasananya masih seperti dulu, adem ayem, tentram dan penuh dengan keramahan. pembangunan fisik juga tidak terlalu mencolok mata. Keharmonisan dengan alam masih terjaga, sehinga tidak ada masalah polusi, meski kendaran bermotor semakin bertambah. Itulah kampung, itulah desa. lamban dalam perubahan, tidak frontal terhadap kemjuan, tidak juga menerima dengan cepat. meski media juga telah banyak memepengaruhi, namun perubahan itu berjalan secara evolusi.

Hal serupa tidak bisa kita dapatkan di perkotaan. contoh aja seperti ini, jika anda tinggal di jogja (kota jogja) misalnya, lalu anda pergi keluar jogja selama 6 bulan saja, ketika anda kembali, anda akan mendapatkan lingkungan anda telah berubah. seperti itulah perubahan di kota, revolutif.

Perbedaan gerak perubahan ini dipengaruhi oleh beberpa hal. Pertama, maindsat atau pola pikir. pola pikir yang lebihm maju, pola pikir yang terbuka, akan sangat cepat menangkap wacana dan merespon perubahan yang datang padanya, sebaliknya pola pikir yang terbelakang atau stagnan akan sulit untuk menerima perubahan dengan cepat. Biasanya perubahan yang ada justru adalah bersifat imitatif, tidak inofatif. Kedua adalah pergerkan ekonomi. Semakin pesat pergerakan ekonomi suatu daerah, maka makin cepat pula perubahan terjadi. lihat saja, di mana dibangun satu perusahan, maka daerah tersebut dalam waktu yang singkat akan seger berubah.

Perubahan adalah keniscayaan, cepat maupun lambat. namun alangkah baiknya perubahan itu jika ia menuju ke sesuatu yang lebih baik, tanpa melupakan nilai-nilai luhur di daerah tersebut (Lokal Wisdom)

Rabu, September 10, 2008

Ra Yang Kurindu

Ra, apa kabr ra? Setalah berpisah, akhirnya kini kita telah dipertemukan kembali. Satu tahun memang waktu yang tidak lama ya, Ra. Tapi beda bagi seorang yang sedang menanti, seminggu terasa sewindu, setahuan serasa seabad. Seperti aku yang selalu menanti kedatanganmu. Memang benar, penantian selalu membawa pada rasa kejemuan. Kekhawatian juga tentunya. Khawatis dan rasa takut, saat engkau datang engkau bukan milikku lagi. Begitulah penantianku. Waktu seakan berjalan lamabat. Sehari seakan tidak lagi duapuluh empat jam, dan sepanjang tahun sekana hanya satu musim, kemarau. Yah, aku kekeringan tanpamu, aku tandus tanpamu, aku gersang tanpamu. Dan kini engkau telah datang. Tapi mengapa ada yang berbeda dengan pertemuan kita kali ini

Ra, aku minta maaf. Aku tidak bisa ikut menyambut dan merayakan kedatanganmu. Tapi bukan berarti rasa ini telah pudar. Sebenarnya kau malu pada diriku sendiri. Aku yang selalu ngomong bahwa aku orang yang mencintaimu, merindukanmu, dan mengharap kedatangmu, namun justru aku tidak ikut serta menyambutmu, menyalamimu.

Sebenranya aku tahu akan kedatangamu. Siapa yang tidak mengenalmu, sehingga semua orang mengabarkan kedatanganmu. Dan berjubel orang menyambutmu. Aku takut ketika aku ikut menyambutmu, akankah kau menemukan dan mengenaliku di antara berjubel orang itu. Apalagi mereka menyambumu tidak selayaknya seorang muslim menyambut kekasihnya sebagaimana diajarkan oleh agama kita. Ah, mungkin itu hanya apologiku aja, dan bisa jadi aku lebih buruk dari mereka karena aku tidak turut menyambutmu. Maaf karena aku lebih sibuk dengan urusan pribaduku. Tapi sesungguhnya dalam hati aku tetap menyambutmu, dengan cara lain, caraku sendiri.

Ra, aku dengar dari beberapa orang yang ikut manyambutmu, kata mereka kau datang dengan sedikit masam. Apa benar itu, Ra? Ada apa gerangan, Ra? Apakah sebenarnya kau tidak ingin datang? Tapi bukankah sudah janjimu untuk datang, menemuiku? Atau ada masalah lain? Apakah engkau tidak puas dengan penyambutan mereka, Ra? Bukankah mereka telah menggelontorkan segudang uang untuk menyambutmu, menjamumu? Mereka menyiapkan hidangan yang mewah untukmu, khusus untukmu. Asal kamu tahu aja Ra, hidangan semacam itu tidak akan bakalan ada tanpa engkau hadir di sini. Dan juga acara-acara itu, yang diadakan saben malam, pembacaan puisi dan narasi yang menggambarkan kecantikanmu, kemolekanmu, keanggunanmu, kebaikanmu, keagungan dan kemulianmu, itu tak pernah ada jika kau tidak di sini. Tapi mengapa engkau, kata mereka, datang dengan sedikit masam?

