SCRIPTA MANENT VERBA VOLANT

(yang tertulis akan tetap mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin)

Rumahku Surgaku

Rumah bukan hanya tempat berteduh dari sengat matahari dan derasnya hujan, tetapi ia juga tempat bertumbuh rasa kasih sayang, tempat kembali bersama kehangatan keluarga.

Allah Maha Pemurah

Burung yang keluar dari sangkarnya dengan perut kosong, akan kembali di sore hari dengan perut kenyang. Sungguh Allah Maha Pemuerah kepada semua makhluk-Nya.

Di Atas Langit Masih Ada Langit

Langit hanyalah batas dari ketidakmampuan pandangan mata kita, namun akanl dan iman kita akan selalu mengatakan bahwa masih ada langit di atas langit yang kita lihat.

Jalan Hidup

Jalan hidup tak selamanya datar. kadang ia menaik-turun, berliku dan terjal. Hanya pribadi yang kuatlah yang mampu menempuh jalan itu.

Lebah

Ia hanya makan dari sesuatu yang bersih dan bergizi sehingga ia menghasilkan sesuatu yang bersih dan bergizi pula. ia tak pernah merusak saat mencari makan. ia ada untuk bermanfaat.

Selasa, Mei 25, 2010

Kafir

Apa yang dimaksud dengan kafir sehingga Allah membenci golongan tersebut? Istilah “kafir” berasal dari kata kafara كفر - يكفر كفرا-yang artinya menutupi. Sehingga orang kafir sebenarnya adalah orang yang menutupi atau tertutupi. Apa yang tertutupi? Hatinya. Orang-orang kafir adalah orang-orang yangntertutupi hainya sehingga dia tidak bisa melihat keindahan dan keagungan Allah SWT. Dia tidak bisa menembus pada hakikat ke-Allah-an. Dengan demikian golongan ini tidak tertarik dengan keindahan Allah dan tidak ada keinginan untuk mendekat kepada Allah. Maka orang-orang selalu jauh dari Allah SWT.

Sesuatu yang menghangi seseorang dari Sesutu sering disebut sebagai hijab. Orang yang terhijab tidak mengetahui apa sebenarnya yang ada di balik hijab tersebut sampai kemudia dia menyingkapkan hijabnya. Orang jauh dari Allah karena dia terhijab. Apa yang menghijabinya? Tidak lain adalah hawa nafsu dan cinta dunia.

Pada dasarnya, setiap manusi yang lahir di dunia ini telah membawa fitrah ketuhanan. Dia telah dikarunia satu “fakultas” dalam dirinya untuk mengenal Allah. Dalam artian, sejak manusia dilahirkan dia telah membawa kepercayaan dalam dirinya, tetapi sifatnya masih berupa firtah atau potensi. Adanya fitrah ini setidaknya dapat dilihat dari tiga hal. Pertama bahwa Allah adalah Esa, semua selain dia adalah makhluk atau yang dicipta. Dalam mencipta, tentu tidak lain adalah dari diri Dia sendiri, sehingga semua makhluk tidak lain adalah cerminan dari Allah sendiri. Kedua, Allah berfirman bahwa ketika menciptakan manusia, Allah meniupkan ruh-Nya kepada manusia, sehingga ruh manusia tidak lain adalah bagian dari ruh Tuhan. Ketiga, ketika di alam ruh, manusia telah mengambil kesaksian bahwa Allah adalah Tuhannya, Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, pada dasarnya manusia telah terikat dengan sumpah primordialnya.

Namun sebagai suatu yang potensial, dia bisa tumbuh dan berkembang, atau sirna tertimbun berbagai hal. Dan hal-hal yang menghijabnya tadi adalah hubbub dunnya wa karahiyatul maut.
Dalam keterangan lain dijelaskan bahwa orang-orang kafir ini adalah orang yang sudah dikunci hatinya oleh Allah, pendengaran dan juga pengelihatannya. Sebagaimana firman Allah:

Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman (6). Allah Telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup dan bagi mereka siksa yang amat berat. (al-Baqarah [2] : 6-7).

