SCRIPTA MANENT VERBA VOLANT

(yang tertulis akan tetap mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin)

Rumahku Surgaku

Rumah bukan hanya tempat berteduh dari sengat matahari dan derasnya hujan, tetapi ia juga tempat bertumbuh rasa kasih sayang, tempat kembali bersama kehangatan keluarga.

Allah Maha Pemurah

Burung yang keluar dari sangkarnya dengan perut kosong, akan kembali di sore hari dengan perut kenyang. Sungguh Allah Maha Pemuerah kepada semua makhluk-Nya.

Di Atas Langit Masih Ada Langit

Langit hanyalah batas dari ketidakmampuan pandangan mata kita, namun akanl dan iman kita akan selalu mengatakan bahwa masih ada langit di atas langit yang kita lihat.

Jalan Hidup

Jalan hidup tak selamanya datar. kadang ia menaik-turun, berliku dan terjal. Hanya pribadi yang kuatlah yang mampu menempuh jalan itu.

Lebah

Ia hanya makan dari sesuatu yang bersih dan bergizi sehingga ia menghasilkan sesuatu yang bersih dan bergizi pula. ia tak pernah merusak saat mencari makan. ia ada untuk bermanfaat.

Selasa, Desember 30, 2008

Pucuk Merapi

Hari ini (27/12) aku memberi materi pada Training Kepemimpinan yang diselenggrakan oleh salah satu komisariat. Aku menggantikan temanku yang harus pergi ke Jakarta untuk pertemuan dengan beberapa pengurus besar. Mendadak. Aku hanya punya waktu satu malam, bahkan kurang, untuk memprsipakan diri, karena tadi malam aku juga harus menjadi pembicara pada diskusi Usrah Daarul Hira.. Karena semalaman mempersipakan materi, aku kelelahan, tertidur di kursi ruang tamu, dan baru bangun saat satu panggilan masuk ke HP ku.



Pagi ini juga aku masih merasa ngantuk, namun aku harus segera berangkat ke lokasi pelatihan di Kaliurang. Udara terasa segar saat aku mulai menaiki jalan Kaliurang yang berliku. Angin berhembus sepoi meyapu wajahku yang tidak tertutup oleh kaca helm. Jauh di di depanku, nampak Merapi berdiri tegap menjulang langit.

Sesampai di lokasi pelatihan, aku mendapati motor salah seorang temanku masih di parkir di sana. Ini berarti dia masih menjadi pembicara di sana. Aku urung masuk, dan aku konfirmasi tentang jadwalku. ke temanku yang lain yang kebetulan juga diminta menjadi pembicara. Aku salah jam. Aku harus menunggu sekitar satu setengah jam lagi. Aku teringat kembali oleh keindahan Merapi yang nampak dari kota tadi. Aku pun naik ke atas, ke gardu pandang.

Merapi adalah gunung berapi yang masih aktif. Terakhir letusannya terjadi pada tahun 2006 yang lalu, sesaat sebelum Gempa Jogja, dan masih berlangsung sesaat setelah Gempa Jogja. Sehingga tahun 2006 adalah tahun bencana bagi Jogja. Pada tahun ini juga sosok kharismatik dan fenomenal muncul, Mbah Maridjan. Aku pernah sekali mengunjungi runahnya. Sangat sederhana, karena memang Mbah Maridjan adalah orang yang sederhana. Meski sudah nampak tua, beliau masih energik, tegas kata-katanya dan cukup berwibawa. Sayang, orang semacam beliau sering dipolitisasi karena ketenarannya, bukan hanya di Indonesia, tapi juga di Asia. Saat kunjunganku ke sana, teman-teman ku yang dari Malaysia mengatakan tidak asing dengan sosok Mbah Maridjan, bahkan mereka meminta foto bersama dan tandata tangan Mbah Maridjan.

Di sana aku duduk di satu gubug yang kosong, menatap pucuk Merapi. Memang hanya pucuknya saja yang nampak, yang lain terhalang oleh beberapa bukit yang ada di sekitar Kaliurang. Namun aku sunguh terpesona oleh pemandangan tersebut. Pagi itu cuaca Jogja masih cerah, sehingga tak sekelumitpun awan ataupun kabut membayangi pucuk gunung itu. Batu-batu dan pasir sisa-siasa letusan itu masih tampak jelas. Sebenarnya pemandangan seperti ini sudah sering kai aku saksikan, namun akli aku menemukan sesuatu yang baru, aku melihat dengan cara yang baru dan dalam suasana yang baru pula.

Saat kali ini aku datang ke gardu pandang ini sendiri. Aku pun tak tahu mengapa aku langsung menempati gubuk itu dan megeluarkan buku harianku. Aku sendirian di tengah keramain para pengunjung dari beberapa kota di Jawa ini. Maklum, hari-hari ini adalah libur panjang, dan Jogja adalah kota wisata. Pun demikian dengan daerah Kaliurang ini.