Ra, meski aku tidak perca sepenuhnya kepada mereka, tapi aku jadi ingin tahu juga, agar tenang jiwa ini. Namun aku yakin, itu bukan karena aku tidak ikut menyambutmu, bukan? Aku sadar betapa kecilnya aku di depanmu sehingga tanpaku pun engkau akan datang ke sini. Atau mungkin engkau kecewa melihat aku yang begini-begini saja, tidak berubah sejak pertemuan terakhir kita dulu. Aku masih aku yang angkuh, sombong, bakhil, dengki, pendendam, apatis, egois. Yah, kalau engkau memang datang dengan sedikit masam, aku yakin karena hal itu. Ah, maafkan aku ya, Ra. Sungguh aku menyesal. Aku malu. Aku akan berubah, Ra. Asal jangan kau tinggalkan aku lagi!

Ra, aku lebih malu lagi, meski aku tak menyambutmu, kau tetap datang menemuiku. Dengan wajah cerahmu, tidak seperti yang mereka bilang. Benar kataku, kau tidak peduli apakah aku berubah atau tidak, kmau tak pernah ingkar, kau tetap datang. Senyum manis tersungging di bibirmu, dan selalu suasana syahdu yang menyertaimu. Itulah yang selalu mengingatkanku padamu. Aku ingat pada perjumpaan kita yang lalu. Tiada hari yang aku lalui tanpamu. Kita berjalan bersama, mengahabiskan malam-malam kita dalam senandung kesyahduan. Kau memelukku erat dalam kehangatannya cintamu, membelaiku dengan mesra seakan itu yang terakhir. Malam itu aku rasakan bumi berhenti berputar, angin tiada berhembus, jangkrik berhenti berkerik, margasatwa tak bersuara, awan tertahan, dan alam pun terdiam. Malam itu begitu sunyi, tapi syahdu. Ah, indah sekali malam itu. Aku rindu malam itu, malam-malam saat bersamamu. Dan kini kau telah bersamaku. Mungkin telat, namun aku ingin tetap menyambutmu, menyalamimi, marhaban ya Ramadhan.

Rabu, September 03, 2008

Ramadhan Bulan Konsumsi

Ramadhan kini manyapa kita kembali. Bulan yang suci, penuh rahmah dan ampunan. Bulan yang mulia di mana Al-Quran sebagai petunjuk mansia diturunkan. Di dalamnya juga terdapat malam kemuliaan, malam yang sangat istimewa yang lebih baik dari seribu bulan. Pada bulan ini umat Islam diwajibkan untuk menjalankan salah satu rukun Islam, yaitu puasa.

Al-Jarhawi dalam kitabnya, hikmah at-tasyri’ wa falsafatuhu menjelaskan salah satu hikmah dari ibadah puasa adalah tumbuhnya rasa empati shaim atau orang yang berpuasa kepada kaum papa. Pada saat puasa, orang akan merasakan rasa haus dan lapar sehingga tubuhnya terasa lemah tak bertenaga. Pada saat itulah akan tumbuh pada dirinya rasa empati kepada kaum mustadl’afin, serta fakir dan miskin, di mana hidup mereka selalu dalam kekurangan. Orang-orang inilah yang tidak pernah berfikir untuk bagaimana makan enak, bagaimana berbelanja di mall, bertamasya ke luar negeri, atau sekedar jalan-jalan santai bertamasya bersama keluarga ke pantai, karena mereka telah disibukan dengan persoalan bagaimana dia dan anak-anaknya serta keluarganya yang lain bisa makan esok hari

Budaya Konsumsi di Bulan Ramadlan
Bulan ramadhan yang sakral tersebut kini seakan telah terdistorsi oleh prilaku umat Islam sendiri. Ramadhan yang seharusnya digunakan untuk berpuasa sebagai wahana mencapai ketakwaan, kesempurnaan akan kemanusiannya, kini berubah menjadi bulan konsumsi. Dari beberapa sumber dan pengamatan dapat diketahui bahwa tingkat konsumsi masyarakt pada bulan ramadhan semakin menaik dari pada hari-hari biasa. hal ini dapat kita lihat juga dari kebutuhan-kebutuhan yang dibeli saat ramadhan. Dalam tradisi masyarakat kita, jika ramdhan datang maka banyak hal yang harus dilakukan seperti dengan makan yang lezat, baju baru, mengecat rumah yang telah mengalokasikan anggaran yang berlipat ganda dari hari biasa.