Dalam kehidupan manusia sehari-hari, pendengaran dan pengelihatan manusia mempunayai peran yang sangat vital. Orang bisa menjadi menderita karena mempunyai mata namun tidak bisa melihat atau buta, namun masih bersyukurlah dia bila pendengarannya masih berfungsi dengan baik. Dengan pendengaran tersebut, seorang yang buta masih bisa mengenali alam sekelilingnya. Dia masih bisa menangkap gerakan-gerakan yang ada di sekitar dirinya. Selain itu, dia masih mempunyai hati untuk membimbing dirinya. Hati yang “hidup” akan sangat sensitive dengan aktifitas yang ada di dektanya, bahkan jarak yang jauh dari dirinya. Namun, bisa dibayangkna, apabila ada seseorang yang tidak bisa melihat (buta), tidak bisa mendengar (tuli) sekaligus hatiya “mati”. Alangkah menderitanya keadaan orang tersebut. Dan demikian iulah gambaran orang-orang kafir.

Sama halnya dengan orang buta dan tuli seklaigus hatinya “mati” yang berjalan di tepian jurang, lalu engkau meneriakinya dengan sekuat tenagamu agar orang tersebut tidak masuk ke jurang, maka yang terjadi orang tersebut tidak aakn mendengarkan panggilanmu. Demikianlah sikap orang-orang kafir, meskipun engaku telah berusaha sekuat tenaga utnuk menyampaikan pesan Tuhan, baik dengan kata dan perbuatan, mereka tidak akan menghirakuannya, apalagi menanggapinya, karena mereka tidak bisa melihat dan mendengar pesamnu dari Tuhanmu tersebut.

Dalam tafsir al-Misbah, Qurais Shihhab menguraiakn lima bentuk kekufuran pertama yaitu kufur akan keberadaan Allah SWT, golongan ini menginngkari akan adanya pencipta alam semesta ini. Kedua, orang yang mengeahui kebenaran tetapi menolaknya, antara lain diesbabkan oleh kebencian kepada pembawa kebenaran tersebut. Ketiga, kufur ni’mah ( كفر نعمة) yaitu tidak mensyukuri nikmat allah yang telah diberikan kepadan-Nya, sebagaimana firman Allah: “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS. Ibrahim [14]: 7). Keempat kefur dengan meningggalkan atau tidak mengerjakan tuntunan agama, kendati tetap percaya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT: “Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan kafir (ingkar) terhadap sebahagian yang lain?” (QS. Al-Baqarah [2]: 85) dan yang kelima adalah kufur bara’ah yaitu tidak merestui dan berlepas diri, seperti ucapan nabi Ibrahim kepada kaumnya: “Sesungguhnya kami kafir (berlepas diri) daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja” (QS. al-Mumtahanah [60]: 4)

Rabu, Mei 19, 2010

Keadilan

Apabila kita mengikuti perkembangan pemberitaan media massa akhir-akhir ini, kita akn merasakan bahwa, sungguh apa yang disebut sebagai keadilan itu tidak lain adalah sesuatu yang utopis, jauh dari realitas, mimpi siang bolong. Dia begitu sering dibicarakan, ditulis, idiskusikan, diseminarakna di Koran, ruang seminar, televise, namun dia tetap tearasa begitu jauh. Konon, kita hidup di negeri yang menganut demokrasi dimana salah satu pilar pilar pentingnya adalah keadilan, namun itu haya menjadi konsep. Konon, kita hidup di negera hokum yang menjunjung tinggi keadilan, kenyataannya keadilan hanya dijadikan sebagai alas kaki meja saja. Hokum di negeri kita ini bak pisau bermata dua, tajam memotong orang-orang yang lemah, miskin, terpinggirkan, namun begitu tumpul di hadapan para konglomerat, pengusaha dan penguasa.

