SCRIPTA MANENT VERBA VOLANT

(yang tertulis akan tetap mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin)

Rumahku Surgaku

Rumah bukan hanya tempat berteduh dari sengat matahari dan derasnya hujan, tetapi ia juga tempat bertumbuh rasa kasih sayang, tempat kembali bersama kehangatan keluarga.

Allah Maha Pemurah

Burung yang keluar dari sangkarnya dengan perut kosong, akan kembali di sore hari dengan perut kenyang. Sungguh Allah Maha Pemuerah kepada semua makhluk-Nya.

Di Atas Langit Masih Ada Langit

Langit hanyalah batas dari ketidakmampuan pandangan mata kita, namun akanl dan iman kita akan selalu mengatakan bahwa masih ada langit di atas langit yang kita lihat.

Jalan Hidup

Jalan hidup tak selamanya datar. kadang ia menaik-turun, berliku dan terjal. Hanya pribadi yang kuatlah yang mampu menempuh jalan itu.

Lebah

Ia hanya makan dari sesuatu yang bersih dan bergizi sehingga ia menghasilkan sesuatu yang bersih dan bergizi pula. ia tak pernah merusak saat mencari makan. ia ada untuk bermanfaat.

Selasa, November 16, 2010

Sembelihlah 'Anakmu'

“Sembelihlah anakmu,” kata Tuhan.

“Tuhan, bukankah anak adalah anugerah-Mu? Aku telah memelihara dan membesarkannya tak lain karena ketaatanku kepada-Mu.”

“Oleh karena itu, sembelihlah ia karena ketaatanmu kepada-Ku” kata Tuhan lagi.

“Tuhan ia adalah Qurratu ‘aini, buah hati hamba. Bagaimana mungkin aku menyembelih yang aku sayangi…”

“Adakah yang lebih kau sayangi dari pada Aku?”Tanya Tuhan.

“Tentu Engkau di atas segalanya,Tuhan.”

“Kalau begitu, sembelihlah ia karena kecintaanmu kepada-Ku.” Perintah Tuhan.

“Tuhan bila Engkau izinkan, biarlah aku menyembelih domba sebagai ganti anakku, sebagaimana Engkau mengganti Ismail dengan domba saat Ibrahim hendak meyembelihnya.”

“Apakah kamu merasa sederajat dengan Ibrahim. Dia adalah khalili, teman-Ku, orang yang sangat dekat dengan-Ku. Kalau kamu tak mampu menyembelih anakmu, maka sembelihlah dirimu!” kata Tuhan.

“Tuhan, begitu kotor diri ini, begitu banyak dosa yang telah aku perbuat, begitu banyak hak anak Adam yang telah aku ambil. Dalam keadaan demikian, bagaimanakelak aku mempertanggungjawabkannya di hadapan-Mu. Layakkah aku kembali padamu dalam keadaan penuh dosa. Tuhan, tangguhkanlah sejenak kepulanganku kepada-Mu, niscaya akan aku perbaiki diri ini.” Pohonnya.

“Kalau begitu, sembelihlah anak yang ada dalam dirimu,anak yang berupa kecintaan yang berlebihan pada dunia, anak yang berupa rasa memiliki yang akna mengantarkanmu pada keinginan untuk menguasai, yang kemudian akan melahirkan ketamakan, oba, serakah, yang semua itu akan membawamu pada perbuatan aniaya.”



Selamat menyembelih “anak” dalam diri kita masing-masing. SELAMAT HARI RAYA IDUL ADHA

Sabtu, November 13, 2010

Kehadiranmu

kehadiranmu meninggalkan luka di sini
dalam diri ini
entah mengapa aku merasa begitu perih
adakah ini serpihan dari bongkahan rasa yang lama terpendam

waktu telah membawa kita pada dunia yang berbeda
jarak telah menyekat ruang berada kita
setiap langkah telah menjadikan kita yang berbeda
aku bukan aku, dan kamu bukan kamu
sebagaimana kita pernah bersama dulu

namun,
ternyata waktu tak bisa membunuh rindu
masa tak mampu menghapus rasa
ia tetap menyala, membara

hujan yang masih turun di bulan Juni
berhenti oleh hadirmu
karena engkau membawa senyum cerah mentari
yang menyinari setiap tempat
yang pernah kita lewati dengan berjalan kaki
tapi, entah mengapa
senyum itu kini menyayat bagai sembilu

kalaupun waktu tak mampu menghapus bayang senyum itu
biarlah waktu membunuh ada-ku.

25062010

Kamis, November 04, 2010

Sayembara Penulisan Naskah Buku Pengayaan Tahun 2011

Dalam rangka meningkatkan jumlah dan mutu buku-buku pengayaan untuk peserta didik dan meningkatkan motivasi menulis di kalangan pendidik dan tenaga kependidikan, Pusat Perbukuan Kementerian Pendidikan Nasional akan menyelenggarakan Sayembara Penulisan Naskah Buku Pengayaan Tahun 2011 dengan total hadiah Rp1.080.000.000,00 (satu miliar delapan puluh juta rupiah).

TEMA PENULISAN
“Membangun manusia Indonesia yang religius, cerdas, bermartabat, mandiri, dan kompetitif di era global dalam rangka pengembangan budaya dan karakter bangsa bagi peserta didik.”

NASKAH YANG DISAYEMBARAKAN
Naskah yang disayembarakan adalah naskah buku pengayaan, yaitu buku yang memuat materi yang dapat memperkaya dan meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan keterampilan, serta membentuk kepribadian peserta didik untuk jenjang pendidikan SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA/SMK/MAK.

PESERTA

Sayembara ini terbuka bagi para pendidik (berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan) dan tenaga kependidikan (pengelola satuan pendidikan, penilik, pengawas, peneliti, pengembang, pustakawan, laboran, dan teknisi sumber belajar) pada pendidikan formal maupun nonformal, baik yang masih aktif maupun sudah pensiun. Peserta adalah perorangan, bukan tim.

BATAS PENGIRIMAN NASKAH
Naskah dikirim paling lambat tanggal 1 Maret 2011 (stempel pos) kepada:

Panitia Sayembara Penulisan Naskah Buku Pengayaan Tahun 2010
Pusat Perbukuan Kementerian Pendidikan Nasional
Jln. Gunung Sahari Raya No. 4 Jakarta 10002

HADIAH (Per Jenis Naskah) untuk 54 naskah pemenang:

1. Pemenang I : Rp 21.000.000,00
2. Pemenang II : Rp 20.000.000,00
3. Pemenang III : Rp 19.000.000,00
Hadiah dikenai PPh 15%.

PERSYARATAN

1. Naskah yang diajukan adalah:
a. karya asli,
b. tidak berseri,
c. tidak sedang diikutsertakan pada sayembara lain sebagian ataupun seluruhnya,
d. belum pernah menjadi pemenang sebagian ataupun seluruhnya dalam sayembara mana pun, dan
e. belum pernah diterbitkan sebagian ataupun seluruhnya.

Persyaratan di atas harus dituangkan dalam surat pernyataan yang ditandatangani di atas materai Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah) oleh penulis naskah.

2. Melampirkan surat keterangan masih aktif bekerja dari lembaga pendidikan tempat bekerja atau fotokopi SK terkini atau fotokopi SK pensiun.

3. Melampirkan biodata yang ditandatangani oleh penulis naskah.

4. Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

5. Naskah diberi identitas, yakni:
a. judul naskah,
b. jenis naskah
c. peruntukan (peserta didik SD/MI, SMP/MTs, atau SMA/MA/SMK/MAK).

6. Keterampilan vokasional meliputi:
a. kerajinan kriya,
b. teknologi rekayasa,
c. teknologi pengolahan, dan
d. teknologi budidaya.

7. Naskah diketik dengan komputer dan dicetak (print out) pada kertas A4, 2 spasi, ukuran font 12, jenis huruf arial, times new roman, atau tahoma, minimal 20 baris tiap halaman, batas margin tepi kertas 3 cm. Jumlah halaman isi (di luar halaman pendahulu/awal dan bagian belakang naskah): SD/MI: 60 s.d. 100 halaman, SMP/MTs.: 80 s.d. 150 halaman, SMA/MA/SMK/MAK: 100 s.d. 200 halaman. Khusus untuk puisi tidak terikat pada ketentuan jumlah baris dan batas margin tiap halaman.

8. Jika menggunakan gambar; ukuran dan jumlah harus proporsional, terintegrasi dengan teks, dan mendukung materi. Semua kutipan, foto, dan ilustrasi harus menyebutkan sumbernya.

9. Daftar pustaka wajib dibuat untuk pengayaan pengetahuan dan keterampilan.

10. Naskah buku pengayaan bukan termasuk buku pelajaran. Oleh karena itu, materi naskah buku pengayaan tidak dilengkapi dengan alat evaluasi dalam bentuk pertanyaan, tes, LKS, atau bentuk lainnya.

KETENTUAN PENGAJUAN NASKAH

Isi naskah tidak bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, ketentuan dan peraturan perundangan yang berlaku, tidak bias gender, serta tidak menimbulkan masalah SARA.
Naskah dikirim berupa ketikan asli dan dijilid rapi (bukan fotokopi atau dummy).
Setiap calon peserta hanya diperbolehkan mengirimkan satu (1) judul naskah.
PENJELASAN

Naskah yang dikirim ke Panitia menjadi milik Panitia dan tidak dikembalikan.
Hasil keputusan Dewan Juri Sayembara tidak dapat diganggu gugat.
Pengumuman dan pemberian hadiah kepada pemenang akan dilaksanakan pada peringatan Hari Buku Nasional tahun 2011. Para calon pemenang Sayembara akan diundang ke Jakarta untuk mengikuti wawancara dan menghadiri pengumuman pemenang. Calon pemenang yang tidak dapat mengikuti wawancara dianggap mengundurkan diri.