Media massa tidak ketinggalan berperan aktif dalam peningkatan pola hidup konsumtif di bulan ramadhan ini. Dengan strategi marketing-nya media menawarkan produk-produk yang dikemas sesuai dengan nuansa ramadhan, bahkan tidak jarang para agamawan dan da’i kondang menjadi bintang iklan dengan gaya khasnya dan atribut keislaman, menawarkan produk-produk yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan ibadah di bulan ramadhan ini. Selain itu, tempat-tempat perbelanjaan, baik mall-mall besar maupun pasar-pasar tradisional menawarkan barang-barang yang khas ramdhan, dalam artian barang-barang tersebut hanya dapat diperoleh saat ramadhan saja.
Menu makan pada bulan ramadhanpun menjadi istimewa, berbeda dengan hari-hari biasa. biasanya lebih meningkat. Padahal pola makannya masih tetap sama seperti hari-hari biasa, hanya berpindah jam saja. Semula waktu makannya adalah pagi, siang dan malam, kini berganti sore (saat berbuka), malam (biasanya selepas shalat tarawih) dan pagi hari (makan sahur). Tidak ada yang berubah.

Bulan ramadhan yang semestinya menjadi bulan yang mendatangkan kegembiraan bagi para fakir miskin, karena pada bulan ini adalah momentum meningkatkan kwalitas dan kwatintas ibadah dan shadakoh umat Islam. Tetapi ternyata merka hanya dapat melihat saja, tanpa bisa menikmati indahnya bulan ramadhan. Seringkali terjadi di kota-kota besar, atas dalih penertiban kota, para pengemis dan gelandangan seringkali dikejar-kejar pihak pemerintah kota.

Budaya konsumsi pada bulan ramadhan sebagaimana di atas tentu betentangan dengan ajaran Islam akan perintah puasa. Bagaimana dalam diri seorang yang berpola hidup konsumtif akan tumbuh rasa empati dan kepedulian sosial? Bagaimana orang yang hanya memikirkan perut sendiri akan bisa merasakan rasa lapar yang dialami oleh orang lain?

Islam menyerukan umatnya berpuasa, makan saat sebelum fajar dan saat senja (magrib) adalah agar ia merasakan perihnya rasa lapar, rasa yang selalu bergelayut dalam kehidupan sebagian besar masyarakat kita, namun yang terjadi adalah sikap mental balas dendam dengan mengkonsumsi makanan sebanyak-banyaknya pada malam hari, sementara pada siang hari, dengan dalih puasa, mereka sering mengurangi aktifitas kerjanya, sehingga menjadi tidak produktif.

Sebelum terlambat, tidak salahnya kita intropeksi diri kita, sudahkan puasa yang kita jalani ini sesuai dengan yang Allah kehendaki?

Puasa pada hakikatnya tidak sekedar menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga menahan keseluruhan diri kita, mata, telinga, lisan, tangan, kaki dan syahwat dari perbuatan-perbuatan yang tercela. Puasa juga bukan hanya sekedar ritual tahunan yang tidak berdampak apapun, tetapi puasa merupakan suatu amalan trnsformatif. Secara individual, ramadhan ini tak ubahnya kepompong bagi kupu-kupu, atau selayaknya ular yang sedang bermetamorfosis, berganti sel-sel yang lebih muda. Selain dimensi eksoteris, puasa juga mengandung dimensi esotoris, karena yang mengetahui ia berpuasa atu tidak hanyalah orang itu sendiri dan Allah SWT. Makanya kata Allah, ibadah puasa itu adalah untukku.

Pada sisi transformasi sosialnya, puasa dapat menumbuhkan sifat altruisme pada shaim atau orang yang berpuasa, yaitu mendahulukan kepentingan orang lain yang lebih besar ketimbang kepentingan diri pribadi. Sifat empati dan kepedulian sosial juga tertanam dalam ibadah puasa ini. Yang tidak kalah penting, puasa melatih kita untuk dapat mengendalikan diri dan nafsu kita, termasuk dari pola hidup boros dan konsumtif.
Ramadhan adalah bulan tarbiyah (madrasah Ilahai), sebagi candradimuka umat Islam. Sebagaimana sebuah sekolah yang berhasil adalah merka yang lulus ujian dari madrasah ini yang kemudian mendapat predikat muttaqi atau orang yang bertakwa, yaitu orang yang menghadirkan Allah SWT dalam setiap aktivitas kehidupannya. Sementara dalam salah satu hadits qudsi-Nya Allah SWT berfirman bahwa Dia selalu bersama orang-orang miskin (mustadh’afin)

Predikat takwa tidak akan menempel pada orang yang tidak mengalami perubahan pada saat sesudah bulan ramadhan, orang –orang yang tetap berpola hidup boros, konsumtif, apatis dan individualis. Keberhasilan suatu ibadah adalah ketika dapat tertransformasi pada masyarakat. Kiranya belum terlambat untuk berbenah diri. Wallahu ‘alam bishshawab.

