SCRIPTA MANENT VERBA VOLANT

(yang tertulis akan tetap mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin)

Rumahku Surgaku

Rumah bukan hanya tempat berteduh dari sengat matahari dan derasnya hujan, tetapi ia juga tempat bertumbuh rasa kasih sayang, tempat kembali bersama kehangatan keluarga.

Allah Maha Pemurah

Burung yang keluar dari sangkarnya dengan perut kosong, akan kembali di sore hari dengan perut kenyang. Sungguh Allah Maha Pemuerah kepada semua makhluk-Nya.

Di Atas Langit Masih Ada Langit

Langit hanyalah batas dari ketidakmampuan pandangan mata kita, namun akanl dan iman kita akan selalu mengatakan bahwa masih ada langit di atas langit yang kita lihat.

Jalan Hidup

Jalan hidup tak selamanya datar. kadang ia menaik-turun, berliku dan terjal. Hanya pribadi yang kuatlah yang mampu menempuh jalan itu.

Lebah

Ia hanya makan dari sesuatu yang bersih dan bergizi sehingga ia menghasilkan sesuatu yang bersih dan bergizi pula. ia tak pernah merusak saat mencari makan. ia ada untuk bermanfaat.

Rabu, September 10, 2008

Ra Yang Kurindu

Ra, apa kabr ra? Setalah berpisah, akhirnya kini kita telah dipertemukan kembali. Satu tahun memang waktu yang tidak lama ya, Ra. Tapi beda bagi seorang yang sedang menanti, seminggu terasa sewindu, setahuan serasa seabad. Seperti aku yang selalu menanti kedatanganmu. Memang benar, penantian selalu membawa pada rasa kejemuan. Kekhawatian juga tentunya. Khawatis dan rasa takut, saat engkau datang engkau bukan milikku lagi. Begitulah penantianku. Waktu seakan berjalan lamabat. Sehari seakan tidak lagi duapuluh empat jam, dan sepanjang tahun sekana hanya satu musim, kemarau. Yah, aku kekeringan tanpamu, aku tandus tanpamu, aku gersang tanpamu. Dan kini engkau telah datang. Tapi mengapa ada yang berbeda dengan pertemuan kita kali ini

Ra, aku minta maaf. Aku tidak bisa ikut menyambut dan merayakan kedatanganmu. Tapi bukan berarti rasa ini telah pudar. Sebenarnya kau malu pada diriku sendiri. Aku yang selalu ngomong bahwa aku orang yang mencintaimu, merindukanmu, dan mengharap kedatangmu, namun justru aku tidak ikut serta menyambutmu, menyalamimu.

Sebenranya aku tahu akan kedatangamu. Siapa yang tidak mengenalmu, sehingga semua orang mengabarkan kedatanganmu. Dan berjubel orang menyambutmu. Aku takut ketika aku ikut menyambutmu, akankah kau menemukan dan mengenaliku di antara berjubel orang itu. Apalagi mereka menyambumu tidak selayaknya seorang muslim menyambut kekasihnya sebagaimana diajarkan oleh agama kita. Ah, mungkin itu hanya apologiku aja, dan bisa jadi aku lebih buruk dari mereka karena aku tidak turut menyambutmu. Maaf karena aku lebih sibuk dengan urusan pribaduku. Tapi sesungguhnya dalam hati aku tetap menyambutmu, dengan cara lain, caraku sendiri.