Pemegang hak cipta (hak ekonomi) naskah pemenang Sayembara berada pada Pusat Perbukuan Kementerian Pendidikan Nasional.


Informasi lebih lanjut tentang Sayembara dapat menghubungi Pusat Perbukuan Kementerian Pendidikan Nasional, Telepon (021) 3804248, Pesawat 275, Faks. (021) 3458151, 3806229, email: bangnas_pusbuk@yahoo.com This e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it , serta melalui Situs Internet Pusat Perbukuan dengan alamat www.pusbuk.or.id.

Rabu, Oktober 06, 2010

Ada Seseorang di Kepalaku yang Bukan Aku

ada seseorang di kepalaku yang bukan aku
dia menyuruhku berjalan,
namun tak pernah ia menunjuk arah
dia menyuruhku berbicara
namun tak pernah ia memberi makna
dia menyuruhku bernyanyi
namun tak pernah ia memberi nada

ingin aku menolak, ingin akan membantah
namun ia laksana magi yang membuatku lupa diri

inginku membunuhnya, mencincangnya
namun aku takut
aku turut mati bersamanya

aku pun berjalan tanpa arah
berbicara tanpa makna
bernyanyi tanpa nada

Senin, Juni 28, 2010

Terminal

Terminal adalah tempat pemberhentian
Dari berbagai entah orang datang
Di terminal mereka berhenti
Tiada lama, karena kemudian mereka bertolak lagi
Ke titik yang masing-masing tuju

Di terminal orang gelisah
Kapan kiranya bus datang
Di terminal orang gelisah
Kapan roda bergerak
Menghalau bus meninggalkan riuh

Di terminal orang tak ingin lama
Karena ia bukun tujuan
Karena ia
Hanya pemberhentian sementara

Rajabasa, 28-06-2011

Selasa, Mei 25, 2010

Kafir

Apa yang dimaksud dengan kafir sehingga Allah membenci golongan tersebut? Istilah “kafir” berasal dari kata kafara كفر - يكفر كفرا-yang artinya menutupi. Sehingga orang kafir sebenarnya adalah orang yang menutupi atau tertutupi. Apa yang tertutupi? Hatinya. Orang-orang kafir adalah orang-orang yangntertutupi hainya sehingga dia tidak bisa melihat keindahan dan keagungan Allah SWT. Dia tidak bisa menembus pada hakikat ke-Allah-an. Dengan demikian golongan ini tidak tertarik dengan keindahan Allah dan tidak ada keinginan untuk mendekat kepada Allah. Maka orang-orang selalu jauh dari Allah SWT.

Sesuatu yang menghangi seseorang dari Sesutu sering disebut sebagai hijab. Orang yang terhijab tidak mengetahui apa sebenarnya yang ada di balik hijab tersebut sampai kemudia dia menyingkapkan hijabnya. Orang jauh dari Allah karena dia terhijab. Apa yang menghijabinya? Tidak lain adalah hawa nafsu dan cinta dunia.

Pada dasarnya, setiap manusi yang lahir di dunia ini telah membawa fitrah ketuhanan. Dia telah dikarunia satu “fakultas” dalam dirinya untuk mengenal Allah. Dalam artian, sejak manusia dilahirkan dia telah membawa kepercayaan dalam dirinya, tetapi sifatnya masih berupa firtah atau potensi. Adanya fitrah ini setidaknya dapat dilihat dari tiga hal. Pertama bahwa Allah adalah Esa, semua selain dia adalah makhluk atau yang dicipta. Dalam mencipta, tentu tidak lain adalah dari diri Dia sendiri, sehingga semua makhluk tidak lain adalah cerminan dari Allah sendiri. Kedua, Allah berfirman bahwa ketika menciptakan manusia, Allah meniupkan ruh-Nya kepada manusia, sehingga ruh manusia tidak lain adalah bagian dari ruh Tuhan. Ketiga, ketika di alam ruh, manusia telah mengambil kesaksian bahwa Allah adalah Tuhannya, Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, pada dasarnya manusia telah terikat dengan sumpah primordialnya.

Namun sebagai suatu yang potensial, dia bisa tumbuh dan berkembang, atau sirna tertimbun berbagai hal. Dan hal-hal yang menghijabnya tadi adalah hubbub dunnya wa karahiyatul maut.
Dalam keterangan lain dijelaskan bahwa orang-orang kafir ini adalah orang yang sudah dikunci hatinya oleh Allah, pendengaran dan juga pengelihatannya. Sebagaimana firman Allah:

Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman (6). Allah Telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup dan bagi mereka siksa yang amat berat. (al-Baqarah [2] : 6-7).

Dalam kehidupan manusia sehari-hari, pendengaran dan pengelihatan manusia mempunayai peran yang sangat vital. Orang bisa menjadi menderita karena mempunyai mata namun tidak bisa melihat atau buta, namun masih bersyukurlah dia bila pendengarannya masih berfungsi dengan baik. Dengan pendengaran tersebut, seorang yang buta masih bisa mengenali alam sekelilingnya. Dia masih bisa menangkap gerakan-gerakan yang ada di sekitar dirinya. Selain itu, dia masih mempunyai hati untuk membimbing dirinya. Hati yang “hidup” akan sangat sensitive dengan aktifitas yang ada di dektanya, bahkan jarak yang jauh dari dirinya. Namun, bisa dibayangkna, apabila ada seseorang yang tidak bisa melihat (buta), tidak bisa mendengar (tuli) sekaligus hatiya “mati”. Alangkah menderitanya keadaan orang tersebut. Dan demikian iulah gambaran orang-orang kafir.

Sama halnya dengan orang buta dan tuli seklaigus hatinya “mati” yang berjalan di tepian jurang, lalu engkau meneriakinya dengan sekuat tenagamu agar orang tersebut tidak masuk ke jurang, maka yang terjadi orang tersebut tidak aakn mendengarkan panggilanmu. Demikianlah sikap orang-orang kafir, meskipun engaku telah berusaha sekuat tenaga utnuk menyampaikan pesan Tuhan, baik dengan kata dan perbuatan, mereka tidak akan menghirakuannya, apalagi menanggapinya, karena mereka tidak bisa melihat dan mendengar pesamnu dari Tuhanmu tersebut.

Dalam tafsir al-Misbah, Qurais Shihhab menguraiakn lima bentuk kekufuran pertama yaitu kufur akan keberadaan Allah SWT, golongan ini menginngkari akan adanya pencipta alam semesta ini. Kedua, orang yang mengeahui kebenaran tetapi menolaknya, antara lain diesbabkan oleh kebencian kepada pembawa kebenaran tersebut. Ketiga, kufur ni’mah ( كفر نعمة) yaitu tidak mensyukuri nikmat allah yang telah diberikan kepadan-Nya, sebagaimana firman Allah: “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS. Ibrahim [14]: 7). Keempat kefur dengan meningggalkan atau tidak mengerjakan tuntunan agama, kendati tetap percaya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT: “Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan kafir (ingkar) terhadap sebahagian yang lain?” (QS. Al-Baqarah [2]: 85) dan yang kelima adalah kufur bara’ah yaitu tidak merestui dan berlepas diri, seperti ucapan nabi Ibrahim kepada kaumnya: “Sesungguhnya kami kafir (berlepas diri) daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja” (QS. al-Mumtahanah [60]: 4)

Rabu, Mei 19, 2010

Keadilan

Apabila kita mengikuti perkembangan pemberitaan media massa akhir-akhir ini, kita akn merasakan bahwa, sungguh apa yang disebut sebagai keadilan itu tidak lain adalah sesuatu yang utopis, jauh dari realitas, mimpi siang bolong. Dia begitu sering dibicarakan, ditulis, idiskusikan, diseminarakna di Koran, ruang seminar, televise, namun dia tetap tearasa begitu jauh. Konon, kita hidup di negeri yang menganut demokrasi dimana salah satu pilar pilar pentingnya adalah keadilan, namun itu haya menjadi konsep. Konon, kita hidup di negera hokum yang menjunjung tinggi keadilan, kenyataannya keadilan hanya dijadikan sebagai alas kaki meja saja. Hokum di negeri kita ini bak pisau bermata dua, tajam memotong orang-orang yang lemah, miskin, terpinggirkan, namun begitu tumpul di hadapan para konglomerat, pengusaha dan penguasa.