Dari segi ekonominya, negeri ini konon menganut ekonomi pancasila, ekonomi kerakyatan, namun kenyataannya kemakmuran hanya menjadi milik segelintir orang. Kekayaan Negara yang begitu melimpah hanya dinikmati oleh beberapa keluarga, sementara ratusan jiwa lainnya hidup dari mengais “sisa-sisa” segelintir orang tersebut. Otonomi daerah ternya baru memberikan desentralisi kekuasaaan, bukan desentralisasi kesejahteraan. Pendidikan, kesahatan dan kesejahteraan social hanya bias diakses oleh mereka yang kaya dan berkuasa. Lalu kemana larinya jargon-jargon keadilan tersebut?
Agama-agama samawi yang diturunkan Allah SWt sejak Nabi Adam AS hingga Nabi Muhammad SAW memilik visi yang sama, yaitu menyeru manusia kepada tauhid, yaitu mengesakan Allah SWT, dan satu lagi yaitu keadilan sosial. Hal ersebut bisa dirunut dalam sejarah para utusan Allah tersebut. Sebagai contoh, bagaimana Nabi Musa AS selain menyeru Bani Isail unutk meriman kepada kepada keesaan Allah juga menyerukan untuk berbuat adal. Dia dihadapakan pada Fiar’aun, raja yang menganggap dirinya sebagai tuhan dan berlaku sewenang-wenang kepada siapa pun yang menentangnya. Begitu juga musa dihadapkan dengan Qarun, seorang yang semula miskin lalu oleh Allah diberi kekayaan, namun ia kemudian lupa diri. Qarun kemudian menjadi orang kaya yang bakhil yang tidak memedulikan nasib orang lain.
Sama halnya dengan Nabi Musa, Ibrahim As juga dihadapkan kepada raja yang memimpin dengan sewenang-wenang. Isa AS yang menyeru pad Bani Israil juga harus berhadapan dnegan orang-orang akya yang bakhil, para saudagar-saudagar yang menimbun harta, tidak memedulikan kaum miskin. Dalm lembar sejarah tercataat bagaiman Isa menentang kesewang-wenangan tersebut, dia hidup bersama orang-orang miskin, mengajari mereka ketauhidan, kasih saying dan keadilan.
Nabi Muahmmad SAW adalah pejuang keadilan sejati. Dia dilahirkan di negeri yang dipenuhi dengan tribalisme, siapa yang kuat dialah yang menang dan menguasai sumber-sumber ekonmi, atau dalam arti lain merekalah yang hidup makmur. Wanita saat itu menjadi makhluk kasta terendah, sehingga tidak jarang bapak yang membunuh dengan anak perempuannya dengan menguburnya hidup-hidup. Pada masanya pula, perbudakan meraja lela. Orang yang menjadi budak sama sekali tidak memiliki kemerdekaan, bahkan terhadap dirinya sendiri. Muhammad SAW diutus, selain untuk menyer kepada pengesaan Allah, juga untuk menyeru pada keadilan. Dia berdakwah dan berjuang melawan ketimpangan sosial yang ada di masyarakatnya, berjuang untuk persamaan hak sebagai mansusia, entah itu laki-laki atau perempuan. Berjuang menghapuskan praktik penindasan terhadap anak-anak perempuan dan para budak, sehingga wajar saja jika pengikut-pengikut awalnya adal dari dua golongan ini.
Begitu penting makna keadilan dalam Islam, sehingga dia diletakkan dalam visi kenabian dan kerasulan, berdampingan dengan ketauhidan. Lalu apa hakikiat keadilan itu sehingga dia layak dan mesti diperjuangkan? Sedemikian pentingkah keadilan dalam kehidupan manusia, sehingga Allah mencintai keadilan dan orang-orang yang berbuat adil?
Dalam al-Quran Allah berfirman:

Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil. (al-Maidah [5]: 42)

Dalam Al-Quran kata “adil” atau “keadilan” diungkapkan dengan beberpa kata, diantaranya ‘adl .(عدل) Kata ini juga menjadi salah satu asmaul husna (nama-nama yang baik bagi Allah). Adapun kata lain yang sering digunakan di dalam al-Quran adalah qisth (قسط) sebagaimana nampak pada ayat di atas.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adil memiliki arti…….
Menururt Murtadha Muthahhari, “keadilan” digunakan dalam empat hal, yaitu:
1. Keseimbangan
Keadilan di sini berarti keadaan yang seimbang. Semisal kita membeli beras di suatu warung dan menimbangnya, maka timbangan tersebut haeuslah seimbang. Atau sebagai missal kita membagi dua hasil bururan kita, maka dia harus dibagi denan cara seimabng.
2. Persamaan dan nondiskriminasi
3. Pemberian hak kepada yang pihak yang berhak
4. Pelimpahan wujud berdasarkan tingkat kelayakan.