Ra, aku dengar dari beberapa orang yang ikut manyambutmu, kata mereka kau datang dengan sedikit masam. Apa benar itu, Ra? Ada apa gerangan, Ra? Apakah sebenarnya kau tidak ingin datang? Tapi bukankah sudah janjimu untuk datang, menemuiku? Atau ada masalah lain? Apakah engkau tidak puas dengan penyambutan mereka, Ra? Bukankah mereka telah menggelontorkan segudang uang untuk menyambutmu, menjamumu? Mereka menyiapkan hidangan yang mewah untukmu, khusus untukmu. Asal kamu tahu aja Ra, hidangan semacam itu tidak akan bakalan ada tanpa engkau hadir di sini. Dan juga acara-acara itu, yang diadakan saben malam, pembacaan puisi dan narasi yang menggambarkan kecantikanmu, kemolekanmu, keanggunanmu, kebaikanmu, keagungan dan kemulianmu, itu tak pernah ada jika kau tidak di sini. Tapi mengapa engkau, kata mereka, datang dengan sedikit masam?

Ra, meski aku tidak perca sepenuhnya kepada mereka, tapi aku jadi ingin tahu juga, agar tenang jiwa ini. Namun aku yakin, itu bukan karena aku tidak ikut menyambutmu, bukan? Aku sadar betapa kecilnya aku di depanmu sehingga tanpaku pun engkau akan datang ke sini. Atau mungkin engkau kecewa melihat aku yang begini-begini saja, tidak berubah sejak pertemuan terakhir kita dulu. Aku masih aku yang angkuh, sombong, bakhil, dengki, pendendam, apatis, egois. Yah, kalau engkau memang datang dengan sedikit masam, aku yakin karena hal itu. Ah, maafkan aku ya, Ra. Sungguh aku menyesal. Aku malu. Aku akan berubah, Ra. Asal jangan kau tinggalkan aku lagi!

Ra, aku lebih malu lagi, meski aku tak menyambutmu, kau tetap datang menemuiku. Dengan wajah cerahmu, tidak seperti yang mereka bilang. Benar kataku, kau tidak peduli apakah aku berubah atau tidak, kmau tak pernah ingkar, kau tetap datang. Senyum manis tersungging di bibirmu, dan selalu suasana syahdu yang menyertaimu. Itulah yang selalu mengingatkanku padamu. Aku ingat pada perjumpaan kita yang lalu. Tiada hari yang aku lalui tanpamu. Kita berjalan bersama, mengahabiskan malam-malam kita dalam senandung kesyahduan. Kau memelukku erat dalam kehangatannya cintamu, membelaiku dengan mesra seakan itu yang terakhir. Malam itu aku rasakan bumi berhenti berputar, angin tiada berhembus, jangkrik berhenti berkerik, margasatwa tak bersuara, awan tertahan, dan alam pun terdiam. Malam itu begitu sunyi, tapi syahdu. Ah, indah sekali malam itu. Aku rindu malam itu, malam-malam saat bersamamu. Dan kini kau telah bersamaku. Mungkin telat, namun aku ingin tetap menyambutmu, menyalamimi, marhaban ya Ramadhan.

Rabu, September 03, 2008

Ramadhan Bulan Konsumsi

Ramadhan kini manyapa kita kembali. Bulan yang suci, penuh rahmah dan ampunan. Bulan yang mulia di mana Al-Quran sebagai petunjuk mansia diturunkan. Di dalamnya juga terdapat malam kemuliaan, malam yang sangat istimewa yang lebih baik dari seribu bulan. Pada bulan ini umat Islam diwajibkan untuk menjalankan salah satu rukun Islam, yaitu puasa.

Al-Jarhawi dalam kitabnya, hikmah at-tasyri’ wa falsafatuhu menjelaskan salah satu hikmah dari ibadah puasa adalah tumbuhnya rasa empati shaim atau orang yang berpuasa kepada kaum papa. Pada saat puasa, orang akan merasakan rasa haus dan lapar sehingga tubuhnya terasa lemah tak bertenaga. Pada saat itulah akan tumbuh pada dirinya rasa empati kepada kaum mustadl’afin, serta fakir dan miskin, di mana hidup mereka selalu dalam kekurangan. Orang-orang inilah yang tidak pernah berfikir untuk bagaimana makan enak, bagaimana berbelanja di mall, bertamasya ke luar negeri, atau sekedar jalan-jalan santai bertamasya bersama keluarga ke pantai, karena mereka telah disibukan dengan persoalan bagaimana dia dan anak-anaknya serta keluarganya yang lain bisa makan esok hari