Setahun yang lalu tulisan ini dibuat dan dimuat di www.hminews.com

Senin, September 01, 2008

Mudik

Hari masih gelap. Karena memang malam masih larut. Ku lihat jam dinding dengan hiasan kaligrafi yang memebentuk kubah masjid. Meski sudah tua, namun jam itu masih istiqomah pada setiap detak jarumnya. Jam itu adalah kenang-kenangan dari mbak Eva, sarjana ekonomi yang pernah indekos di sini. Masih jam dua. Malam masih larut dalam buai mimpi-ninpi anak Adam. Sementara jauh di sana terdengar suara orang yang dengan mikrofon dia membangunkan umat Islam untuk makan sahur. Setelah itu ayat-ayat Al-Quran melantun dengan tartil. Entah dari masjid mana. Suaranya terbawa hembusan angin malam, menelusup ke relung-relung hati. Sejuk.

Aku mengurungkan niatku utuk ke kamar mandi tatkla ku dengar isak tangis dari kamar mbak Astri. Ku dekatkan telingaku ke pintu kamar yang sedikit terbuka. Ku lihat mbak Astri sedang duduk dan larut dalam untaian doa-doanya. Lampu yang temaram memantulkan kilauan cahaya dari air matanya yang mengalir deras di pipinya dan kemudian jatuh di pangkuannya. Ah, indah sekali.


Saat makan sahur sengaja aku menunggu mbak Astri dan duduk di sampingnya.
Mbak Astri tadi bangun jam berapa? Kok tidak mau membangunun aku?” tanyaku basa-basi.
“Emmm, jam berapa ya? Aku lupa tadi tidak lihat jam. Mbak kira kamu malah sudah bangun, soalnya mbak denger tu si Kitaro sedang konser.” Memang aku sering tidur dengan komputer tetap menyala. Dan selalu, musik-musik instrumrntal yang aku play. Pengantar tidur. Walaupun sering teman-teman satu kontrakan menasihatku “Nis, itu namanya pemborosan. Hemat listrik donk. Sebentar lagi pemerintah mau naikin TDL lho. Bisa-bisa kiriman kita cuman cukup untuk bayar listrik.” Kata Dhe, begitu gadis berjilbab gede asal Brebes itu dipanggil, pada suat pagi, saat kami sedang duduk-duduk santai sembari membaca koran pagi. Ah biarlah, toh aku bayarnya sesuai dengan proposi, walaupun aku masih ragu, mereka tertanggu atau tidak ya?

Ku perhatikan wajah mbak Astri. Wajahnya masih kelihat lebam. Nampak sekali kalu dia habis menangis. Sebenarnya bukan hanya malam itu saja aku melihat mbak Astri menangis dalam shalat malamnya. Tapi entahlah, malam ini tangisnya terasa beda dari malam-malam sebelumnya.

“Mbak semalam begadang ya, mata mbak kok kelihat lebam?” tanyaku yang jelas hanya sekedar mamastikan, karena aku sudah tahu tadi malam.
“Yah, mumpung Ramadhan. Itu janji Allah dan rasul-Nya lho. Mumpung bisa bertemu Ramadhan. Kan tidak ada jaminan kita kita bisa bertemu Ramadhan lagi tahun depan. Benar tidak, Nis?” Mbak Astri memang lumayan pengetahuan agamanya. Meski ia kulih di sastra Inggris, tapi sewaktu di SMA dia tidak hanya belajar di sekolah, tetapi juga nyantri. Ketika ku tanya mengapa dia memilih sastra Inggris, “Aku ingin mengkaji lebih jauh peradaban Barat, biara imbang. Tidak barat saja yang mengkaji peradaban Timur dan menganggap Dunia Timur inferior. Dan bahasa adalah kuncinya.”. katanya. Dia juga berkata, kalau mengaji sesuatu itu harus meletakkan objek kajian secara berimbang.

“Oh ya Nis, sudah berapa kali khatam Al-Qurannya? Dah mau lewat lo rmadhannya!”
“Belum khatam mbak, itupun masih nerusin bacaan sebelum ramadhan kemarin.” Jawabku sedikit malu. Aku sadar, ramadhan ini telah banyak kesia-sian yang aku lakukan. Sore aku sibuk buka puasa bersama di sana-sini, dengan ini dengan itu. Malam. Ah .... terlalu asyik acara televisi untuk dilewatkan. Pagi. Setelah shalat subuh aku tidur lagi. Bangun, setelah amandi langsung berngkat ke kampus, kuliah. Padahal, kata mbak Astri, kalau kita istiqomah beberapa lembar saja setiap selesai shalat fardhu, pastilah kita akan mengkhatamkan bacaan kita dalam satu bulan. Memang benar. Waktu di SMA aku sempat khatam dua kali. Dan buktinya pula, empat jilid tetralogi Pramoedya Ananta Toer aku lahap tidak lebih dari dua minggu. Memang semua butuh prioritas. Aku jadi malu pad diriku sendiri.