Dari segi ekonominya, negeri ini konon menganut ekonomi pancasila, ekonomi kerakyatan, namun kenyataannya kemakmuran hanya menjadi milik segelintir orang. Kekayaan Negara yang begitu melimpah hanya dinikmati oleh beberapa keluarga, sementara ratusan jiwa lainnya hidup dari mengais “sisa-sisa” segelintir orang tersebut. Otonomi daerah ternya baru memberikan desentralisi kekuasaaan, bukan desentralisasi kesejahteraan. Pendidikan, kesahatan dan kesejahteraan social hanya bias diakses oleh mereka yang kaya dan berkuasa. Lalu kemana larinya jargon-jargon keadilan tersebut?
Agama-agama samawi yang diturunkan Allah SWt sejak Nabi Adam AS hingga Nabi Muhammad SAW memilik visi yang sama, yaitu menyeru manusia kepada tauhid, yaitu mengesakan Allah SWT, dan satu lagi yaitu keadilan sosial. Hal ersebut bisa dirunut dalam sejarah para utusan Allah tersebut. Sebagai contoh, bagaimana Nabi Musa AS selain menyeru Bani Isail unutk meriman kepada kepada keesaan Allah juga menyerukan untuk berbuat adal. Dia dihadapakan pada Fiar’aun, raja yang menganggap dirinya sebagai tuhan dan berlaku sewenang-wenang kepada siapa pun yang menentangnya. Begitu juga musa dihadapkan dengan Qarun, seorang yang semula miskin lalu oleh Allah diberi kekayaan, namun ia kemudian lupa diri. Qarun kemudian menjadi orang kaya yang bakhil yang tidak memedulikan nasib orang lain.
Sama halnya dengan Nabi Musa, Ibrahim As juga dihadapkan kepada raja yang memimpin dengan sewenang-wenang. Isa AS yang menyeru pad Bani Israil juga harus berhadapan dnegan orang-orang akya yang bakhil, para saudagar-saudagar yang menimbun harta, tidak memedulikan kaum miskin. Dalm lembar sejarah tercataat bagaiman Isa menentang kesewang-wenangan tersebut, dia hidup bersama orang-orang miskin, mengajari mereka ketauhidan, kasih saying dan keadilan.
Nabi Muahmmad SAW adalah pejuang keadilan sejati. Dia dilahirkan di negeri yang dipenuhi dengan tribalisme, siapa yang kuat dialah yang menang dan menguasai sumber-sumber ekonmi, atau dalam arti lain merekalah yang hidup makmur. Wanita saat itu menjadi makhluk kasta terendah, sehingga tidak jarang bapak yang membunuh dengan anak perempuannya dengan menguburnya hidup-hidup. Pada masanya pula, perbudakan meraja lela. Orang yang menjadi budak sama sekali tidak memiliki kemerdekaan, bahkan terhadap dirinya sendiri. Muhammad SAW diutus, selain untuk menyer kepada pengesaan Allah, juga untuk menyeru pada keadilan. Dia berdakwah dan berjuang melawan ketimpangan sosial yang ada di masyarakatnya, berjuang untuk persamaan hak sebagai mansusia, entah itu laki-laki atau perempuan. Berjuang menghapuskan praktik penindasan terhadap anak-anak perempuan dan para budak, sehingga wajar saja jika pengikut-pengikut awalnya adal dari dua golongan ini.
Begitu penting makna keadilan dalam Islam, sehingga dia diletakkan dalam visi kenabian dan kerasulan, berdampingan dengan ketauhidan. Lalu apa hakikiat keadilan itu sehingga dia layak dan mesti diperjuangkan? Sedemikian pentingkah keadilan dalam kehidupan manusia, sehingga Allah mencintai keadilan dan orang-orang yang berbuat adil?
Dalam al-Quran Allah berfirman:

Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil. (al-Maidah [5]: 42)

Dalam Al-Quran kata “adil” atau “keadilan” diungkapkan dengan beberpa kata, diantaranya ‘adl .(عدل) Kata ini juga menjadi salah satu asmaul husna (nama-nama yang baik bagi Allah). Adapun kata lain yang sering digunakan di dalam al-Quran adalah qisth (قسط) sebagaimana nampak pada ayat di atas.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adil memiliki arti…….
Menururt Murtadha Muthahhari, “keadilan” digunakan dalam empat hal, yaitu:
1. Keseimbangan
Keadilan di sini berarti keadaan yang seimbang. Semisal kita membeli beras di suatu warung dan menimbangnya, maka timbangan tersebut haeuslah seimbang. Atau sebagai missal kita membagi dua hasil bururan kita, maka dia harus dibagi denan cara seimabng.
2. Persamaan dan nondiskriminasi
3. Pemberian hak kepada yang pihak yang berhak
4. Pelimpahan wujud berdasarkan tingkat kelayakan.

Kamis, April 29, 2010

Takwa

Kehidupan di dunia ini adalah pengembaraan. Dia bukanlah awal dan juga bukan akhir. Bukan awal dikarenakan pada hakikatnya kita pernah mengalami satu kehidupan sebelum di dunia ini, yaitu kehidupan di alam rahim. Kehidupan di alam rahim ini secara umum lebih pendek dari kehidupan di dunia ini. Namun sebelum di alam rahim, kita juga pernah mengalami kehidupan di alam ruh. Terkait lamanya kehidupan di alam ruh ini, tak seorang pun mengetahuinya. Tentu, karena alam ini lepas dari dimensi ruang dan watu. Dengan demikian, nanti, esok atau lusa, kita akan meninggalkan dunia ini menuju pada satu kehidupan yang lain lagi, dunia yang lain lagi. Dan selanjutnya kita akan kembali kepada yang menciptakan kita, Allah ‘aza wa jalla.

Pada hakikatnya semua manusia akan “mudik”, pulang kampung halaman, berkumpul kembali dengan Kekasihnya. Ke mana lagi kalau bukan kepada yang dengan sinar kasih-Nya telah menciptakan kita? Bukankah hidup ini adalah sebuah perantauan? Bukankah kita ini hanyalah para musafir? Dan musafir pastilah dia tidak akan tinggal lama di persinggahan, dia akan segera berkemas dan berjalan kembali ke tempat tujuan akhirnya? Sebagai orang yang akan mudik sudahkah kita menyiapkan bekal untuk mudik? Sudahkah kita punya ongkos? Sudahkah kita membeli tiket? Sudahkan kita menyediakan oleh-oleh untuk yang kita cintai? Jika kita mudik ke kampung halaman, yang kita bawa biasanya adalah pakaian dan makanan. Ketika kita mudik kepada Allah, apa yang akan kita bawa? Apa yang akan kita persembahkan?
Dalam surat Al-baqarah 197 Allah berfirman:

Berbekallah, dan Sesungguhnya Sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal.

Sebenarnya, ayat tersebut berbicara dalam konteks ibadah haji, namun saya kira juga relevan kalau kita tarik pada ranah kehidupan yang lebih luas. Dalam ayat di atas, Allah menyerukan kepada hamba-Nya untuk membekali diri dengan takwa. Dalam ayat lain dikatakan libasu at-taqwa khair, pakaian takwa iitu adalah pakaian yang terbaik jadi kita harus mudik dengan membawa bekal dan pakaian takwa.Apa takwa itu?
Takwa, umunya didefinisikan dengan menjalankan segala perintah Allah dan meninggalkan segala apa yang dilarang-Nya. Takwa adalah sebauh kulitas kepribadian yang harus dicapai seorang muslim. Bahkan Islam mewanti-wanti umatnya agar jangan sampai di antara mereka ada yang mati tanpa bekal takwa. Takwa menjadi buah seluruh ibadah mahdlah dalam Islam, dari shalat, zakat, puasa dan naik haji, tujuan akhirnya adalah untuk mencapai derajat atau kualitas takwa.
Takwa haruslah menjadi asas bagi bangunan yang kita dirikikan. Hal ini tersirat dalam QS. at-Taubah [9]: 108 yang menceritakan tentang pendirian Masjid Dlirar, yaitu masjid yang didirikan oleh orang-orang munafik untuk memecah belah umat Islam, kemudian Allah berfirman :
Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguh- nya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa, sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. dan Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih. (QS. At-Taubah [9]: 108).

Bangunan di sini bukan hanya berarti bangunan fisik, tetapi mencakup seluruh bangunan hidup kita. Dalam artian, apa pun yang kita lakukan di dunia ini haruslah dilandasi oleh takwa, yaitu bahwa esegala sesuatu tidak diniatkan kecuali untuk menggapai ridha Allah swt. Bukan untuk kepentingan sesaat, kepentingan pragmatis, aau hanya untuk memenuhi hawa nafsu semata. Dan untuk mencapai keridhaan tersebut hanya akan mungkin bila kita menjalankani kehidupan ini seseuai dengan kehendak-Nya.

Ketakwaan adalah sesuatu yang bersifat rohani. Rasulullah saw. bersabada “ at-taqwa hahuna” Takwa itu di sini, sembari menunujuk ke arah dadanya. Jadi, dia berada dalam diri yang terdalam manusia. Namun demikian, sebagaimana halnya muiara, ketakwaan yang ada di dalam dada ini kemudian memancar keluar dalam bentuk perbuatan dan sikap hidup, sehingga ketakwaan seseorang akan tercermin dari bagaimana di menjalani hidup ini.

Allah swt kemudian merinci ciri-ciri orang yang bertakwa. Dalam surat Al-Baqarah ayat 3-5 Allah menjelaskan orang yang bertakwa adalah orang yang 1) beriman kepada yang ghaib, 2) mendirikan shalat, 3) menafkahkan sebagian hartanya di jalan Allah, 4) beriman kepada apa yang duturunkan kepada Muhammad SAW (al-Quran) dan nabi-nabi sebelumnya, dan 5) beriman kepada hari akhir. Dari beberapa poin tersebut, takwa sikaitakn dengan iman. Iman kepada yang ghaib, yaitu Allah, malaikat, dan jin. Iman terhadap hal-hal tersebut berarti mengakui keberadaanya, meskipun tidak tampak secara kasat. Iman kepada Allah memberikan konsekwensi bagi kita untuk menjalankan perintahnya dan meninggalkan larangnnya. Iman kepada-Nya juga mengharuskan kita sadar bahwa segala tindak tanduk kita tidak mungkin luput dari pengawasan-Nya. Sehingga dalam ibdah kita dianjurkan “beribadahlah kamu seakan-akan kamu melihat Allah, seandainya pun kamu tidak melihat-Nya, niscaya Allah melihatmu”. Orang melakukan kejahatan dan kecurangan seirngkali karena merasa tidak ada orang yang melihat dan mengawasi dirinya, sehingga dia bebas berbuat semaunya, namun dia lupa bahwa Gusti ora sare, Allah itu tidak tidur. Dia mengetahui apa yang terjadi di langit dan di bumi.
Dalam ayat lain, yaitu surat Ali Imran 133-135 Allah menjelaskan ciri-ciri lain dari orang yang bertakwa, yaitu:

134. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. 135. dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau Menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.