Daerah semacam Kaliurang ini sebenarnya banyak terdapat di tanah Jawa. Ada Puncak di Bogor, Batu Raden di Purwokerto, Bukit Batu di Malang. Daerah ini bukalah daerah wisata baru, namun telah berumur lebih dari dua abad. Dari buku seorang berkembnagsaan Prancis, Denys Lombard, aku mendapat data bahwa daerah-daerah semacam ini sudah ada sejak abad ke 18. orang-orang yang Eropa yang datang ke Nusantara membawa tradisi mereka ke sini. Di eropa, tempat yang paling banyak dikunjungi adalah bukit SPA, satu bukit di daerah Negara Eropa. Sekarang SPA menjadi satu kebudayaan diseluruh dunia, yaitu perwatan tubuh dengan air hangat. Dulu yang digunakan adalah air yang mendidih karena panas magma bumi. Yah, begitulah kebudayaan bertransformasi.

Aku masih menatap pucuk merapi dengan humbusan angin sepoi yang membawa lirik-lirik lagu Ebiet GAD dari pengeras suara menyebar ke daerah sekitar gardu pandang ini. Berita pada kawan, Kamelia, Elegi Esok Hari. Lagu-lagu yang sendu itu melantun, menelusuri gelombang udara menelusuk masuk ke hatiku melalui calah pori-pori. Syahdu. Aku seakan baru pertama mengalami ini, melihat pucuk merapi dalam kesyahduan. Aku hanyut dalam alam yang tak aku mengerti, yang tak pernah ku rasa sebelumnya. Saat aku asyik masuk dengan situasi itu, saat itulah seorang bapak menyapaku, duduk di sampingku. Dia dan keluarganya dari Jakarta, ke Jogja untuk menjenguk saudaranya yang terserang strock. Ternyata dia asli Lampung, satu daerah denganku. Obrolan berlangsung dalam waktu yang lamban. Mataku masih asyik dengan pucuk merapi, juga tingkah laku para pengunjung saat berpose dengan Merapi sebagai backround.

Hari semakin siang. Sedikit namun pasti, kabut putih mulai menyelimuti pucuk merapi. Dan satu setengah jam sudah aku duduk memandanginya. Akupun turun, saat beberapa bus pariwisata baru datang. Kantukku kambuh lagi. Aku mampir ke sebuah warung di pinggir jalan, menikmati segelas kopi ditemani oleh sebungkus kacang goreng. Di jalan, kendaran bermotor semakin ramai. Maklum nanti malam adalah malam minggu. Saat aku menyeruput kopi yang ada di depanku, saat itulah aku kembali merasa sendiri lagi, kesepian. Wajar. Biasanya aku lalui seruputan demi seruputan, teguk demi teguk bersama teman-temanku. Kini meraka telah pergi, kembali dan mengabdi ke daerah masing-masing. Dan aku masih di sini, entah sampai kapan.

Jumat, Desember 26, 2008

Hijrah Dan Pembentukan Masyarakat Madani

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Anfal: 72)

Penetapan awal dalam penanggalan Islam berbeda dengan penetapan kalender masehi yang dimulai dan diambil dari hari kelahiran Al-Masih. Dalam khazanah Islam, penetapan awal tahun penanggalan adalah diambil dari peristiwa hijrah, yaitu pindahnya nabi dan umat Islam dari kota Mekah menuju Madinah yang saat itu masih bernama Yatsrib. Kita tidak bisa melupakan peran Umar bin Khatab dalam penyusunan kalender Islam ini. Mengapa harus hijrah nabi, bukan kelahiran beliau? Hal ini dikarenakan hijrah merupakan suatu momentum yang penting dalam sejarah perkembangan Islam.

Peristiwa hijrah terjadi pada tahun ke tiga belas kenabian Muhammad SAW, dan ini merupakan hijrah untuk ke sekian kali, setelah nabi mengalami kegagalan dalam hijrah-hijrah sebelumnya. Peristiwa ini sangat penting karena bisa dikatakan bahwa sajak peristiwa hijrah inilah masyarakat Islam mulai terbentuk, suatu tatanan masyarakat yang egaliter, saling menghormati dan menghargai di mana nilai-nilai keadilan ditegakkan. Masyarakat Madinah ini yang kini sering menjadi citra masyarakat ideal, masyarakat madani. Di sini kita tidak akan berbicara hijrah hanya sebagai fakta mati, tetapi kita untuk mencoba melihat metodologi Nabi Muhammad SAW dalam membangun masyarakat tersebut.

Dalam catatan sejarah kita ketahui bahwa hal yang pertama kali dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabat ketika sampai di Madinah adalah mendirikan masjid. Pada masa nabi, masjid memegang peran penting. Masjid adalah tempat ibadah, di mana umat Islam melakukan ritual peribadatan kepada Allah. Masjid juga merupakan tempat mempelajari Islam dari nabi Muhammad SAW, penanaman akidah dan candradimuka bagi generasi-generasi Islam awal.

Selain itu, masjid juga merupakan ruang publik bagi semua golongan, baik Anshor maupun Muhajirin. Tidak ada dominasi satu kabilah atau golongan di dalam masjid tersebut, semua berhak untuk melakukan aktifitas dan berpendapat. Di masjid pula tempat Nabi dan para sahabat bermusyawarah membahas permasalahan agama, masyarakat sampai pada strategi peperangan. Dengan membangun masjid, sebenarnya rasulullah SAW telah membangun akidah umat, cara pandang tauhid yang merupakan fondasi dari masyarakat Islam.