“Mbak boleh tanya tidak? Aku yakin mbak bisa menjawabnya?”
“Orang tanya kok tidak boleh to? Kalau bisa mbak jawab, kalau tidak bisa berarti kita cari jawabannya bersama-sama. Okey!”
“Sebelumnya aku minta maaf, soalnya aku sering ngintip mbak Astri kalau lagi shalat malam. Aku sering lihat mbak nangis. Gimana to mbak kok bisa nangis?”
“Seperti itu gimana makdusnya”, mabk Astri memancingku.
“Yah itu, kok bisa menangis sesenggukan?” Kalau orang cengeng mungkin aku tidak heran. Tapi mbak Astri? Dia membiayai kuliahnya sendiri, dan kadang sempat mengirimkan sebagian ke kampung. Dia juga aktif di organisasi ekstra kampus, di masjid dan juga mengurus desa binaannya di daerah Dlingo.
“Kalau mbak jelasin, nanti dikira kuliah subuh lagi? Kan ini belum subuh!”
“Nggak lagi! Aku tanya serius nih mbak, malah dikira guyon.” Bantahku.
“Nis, di dunia ini kira-kira ada tidak manusia yang hidup tanpa menanggung satu masalahpun? Ada tidak?” aku menggeleng, “tidakkan? Semua orang pasti punya masalah. Ada yang ketika menghadapi masalah ia lari dia lari masalah tersebut, yang justru dia sendiri yang berasalah. Ada yang lari ke drug, ada yang curhat ke orang lain, lewat radio, chatting dan sebagainya. Kamu sendiri gimana?”
“Maksud mbak, kalau lagi ada masalah? Emm.... aku curhat ke teman. Atau aku tulis di buku deary.” Aku jadi ingta, sudah lima deary aku habiskan sejak tiga tahun aku di kota pelajar ini. Tapi kayaknya tidak bakalan dierbitkan seperti punya Ahmad Wahib atau Soe Hok Gie yang terkenal itu. Aku sendiri kadang malu kalau harus baca tumpukan deary itu. Dah tulisannya acak-acakan, tidak mutu lagi.
“Allah adalah tempat mengadu, mengeluh. Dia tempat bergantung semu makhluk kepada-Nyalah aku memumphkan semua keluhku, pintaku.”
“Kalau itu aku tahu mbak, Lagu Tuhan ciptaan Bimbo. Sudah di luar kepala. Tapi tetap aku tidak bisa.”
“Allah adalah nurun ‘ala nurin, Cahaya di atas cahay. Dia adalah Ruh semesta. Dia tidak bisa hanya didekati dengan akal, logika, tapi dengan ini .....” mabk Astri menunjuk ke arah dada, “dengan hati. Datanglah pada Nya dengan hati yang bersih, ikhlas dan dipenuhi oleh cinta-Nya. Kaern akecintaan-Nya pada diri-Nyalah Dia menciptakan semesta ini. Pengabdian atas nama cinta, bukan akrena keterpaksaan atau rasa takut semata. Khaufa w thama’a.” Aku hanya diam mendengarkan. Walau ada beberapa yang aku tidak mengerti, tapi aku enggan menanyakannya. Aku takut ketahuan benar-benar DDR alias daya dong rendah.
“Satu lagi Nis, yang menjadikan malam-malam Ramadhan ini berbeda dengan yang lain. Sebentar lagi aku bertemu dan kumpul bareng keluargaku. Kamu tahukan, sudah lima tahun aku belum pulang kampung. Sehingga rasa syukurku semakin bertambah.”
Memang sudah lima tahun ini konon mbak Astri tidak pulang kampung. Tahun pertama dia tidak langsung kuliah, tetapi mencari kerja terlebih dahulu, sembari mengajar TPA di masjid sebelah. Dan bulan januari mendatang, dia akan diwisuda sebagai sarjana saastra Inggris. Kepulangannya sekaligus akan memeberitahu keluarga akan kelulusannya. Dia pernah ditawari untuk menjadi guide di perusahan pariwisata, tapi mbak Astri lebih memilih tawaran menjadi asisten dosen di almamaternya, “biar bisa dapat beasiswa master,” katanya.
“Wah, mbak pasti sudah rindu banget ama keluarga di kampung, ya? Eh... aku dengardi sumatra masih banyak hutannya ya mbak? Berarti mbak pulhut donk, alias pulang ke hutan, bukan pulang kampung!” Selorohku.
“Ngaco kamu. Memang sih, dulu waktu aku pergi ke jogja belum ada listrik, tapi sekarang katanya sudah ada listrik masuk ke kampung mbak. Ah, masa modoh. Orang tuh, kalau sudah cinta dan terlanjur kangeng, jangankan hutan dan lautan, langitpun akan didaki”
“Mana mungkin? Gomkbal kalii...!”
“Lho kok gombal. Nah itu Nabi Muhammad waktu mi’raj sampai ke langit ke tujuh.”
“Masak kita kok dibandingin nabi.” Protesku.”emm.. mbak, kalau sudah sampai di rumah mbak mau ngapain?”
“Pertama, mbak ingin sungkem sama ibu. Aku tak tahu seperti apa sekarang wajah beliau. Pasti sudah semakin tua. Tiap malam selalu terbayang wajah ibu yang penuh cinta, penuh kasih dan kehangatan. Mbak masih ingat, keteika mbak mau berangkat ke jawa, sebagaiman kebnyakan orang melayu, ibu memberi nasihat kepadaku lewat syair yang selalu kuingat:

betapa luas laut
anakku, selalu ada tepian
tetapi tidak semua tepian
pantas jadi pelabuhan
dan betapapun jauah
ombak membawamu mengembara
tentu masih tersisa
sebaris arus mengajakmu pulang
jangan lupakan tepian itu, anakku.i


ah, ibu. Kini aku akan segera kembali, ibu.”
“Tepian yang mana mbak, mas ari yang sering datang ke sini tiu ya? He.. he.... atau tepian apa nih? Bakauheni?”
“Terserah kamulah! Yang jelas, Allah adalah sebaik-baik pelabuhan, dan jka butuh sahabat untuk menuju ke etpian, mengapa tidak?”
“Mbak Astri jadi pulang nanti malam? Naik apa mbak?”
“Naik kereta. Oh ya Nis, kmu jadi pulang ke Madiun hari Sabtu kan? Mbak minta tolong, nanti malam antar mbak ke setasiun Lempuyangan. Bisa kan?”
belum sempat aku menjawab, secera serentak kami bangkit dari tempat duduk, setelah mendengar suara sirine tanda imsak dari masjid sebelah. Aku langsung menuang air dari deaspanser. Serempak warga kos yang di ruang tiu tertawa melihat aku seperti orang kebingungan. Rupanya yang aku tuang adalah air panas. Mau tidak mau aku harus mengeluarkannya, kalau tidak ingin lidahku mendidih. Aku menyemprotkannya ke luar. Malangnya Dewi alis Dhe yang jadi korbannya.
“Wah, kayak mbah dukun aja kamu ini, main semprot aja!” Aku jadi tidak enak hati melihat jilbab panjang Dhe basah oleh semprotanku. Wah kayak pemadam kebakaran aja.
***
selesai shalat Isa, aku memebantu mbak Astri berkemas. Sengaja tidak terawis di masjid, takut ketinggalan kereta. Dan itu sudah jelas.

“Wah, bawaannya banyak sekali mbak? Tidak terlalu berat nih?” tanyaku ketika melihat barang yang akan dibawa mbakAstri.
“Namanya lama tidak pulang kampung. Ini ada oleh-oleh untuk Ibu, kakek, nenek, saudara. Ini pakaian untuk Dea, keponakkanku. Katanya dia sudah sekitar dua tahun.”
“Kok, tidak naek bus langsung aja, mbak? Kan lebih mudah.”
“Mbak janjian ama saudara di Jakarta mau pulang bareng.”
Setelah selesai berkemas, aku meminta mbak Astri menunggu di luar. “Nis, cepat! Nanti ketinggalan kereta.” Panggil mbak Astri dari luar.
Sebentar mbak, aku lagi nyari helm nih.”tidak sekali dua kai, kalau pas lagi butuh, helm pada pergi tidak tahu ke mana.
“Fitrotunnisa.... buruan, ayo... entar kalau mbak ketinggalan kereta aku denda kamu.” Wah, tidak sabar banget mbak Astri, samapai pakai memanggil aku dengan namu lengkapaku, dengan suara nyaring lagi. “tidak pakai hel tidak apa-apa, orang dekat ini kok.” Akhirnya aku keluar hanya dengan membawa satu helm. Karena aku yang nyetir, maka akulahyang memakainya.

Motorku melaju dengan kecepatan 45KM/jam, karena aku tahu KA di Indonesia tidak pernah tepat waktu, persis seperti yang dibilang bang Iwan Fals.
“Nis cepet sedikit donk, entar aku telat lho. Kamu akau denada, mau?” mbak Astri mengancam lagi.

