SCRIPTA MANENT VERBA VOLANT

(yang tertulis akan tetap mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin)

Rumahku Surgaku

Rumah bukan hanya tempat berteduh dari sengat matahari dan derasnya hujan, tetapi ia juga tempat bertumbuh rasa kasih sayang, tempat kembali bersama kehangatan keluarga.

Allah Maha Pemurah

Burung yang keluar dari sangkarnya dengan perut kosong, akan kembali di sore hari dengan perut kenyang. Sungguh Allah Maha Pemuerah kepada semua makhluk-Nya.

Di Atas Langit Masih Ada Langit

Langit hanyalah batas dari ketidakmampuan pandangan mata kita, namun akanl dan iman kita akan selalu mengatakan bahwa masih ada langit di atas langit yang kita lihat.

Jalan Hidup

Jalan hidup tak selamanya datar. kadang ia menaik-turun, berliku dan terjal. Hanya pribadi yang kuatlah yang mampu menempuh jalan itu.

Lebah

Ia hanya makan dari sesuatu yang bersih dan bergizi sehingga ia menghasilkan sesuatu yang bersih dan bergizi pula. ia tak pernah merusak saat mencari makan. ia ada untuk bermanfaat.

Minggu, November 27, 2011

Refleksi hijrah 1433

Apa yang menjadikan momentum hijrah begitu istimewa sehingga Khalifah Umar bin Khatab berani berbuat “bid’ah” dengan menjadikannya sebagai permulaan penanggalan (kalender Islam)? Bukankah biasanya peristiwa kelaharian seseorang yang menjadi titik permulaan seperti halnya kalender masehi (dalam kasus lain, peringatan hari-hari besar seperti hari pendidikan, hari kebangkitan Nasional dimulai dari hari kelahiran). Tentu Khalifah Umar telah berpikir secara matang sama halnya ketika beliau mengusulkan kepada Abu Bakar untuk mengkodifikasikan al-Quran.

Yah, keputusan Khalifah Umar memang tepat adanya, karena hijrah merupkan momentum berkembangnya Islam. Setelah 13 tahun di Mekah, Islam hanya mendapat sedikit simpati dari masyarakat Mekah kala itu. Padahal Nabi Muhammad sangat berharap masyarakat Mekah (terutama bangsa Quraisy) berkenan memeluk Islam. Namun yang ada justru perlawanan, hinaan, cercaan, ancaman pembunuhan, pemboikotan dan pengusiran. Setelah beberapa negeri dijajaki sebagai tempat untuk pengembangan Islam, akhirnya Madinahlah yang kemudian menjadi tempat persemaian. Di sini Islam tumbuh dan berkembang dengan pesatnya, hinga hanya dalam kurun waktu sekitar 10 tahun di Madinah telah tumbuh komunitas muslim yang menjadi pioner Masyarakat Madani. Kaitan hijrah dan Masyarakat Madani telah penulis sajikan sebelumnya, sehingga penulis tak ingin masuk pada area itu lagi.

Hijrah berasal dari kata hajara yang bisa berarti berpaling. Seperti dalam sebuah hadis yang menyatakan bahwa umat Islam dilarang berdiam-diaman (berpaling) dari saudaranya lebih dari tiga hari. Dengan demikian hijrah tidak semata-mata sebagai sebuah perjalanan dari Mekah ke Madinah, tepi lebih dari itu ialah berpaling dari tanah yang “tandus” kepada tanah yang “subur”. Berpaling dari masa kelam kepada masa yang cerah. Itulah hijrah. Adapun tujuan hijrah, yaitu agar manusia dapat beribada kepada Allah dengan leluasa. Itulah tujuan hijrah: ibadah. Allah membenci orang yang terpaksa menjadi kafir lantaran tidak mau berhijrah (QS. An-Nissa 97).