Dari ayat tersebut, setidaknya ada empat cirri orang bertakwa, yaitu: 1) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, 2) orang-orang yang menahan amarahnya, 3) mema'afkan (kesalahan) orang, 4) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka serta tidak meneruskan dan mengulangi perbuatan kerji tersebut.
Apabila dalam surat Al-Baqarah 2-5 tadi sebagian besar mengaitkan ketakwan dengan keberimana, itu berarti takwa ditarik ke dalam dimension internal diri manusia, maka pada ayat-ayat di Surat Ali Imran di atas mengaitkan takwa dengan prilaku sosial. Sama dengan pada surat Al-Baqarah ayat 2, dalam hal ini menginfakkan sebagian harta kita kepada fakir miskin adalah ciri dari orang-orang yang bertakwa. Selain itu orang bertakwa adalah orang yang mau berlapang hati, bukan hanya untuk tidak marah, tetapi juga memberikan maaf kepada orang lain. Bisa jadi jika ada orang lain memojokkan kita, kita tidak akan marah, karena secara power kita tidak lebih kuat dari dia. Namun seringkali, meski tidak marah, ada orang yang masih mendendam, dan mencari kesempatan untuk membalas, atau minimal akan merasa puas dan bahagia apabila orang yang memojokkan tadi terpojook, meski bukan oleh orang itu sendiri. Sesuai ayat di atas, ini bukanlah sifat orang bertakwa. Hal ini ipertegas lagi, “apabila engkau memberi maaf, sungguh yang demikian itu lebih dekat kepada ketakwaan (QS. Al-Baqarah [2]: 237).

Orang bertakwa bukanlah orang yang tidak pernah melakukan kesalahan, tetapi orang yang apabila melakukan kesalahan dia segera sadar, bertobat, memohon ampun kepada Allah, lalui melakukan perbuatan baik untuk menutupi keburukkannya itu. Ini sesuai perintah Rasulullah SAW, ittaqillaha haitsu ma kunta, wattabi’s as-sayiata hasanata tamhuha, bertakwalah kepada Allah di mana saja, dan ikutilah perbuatan burukmu dengan perbuatan baik yang akan menghapus perbuatan buruk tersebut. Apabila perbuatan buruk kita bersangkutan dengan hak-hak anak Adam, maka hak-hak tersebut haruslah ditunaikan terlebih dahulu.

Dalam ayat lain Allah menjelaskan, orang yang bertakwa adalah mereka di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan, mereka sedikit sekali tidur di waktu malam, selalu memohonkan ampunan di waktu pagi sebelum fajar dan memberikan sebagaian harta mereka untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian (Ad-Dzariat 16-19). Ketakwaan, selain dikaitakan dengan berinfak, dalam ayat tersebut di atas juga dikaitkan dengan bangun malam.

Begitu dahsyatnya bangun malam (qiyamu al-lail), sehingga dia menjadi ciri-ciri orang yang bertakwa. dalam surat Al-Muzammil Allah memerintahkan untuk bangun bangun malam, mengisinya dengan shalat, membaca Al-Quran dan berdzikir, meskipun hanya sejenak. Begitulah yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabat, terlebih-lebih pada malam-malam bulan ramadhan, di mana segala amalan ibadah di dalamnya akan dilipatgandakan pahalanya. Bangun malam merupakan rahasia dari kesukessan dakwah Nabi Muhammad saw. Bahkan menurut satu riwayat, karena seringnya shalat malam, kaki Nabi sampai bengkak-bengkak. Setiap kali shalat malam, selalu sja beliau menangis. Melihat itu, Aisyah bertanya ”Ya Rasulullah s.a.w., mengapa engkau menangis. Bukankah engkau maksum, dan Allah s.w.t. telah berjanji mengampuni segala dosamu, baik yang akan datang maupun yang telah lalu?” Jawab nabi saw., ”Apakah tidak sepatutnya saya menjadi hambaNya yang bersyukur?” Rasulullah selanjutnya bersabda, ”Mengapa saya tidak berbuat seperti ini, padahal Allah s.w.t. telah berfirman:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambi tentang penciptaan berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan angit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka kami peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. Ali ’Imran [3]: 190-191).

Hal lain yang menjadi ciri orang bertakwa, sehingga Allah menintai golongan ini, adalah mau menempati janji. Allah berfirman,

(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertakwa, Maka Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa. (QS. Ali ‘Imran [3]: 76).

Dalam ayat lain Allah berfirman:

Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah Mengadakan Perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, Maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa. (QS. At-Taubah [9]: 4).

Dan juga firman Allah swt:

Bagaimana bisa ada Perjanjian (aman) dari sisi Allah dan RasulNya dengan orang-orang musyrikin, kecuali orang-orang yang kamu telah Mengadakan Perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjidilharaam? Maka selama mereka Berlaku Lurus terhadapmu, hendaklah kamu Berlaku Lurus (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa. (QS. At-Taubah [9]: 7)

Implikasi Takwa
Takwa adalah kualitas diri seseorang. Sikap yang konsisten untuk menjaga diri dari hal-hal yang menyebabkan datangnya kemurkaan Allah dengan menjalankna perintah-perintahnya ini, tentu akan mempunyai impliksi dalam kehidupan seseorang. Selayaknya fondasi sebuah bangunan, dia tidak hanya memperkokoh tegaknya bangunan, tetapi juga dia menjadi bagian integral yang mempengaruhi bentuk bangunan. Dalma artian bangunan tersebut akan menurut bentuk fondasinya. Dalam hal ini, ketakwaan akan mewarnai sikap dan laku seseorang, karena tingkah laku seseorang adalah cerminan dari apa yang ada di dalam dirinya.
Orang yang bertakwa akan selalu mengingat Allah. Allah swt akan selalu dihadirkan dalam setiap gerak-geriknya. Allah swt. selalu hadir dalam setiap tarikan nafasnya. dengan demikian, dia akan merasa bahwa Allah selalu mengawasinya. Maka dia akan melakukan hal yang terbaik selayaknya anak buah yang bekerja dan diawasi oleh atasannya. Bahakan lebih dari itu, karena yang mengawasi ini bukan hanya bos yang membayar kita, tetapi Dialah yang telah meciptakan dan menghidupkan kita.

Orang yang selalu menghadirkan Allah dalam setiap kehidupannya, maka Allah pun menghadirkan ornag tersebut dalam rahmatnya. Allah mencintai orang tersebut karena dia juga mencintai Allah. Sebagaiman digambarkan oleh Rasulullah saw, apabila engkau berjalan satu langkah menuju Allah, maka Allah seribu langkah mendekat kepadamu. Allah sangat dekat dengan yang dicintainya, sehingga wajar bila kemudian Dia berfirman,
Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. (QS. Ath-thalaq [56]: 2-3).

Selasa, April 20, 2010

Belum Punya Judul

Kembali Rani mencoba untuk memejamkan mata. Tubuhnya mulai terasa pegal, lelah. Namun tak jua matanya bisa terpejam. Keringat mulai membasahi punggungnya. Meski udara di luar dingin, tidak demikian dengan di dalam. Sumpek, panas. Dilihatnya jam weaker yang duduk di atas kardus di sebeleh tempat dia berbaring. 01.15. sudah lebih dari tiga jam dia berbaring di tempat itu, namun tak bisa juga sedikitpun terlelap. Dilihatnya Ibu dan Naila, adiknya yang berbaring di samping kirinya. Pulas sekali adiknya itu. Lelah bermain, mungkin. Pun demikian dengan ibunya. Kelelahan nampak membayang di wajah wanita yang telah melahirkannya itu. Pastilah sesiang tadi dia telah bekerja keras membantu ayahnya membersihkan rumah.