Hal yang penting dari funsi masjid sebagai malis ilmu adalah pembangunana paradigma. Pasca hijarahnya umat muslim ke Madinah, Nabi Muhammad SAW melakukan satu perubahan paradigma (paradigm change). Sebelum kedatangan Islam, masyarakat Arab, demikian juga madinah atau Yatsrib kala itu, merupakan penganut politeisme, penyembahan berhala dan ruh nenek moyang. Pandnagan tersebut kemudian berubah menjadi pandangan dan keyakian tiada tuhan selain Alah. Semua berawal dari pandangan dunia (worl view) tauhid.hal ini kemudian akan berdampak pada pola hubungan horizontal, bahwa semua manusia di depan tuhanadalah sama. Dengan demikian erciptalah persaudaran atas dasar kesamaan (egaliterian).

Hal kedua yang dilakukan Nabi adalah mempersaudarakan kaum muhajirin (orang-orang yang hijrah bersama nabi) dan kaum Anshor (masyarakat Madinah yang menolong dan menyambut Nabi), sebagaimana digambarkan dalam ayat pada awal tulisan ini. Sebelumnya, di Madinah sendiri terjadi pertengkaran yang berkepanjangan antara kaum Aus dan Khajraj. Mereka baru berdamai setelah kedatangan nabi ke Madinah.

Jika ditarik lebih jauh lagi ke pada kehidupan masyarakat Arab waktu itu, sukuisme, atau klan menempati tempat yang sentral dalam pola hubungan sosiologis. Hubungan sosial sangat ditentukan oleh kesukuan. Orang sangat bangga dengan sukunya dan rela berperang dan mati demi menjaga martabat sukunya.hal demikian tidak berlaku pasca kedatangan Islam, khususnya pasca hijrah.

Persaudaran yang dibangun bukanlah persaudaran semu, tetapi atas dasar takwa, kasih sayang dan kepedulian. Hal ini dapat dilihat bagaimana mereka melaksanakan anjuran nabi bahwa kaum Anshor harus membagikan apa yang mereka miliki kepada kaum muhajirin yang memang tidak membawa harta bendanya ketika keluar kota Mekah. Bagi mereka yang mempunyai bakat di pertanian maka diberilah ia lahan pertanian. Bagi yang pedagang dia akan mendapatkan modal. Di sinilah kemudian muncul pembangunan ekonomi kolektif.

Selanjutanya yang dilakukan nabi adalah membangun komitmen bersama dengan ahlu kitab, Yahudi dan Nasrani, yaitu komitmen bersama untuk saling menghormati, tidak saling mengganggu dan menjaga keamanan bersama. Komitmen bersama ini kemudian yang dikenal dengan Piagam Madinah. Piagam ini bisa dikatakan konstitusi pertama yang ditetapkan atas dasar konsesus bersama antara beberapa pihak, sehingga semuanya menjunjung konsesus tersebut.piagam ini juga disinyalir sebagai dokum pertamatentang Hak Asasi Manusia. (HAM).
Pada perkembangan selanjutnya, masyarakat muslim awal ini adalah satu prototipe masyarakat Islam yang oleh Nuerchalis Madjid disebut sebagai Masyarakat Madani atau masyarakat kosmopolitan.

Menghijrahkan Indonesia
Jika kita merefleksikan diri dari perjalanan hijrah Nabi Muhammad SAW yang kemudian sampai terbentuknya masyarakat yang beradab, perlu kiranya kita untuk menghijrahkan Indonesia yang berarti menghijrahkan diri kita sebagai bangsa.. Apakah selama ini kita benar-benar mempunyai niatan untuk memperbaiki bangsa ini? Jika memang benar, perlu kiranya kita mengkoreksi diri kita. Sudahkah kita membangun cara pandang, mental dan kepribadian bangsa ini?

Masjid, yang merupakan candradimuka bagi generasi muslim kini justru menjadi tempat yang sepi dari pengunjung dan banyak dijauhi, kecuali pada hari raya. Masjid sebagai tempat pengkajian ilmu sudah sangat jarang kita temukan. Sebagai tempat yang terbuka untuk umum juga semakin sulit, karena masjid hanya dikuasi oleh satu golongan saja, lebih parah lagi untuk kepentingan politik.

Sementara sekolah (pendidikan) yang berfungsi sebagai tempat pembentukan karakter, menempa kemampuan intlektual dan mental hanya bisa diakses oleh orang berpunya saja. Meminjam bahasa Eko Prasetyo, orang miskin dilarang sekolah, sama artinya orang miskin dilarang untuk pintar, dilarang untuk mandiri, dilarang untuk memperbaiki kehidupannya, atau bahkan dilarang utuk hidup.

Setelah tidak bisa mengakses pendidikan, orang miskin dipersalahkan terkait kemajuan bangsa, bahkan mereka dianggap penyakit masyarakat yang harus disingkirkan. Tak heran jika kemudian banyak penggusuran.