Budaya Konsumsi di Bulan Ramadlan
Bulan ramadhan yang sakral tersebut kini seakan telah terdistorsi oleh prilaku umat Islam sendiri. Ramadhan yang seharusnya digunakan untuk berpuasa sebagai wahana mencapai ketakwaan, kesempurnaan akan kemanusiannya, kini berubah menjadi bulan konsumsi. Dari beberapa sumber dan pengamatan dapat diketahui bahwa tingkat konsumsi masyarakt pada bulan ramadhan semakin menaik dari pada hari-hari biasa. hal ini dapat kita lihat juga dari kebutuhan-kebutuhan yang dibeli saat ramadhan. Dalam tradisi masyarakat kita, jika ramdhan datang maka banyak hal yang harus dilakukan seperti dengan makan yang lezat, baju baru, mengecat rumah yang telah mengalokasikan anggaran yang berlipat ganda dari hari biasa.

Media massa tidak ketinggalan berperan aktif dalam peningkatan pola hidup konsumtif di bulan ramadhan ini. Dengan strategi marketing-nya media menawarkan produk-produk yang dikemas sesuai dengan nuansa ramadhan, bahkan tidak jarang para agamawan dan da’i kondang menjadi bintang iklan dengan gaya khasnya dan atribut keislaman, menawarkan produk-produk yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan ibadah di bulan ramadhan ini. Selain itu, tempat-tempat perbelanjaan, baik mall-mall besar maupun pasar-pasar tradisional menawarkan barang-barang yang khas ramdhan, dalam artian barang-barang tersebut hanya dapat diperoleh saat ramadhan saja.
Menu makan pada bulan ramadhanpun menjadi istimewa, berbeda dengan hari-hari biasa. biasanya lebih meningkat. Padahal pola makannya masih tetap sama seperti hari-hari biasa, hanya berpindah jam saja. Semula waktu makannya adalah pagi, siang dan malam, kini berganti sore (saat berbuka), malam (biasanya selepas shalat tarawih) dan pagi hari (makan sahur). Tidak ada yang berubah.

Bulan ramadhan yang semestinya menjadi bulan yang mendatangkan kegembiraan bagi para fakir miskin, karena pada bulan ini adalah momentum meningkatkan kwalitas dan kwatintas ibadah dan shadakoh umat Islam. Tetapi ternyata merka hanya dapat melihat saja, tanpa bisa menikmati indahnya bulan ramadhan. Seringkali terjadi di kota-kota besar, atas dalih penertiban kota, para pengemis dan gelandangan seringkali dikejar-kejar pihak pemerintah kota.

Budaya konsumsi pada bulan ramadhan sebagaimana di atas tentu betentangan dengan ajaran Islam akan perintah puasa. Bagaimana dalam diri seorang yang berpola hidup konsumtif akan tumbuh rasa empati dan kepedulian sosial? Bagaimana orang yang hanya memikirkan perut sendiri akan bisa merasakan rasa lapar yang dialami oleh orang lain?

Islam menyerukan umatnya berpuasa, makan saat sebelum fajar dan saat senja (magrib) adalah agar ia merasakan perihnya rasa lapar, rasa yang selalu bergelayut dalam kehidupan sebagian besar masyarakat kita, namun yang terjadi adalah sikap mental balas dendam dengan mengkonsumsi makanan sebanyak-banyaknya pada malam hari, sementara pada siang hari, dengan dalih puasa, mereka sering mengurangi aktifitas kerjanya, sehingga menjadi tidak produktif.

Sebelum terlambat, tidak salahnya kita intropeksi diri kita, sudahkan puasa yang kita jalani ini sesuai dengan yang Allah kehendaki?