Dua minggu yang lalu warga kampungnya dihebohkan oleh sebuah peristiwa. Waktu itu rani baru saja turun dari bus kota, pulang dari sekolah. Dia berlari kecil, sembari tangannya di atas kepala menghindari hujan yang mulai turun rintik-rintik. Dia harus bergegas tiba di rumah. Langit telah tertutup oleh awan hitam kelam. Tak lama berselang pasti akan turun hujan yang sangat lebat.
Dugaan Rani tidak meleset. Belum juga dia memasuki gang yang menuju ke arah rumahnya, bintikan air itu membesar dan semakin kerap. Angin yang sedari tadi bertiup membelai mesra, perlahan tapi pasti, berubah menjadi kencang, menjatuhkan daun-daun kering dari pohon yang berdiri kokoh di pinggir jalan. Angin semakin kencang, hujan semakin deras, seperti baru saja ditumpahkan dari lautan. Kedua mata Rani mulai terasa pedas oleh terpaan angin dan air hujan. Namun dari mata yang mulai memerah itu Rani masih bisa melihat sesuatu yang ganjil. Gulungan awan hitam berputar-putar tidak jauh dari tempat dia berdiri, berjalan menjauh. Semakin lama semakin kencang putaran itu,diiringi kilatan petir menyambar-nyambar. Gumpalan awan itu turun mencapai tanah, berputar kencang, menerjang, menyapu apapun yang berpapasan dengannya. Plastik-plastik, kertas, daun-daun, ranting-ranting pohon, kayu-kayu, seng-seng, atap rumah terbang terbawa angin. Rani hanya terpaku, diam membisu. Tubuhnya menggigil, keringat bercucuran bercampur dengan air hujan. Entah apa yang sedang dia rasakan. Kagum, takjub, takut, ngeri. Dia tak mampu menggerakkan kakinya untuk berlalu pergi. hanya kedua bibirnya yang nampak bergerak, berkomat-kamit, membaca takbir, tasbih dan istigfar.
Saat dilihatnya awan hitam itu meninggi dan hilang entah kemana, Rani ingat akan keluarganya, rumahnya. Dia pun bergegas menuju rumah. Namun malang, gang yang menuju ke arah rumahnya tertutup oleh serakan reruntuhan rumah yang diterbangkan oleh angin tadi. Dilihatnya orang-orang berlari panic, sama seperti dirinya. Ada yang menggendong anaknya, ada yang memapah istrinya, ada yang menuntun bapaknya, ibunya dan saudaranya. Tangis, teriakan, rintiham dan keluhan berbaur dalam rintik hujan yang bergerak menuju reda.
Dengan susah payah, akhirnya Rani tiba di rumah. Namun dia tidak mendapati siapa-siapa di sana. Hanya bangunan rumahnya yang porak-poranda, berantakan dan tiada beratap lagi. Dia bingung, matanya berputar-putar mencari keluarganya ke berbagai arah.
“Lek, bapak keman, lek?” Tanya Rani kepada seorang lelaki tetangganya.
“Wah, aku tidak tahu, Ran. Pak Lek juga baru datang.” Jawabnya.
“Mas, lihat bapak dan ibuku?”
“Tidak, Ran.” Jawab pemuda yang berlalu di dekatnya. “Awas, hati-hati, Ran, Banyak paku dan pecahan kaca!” imbuhnya.
Rani memasuki rumahnya yang berantakan, menuju kamarnya. Tangannya mulai mengais mencari sesuatu. Satu persatu dia temukan apa yang cari. Buku-buku itu rusak terkena air bercampur tanah. Dia terduduk memegangi buku-buku pelajrannya itu. Baju putih abu-abu yang masih dia keakan mulai tampak mencoklat oleh tanah. Jilbabnya tiada lagi mau berlambai-lambai tertiup angin. Dipeluknya buku-buku itu. Rusak semua. Padahal Ujian Nasional tinggal menghitung hari. Ada air yang mengalir di kedua belah pipinya. Bukan air hujan. Air itu hangat dan mengalir semakin deras. Bahunya perlahan bergoyong oleh sedu sedannya. Semakin lama semakin kuat goyangan itu, bahkan terasa tergoncang.
“Ran, keluargamu di rumah sakit.” Rani menoleh ke arah sumber suara. Pak Lek Karim sudah berada di belakanganya. “Keluargamu di rumah sakit.” Ulangnya.
“Rumah sakit mana, Lek?” Tanya Rani kepada laki-laki yang tidak lain adalah paklek atau pamannya itu.
“Sardjito”
Tanpa berfikir panjang, dengan sigap Rani beranjak dari tempatnya duduknya. Seakan ingin berlari, dia melangkah cepat. Tujuannya tak lain adalah rumah sakit.
“Mau ke mana Kamu, Ram?”
“Rumah sakit, Pak lek.”
“Ndak usah, di sini saja! Kamu tidak usah ke sana. Keluargamu tidak apa-apa. Sebentar lagi juga kembali.”
“Tapi saya ingin ketemu mereka, Lek.”
“Sudah, kamu istirahat saja di rumah Pak Lek. Ganti dulu bajumu biar kamu tidak masuk angin. Kalau masuk anginkan kan tambah repot nanti.”
Sejak saat itu Rani tinggal bersama pak lek Karim. Demikian juga dengan semua keluarganya, bapak, ibu, Naila. Namun ada yang tidak bersama mereka, Ardian, adik Rani yang kedua, atau anak ketiga dari tiga bersaudara. Angin puting beliung siang itu telah menerbangkannya, tidak hanya tubuhnya, tetapi juga nyawanya. Ardian ditemukan sekitar 50 meter dari halaman tempat dia berdiri. Ketika itu ibu sedang memintanya membersihkan saluran air yang tersumbat. “malang sekali nasibmu.”’ Rani mengenang. Ah, sudah rindukah Tuhan denganmu sehingga segera dia memanggilmu. Ah, anak yang manis, lucu, meski sering membuat hal-hal yang membuat orang serumah marah. Tahun ini seharusnya dia mulai mengenakan seragam putih biru.
“Mbak, Ardian nanti pingin sekolah di SMP Negeri 1, biar tidak jauh dari rumah. Setelah itu Ardian mau sekolah di tempat Mbak Rani, terus kuliah di Kedokteran, biar jadi dokter. Kalau jadi dokter kan bisa membantu orang, mengobati orang sakit.” Itulah kata terakhir yang Rani dengar pagi-pagi itu saat mereka hendak pergi sekolah. Kata-kata itu masih mengiang di telinga Rani, menggema dalam relung terdalam, menggoreskan sembilu di hatinya, sedih. Sebagai manusia pun dia bertanya, adakah ini ujian dari Tuhan? Bukankah selama ini Tuhan telah menguji keluarganya dengan hidup yang kekurangan? Bapak ibunya selalu pontang-panting banting tulang mencari nafkah. Makan seadanya, tinggal di rumah yang kalau hujan turun deras, maka seakan peluru berjatuhan dari atap rumah. Ataukah ini peringatan? Mengapa dia? Mengapa keluarganya? Mengapa desanya? Mengapa bukan orang lain? Mengapa bukan Jakarta, tepatnya para koruptor itu? Ataukah ini adzab dari Mu ya Tuhan? Tapi mengapa kami, bukan mereka orang yang selalu bermaksiat pada-Mu? Sedemikian besarkah dosa kami sehinggga Engkau mengadzab kami dengan angin seperti engkau mengadzab kaum …….
Rani mengusap air matanya. Dia kembali merenung. Mungkin benar dia tidak salah, mungkin benar keluarganya tidak bermkasiat kepada Allah. Tapi bukankah akibat suatu kedzaliman itu tidak hanya menimpa orang-orang yang berbuat dzalim? Bukankah orang yang tidak melakukan kerusakan juga akan mendapatkan akibat dari kerusakan yang dibuat oleh orang lain. Dan manusia pastilah merasakan akibat kerusakan yang diperbuat oleh tangan-tangan mereka, oleh kerakusan perut mereka. Kerakusanlah penyebab kerusakan di alam ini. Hutan ditebangi, tanah longsor, bumi semakin panas, cuaca tiada beraturan. Wajar kalau belakangan ini banyak angin ribut melanda daerah-daerah di negeri ini. negeri yang sebenarnya adalah surga, di mana air mengalir di bawahnya, buah-buahan yang beraneka rupa, tinggal memetik saja, negeri yang bak zamrud khatulistiwa. Ah, negeri kaya yang salah urus. Wajar kalau Allah menyapanya dengan bencana. Mungkinkah kami tuli, ya Allah, sehingga kami tidak bisa mendengar sapaan-Mu? “Ampuni kami ya Allah!” ucapnya lirih, lebih lirih dari suara nyamuk yang terbang tepat di depan mukanya, berputar sejenak dan hinggap di pipi kiri rani. Dipukulnya nyamuk itu. Selamat, dia lolos. Terbang entah ke mana. Mungkin hinggap di adiknya, ibunya, atau pakaian yang menggantung di belakang pintu kamar.
Rani bangkit dari tidurnya, berjalan ke kamar mandi, wudlu, shalat beberapa rekaat dan tanpa sadar tertidur pulas di atas sajadahnya. Tak lama kemudian dia mendengar suara Ibunya.
“Bangun, Ran. Sudah subuh.”
***
Rani terduduk. Dia tidak berani menatap wajah perempuan yang duduk berhadapan dengannya itu. Namun demikian Rani tahu, tangan perempuan tersebut sedang membuka lembaran-lembaran kertas yang berada di atad mejanya.
“Nilai Try Out mu tidak lulus, Ran. Ibu juga heran, bukannya kamu paling suka dengan pelajaran fisika? Ibu perhatikan juga tadi kamu tertidur di dalam kelas saat pelajaran ibu. Ingat, UN tinggal beberapa hari lagi!” Ujar Ibu Marleni, guru bidang fisika sekaligus wali kelas Rani.
“Beberapa malam ini saya susah tidur, Bu. Belajar juga tidak bisa konsentrasi. Namanya juga tidur di tempat orang, bukan rumah sendiri.”
“Yah, Ibu paham, ibu mengeri. Ibu juga turut prihatin dengan apa yang menimpa keluargamu.” Hibur Ibu Marleni. “Kamu masih belum ikhlas dengan semua apa yang menimpamu?”
“Berat, bu,” kembali mata Rani mulai basah oleh air hangat, “musibah ini telah mengambil nyawa adik saya, juga merampas kesempatan saya untuk belajar di perguruan tinggi” Jawabnya. Wajahnya masih tertunduk. Matanya menatap ubin. lantai.