Jika kita cermati bersama, yang menjadi penyakit sosial sebenarnya bukanlah kemiskinan, tetapi ketidakpedulian. Mereka memang miskin, tetapi sipa peduli dengan mereka? Siapa yang mau berkenan memberikan lapangan pekerjaan atau membagikan hartanya seperti yang dilakukan oleh kaum Anshor kepada kaum Muhajirin? Berapa banyak orang kaya di negeri ini, yang mengambil keuntungan dari naiknya harga barang, sementara miskin terengah-engah untuk hidup. Negara yang seharusnya bertanggungjawab terhadap nasib mereka justru tidak pernah memasukan mereka dalam pembangunan bangsa ini. Negara justru melakukan perselingkuhan dengan pasar, dan hanya mementingkan pasar yang uangnya masuk ke kocek para penguasa.

Hukum kitapun tidak terlepas dari keinginan pasar, dan ditetapkan atas dasar kepentingan golongan, bukan untuk kepentingan rakyat. Wajar jika kita tidak pernah tahu hukum-hukum yang keluar dari rumah dewan, karena mereka tidak mewakili kita, rakyat. Dan wajar pula ketika produk hukum kita selalu dtentang oleh rakyat, krena memang hukum tersebut dibuat bukan unttuk kemaslahatan warganya (yang diwakili), tetapi untuk kepentingan politik individu, golongan dan penguasa modal (kapitalis). Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun pernah menyatakan bahwa saat ini kita sedang berada pada moment kebangkitan nasionalisme 2009. nasionalisme, atau ketanah airan 2009 sudah mulai merucut pada satu hal. Baik presiden, DPR, pedagang, olahragawan, tau apapun dia, sedang menuju pad nasionalisme 2009, yaitu “nasionalisme uang”.
Di sini kita lihat, ternyata kita belum berniat untuk benar-benar hijrah, karena kita belum bisa meninggalkan kepentingan pribadi dan golongan untuk kepentingan bersama, kepentingan umat. Dan kita masih jauh dari masyarakat yang kita impikan.

Jangankan untuk keluar dari “kota mekah”, untuk keluar dari “rumah kita” saja kita masih berat. Rumah di sini adalah “keakuan”, “ananiyah” atau egoisme, yang berti juga nafsu. Untuk berhijrah kepada kehidupan yang lebih baik, kita harus mampu meninggalkan nafsu berkuasa, sifat tamak dan serakah serta keangkuhan yang menganggap kita yang paling benar. Kita harus bersedia menerima orang lain dan berbagi dengan mereka kaum papa. Karena melawan nafsu adalah jihad terbesar, karena dia menjadi penentu dalam perjalanan kita. Wallahu a’lam bishshawab.

Kamis, Desember 25, 2008

Kelompok Diskusi

Sejak aku dijogja, beberapa kali aku sudah membuat dan mengkoordinir kelompok diskusi, namun semua berakhir sama, tidak ada yang langgeng hingga saat ini. Ada kelompok studi bahasa yang aku koordinir pada semester-semester awal. Tujuan awalnya adalah membantu teman-teman kelas yang kuruang mumpuni, khususnya dalam bahasa arab. Sebagain teman-teman kelasku di Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kolompok ini kemudian bermetamorfosis menjadi kelompok studi yang lebih luas, yang diberi nama Forum Pemuda Peduli Pendidikan dan Sosial (FP3S), meski kemudian aku hanya menjadi ketua bidang pengembangan sumberdaya anggota. Kajian berlangsung sekitar lima kali.