Puasa pada hakikatnya tidak sekedar menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga menahan keseluruhan diri kita, mata, telinga, lisan, tangan, kaki dan syahwat dari perbuatan-perbuatan yang tercela. Puasa juga bukan hanya sekedar ritual tahunan yang tidak berdampak apapun, tetapi puasa merupakan suatu amalan trnsformatif. Secara individual, ramadhan ini tak ubahnya kepompong bagi kupu-kupu, atau selayaknya ular yang sedang bermetamorfosis, berganti sel-sel yang lebih muda. Selain dimensi eksoteris, puasa juga mengandung dimensi esotoris, karena yang mengetahui ia berpuasa atu tidak hanyalah orang itu sendiri dan Allah SWT. Makanya kata Allah, ibadah puasa itu adalah untukku.

Pada sisi transformasi sosialnya, puasa dapat menumbuhkan sifat altruisme pada shaim atau orang yang berpuasa, yaitu mendahulukan kepentingan orang lain yang lebih besar ketimbang kepentingan diri pribadi. Sifat empati dan kepedulian sosial juga tertanam dalam ibadah puasa ini. Yang tidak kalah penting, puasa melatih kita untuk dapat mengendalikan diri dan nafsu kita, termasuk dari pola hidup boros dan konsumtif.
Ramadhan adalah bulan tarbiyah (madrasah Ilahai), sebagi candradimuka umat Islam. Sebagaimana sebuah sekolah yang berhasil adalah merka yang lulus ujian dari madrasah ini yang kemudian mendapat predikat muttaqi atau orang yang bertakwa, yaitu orang yang menghadirkan Allah SWT dalam setiap aktivitas kehidupannya. Sementara dalam salah satu hadits qudsi-Nya Allah SWT berfirman bahwa Dia selalu bersama orang-orang miskin (mustadh’afin)

Predikat takwa tidak akan menempel pada orang yang tidak mengalami perubahan pada saat sesudah bulan ramadhan, orang –orang yang tetap berpola hidup boros, konsumtif, apatis dan individualis. Keberhasilan suatu ibadah adalah ketika dapat tertransformasi pada masyarakat. Kiranya belum terlambat untuk berbenah diri. Wallahu ‘alam bishshawab.

Setahun yang lalu tulisan ini dibuat dan dimuat di www.hminews.com

Senin, September 01, 2008

Mudik

Hari masih gelap. Karena memang malam masih larut. Ku lihat jam dinding dengan hiasan kaligrafi yang memebentuk kubah masjid. Meski sudah tua, namun jam itu masih istiqomah pada setiap detak jarumnya. Jam itu adalah kenang-kenangan dari mbak Eva, sarjana ekonomi yang pernah indekos di sini. Masih jam dua. Malam masih larut dalam buai mimpi-ninpi anak Adam. Sementara jauh di sana terdengar suara orang yang dengan mikrofon dia membangunkan umat Islam untuk makan sahur. Setelah itu ayat-ayat Al-Quran melantun dengan tartil. Entah dari masjid mana. Suaranya terbawa hembusan angin malam, menelusup ke relung-relung hati. Sejuk.

Aku mengurungkan niatku utuk ke kamar mandi tatkla ku dengar isak tangis dari kamar mbak Astri. Ku dekatkan telingaku ke pintu kamar yang sedikit terbuka. Ku lihat mbak Astri sedang duduk dan larut dalam untaian doa-doanya. Lampu yang temaram memantulkan kilauan cahaya dari air matanya yang mengalir deras di pipinya dan kemudian jatuh di pangkuannya. Ah, indah sekali.