“Kamukan tidak sendirian, Ran. Orang lain juga banyak yang mengalami nasib seperti kamu. Malah ada yang dalam satu keluarga hanya tinggal satu orang yang tersisa. Kamu tahukan gempa yang menimpa warga bantul beberapa waktu lalu? Bukankah itu lebih besar, lebih parah dari apa yang menimpa Kamu saat ini? Kamu juga tahukan korban lumpur lapindo yang sampai saat ini belum mendapatkan ganti rugi. Rumah mereka hilang, mata pencaharian mereka raib, dan kini mereka terlunta-lunta.” Ibu Marleni merubah posisi duduknya. Disandarkannya tubuhnya ke kursi hitam itu. Tangannya kini memain-mainkan sebuah pena.
“Lalu apa yang harus Rani lakukan, Ibu?” Tanya Rani. Kini pandangannya ke arah wajah ibu Marleni yang nampak tersenyum kecil.
“Tetap semangat, tetap belajar. Kapan pun, di mana pun, dan dalam kondisi apa pun.” Ibu Marleni memotivasi. “Belajarkan bisa di ruang kelas, di perpustakaan, di kamar tidur, ruang tamu, di taman, di mana saja kamu bisa belajar. Bung Hatta, ketika beliau diasingkan di pembuangan di digul, beliau selalu membawa koleksi buku-bukunya. Sayyid Qutb, HAMKA, Pramoedya justru banyak melahirkan karya-karya besar mereka ketika berada di dalam penjara. Benarkan?”
“Tapi ibu, saya tidak punya bahan. Buku-buku saya banyak yang rusak.”
“Kamu bisa pinjam punya teman-teman kamu. Bisa juga dari perpustakaan.” Saran bu Marleni. “Atau kalau kamu mau, ibu bisa meminjamkan buku-buku ibu, asal kamu mau silaturrahmi ke rumah ibu. Gimana?”
“Terimakasih, bu. Saya telah banyak merepotkan Ibu. Saya jadi tidak enak.”
“Tidak apa-apa. Memang sudah semestinya begitu. Guru itukan pelayan, pelayan bagi ilmu pengetahuan dan orang-orang yang menginginkan ilmu pengetahuan.” Begitulah yang selalu diungkapankan Ibu Marleni di kelas maupun di luar kelas. Dia tidak hanya mengucapkan, tetapi juga melaksanakannya, mengabdi pada ilmu pengetahuan. “oh ya, kamu pulang bareng Ibu saja ya, Ran, sekalian ibu silaturrahmi ke tempat kamu. Maaf sejak musibah itu ibu belum sempat ke sana. Tapi kamu tunggu di gerbang ya, Ibu mau ke ruang TU terlebih dahulu.”
“Terimkasih sekali, Ibu.” Kedunaya kemudian bangkit dan keluar dari kantor guru itu. Ibu Marleni berjalan ke kantar TU, sementara Rani menuju pintu gerbang sekolah.
Keesokan harinya, Rani kembali dipanggil oleh Ibu Marleni di kantor guru. Ternyata Ibu Marleni telah membawakan buku-buku yang kemarin dijanjikannya.
“Jadi saya tidak perlu berkunjung ke rumah ibu nih.” Kata Rani kegirangan.
“Loh, kok bisa?”
“Kan Ibu sudah membawakan-buku-bukunya, jadi sayakan tidak perlu lagi mengambil ke sana”
“Ehmm…. Emang kalau silaturahmi itu harus ada kepentingannya ya, Ran.” Sergap bu Marleni. Rani menjadi tersipu malu. “Kamu nanti pulang bareng Ibu lagi?”
“Wah, terimakasih, Bu. Kebetulan saya nanti ada janji dengan Mbak Ida, mau mampir ke kosnya.” Tolak Rani.
“Siapa tuh?” Tanya Bu Marleni.
“Mbak Ida itu mahasiswa UGM. Kosnya di belakang sekolah ini kok. Dia relawan di tempat kami. Insya Allah, saat UN untuk sementara saya tinggal di kontrakan Mbak Ida, biar bisa konsentrasi belajar, dan lebih dekat dengan sekolah.”
***
Saat-saat melelahkan itu pun berlalu. Ujian Nasional dan Ujian Sekolah telah lewat, dan selama itu pula Rani tinggal di kontrakan Mbak Ida. Yang tersisa kini adalah masa-masa tegang menunggu pengumuman hasil ujian. Apapun hasilnya, Rani telah siap. Dia telah beruasa dengan sungguh-sungguh dalam menghadapi ujian ini, pastilah orang akan diganjar sesuai dengan apa yang dia lakukan. Kalaupun tidak lulus tahun ini tidak mengapa, dia mengulang tahun depan. Tahun ini dia juga belum bisa melanjutkan studinya di Perguruan Tinggi. Keluarganya masih belum bisa sepenuhnya keluar dari krisis. Bersamaan dengan usainya masa ujian itu pula, dia dan keluarganya sudah bisa menempati kembali rumahnya. Meski harus mendatangkan material-material seperti genteng, dan bambu dari luar Jogja karena persedian di dalam Jogja tersedot untuk rekonstruksi gempa, akhirnya rumah itu selelsai direnivasi, meski di sana-sini masih banyak barang-barang yang berserakan. Namun demikian, dia dapat menikmati masa-masa tegang itu sembari menikmati rumahnya dengan berteman sebuah novel yang dipinjam dari Mbak Ida.
Sore itu, Rani sedang asyik membaca novel di kamar tidurnya. Tanpa dia sadari, Ibunya telah berdiri di belakangnya dan menyentuh pundaknya dengan halus.
“Khusuk sekali ini anak, sampai-sampai dipanggil-panggil tidak menyahut”
“Oh Ibu, mengagetkan Rani saja. Maaf Ibu, ceritanya lagi seru-serunya, sampi Rani terbawa dalam cerita.”
“Bacanya diteruskan nanti saja ya, itu di depan ada tamu.”
“Siapa, Ibu?”
“Lihat saja sendiri sana!”
Saat Rani menyibakkan gorden pintu kamarnya, dia melihat Mbak Ida dan Mbak Galuh duduk berdampingan di ruang tamu. Di samping Mbak Galuh seorang perempuan dan dua orang lagi di sebelehnya lagi yang belum dia kenal. Perawakannya tidak jauh dari mbak Galuh, namun kulit mereka lebih putih, matanya sipit dan rambutnya lurus. Dari sisi usia, mereka bertiga nampaknya lebih tua dar Mbak galuah ataupun Mbak Ida. Rani menyalami Mbak Ida dan Mbak Galuh. Mbak Ida kemudia mengenlakan ketiga temannya itu. Yang perempuan bernama Taka, sedangakan yang laki-laki Joyko dan Tamada.
“Mereka adalah relawan gempa Jogja kemarin. Mereka datang kembali untuk meninjau bantuan rekonstruksi yang diberikan oleh pemerintah Jepang.” Terang Mbak Ida.
“Maaf, Rani bisa berbicara dengan bahasa Inggirs kan?” Tanya Mbak Galuh.
“Ya iya lah, masak ya iya donk. Orang dari SD, SMP sampai SMA belajar bahasa Inggris, masak tidak bisa ngomong bahasa Inggris” Jawab Mbak Ida mendahului aku.
“Mungkin aja lagi. Buktinya yang ada juga yang sampai lulus kuliah belum bisa bahasa Inggris.” Bela Mbah Galuh tidak mau kalah.
“Insya Allah sedikit-sedikit paham Mbak, kebetulan pernah jadi juara story telling contest di UAD semester kemarin.” Aku menengahi.
Sesaat Mbah Galuh berbincang-bincang dengan ketiga temannya yang ternyata berasal dari Jepang itu, meminta mereka untuk menjelaskan sesuatu kepada Rani, namun mereka saling melempar satu sama lain, dan akhirnya mengembalikan kepada Mbak Galuh. Dia pun kemudian menyenggol Mbak Ida, isyarat kepada Mbak ida untuk berbicara.
“Ada apa to ini, Mbak, kok main lempar?” Tanya Rani penasaran.
“Begini, Ran” Mbak Ida akhirnya bicara, “ada yang ingin kami kita tanyakan.”
“Masalah apa, Mbak?”
“Masalah studimu.” Mbak Ida merubah cara duduknya. “Kamu kan sudah lulus SMA tahun ini, nah ada rencana tida untuk melanjutkan kuliah?” Tanya Mbak Ida. Belum sempat Rani menjawab, Ibu keluar dari dapur dengan membawa teh panas di atas nampan untuk kami berenam.
“Sejujurnya Rani ingin sekali, Mbak, tapikan Rani belum tahu lulus apa tidak, kan belum pengumuman. Selain itu …” perkataan Rani terhenti sejenak. Ibu keluar dengan menghidangkan tempe dan singkong goreng di atas tiga piring. “selain itu, untuk tahun ini bapak masih krisis, Mbak, dana banyak keluar untuk biaya memperbaiki rumah.” Lanjut Rani.
“Okey, seandainya kuliah, Rani ingin di dalam apa luar negeri?” Rani tidak tahu arah pembicaraan ini.
“Dalam negeri aja, Mbak, yang murah. Itupun kalau bisa kuliah” jawabnya.
“Bagaimana kalau di luar negeri saja?”
“Maksud Mbak Ida?” Rani semakin tidak mengerti.
“Taka, can you tell her about your program?” Pinta Mbak Ida pada temannya yang perempuan Jepang itu.
“If you would study in Japan, our fondation will give the scholarship for you.” Ujar Taka singkat.
“Khususnya untuk bidang teknologi informasi.” Tambah Mbak Ida.
“Gimana tertarik?” Tanya Mbak Galuh. Rani masih terdiam.
“Ini full beasiswa, termasuk uang kuliah, living cost, buku dan visa serta transport ke sana.”
Rani masih terdiam. Dia masih belum mengerti benar apa yang terjadi di depannya. Dia merasakan bongkahan es di dadanya, dingin. Dia seakan tidak lagi menapak bumi, melayang. Tubuhnya terasa ringan, pikirannya begitu plong. Perasaan yang sama saat namanya dibacakan sebagai juara satu dalam Lomba Inovasi Teknologi Tingkat SMA di Fakultas MIPA UGM beberapa bulan yang lalu. Ingin sekali rasanya di berteriak “eurika”, namun yang keluar adalah tasbih dan tahmid pujian kepada Tuhan. “Ya Allah, aku malu untuk memnta banyak hal dari-Mu, namun Engkau selalu memberiku lebih banyak dari apa yang aku minta.” Ucapnya lirih.
Hari-hari Rani selanjutnya diisi dengan persiapan kebernagktannya ke Jepang. Dibiacanya buku-buku yang membahas tentang jepang, sejarah, kebudayaan, masyarakat dan tata kotanya. Tak lupa dia juga kursus bahasa Jepang. Semua dilakoni dengan rasa bahagia. Angin putting beliung itu kini akan menerbangkannya ke Jepang.