Hijrah dan Perubahan
Apa relevansi hijrah untuk saat ini?
Jika tidak dibatasi, pembicaraan pasti akan melebar jauh, karena hal ini bisa kita kaitkan dari yang bersekala individual hingga sekala nasional atau bahkan internasional. Batasannya adalah: HIJRAH ADALAH MOMENTUM PERUBAHAN. Apa yang menjadi prinsip hijrah hingga terjadi sebuah perubahan besar?

Tentu prinsip yang pertama adalah niat. Hijrah tidak akan berhasil tanpa adanya niat yang benar, yaitu seperti yang ada pada tujuan hijarh: beribadah kepada Allah. Yang kedua adalah kemauan berpaling, yaitu bersedia meninggalkan masa yang lalu. Bukan berarti kita harus melupakan masa lalu itu (karena meskipun kita melupakan masa lalu itu, ia tetap ada), tetapi kita harus membuat garis demarkasi antara masa lalu dengan masa kini dan masa depan. Jika tidak, maka perubahan besar tidak akan pernah terjadi. Sama halnya seorang wanita yang bercerai dengan suaminya lalu menikah lagi, namun di pernikahan kedua dia tidak merasa bahagia karena ia masih berada dalam bayang-bayang suaminya yang terdahulu.

Prinsip ketiga adalah: mulai sesuatu yang baru, kebiasaan-kebiasaan yang baru. Tentu kebiasaan-kebiasaan yang baik. Kesalahan? Pastilah semua orang melakukannya. Orang yang baik bukanlah orang yang tak pernah melakukan kesalahan, tetapi orang yang bisa belajar dari kesalahan dan tidak mengulangi kesalahan tersebut. Kaidah fikihnya adalah muhafadatu ‘alal qadimish shalih wal akhdu bil jadidil ashlah, mempertahankan yang baik dan mengambil yang lebih baik. Hal ini harus dilakukan dengan isitqamah (konsisten), karena hanya dengan demikianlah kita tak mengulangi kesalahan yang sama.
Semoga perubahan itu ada. SELAMAT TAHUN BARU HIJRIAH 1433. Kullu ‘amin ana wa antum bikhair.

Senin, Oktober 03, 2011

Ulangan

Pada suatu pagi di sebuah sekolah.

"Anak-anak, apakah kalian semalam belajar?"tanya seorang guru kepada murid-muridnya.
"tidak, Bu Guru", jawab anak-anak itu serempak.
"Loh, kenapa tidak belajar? kalian sudah tahu kan kalau hari ini ulangan?" tanya ibu guru itu lagi.
"Tahu, Bu". jawab anak-anak itu lagi dengan koor.
"Kalau sudah tahu hari ini ulangan, kenapa kalian tidak belajar?"tanya bu guru penuh keheranan.
"Kan ini cuma ulangan, mengulang pelajaran kita yang dahulu, jadi aku belajarnya sudah dari dulu, Bu Guru". jawab seorang murid.
Bu Guru yang masih muda itu pun menghela napas. lesung pipitnya membuat wajah itu tampak lebih cantik.
"Okelah kalau begitu, sekarang siapkan alat tulis kalian."


Tiga puluh menit kemudian.

"Nomor 5B kok masih kosong, nak?"tanya Bu guru kepada salah seorang siswa.
"Tidak bisa, Bu"jawab murid itu.
"Katanya dulu sudah belajar dari dulu?"cibir Bu Guru.
"Benar, Bu. Tapi sekarang sudah lupa.
"Itulah ilmu, nak. ia akan melekat pada diri kita jika kita selalu mengulang-ngulangnya. namun dia hanya melekat, jika kita lupa mengulangnya, dia akan lepas. jika kamu ingin ilmu itu tidak hilang, maka ilmu itu harus menyatu dengan dirimu. Dia akan menyatu dengan diri kita ketika kita telah mengamalkannya." Guru Cantik itu lalu menatap ke wajah anak-anak muridnya, lalu ia menatap ke wajah dirinya sendiri.