Saat makan sahur sengaja aku menunggu mbak Astri dan duduk di sampingnya.
Mbak Astri tadi bangun jam berapa? Kok tidak mau membangunun aku?” tanyaku basa-basi.
“Emmm, jam berapa ya? Aku lupa tadi tidak lihat jam. Mbak kira kamu malah sudah bangun, soalnya mbak denger tu si Kitaro sedang konser.” Memang aku sering tidur dengan komputer tetap menyala. Dan selalu, musik-musik instrumrntal yang aku play. Pengantar tidur. Walaupun sering teman-teman satu kontrakan menasihatku “Nis, itu namanya pemborosan. Hemat listrik donk. Sebentar lagi pemerintah mau naikin TDL lho. Bisa-bisa kiriman kita cuman cukup untuk bayar listrik.” Kata Dhe, begitu gadis berjilbab gede asal Brebes itu dipanggil, pada suat pagi, saat kami sedang duduk-duduk santai sembari membaca koran pagi. Ah biarlah, toh aku bayarnya sesuai dengan proposi, walaupun aku masih ragu, mereka tertanggu atau tidak ya?

Ku perhatikan wajah mbak Astri. Wajahnya masih kelihat lebam. Nampak sekali kalu dia habis menangis. Sebenarnya bukan hanya malam itu saja aku melihat mbak Astri menangis dalam shalat malamnya. Tapi entahlah, malam ini tangisnya terasa beda dari malam-malam sebelumnya.

“Mbak semalam begadang ya, mata mbak kok kelihat lebam?” tanyaku yang jelas hanya sekedar mamastikan, karena aku sudah tahu tadi malam.
“Yah, mumpung Ramadhan. Itu janji Allah dan rasul-Nya lho. Mumpung bisa bertemu Ramadhan. Kan tidak ada jaminan kita kita bisa bertemu Ramadhan lagi tahun depan. Benar tidak, Nis?” Mbak Astri memang lumayan pengetahuan agamanya. Meski ia kulih di sastra Inggris, tapi sewaktu di SMA dia tidak hanya belajar di sekolah, tetapi juga nyantri. Ketika ku tanya mengapa dia memilih sastra Inggris, “Aku ingin mengkaji lebih jauh peradaban Barat, biara imbang. Tidak barat saja yang mengkaji peradaban Timur dan menganggap Dunia Timur inferior. Dan bahasa adalah kuncinya.”. katanya. Dia juga berkata, kalau mengaji sesuatu itu harus meletakkan objek kajian secara berimbang.

“Oh ya Nis, sudah berapa kali khatam Al-Qurannya? Dah mau lewat lo rmadhannya!”
“Belum khatam mbak, itupun masih nerusin bacaan sebelum ramadhan kemarin.” Jawabku sedikit malu. Aku sadar, ramadhan ini telah banyak kesia-sian yang aku lakukan. Sore aku sibuk buka puasa bersama di sana-sini, dengan ini dengan itu. Malam. Ah .... terlalu asyik acara televisi untuk dilewatkan. Pagi. Setelah shalat subuh aku tidur lagi. Bangun, setelah amandi langsung berngkat ke kampus, kuliah. Padahal, kata mbak Astri, kalau kita istiqomah beberapa lembar saja setiap selesai shalat fardhu, pastilah kita akan mengkhatamkan bacaan kita dalam satu bulan. Memang benar. Waktu di SMA aku sempat khatam dua kali. Dan buktinya pula, empat jilid tetralogi Pramoedya Ananta Toer aku lahap tidak lebih dari dua minggu. Memang semua butuh prioritas. Aku jadi malu pad diriku sendiri.