Yogyakarta, Mei 2009

Senin, April 05, 2010

Jiwaku Tertinggal di Sana

Jiwaku tertinggal di sana
Di sepanjang jalan yang aku lalui
Jalan yang minukung tajam, menanjak, menurun
Jalan yang membawaku pada keheningan
Takjub akan keindahan

Petak-petak sawah menghampar di kemiringan
Mencipta garis-garis yang melekuk
Mungkinkah ini Atlantis?
Ah Plato, kau mininggalkan seribu misteri
dalam setiap pertanyaan

Mataku menatap jauh ke barat
Bukit-bukit kecil timbul tenggelam
di antara lembah-lembah sunyi
diselimuti awan tipis
Di sana Lawu angkuh menjulang
Mengingatkan aku akan pendakian
Lelah, namun indah

Di selatan, bukit barisan yang memagari
pulau jawa dengan lautan selatan
Paku pagi bumi ini
setia menjaga nusantara

gerimis turun merintik
menambah dingin suasana
mulutku terkatup, aku merinding, dadaku bergetar

inilah negeriku,
potongan surga yang jatuh ke bumi
maka, nikmat Tuhanmu yang manalagi
yang kamu dusatakan?

Rabu, Maret 03, 2010

Fenomena Caleg Stress

Jauh hari sebelum pesta demokrasi atau pemilihan umum (pemilu) legislatif digelar, beberapa rumah sakit jiwa (RSJ) telah menyiapkan kuota khusus bagi para calon anggota legislatif (caleg). Pada awalnya hal ini sangat menggelikan, tapi tentu saja pihak RSJ tidak bertindak asal-asalan. Mereka melihat potensi gangguan kejiawaan yang besar dari para caleg yang bertarung di pemilu 2009, yaitu caleg-caleg yang tidak lolos ke kursi dewan. Pihak RSJ menjadikan fenomena Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sebagai acuannya, di mana para calon mengalami strass karena gagal melaju ke tampuk kursi pemerintahan.

Stress adalah fenomena kejiwaan yang terjadi karena adanya takanan-tekanan, baik dari dalam maupun dari luar. Tekan dari dalam bisa terjadi karena tingginya keinginan, tanpa didasari dan didukung oleh kemampuan atau kapasistas. Dalam hal ini, bisa jadi ketidaksiapan untuk kalah adalah salah satu bagiannya. Sementara tekanan dari luar adalah berkaitan dengan posisi dia di masyarakat, seperti terpojok oleh pandangan masyarakat kepada orang tersebut (merasa terhina dan tersisihkan), tuntutan-tuntutan orang lainyang tidak terpenuhi, dan ketidaksipan dalam mengahdapi perubahan nasyarakat.

Kasus caleg yang mengalami stress atau gangguan jiwa bisa terjadi karena beberapa hal seperti tidak siap kalah, tidak siap untuk kehilang, sudah teralu banyak biaya yang dikeluarkan. Untuk itu, ada beberapa hal yang bisa kita renungkan untuk menghindari strss semacam ini.
Pertama, kembali kepada niatan. Ada yang menarik dari apa yang dikatakan oleh Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun pada awal-awal 2008 tentang Nasionalisme 2009 bahwa bangsa ini mengalami satu gerakan nasionalisme baru pada tahun ini. Semua orang, entah itu pejabat, pengusaha, petani, guru, mahasiswa, dan seluruh lapisan bangsa ini meuju pada neo-nasionalisme ini, yaitu nasionalime uang. Maksudnya, melakukan segala sesuatu seolah-olah untuk bangsa ini, padahal sejatinya adalah untuk uang.

Dari fenomena yang ada, nampak jelas bahwa kebanyakan (tidak semua) para caleg dalam pemilu legislatif 2009 berorientasi pada uang. Mereka tahu bahwa gaji anggota dewan sangat besar, puluhan juta rupiah per bulan. Belum lagi ditambah dengan berbagai tunjungan. Dengan demikian dia rela mengeluarkan berapapun biayanya untuk kelancaran jalannya melaju ke kursi dewan, karena jika dia terpilih, uang tersebut akan kembali hanya dalam hitungan bulan. Orientasi ini sangat jelas terlihat dari beberapa fakta diantaranya, para caleg tersebut adalah bukan politisi, mereka adalah orang-orang yang sebelumnya berada diluar arena politik praktis, tetapi karena kepopulerannya di mata masyarakat dan mempunyai dana, maka mencalonkanlah dia menjadi caleg. Ada pula caleg yang karena diterima sebagai Pegewai Negeri Sipil (PNS) dia kemudian mengurungkan diri dari pencalonan, mungkin baginya PNS lebih menjanjikan untuk hari tuanya. Indikasi yang lain adalah mudahnya para caleg tersebut berpindah ke lain hati alias lain partai. Ini menunjukkan bahwa bagi sebagian merka tidak penting lagi apa yang disebut sebagai idiologi, karena idiologi bagi sebagian mereka berarti uang.

Untuk itu, niatan awal sangatlah penting. Niat laksana pondasi bagi sebuah bangunan, kuat pondasi, kuat pula bangunannya. Rapuh pondasi, rapuh pula bangunannya, runtuh sebelum jadi. Dalam Islam pun selalu diingatkan innamal a’malu bin niyyah, sesungguhnya segala amal perbuatan itu bergantung pada niatannya. Seseorang akan mendapatkan dari apa yang dia kerjakan sesuai dengan niatannya.

Dalam Islam diajarkan bahwa segala pekerjaan haruslah diorientasikan hanya untuk Allah SWT. Hal ini karena manusia adalah ciptaan Allah yang diberkedudukan sebagai hamba dan khalifah (wakil Tuhan). Sebagai ciptaan tentu saja kita harus mengabdi (menjadi hamba) kepada penciptanya, dan sebagai hamba, tentulah tidak bisa dibenarkan jika manusia melakukan pekerjaanya tidak diperuntukkan bagi tuannya. Dan sebagai wakil Tuhan, bisakah kita melakukan suatu hal yang tidak sesuai dengan kehendak-Nya yang kita wakili? Kalaupun bisa, itulah yang disebut sebagi pembelotan, tidak amanah, khianat.

Menjadi wakil rakyat haruslah diniatkan keran Allah semata, mengharapkan ridlha-Nya. Jadikanlah ia sebagai panggilan Allah agar kita melaksanakan fungsi kekhalifahan kita, yaitu memakmurkan bumi. Karena niatan kita adalah untuk Allah SWT, maka Allahlah yang akan menggaji kita. Dialah yang akan membalas segala amal usaha kita. Dan kita akan senantiasa dalam bimbingan-Nya. Ingat, Allah Maha Kaya. Di sini, manusia telah melampui (bukan meninggalkan) wilayah material. Dia tidak menjadikan materi sebagai orientasi atau tujuan, tetapi hanyalah alat untuk mencapi tujuan yang lebih besar, yaitu keridlaan Allah SWT. Inilah yang disebut dengan ikhlas. Seorang mukhlis atau orang yang ikhlas tidak lagi menyesali apapun yang terjadi, karena bagi dia yang terpenting adalah dia telah melakukan itu karena Allah, dengan cara yang baik, dengan usaha yang keras dan gigih, dengan pola manajemen yang rapih, setelah itu menyerahkan segalanya kepada Allah SWT atau tawakal.


Kedua, haruslah adakesadaran dalam diri kita sebagai manusia bahwa tidaklah mengkin segala sesuatu yang kita inginkan akan tercapai. Allah SWT sendiri telah menegaskan dalam firmannya “apakah manusia akan mendapatkan segala yang dicita-citakannya?” (QS. An-Najm: 24). Dalam ayat tersebut Allah tidak memberikan jawabannya, karena jawabannya secara logis terdapat dalam pertanyaan itu sendiri.

Coba kita renungkan apa yang akan terjadi jika keinginan semua manusia di dunia ini terwujud. Semua ingin kaya, dari mana dia mengetahui dia kaya kalau tidak ada yang miskin. Semua ingin jadi penguasa, lalu siapa yang diperintah? Siapa yang akan diurus? Semua ingin jadi pedagang, lalu siapa yang memproduksi? Siapa yang membeli? Ini adalah contoh sederhana bahwa apa yang kita inginkan tidak selamanya terwujud. Keinginan kita ternyata berbatasan juga dengan keinginan orang lain, berbatasana dengan kemampuan kita, berbatsan dengan kehendak Sang Pencipta. Kesadaran inilah yang harus senantiasa kita tanamkan dalam diri kita, keluarga dan masyarakat kita. Dengan kesadaran ini, apapun yang kita dapatkan kita akan menerima dengan lapang dada, legowo. Kegagalan menjadi anggota legislatif hendaknya tidak dilihat sebagai sesuatu yang berlebihan. Mengapa kita lupa bahwa dalam setiap kompetisi ada yang menang dan ada yang kalah? Seperti sepak bola misalnya, bagiamana bisa 18 klub Indonoesia Super League semuanya menjadi pemenang? Tentu ada yang menjadi pemenang, runner up, sampai ada yang terdegradasi atau terdepak dari kancah kompetisi utama ini. hal ini sangat alamiah.