Karena di desak, akhirnya aku mulai tarik gas, menambah kecepatan laju motor, meski terasa berat oleh barang bawaan mbak Astri. Karena motor yang melaju begitu cepat dan beban yang berat, aku tidak bisa mengendalikan satang motorku, ketika di bawah jembatan ada sepeda motor melaju cepat dari arah selatan. Duaaaarrr.........motorku menabraknya. Aku melayang ke udara. Kemudian gelap.
***
Mataku menatap secercah cahaya. Ha, itukah Cahaya di atas cahaya. Ku tatap sekelilingku. Serba putih. Ku buka lebih lebar lagi kelopak mataku. Oh bukan, itu cahaya lampu.

“Alhamdulillah, kamu sudah sadar Nis.” Aku seperti kenal suara itu. Aku lihat Dhe dengan jilbab birunya duduk di kusi dekat pembaringnku. “Bapak ama Ibumu lagi istirahat di luar, mencari makan.” Lanjutnya. “kamu sudah ahmir empat hari tidak sadarkan diri.”
“Ada apa denganku Dhe? Aku di mana? Itu kok ada ketupat?” tanyaku dengan suara yang lirih, dan mungkin tidak terdengar oleh Dhe jika dia tidak mendekatkan kepalanya ke arahku.
“kamu jangan terlalu banyak bicara dulu ya, Nis! Ini dah lebaran anak manja. Itu ketupat pamanmu yang bawa kemarin.”
Aku meraba kepalaku, seperti ada yang menempel. Seperti perban. Aku masih loading. Mencoba untuk mengingat-ingat sesuatu.
“Mbak Astri? Mbak Astri? Mbak Astri mana Dhe? Dhe .. jawab, jangan diam saja! Jawab Dhe..! Ku lihat wajah Dhe memucat pasi. Bibirnya seakan ingin terbuka, tetapi berat.
“Mbak Astri...............................”

Terasa ada air hangat yang mengalir melewati pipi ini. Air yang sama yang sering aku saksikan kular dari mata mbak Astri. Namun sayang ia tidak akan eluar lagi dari mata yang sejuk itu. Oh, mbak Astri. Begitu cepat engkau harus mudik, bertemu kekasihmu, menyatu dengan-Nya. Mbak Astri, begitu sempitkah lautmu, sehingga dengan mudah engkau menemukan tepian untuk berlabuh? Mengapa engkau tidak menunggu sahabat yang akan mengantar dan menemani engkau berlabu? Oh, tidak, engaku tidak sendirian mbak. Yah, aku melihatmu bersama-sama sosok-sosok yang indah, berpakaian serba putih. Aku melihat engkau naik ke langit ke tujuh, seperti Muhammad yang sedang mi’raj. Tapi mengapa di bulan Ramadhan, bukan Rajab? Lailatul qodar? Ku lihat engkau semakin tinggi, kemudian yang terlihat adalah kain yang serba putih yang menghilang berbaur dengan putihnya cakrawala. Lalu muncullah cahaya yang berkelip-kelip dari angkasa, seperti kuang-kunang. Semakin lama semakin banyak, memenuhi angkasa. Kilauan cahaya membuat sakit mataku, aku tidak bisa melihat apa-apa. Gelap.

Untuk Imal cemoy.
Puisi Abdul Qadir

Selasa, Agustus 19, 2008

Tentang Remaja

Masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Dalam proses peralihan ini, kenangan akan masa kanak-kanak yang identik dengan masa bermain-main akan saling bergantian dengan keinginan untuk menjadi orang dewasa. Masa-masa ini adalah masa krisi identitas. Dia bukan lagi anak-anak, tetapi juga belum dewasa. Di sinilah kemudian masa remaja bisa dikatakan sebagai masa pencarian identitas atau jati diri.

Dalam proses pencarian jati diri ini, remaja akan senantiasa melakukan hal-hal yang menunjukkan dirinya bukan lagi anak-anak, dan mereka biasanaya akan marah jika ada orang yang menganggapnya masih anak-anak. Remaja akan cenderung berbuat caper alias cari perhatian dari lingkunagnnya. Namun seringkali perbuatan caper-nya ini berlebihan dan melewati batas. Alih-alih untuk menunjukkan siapa dirinya, remaja sering terjerumus kepada kenakalan remaja (juvenile delinquency). Beberepa contoh yang bisa diambil adalah kasus geng motor, kasus geng Nero, tawuran antar pelajar, miras, narkoba dan prilaku free sex. Beberapa hal yang menjadi penyebab kenakalan remaja adalah kurangnya perhatian dari orang tua, pengaruh media, lingkungan dan dangkalnya pengetahuan agama