“Mbak boleh tanya tidak? Aku yakin mbak bisa menjawabnya?”
“Orang tanya kok tidak boleh to? Kalau bisa mbak jawab, kalau tidak bisa berarti kita cari jawabannya bersama-sama. Okey!”
“Sebelumnya aku minta maaf, soalnya aku sering ngintip mbak Astri kalau lagi shalat malam. Aku sering lihat mbak nangis. Gimana to mbak kok bisa nangis?”
“Seperti itu gimana makdusnya”, mabk Astri memancingku.
“Yah itu, kok bisa menangis sesenggukan?” Kalau orang cengeng mungkin aku tidak heran. Tapi mbak Astri? Dia membiayai kuliahnya sendiri, dan kadang sempat mengirimkan sebagian ke kampung. Dia juga aktif di organisasi ekstra kampus, di masjid dan juga mengurus desa binaannya di daerah Dlingo.
“Kalau mbak jelasin, nanti dikira kuliah subuh lagi? Kan ini belum subuh!”
“Nggak lagi! Aku tanya serius nih mbak, malah dikira guyon.” Bantahku.
“Nis, di dunia ini kira-kira ada tidak manusia yang hidup tanpa menanggung satu masalahpun? Ada tidak?” aku menggeleng, “tidakkan? Semua orang pasti punya masalah. Ada yang ketika menghadapi masalah ia lari dia lari masalah tersebut, yang justru dia sendiri yang berasalah. Ada yang lari ke drug, ada yang curhat ke orang lain, lewat radio, chatting dan sebagainya. Kamu sendiri gimana?”
“Maksud mbak, kalau lagi ada masalah? Emm.... aku curhat ke teman. Atau aku tulis di buku deary.” Aku jadi ingta, sudah lima deary aku habiskan sejak tiga tahun aku di kota pelajar ini. Tapi kayaknya tidak bakalan dierbitkan seperti punya Ahmad Wahib atau Soe Hok Gie yang terkenal itu. Aku sendiri kadang malu kalau harus baca tumpukan deary itu. Dah tulisannya acak-acakan, tidak mutu lagi.
“Allah adalah tempat mengadu, mengeluh. Dia tempat bergantung semu makhluk kepada-Nyalah aku memumphkan semua keluhku, pintaku.”
“Kalau itu aku tahu mbak, Lagu Tuhan ciptaan Bimbo. Sudah di luar kepala. Tapi tetap aku tidak bisa.”
“Allah adalah nurun ‘ala nurin, Cahaya di atas cahay. Dia adalah Ruh semesta. Dia tidak bisa hanya didekati dengan akal, logika, tapi dengan ini .....” mabk Astri menunjuk ke arah dada, “dengan hati. Datanglah pada Nya dengan hati yang bersih, ikhlas dan dipenuhi oleh cinta-Nya. Kaern akecintaan-Nya pada diri-Nyalah Dia menciptakan semesta ini. Pengabdian atas nama cinta, bukan akrena keterpaksaan atau rasa takut semata. Khaufa w thama’a.” Aku hanya diam mendengarkan. Walau ada beberapa yang aku tidak mengerti, tapi aku enggan menanyakannya. Aku takut ketahuan benar-benar DDR alias daya dong rendah.
“Satu lagi Nis, yang menjadikan malam-malam Ramadhan ini berbeda dengan yang lain. Sebentar lagi aku bertemu dan kumpul bareng keluargaku. Kamu tahukan, sudah lima tahun aku belum pulang kampung. Sehingga rasa syukurku semakin bertambah.”
Memang sudah lima tahun ini konon mbak Astri tidak pulang kampung. Tahun pertama dia tidak langsung kuliah, tetapi mencari kerja terlebih dahulu, sembari mengajar TPA di masjid sebelah. Dan bulan januari mendatang, dia akan diwisuda sebagai sarjana saastra Inggris. Kepulangannya sekaligus akan memeberitahu keluarga akan kelulusannya. Dia pernah ditawari untuk menjadi guide di perusahan pariwisata, tapi mbak Astri lebih memilih tawaran menjadi asisten dosen di almamaternya, “biar bisa dapat beasiswa master,” katanya.
“Wah, mbak pasti sudah rindu banget ama keluarga di kampung, ya? Eh... aku dengardi sumatra masih banyak hutannya ya mbak? Berarti mbak pulhut donk, alias pulang ke hutan, bukan pulang kampung!” Selorohku.
“Ngaco kamu. Memang sih, dulu waktu aku pergi ke jogja belum ada listrik, tapi sekarang katanya sudah ada listrik masuk ke kampung mbak. Ah, masa modoh. Orang tuh, kalau sudah cinta dan terlanjur kangeng, jangankan hutan dan lautan, langitpun akan didaki”
“Mana mungkin? Gomkbal kalii...!”
“Lho kok gombal. Nah itu Nabi Muhammad waktu mi’raj sampai ke langit ke tujuh.”
“Masak kita kok dibandingin nabi.” Protesku.”emm.. mbak, kalau sudah sampai di rumah mbak mau ngapain?”
“Pertama, mbak ingin sungkem sama ibu. Aku tak tahu seperti apa sekarang wajah beliau. Pasti sudah semakin tua. Tiap malam selalu terbayang wajah ibu yang penuh cinta, penuh kasih dan kehangatan. Mbak masih ingat, keteika mbak mau berangkat ke jawa, sebagaiman kebnyakan orang melayu, ibu memberi nasihat kepadaku lewat syair yang selalu kuingat:

betapa luas laut
anakku, selalu ada tepian
tetapi tidak semua tepian
pantas jadi pelabuhan
dan betapapun jauah
ombak membawamu mengembara
tentu masih tersisa
sebaris arus mengajakmu pulang
jangan lupakan tepian itu, anakku.i


ah, ibu. Kini aku akan segera kembali, ibu.”
“Tepian yang mana mbak, mas ari yang sering datang ke sini tiu ya? He.. he.... atau tepian apa nih? Bakauheni?”
“Terserah kamulah! Yang jelas, Allah adalah sebaik-baik pelabuhan, dan jka butuh sahabat untuk menuju ke etpian, mengapa tidak?”
“Mbak Astri jadi pulang nanti malam? Naik apa mbak?”
“Naik kereta. Oh ya Nis, kmu jadi pulang ke Madiun hari Sabtu kan? Mbak minta tolong, nanti malam antar mbak ke setasiun Lempuyangan. Bisa kan?”
belum sempat aku menjawab, secera serentak kami bangkit dari tempat duduk, setelah mendengar suara sirine tanda imsak dari masjid sebelah. Aku langsung menuang air dari deaspanser. Serempak warga kos yang di ruang tiu tertawa melihat aku seperti orang kebingungan. Rupanya yang aku tuang adalah air panas. Mau tidak mau aku harus mengeluarkannya, kalau tidak ingin lidahku mendidih. Aku menyemprotkannya ke luar. Malangnya Dewi alis Dhe yang jadi korbannya.
“Wah, kayak mbah dukun aja kamu ini, main semprot aja!” Aku jadi tidak enak hati melihat jilbab panjang Dhe basah oleh semprotanku. Wah kayak pemadam kebakaran aja.
***
selesai shalat Isa, aku memebantu mbak Astri berkemas. Sengaja tidak terawis di masjid, takut ketinggalan kereta. Dan itu sudah jelas.

“Wah, bawaannya banyak sekali mbak? Tidak terlalu berat nih?” tanyaku ketika melihat barang yang akan dibawa mbakAstri.
“Namanya lama tidak pulang kampung. Ini ada oleh-oleh untuk Ibu, kakek, nenek, saudara. Ini pakaian untuk Dea, keponakkanku. Katanya dia sudah sekitar dua tahun.”
“Kok, tidak naek bus langsung aja, mbak? Kan lebih mudah.”
“Mbak janjian ama saudara di Jakarta mau pulang bareng.”
Setelah selesai berkemas, aku meminta mbak Astri menunggu di luar. “Nis, cepat! Nanti ketinggalan kereta.” Panggil mbak Astri dari luar.
Sebentar mbak, aku lagi nyari helm nih.”tidak sekali dua kai, kalau pas lagi butuh, helm pada pergi tidak tahu ke mana.
“Fitrotunnisa.... buruan, ayo... entar kalau mbak ketinggalan kereta aku denda kamu.” Wah, tidak sabar banget mbak Astri, samapai pakai memanggil aku dengan namu lengkapaku, dengan suara nyaring lagi. “tidak pakai hel tidak apa-apa, orang dekat ini kok.” Akhirnya aku keluar hanya dengan membawa satu helm. Karena aku yang nyetir, maka akulahyang memakainya.