Kelompok studi yang lain adalah yang aku bentuk saa awal-awal aku menjadi anggota HMI. Kelompok ini bernama OASE, dengan jargon, meneguk wacana, merubah dunia. Fokus Kajian ini adalah tentang pemikiran tokoh pembaharu Islam kontemporer. Baru berjalan sekali yang saat itu mengkaji pemikiran Hassan Hanafi dan aku sebagai pemakalahnya, forum ini mandeg. Kemandekan ini karena semua personilnya sibuk dengan urusan struktur.
Universitas Malam Marakom (UMM) adalah forum kajian lainnya yang aku koordinir ketika kau tinggal di Marakom (Markas Anggota Komisariat). Kajiannya berkisar tentang pemikiran kontemporer seperti Hassan Hanafi, Abid Al-Jabiri, Ali Syariati, Muhammad Syahrur, dan Amiah Wadud. Berjalan beberapa bulan, forum ini kemudian juga mandeg.
Ketika tinggal di secretariat HMI Cabang Yogyakarta, Madzahab Karangkajen terbentuk, atau lebih tepatnya dihidupkan lagi. Kajian dilaksanakan setiap hari Selasa dan Jumat pagi setelah subuh. Berjalan sekiotar lima kali.
Meski beberapa kali mengkoordinir kajian dan sejauh itu juga aku gagal, aku masih terus berfikir bahwa dari kelompok-kelompok diskusi yang semacam inilah gagasan-gagasan besar lahir. Aku ingat Ahmad Wahib dan kawan dengan limited group-nya. Aku ingat Jurgen Habermas dan Madzahab Fankfurt kedua, serta pemikir-pemikir besar lainnya yang mempunyai gagasan besar yang berawal dari kelompok diskusi kecil (creative minority). Aku masih meikirkan itu, aku masih merindukan hal tersebut, akau masih memimpikannya.
Mimpiku ternyata berada dalam satu frekuensi mimpi temanku, Zulkarnain Patwa, mahasiswa jurusan Hubungan Internasional UMY. Sama denganku, dia sering menkoordinir forum kajian dan sering bubar, namun, ketika bubar dia segera membentuk forum lagi. Mimpi yang berada dalam satu frekuensi itu pun bertemu, beradu dan kemudian memercikan cahaya terang, gagasan bersama. Unlimited Group, itulah kira-kira nama kelompok yang ingin kita bentuk.
Kerja pun dimulai. Pertama-tama yang kai lakukan adalah mencari masukan yang sebanyak-banyaknya dari beberapa orang tentang apa sebaiknya yang mesti dikaji dan dari aman memulainya. Orang pertama yang kita ajak berdialog dan tukar fikiran adalah Prof. Lesmana, guru besar linguistik UGM, beliau adalah lulusan Sorbon University, Prancis. Kami berdialog dengan beliau sekitar satu jam di kafe Lembaga Indonesia Prancis (LIP). Dari obralan bersama tersebut, beliau menyarankan untuk mengkaji pemikiran mulai Ferdinand de Sossrou yang berate muali dari awal-awal paham strukturalis, kemudian berlanjut pada pemikiran post strukturalis, baru masuk pada pemikiran kontemporer. Dari beliau pula aku tahu bahwa perkembangan wacan di Prancis sangat cepat seklai, dan itu sangat terdokumtesi. Dengan demikian pemikirannya selalu berkembang, tidak melingkar dan berputar-putar. Beliau juga menjelaskan bahwa, sossrow, yang dianggap sebagai bapak strukturalis, sesungguhnya tidak pernah ditemui kata strukturalis. Aneh.
Orang kedua yang kami kunjungi adalah bapak Andy Darmawan, M.Ag. beliau lulusan UIN Sunan Kalijaga dan konsentrasi pada filsafat. Kami mengunjungi rumah beliau pada malam hari dari jam 20.00 WIB sampai 23.30 WIB. Tempatnya pun berpindah-pindah, dari ruang tamu lalu ke dapur sambil menkmati udara malam di taman dengan hidangan makan malam, lalu kembali ke ruang tamu lagi. Beliau menyarankan agar kajian dimulai dari kajin fundamental yaitu filsafat ilmu. Itu berarti kami harus membicarakan terlebih dahulu tentang ontologi, epistemologi dan aksiologi, karena hal tersebut adalah sangat fundamental untuk memahami semua pemikiran.
Rencana sore tadi kami akan bertemu dengan teman Patwa dari Australia, tapi aku tidak bisa datang ke sana. Hingga kini diskusi belum juga bisa dimulai. Semoga sebelum akhir tahun diskusi sudah bisa dimulai. Semoga pula dia tidak mati sebelum lahir.

Sabtu, Desember 06, 2008

Marakom

Hari-hari aku banyak menghabiskan waktuku di marakom, bersama teman-teman aktivis HMI lainnya, ngobrol kemana-mana sambil ngopi dan kadang main catur. aku adalah generasi ke sekian dari marakom. Mereka sebagain atau mayoritas tidak pernah tertulis, namun mereka ada.

Marakom adalah Markas Anggota Komisariat. Markasnya anak-anak HMI-MPO UIN Sunan Kalijag Yogyakarta, sehingga mereka sering juga disebut HMI MARAKOM. Sering kali pemaknaannya dimelencengkan menjadi Markas Anggota Komunis. ini tidak terlepas dari bacaan, cara berfikir dan aksi penghuninya, juga keberadaan Partai Proletar sebagai partai kamps yang memiliki lambang bulan sabit, palu dan bintang, mirip seperti lambang partai komunis.

Marakom ada sebelum perpecahan HMI secara nasioanal. dia lahir dari permasalahan rasa tidak puas dari hasil Konferensi Cabang. Utusan IAIN waktu itu berjumlah 25 orang kalah dalam pencalonan. Mereka memebawa isu miring tetang kekalahan mereka ke komisariat di IAIN dan menyebarkan berita bohong bahwa IAIN telah menjadi cabang Jogjakarta Timur. namun setelah kader-kader UIN mengetahui hal sebenarnya, maka mereka menolak isu miring dari senior merka dan tetap mendukung kepemimpinan yang sah. 25 orang tersebut dipecat. Merka ini yang kemudian memotori cabang fiktif yang kemudian menjadi cabang HMI-DIPO. sementara kader-kader IAIN lainya kemudian mendirikan markas bersama yang ada hingga saat ini, sementara untuk markas putri berdirilah RUMAH KITA atau RUKI. Semula Ruki berada di Sapen GK .. selama beberapa tahun, samap kemudian Gempa JOgja 2006 menghancurkannya, namun tidak ada korban di sana.

Kini keduanya masih ada. Marakom masih seperti yang dulu, menjadi motor penggerak perkaderan HMI Jogja. RUKI, terus terang dari pantauanku masih melempem untuk dua tahun terakhir ini. belum ada aktivitas yang menggigit.

Telah banyak mereka yang dilahirkan dari sana. merka yang berjuang di HMI, meski kini mereka terlupakan. Dan saya mohon maaf kepada mereka karena telah menulis ini, karena tulisan ini tentu tidak mewakili siapa-siap kecuali saya sendiri. dan bisa jadi tulisan ini telah mengecilkan kebesaran marakam. saya mohon maaf.