Ketiga, kegagalan dalam memperoleh sesutu yang kita inginkan memang pahit. Tidak ada orang yang ingin gagal, namun pastilah ada yang gagal. Kita pun harus bersiap, bukan hanya siap untuk menang, tetapi juga harus siap untuk kalah, untuk gagal. Meski pahit, namun kita tetap harus menalannya. Bisa jadi itu adalah obat, dan bisa jadi itu adalah yang terbaik bagi kita. Allah berfirman, “. . . boleh jadi Kamu membenci sesuatu, padahal dia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu mencintai sesuatu padahal dia amat buruk bagimu. Allah Maha Mengetahui dan kamu tidak mengetahui. (QS. Al-Baqarah 216).
Allah maha mengetahui. Dia mengetahui apa yang terbaik bagi manusia. Namun seringkali manusia tidak bisa nenangkap apa yang sebenarnya dinginkan oleh Allah dari dirinya. Keinginan yang berlebihan, ambisi yang besar, dan dada yang sempit telah menjadikan manusia tidak bisa melihat hikmah yang tersembunyi dari sebuah peristiwa. Sekali lagi, kegagalan memang pahit, namun tahukah kita apa yang ada di balik kepahitan tersebut? Bisa jadi adalah yang terbaik bagi kamu. Kata Allah. Bisa jadi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bukanlah ladang perjuangan bagi kamu, karena masih banyak ladang perjuangan yang belum banyak digarap orang.

Untuk mengetahui hikmah di balik peristiwa yang terjadi diperlukan kejernihan pikiran dan kelapangan hati, karena hikmah laksana permata yang ada ditengah-tengah lumpur. Orang yang pandai mengambil hikmah dari setiap peristiwa adalah orang yang hidupnya bahagia, karena dia melihat segala sesuatu tidak dari satu arah, tetapi dari berbagai arah. Sebagai contoh, ungkapan yang sering kita dengar, atau bahkan kita sendiri pernah mengalaminya seperti “untung saya tidak jadi naik peasawat pertama yang ke Jogja, kalau jadi mungkin juga saya jadi korban kecelakaan pesawa tersebut.” Kata salah satu pembicara dari Kakarta dalam seminar di UGM pada hari terjadinya kecelakaan pesawat di bandara Adi Sucipto. Atau perkataan yang lain “waktu hendak pilang ke Kalimantan, untungnya duit saya hilang di semarang, sehingga saya harus kembali ke Yogyakarta. Coba kalau duait saya tidak hilang, pastilah kini saya masuk daftar korban kecelakan kapal.” Itu hanya beberapa missal saja, masih banyak yang barangkali lebih kecil mapun lebih besar dari kejadian semacam itu. Karena itu, Allah mengajarkan kepada hamba-Nya untuk selalu berprasangka baik kapada-Nya.

Keempat, sesungguhnya apa yang terjadi pada diri kita adalah ujian. Masihkahkita ingat kepada Allah saat diuji dengan kesengsaraan? Masih ingatkatkah kita kepada Allah saat kita diuji dengan kesenangan? Menjadikan manusia susah atau senang, kaya atau miskin, menang atau kalah sesungguhnya sangat mudah bagi Allah. Dia menjelaskan bahwa musibah yang menimpa manusia adalah untuk melihat ketakwaan seseorang, dan “supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al-Hadid: 23).

Allah mengajarkan kepada kita agar tidak terlalu menyesali apa yang telah lalu, apa yang telah hilang dari kita, entah itu waktu, harta benda maupun jiwa, karena itu adalah sifat dunia, yaitu fana, tidak abadi. Yang telah hilang biarlah dia hilang, janganlah dia terlalu difikirkan, karena hal itu akan menguras energi kita sehingga kita tidak bisa fokus lagi dalam beraktifitas. Dampaknya adalah justru semakin banyak kehilangn kita. Seandainya kegagalan menjadi caleg terus disesali, ditangisi, hasilnya adalah depresi, tekanan yang berujung pada gangguan kejiwaan. Dan apa bila orang telah mengalami gangguan kejiwaan dia juga akan mengalami gangguan spiritual keagamaan.

Sebaliknya, Allah SWT juga mengajarkan kepada kita, jika kita memperoleh apa yang kita inginkan, janganlah kita terlalu berbahagia, terlalu gembira, sehingga melupakan rasa syukur kita kepada Allah. Orang yang terlalu berbahagia biasanya akan berlanjut kepada kesombongan, membanggakan diri. Orang yang demikian akan mudah lupa kepada Allah. Gagal menjadi anggota dewan tidaklah harus disesali berlebihan, begitu juga terpilih menjadi anggota dewan janganlah terlalu bergembira. Amanah rakyat telah menanti. Jadi, baik orang yang berduka cita berlebihan dan orang yang bergembira secara berlebihan, keduanya akan mudah melupakan Allah. Barang siapa melupakan Allah, maka Allah akan melupakannya. Itu adalah janji Allah. Dan tidak ada yang melupakan kan Allah, kecuali orang yang tidak memfungsikan hati dan fikirannya. Dan inilah orang yang mengalami gangguan kejiwaan.

Di sinilah pentingnya mengingat Allah pada saat sebelum melakukan suatu pekerjaan, saat melakukannya maupun sesudahnya dan seterusnya. Dengan selalu mengingat-Nya, maka insya Allah kita tidak akan mengalami gangguan kejiwan seperti depresi dan stress, seberat apapun persitiwa yang terjadi kepada kita. Wallahu a’lamu bihshsowab.

Selasa, Februari 02, 2010

Kita Memang Lemah

Kita, atau tepatnya saya, sering lupa, ketika mendapatkan rezeki atau keberuntungan seringkali mengatakan bahwa itu adalh hasil dari jerih payah usaha kita. Saat kita berhasil atau sukses dalam melakukan sesuatu seingkali kita menepuk dada, inilah aku, ini adalah hasil kerjaku. Begitulah seringkali terjadi. Kita sering membanggakan diri kita terhadap apa yang telah kia peroleh. Kita kadangkala sampai beranggapan bahwa tiada jasa orang lain di sana, apalagi Tuhan. Namun perlu diingat manusia juga adalah makhluk lemah, lemah seklai. Ketika kita manusia dalam keadaan lemah, apa yang bisad diperbuat?

Dua hari yang lalu saya sempatkan untuk menjenguk ayahanda teman saya yang terbaring lemah di rumah sakit. Beberpa hari yang lalu beliau tertabrak motor. Saat beliau keluar dari gang, tanpa disangka tanpa dinyana, dari arah kanan dua orang siswa SMP mengendari sepeda motornya dengan sangat kencang dan menabrak ayahanda teman saya. Dia terjatuh. Benturan keras menjadikan beliau gagar mengeluarkan darah dari telinga kirinya, gagar otak dan tidak sadarkan diri. Setalh dirawat dua hari di rumah sakit barulah beliau siuman dari pinsannya. Namun badanya masih susah digerakkan. Kepalanyapun masih-terasa pusing, dan nutrisi hanya diasup melalui infus. Aktifitas yang lain dibantu oleh anak istrinya yang dengan setia menunggui beliau. Beliau, Ayahanda teman saya itu, tidak mampu apa-apa kecuali berdoa. Yah, dalam keadaan lemah seperti itu manusia hanya bisa berdoa dan berdoa. Namun satu hal yang aku kagum, beliau tidak haya berdoa utuk kesembuhan dirinya sendiri, namun juga masih sempat mendoa untuk aku yang menjenguk waktu itu.

Di seberang ranjang Ayahanda teman saya berbaring lemah seorang anak kecil. Informasi yang saya dapat dia terkena penyakin DB alias demam berdarah. Melihat dari rupanya, anak seusia dia biasanyanya masih lincah-lincahnya dan senang-senangnya bermain dengan teman sebayanya. Namun saat itu dia begitu lemah, sama halnya dengan saya awal 2006 yang lalu, hanya karena gigitan seekor nyamuk. Aku sempat berbaring di rumah sakit selama sepuluh hari. Dalam keadaa lemah seperti itu, waktu itu, akupun hanya bisa berdoa, dana kadang berangan-angan sedikit apa yang akan aku lagkukan jika aku sembuh. Pun demikian pikiranku terhdap anak kecil yang berbaring di seberang ranjang ayahanda teman saya tersebut.

Kalau anak kecil di seberang ranjang ayahada temaku mungkin masih berfikir atau berkhayal apa yang akan dikerjakannya bila sembuh nanti, saya gak paham dengan seorang kakek yang berbaring sangat lemah di sebelah selatan ranjang ayahanda teman saya. Usianya sudah tua, pas tidak tahu, Cuma besok akan saya lihat lagi saat saya menjenguk kembali ayahanda teman saya tersebut. Saya tidak tahu pasti, namun saya bisa pastikan beberapa selang juga telah menjalar dari tubuhnya ke alat-alat medis di sampingnya. Kakek tersebut terkena penyakit jantung komplikasi. Meski bernafas saja susah, namun saya yakin kakek tersebut masih berdoa, meski tidak terapal dalam verbal dan hanya membatin dalam hati. Yah, dalam keadaan lemha, senjata kita hanyalah doa. Mari kita berdoa semoga kita selalu diberi kekuatan untuk berdoa.