Motorku melaju dengan kecepatan 45KM/jam, karena aku tahu KA di Indonesia tidak pernah tepat waktu, persis seperti yang dibilang bang Iwan Fals.
“Nis cepet sedikit donk, entar aku telat lho. Kamu akau denada, mau?” mbak Astri mengancam lagi.

Karena di desak, akhirnya aku mulai tarik gas, menambah kecepatan laju motor, meski terasa berat oleh barang bawaan mbak Astri. Karena motor yang melaju begitu cepat dan beban yang berat, aku tidak bisa mengendalikan satang motorku, ketika di bawah jembatan ada sepeda motor melaju cepat dari arah selatan. Duaaaarrr.........motorku menabraknya. Aku melayang ke udara. Kemudian gelap.
***
Mataku menatap secercah cahaya. Ha, itukah Cahaya di atas cahaya. Ku tatap sekelilingku. Serba putih. Ku buka lebih lebar lagi kelopak mataku. Oh bukan, itu cahaya lampu.

“Alhamdulillah, kamu sudah sadar Nis.” Aku seperti kenal suara itu. Aku lihat Dhe dengan jilbab birunya duduk di kusi dekat pembaringnku. “Bapak ama Ibumu lagi istirahat di luar, mencari makan.” Lanjutnya. “kamu sudah ahmir empat hari tidak sadarkan diri.”
“Ada apa denganku Dhe? Aku di mana? Itu kok ada ketupat?” tanyaku dengan suara yang lirih, dan mungkin tidak terdengar oleh Dhe jika dia tidak mendekatkan kepalanya ke arahku.
“kamu jangan terlalu banyak bicara dulu ya, Nis! Ini dah lebaran anak manja. Itu ketupat pamanmu yang bawa kemarin.”
Aku meraba kepalaku, seperti ada yang menempel. Seperti perban. Aku masih loading. Mencoba untuk mengingat-ingat sesuatu.
“Mbak Astri? Mbak Astri? Mbak Astri mana Dhe? Dhe .. jawab, jangan diam saja! Jawab Dhe..! Ku lihat wajah Dhe memucat pasi. Bibirnya seakan ingin terbuka, tetapi berat.
“Mbak Astri...............................”

Terasa ada air hangat yang mengalir melewati pipi ini. Air yang sama yang sering aku saksikan kular dari mata mbak Astri. Namun sayang ia tidak akan eluar lagi dari mata yang sejuk itu. Oh, mbak Astri. Begitu cepat engkau harus mudik, bertemu kekasihmu, menyatu dengan-Nya. Mbak Astri, begitu sempitkah lautmu, sehingga dengan mudah engkau menemukan tepian untuk berlabuh? Mengapa engkau tidak menunggu sahabat yang akan mengantar dan menemani engkau berlabu? Oh, tidak, engaku tidak sendirian mbak. Yah, aku melihatmu bersama-sama sosok-sosok yang indah, berpakaian serba putih. Aku melihat engkau naik ke langit ke tujuh, seperti Muhammad yang sedang mi’raj. Tapi mengapa di bulan Ramadhan, bukan Rajab? Lailatul qodar? Ku lihat engkau semakin tinggi, kemudian yang terlihat adalah kain yang serba putih yang menghilang berbaur dengan putihnya cakrawala. Lalu muncullah cahaya yang berkelip-kelip dari angkasa, seperti kuang-kunang. Semakin lama semakin banyak, memenuhi angkasa. Kilauan cahaya membuat sakit mataku, aku tidak bisa melihat apa-apa. Gelap.

Untuk Imal cemoy.
Puisi Abdul Qadir