Cahaya Di Atas Cahaya

Dalam Al-Quran Surat An-Nur ayat 35 Allah berfirman yang artinya: Allah cahaya langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada Pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya) yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Dari ayat di atas dapat kita ketahu bahwa Allah SWT mengindentikkkan dirinya dengan Cahaya atau nur Cahaya itu sendiri meliputi langit tujuh lapis serta bumi. Dengan demikian, seluruh alam ini diterangi oleh Cahaya Allah.

Allah bukan hanya Cahaya, tetapi Cahaya di atas cahaya, nurun ‘ala nurin. Atau dalam istilah Imam Al-Ghazali Allah adalah Nurul anwar, Cahayanya cahaya. Hal itu juga berarti bahwa Allah adalah sumber cahaya.
Sebagai sumber cahaya, nurun ‘ala nurin, nurul anwar, Allah memancarkan cahayanya ke seluruh makhluknya, sehingga terciptalah kehidupan di alam ini. Cahaya itu menyatu dalam Rahman Rahim-Nya, kasih sayang-Nya. Rasa kasih san sayang kemudian menjadi satu fitrah manusia, kecenderungan, serta harapan hidup manusia. Sebagaimana Manusia selalu mendamba dan mengharap kasih sayang, demikian pulalah seyogyanya mengaharap pada cahaya Allah. Alangkah naifnya jika ada orang yang tidak pernah terbesit dalam hatinya untuk mengharapakan cahaya Allah, sementara tumbuhan saja akan tumbuh dan condong mengikuti cahaya. Cobalah kita letakkan tanaman dalam satu ruangan, dan berilah dia pencahayaan dari satu arah tertentu, pastilah tanaman tersebut akan tumbuh mengikuti cahaya tersebut.

Sekarang kita mabil satu contoh, lampu. Bagian yang paling terang dari lampu adalah lampu itu sendiri, karena dia adalh sumber cahaya, kemudian sesuatu yang paling dekat dengan dia, kemudian semakin jauh suatu entitas atau benda, maka semakin sedikitlah intensitas cahaya yang mengenainya. Sebaliknnya semakin dekat benda tersebut dengan lampu, sumber cahaya, maka akan semakin tinggi pula intensitas cahaya. Dan orang yang berjalan diterangi oleh cahaya lampu tersebut, dia pasti akan berjalan dengan selamat, tidak berbenturan dan tidak akan tersesat serta celaka.

kita dating dari Allah, dan akan kembali kepada Allah. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Kita tercipta karena pancaran cahay kasih sayang Allah, maka kita juga harus kembali kepadanya. Seseorang yang semakin dekat dengan Allah sebagai sumber cahaya, sumber kehidupan, maka semakin tinggilah cahaya Allah yang mamapu ia serap, semakin tinggi pula kualitas kemanusiaan dia, baik sebagai hamba atau pun sebagai khalifah. Manusia yang memepunyai kulaitas kemanusia yang tinggi, kepribadian yang unggul tidak akan menjalani kehidupan ini dengan sikap optimis, pantang menyerah dan akan berbahagia di dunia dan akhirat. Sementara orang yang jauh dari Allah, dia semakin redup cahayanya. Semakin gelap sisi kehidupannya dan rendah kualitas hidupnya, tentu saja dalam pandangan Allah dan mungkin juga dalam pandangan manusia.

Allah itu suci, qudus. Sesuatu yang suci hanya bisa didekati dengan kesucian. Kesucian itu meliputi kesucian pikiran, kesucian hati dan kesucian perbuatan. Kesucian pikiran adalah dengan cara positif thinking terhadap segala hal, berfikir jernih dan selalu mengaitkan pemikiran kita dengan bismi robbik, dengan nama Tuhan, yng kemudian berujung pada kemaslahatan umat manusia.
Hati yang suci adalah hati yang terlepas dari buruk sangka, hati yang senantiasa menerima keputusan Allah dengan tawakal, yaitu: menyerahkan segala sesuatu kepada Allah setelah kita berusaha dengan sekuat tenaga. Hati yang selalu merasa cukup atau qana’ah dengan pemberiaan Allah. Hati yang ikhlas. Hal ini dapat dilatih dengan senantiasa kita berdzikir, yaitu menyebut, mengingat, dan menghadirkan Allah dalam hati dan kehidupan kita, sehingga perilaku ita juga menjadi perilaku yang suci, perilaku yang memberi manfaat dan kebahagian kepada umat manusia, perilaku yang membahagiakan manusia. Perilaku yang demikian bisa kita peroleh dengan meninggalkan egoisme, sifat tamak, serakah, dengki dan perilaku tercela lainnya yang menjauhkan kita dari Sumber Cahaya, Allah.

Sesuatu benda yang tidak mendapatkan cahaya maka dia berada dalamd kegelapan. Kegelapan dalam al_quran diungkapkan dengan kata dzulm dari kata kerja dzalam yadzlimu. Sementara subjeknya adalah dzalim. Dalam bahasa kita, dzalim berarti perilaku aniaya. Perbuatan dzalim inilah yang menjauhkan kita dari Allah. Perbuatan dzalim sangat bermacam-macam, dan yang terberat adalah syirik.
Dalam Al-Quran Allah menjelaskan: Al-An’am ayat 82. Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.