Kurangnya perhatian orang tua terhadap anaknya menjadikan seorang anak berkembang tanpa kontrol. Hal ini akan lebih parah lagi apabila anak tersebut berasal dari kalangan broken home. Dalam Islam, orang tua sebagai pendidik pertama dan utama. Untuk itu dia tidak boleh melepas begitu saja pendidikan anak kepada lembaga pendidikan formal. Selain itu, pengaruh lingkungan dan media massa juga sangat besar dalam hal kenakalan remaja ini. Informasi yang bebas, bisa diakses setiap saat kapan saja dandi mana saja melalu internet maupun televisi dan media-media lainnya menjadi kiblat bagi pencarian identitas remaja ini. Ketidakselektifan dalam memilih informasi inilah yang membawa remaja pada perbuatan-perbuatan destruktif tersebut.
Lingkungan pergaulan juga akan menetukan seperti apa perbuatan remaja antinya. Dalam bergaul, remaja biasanya akan mencari apa yang menjadi idola merka. Mereka akan bergabung dengan teman-teman sebayanya yang memiliki karakteristik yang sama. Kemudian para remaja ini biasanya memebentuk satu komunitas. Satu komunitas dengan komunitas yang lain akan memiliki karakteristik yang berbeda. Untuk menjadi bagian dari satu komunitas, maka seorang remaja harus bersikap dan berpenampilan sama dengan anggota komunitasnya. Jika tidak maka dia tidak akan diakui. Kesalah dalam memilih komunitas inilah yang membawa remaja dalam kenakalan remaja.

Hal lain yang menjadi penyebab kenakalan remaja adalah dangkalnya pemahaman tentang agama. agama adalah tuntunan bagi umat manusia. Ia berisikan ajran untuk berbuat sebagaimana yang Sang Pencipta kehendaki. Siapa yang memahami agamanya, niscaya dia akan selamat dunia dan akhirat.

Sebagaiman diketahui, bahwa manusia lahir dengan fitrhanya. Salah satu fitrah manusia adalah fitrah ketuhanan dan keberagamaan. Dalam diri manusia terdapat satu potensi keagamaan yang sering disebut sebaga rasa keagamaan, yaitu suatu dorongan dalam jiwa yang membentuk rasa percaya kepada sesuatu Dzat Pencipta, rasa tunduk, serta dorongan taat atas aturan-Nya. Sama halnya dengan potensi-potensi lainnya yang ada dalam diri manusia, potensi keberagamaan manusia bisa tumbuh dan berkembang dengan baik, dan juga bisa hilang tertutupi. Berkembang dan tidaknya rasa agama tersebut bergantung bagaimana seseorang itu menggalinya, yaitu melalui pendidikan.

Rasa keberagamaan seseorang akan berbeda dari masa ke masa, seiring dengan pertumbuhan orang tersebut. Pada masa remaja, pertumbuhan rasa keberagamaan seiring dengan masa pertumbahan, yaitu masa transisi dari keberagamaan anak-anak yang cenderung bersifat kongkrit dan imitatif serta dooktriner menuju kedewasaaan rasa keagamaan yang mampu menumbuhkan rasa tanggung jawab serta menjadikan agama sebagai dasar filsafat hidup.

Peralihan dari masa kanak-kana kepada masa remaja dan kemudian ke masa dewasa ini seringkali tidak diiringi dengan pemahaman keagamaan yang sesuai, yaitu pemahaman yang sama dengan apa yang diperoleh ketika masih anak-anak. Hal ini yang kemudian memunculkan rasa ragu terhadap agama yang dipeluknya (religious doubt). Religious doubt ini biasanya diekspresikan melalui beberapa prilaku yaitu skeptis terhadap bentuk-bentuk keagamaan, meninggalkan tuugas-tugas keagamaan dan mengkonfrontasikan anata pengetahuan dan agama. adapaun yang menjadi p[eneybab dari religious doubt adalah rasa agama masa kanak-kanak yang terbentuk melalu proses “tanpa tanya”, otoritas orangtuan, tidak adanya referensi atau pembanding, usia remaja yang sudah memasuki tahap fantasi dan kognitif abstraktif.

Melihat hal terbut di atas, tentu kita tidak menginginkan generasi muslim kita menjadi lost generation karena jauh dari nilai-nilai agamanya. Kita juga tidak ingin mereka menjadi generasi yang justru akan memperparah kerusakan bangsa ini, karena subbanu al-yaum rijalu al-ghad, pemuda sekrang adalh pemimpin di maas datang. Untuk menangulangi hal tersebut, maka perlu kiranya kita segera menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan jasmani dan rohani remaja ke arah yang lebih baik, memberikan informasi yang konstruktif, membimbinganya dan memberikan pemahaman keagamaan sesuai dengan pertumbuhan kejiwaan mereka serta apa yang mereka butuhkan sejak dini, karena hal itu adalah benteng terbaik bagi remaja. Selain itu, para remaja juga harus diberikan bekal pengetahuan dan keterampilan memimpin (kepemimpinan) sejak dini, agar ia mengetahu tanggungjawabnya sebagai abdi (hamba) dan juga sebaga khalifah Allah di muka bumi.