Saat ayat tersebut turun, sahabat bertanya, ya rasul, bagaimana mungin kami tidak mencampurkan kimanan kami denagn perbiatan dzalim? Rasul menjawab: tidakkah kamu ingat nasihat Lukam Al-Hakim kepada anaknya Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar" (QS. Luqman: 13) Perbuatan dzalaim lainnya dijelaskan oleh rosulullah dalam hadistnya yaitu, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah, tanpa sebab yang dibenarkan syariat baik pembunuhan itu secara langsung ataupun tidak, semisal melalui perantara, atau dengan kebijakan yang menyengsarakan dan berujung pada kematian. Dosa besar atau perbuatan dalamin lainnya yaitu perbuatan sihir, berzina, memakan harta anak yatim, menuduh wanita baik-baik berzina. Begitu juga mengambil hak orang lain. Perbuatan dzalim ini tidak akan pernah menyampaikan manusia kepada Cahaya yang sejati, kehidupan yang secat, kasih sayang Allah, justru sebaliknya, semakin menjauhkan manusia dari-Nya. Terkecuali, manusia tersebut bertobat, menyesali meminta maaf kepada Allah dan orang-orang yang pernah didzaliminya, dan tidak mengulanginya kembali, berbuat baik kepada sesamanya. Adakah diantara kita yang kuat selamanya dalam kegelapan?

Hari-hari ini, di tanah suci, saudara-saudara kita seiman seagama sedang menunaikan panggilan Allah, melaksanakan ibadah haji. Ada yang mengibaratkan mereka selayaknya laron yang terbang mendatangi cahaya. Hanya orang-orang yang berhati suci, pikiran dan perbuatan suci, orang yang ikhlas saja yang mampu mencerap cahaya Allah dan menjadi manusia yang unggul, dan mempunyai integrasi kepribadian. Orang tersebut mampu merenungkan pengalaman Ibrahim dan merefleksikannya dalam kehidupan kesehariannya. Merekalah haji-haji yang mabrur. Semoga saudara-saudara kita termasuk kedalamnya, sehingga ketika kembali ketanah air mampu mengurai problema kehidupan yang ada.

Sementara bagi yang beribadah haji lantaran ingin menigktakan setatus sosialnya, maka tidak ada baginya kecuali kesia-siaan dan murka Allah, na’udzubillah min dzalik.

Rabu, Desember 03, 2008

Kenangan Menjadi Mahasiswa

Meski telah berselang beberapa bulan, masa-masa menjadi mahasiswa masih saja terkenang. Masa-masa sibuk dengan tugas makalah, mencari referensi, mencari bahan diskusi biar bisa dianggap sebagai intelek. Masa-masa turun ke jalan, dengan semboyan “keindahaan ada di jalanan”. Ah, semboyan itulah yang menjadikan terik matahari terasai menyegarkan, dan tatapan beribu orang dan kaca media menjadi semakin menggairahkan untuk melompat dan berteriak LAWAN PENINDASAN.

Maaf, aku tidak punya cerita indah saat menjadi mahasiswa, karena aku lebih senang sendirian daripada pacaran, karena aku lebih suka di kamar tiduran daripada kencan, karena aku lebih senang makan di angkringan ketimbang nasi padang, karena aku lebih suka yang biasa daripada yang spesial, karena aku lebih memilih ini dari pada itu, karena kita mempunyai pandangan yang berbeda tentang keindahan.

Aku juga tidak punya prestasi yang membanggakan. Masuk melalui jalur tes regular, sering telat masuk kelas, harus mengulang materi di semester berikutnya, IP yang selalu jeblok di setiap semester dan berujung pada kelulusan dengan predikat IP yang pas-pasan dan masa studi yang pas-pasan pula. Yah mungkin aku memang orang yang pas-pasan. Kuliah pas-pasan alias nanggung. Jadi aktifis pun pas-pasan juga, malah sedikit gagal, karena aku aktivis yang tidak aktif dalam memperjuangkan hak-hak rakyat. Aku hanya reponsif.

Masa mahasiswa bagiku telah berlalu. Tinggal sekarang bagiku untuk mencari hidup yang pas-pasan, karena aku adalah orang yang pas-pasan. Yah hidup yang pas-pasan adalah kalau butuh makan ya pas ada makanan, kalau pas butuh mobil ya tinggal pakai, kalau pas pingin naik haji ya tinggal berangkat. Tapi aku tidak mau sendiri lagi. Aku ingin rakyat dan orang yang pernah berteriak memperjuangkan rakyat juga hidup pas-pasan. Aku hanya ingin hidup-pas-pasan, aku tak mau kaya, karena kalau mantan aktifis kok kaya, nanti orang curiga, darima dia kaya.

Tapi apa bedanya pas-pasan seperti pengertian di atas dengan kaya? Sama saja to? Emang kita tidak boleh kaya, la wong nabi aja nyuruh kita kay kok, biar kita bisa sodakoh? Dan nabi juga tidak menyuruh kita jadi miskin, karena miskin sangat dekat dengan kekafiran. Jadi yang aku pikir yang terpenting bukan pada pas-pasan, kaya atau miskinya, tetapi pada kesederhanaan dan kemerasacukupan atau qona’ah. Jikalaupun kaya adalaha pada abagaiman distribusi kekayaan tersebut. Kesederhanaan dan qona’ah itu tadi ada kalau semua kita lakukan dengan cara yang benar dan baik alias halalan thayiban.

Tentang Jogja

Lima tahun aku di Jojgja, dan beberapa hari inilah waktu bagiku untuk memutuskan apakah aku masih tetap di Jogja atu kembali pulang ke kampung halaman. Beberapa bulan yang lalu aku telah menyelesaikan studiku alias diwisuda. Dengan demikian, tibalah saat bagiku untuk melakasanakan pengabdian kepada masyarakat. Dan aku harus memilih tetap di Jogja atu keluar dai Jogja.

Terasa berat untuk meninggalkan kota ini. Yah kota yang sangat nyaman, sesuai dengan semobayannya, Jogja Berhati Nyaman. Memang benar, dari beberapa kota yang pernah aku singgahi, kota inilah yang terasa sangat istimewa. Banyak hal yang unik di Jogja, banyak hal yang istimewa.

Meski sudah merupakan perkotaan, tradisi jogja masih sangat kental. Kehidupan kekeluargaan masih teras sangat hangat. Kehidupan saling mengayomi mengalahkan egoisme. Hal ini berbeda dengan kehidupan di beberapa kota besar yang lebih menonjolkan egoisme, individualisme ketimbang kolektivisme.

Hal lain yang tidak terdapat di daerah lain adalah suasana keilmuannya. Semboyan Jogja sebagai kota pelajar mungkin telah dipertanyaan oleh sebagain orang, namun semboyan itu saya rasa masih cukup relevan. Saya belum menemukan budaya baca sekuat dan semengakar di Jogja. Budaya melek informasi sangat dijunjung tinggi. Toko buku, perpustakaan tersebar di man-mana, dari kels dunia sampai dengan obral kaki lima. Para penjual buku itu akan mudah kita temui sampai di lorong-lorong gang kecil juga pinggir-pinggir jalan. Begitu juga penerbitan buku akan mudah kita dapati dari pusat kota sampai ke pedalaman pedesaan. Penyebaran buku merata. Dan kepedulian terhdap hal itu besar. Di perkampungn pedalaman pun sering kita dapati perpustakaan. Selain perpustakaan di kampung, sering juga terdapat papan khusus yang disediakan untuk koran.

Budaya membaca dan melek informasi juga dapat kita lihat di pinggir jalan. Para tukang becak tak segan menyisihkan peghasilannya untuk membeli koran dan membacanya saat waktu senggang di atas becaknya.. begitu juga bila kita masuk ke warung-warung makan, kita akan mendapatkan surat kabar harian di sana.

Yah, itulah sekelumit tentang jogjakarta, kota kebudayaan, meski sekarang juga telah terserang budaya komsumerisme. Banyak warung makan dan pusat perbelanjaan yang didirikan. Mahasiswa menjadi sasaran targetnya. Mahasiswa yang dulu identik dengan membeli buku, sekarang telah berganti mode, yaitu dengan membeli barang-barang konsumsi, asesoris, pakain, dan segala macamnya yang hanya berorientasi mode, gaya hidup dan life style manusia urban. Dan mereka punn lupa membeli buku. Wajar kalau kemudian memebuat makalahnya copy paste dari internet. Beberapa hari yang lalu ada satu penelitian yang menyebutkan bahwa pengeluaran mahasiwa Jogja untuk membeli pulsa lebih besar dari yang dikeluarkan untuk membeli buku. Namun tentu tidak semua begitu. Masih banyak mahasiswa yang baik, rajin baca buku, rajin diskusi, rajin kuliah, rajin aksi dan rajin berkreasi. Dan jogja masih tetap seperti yang dulu, berbudaya.

Selasa, Desember 02, 2008

Nama Jalan

mungkin selama ini kita tidak begitu memeperdulikan dengan adanya nama jalan yang terpampang di setiap jalan yang kita lewati. ketita peduli dengannya jika kita membutuhkannya saja untuk mencari alamt rumah atau sejenenisnya.

Setidaknya ada dual hikmah yang bisa kita ambil dari adanya nama jalan. pertama, sebagai tanda. dengan adanya nama jalan, akan memudahkan kita dalam mencari alamat rumah atau instansi tertentu. inilah fungsi nama jalan sebagai tanda. Dia menandai keberadaan dia dan posisi dia. Dengan demikian, kita tidak akan tersesat atau salah alamat.

kedua, secara filosofis, pemberian anama jalan adalah satu anjuran bagi kita untuk menempuh jalan sesuaui dengan namanya. sebagai conoth, kita melalaui jalan Pangeran Diponegoro, maka kita dianjurkan untuk mengikuti jalan hidup pangeran Diponogoro. atau kita melewati jalan KH. Ahmad Dahlan, maka di situ kita untuk memepelajari ajaran dan laku hidup KH Ahmad Dahlan, agar kita selamat dalam menempuh hidup ini.