Rabu, Agustus 03, 2011

Lelaki Tua di Pekuburan

Mabh Marto, itulah namanya. Lelaki tua yang tidak pernah lepas dari kepalasanya songkong hitam yang sudah mulai memerah. Entah berapa tahun usia kopiah itu. Mungkin masih belum terlalu tua, namun bisa jadi karena kurangnya perwatan menjadikan kopiah itu nampak usang. Bukan hanya kopiah hitam yang memerah yang menjadi ciri khas mbah Marto, tetapi juga plastik bungkus permen yang dijadikannya wadah tembakau, wor dan kertas rokok. Hitam bibirnya petanda bahwa Mbah Marto adalah perokok ulang. Perokok lintingan tepatnya. Rokok ini pula yang menambah kharismatik pada diri mbah Marto sebagai seorang JKM.

Begitulah kebanyakan orang menyingkat profesi mabh Marto sebagai Juru Kunci Makam, profesi yang telah dijalaninya selama kurang lebih lima belas tahun itu. Kurang lebih, yah karena tidak pernah ada orang yang benar-benar menghitungnya. Tidak penting. Dan juga tidak ada kaitannya dengan birokrasi, tidak ada pensiun. Begitu juga Mbah Marto tidak pernah menghitungnya. Dia begitu menikmati profesinya. Orang yang merasakan kenikmatan tidak pernah menghitung-hitung berapa lama dia telah mekakukanya. Menghitung-hitung waktu biasanya hanya dilakukan orang-orang yang tidak bahagia, tidak bisa menikmati kehidupan.
Sebagai seorang JKM, tugas Mbah Marto tidak jauh dari makam. Mengurus penguburan jenazah, membersihkan makam, membaca doa untuk orang yang sedang berziarah. Dan Mbah Marto pun identik dengan perkuburan, makam. Jika berbicara tentang makam atau kuburan, selalu saja orang akan segera ingat akan Mbah Marto. JKM pun kadang diplesetkan menjadi Juru Kunci Marto. Dan Mabh marto pun tidak marah akan hal itu, dia hanya tersenyum.
Berhitung waktu berlalu, banyak hal yang telah dialami oleh Mbah Marto. Kadang menyenangkan, kadang tidak mengenakkan hati. Namun, sekali lagi, dia mencoba untuk menikmati semuanya. Dia pernah menggali makam pada malam hari. Alasannya, pihak keluarga ingin agar jenazah segera dikuburkan. Pernah juga dia mengubur jenazah tanpa identitas. Jenazah tersebut ditemukan di pinggir kali yang mengalir di sepanjang pinggir daerah Mbah Marto . Warga kemudian melapor pada Polisi. Jenazah pun akhirnya dibawa ke rumah sakit. Namun setelah beberapa lama tidak ada sanak keluarga yang mengkonfirmasi, akhirnya jenazah dimakamkan di pekuburan tersebut. Saat dimakamkan, bau busuk begitu menusuk.
Kalau ditanya kapan waktu yang paling menyenangkan, pasti jawab Mbah Marto adalah menjelang bulan Ramadhan. Sehari sebelum memasuki bulan suci itu, warga banyak yang berziarah. Senangnya Mbah Marto adalah karena dia tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga untuk membersihkan pemakaman tersebut. Ditambah lagi, kalau sedang baik hati, orang yang meminta Mbah Marto untuk mendoa akan memberi Mbah Marto sejumlah uang. Tidak besar, tetapi cukup untuk tambahan beli tembakau. Kalaupun selain hari menjelang Ramadhan, tentulah hari itu hari jumat. Sebagian orang rajin untuk berziarah pada hari jumat pagi. Sunah rasul katanya.
Ziarah kubur memang dianjurkan dalam agama. Sebelumnya Nabi pernah melarang umatnya untuk berziarah karena takut umatnya akan musyrik, meminta kepada kuburan, bukan kepada Tuhan. Namaun kemudian Nabi membolehkannya. Untuk mengingat maut katanya. Yah, maut memang harus selalu diingat-ingat, agar manusia sadar bahwa kelak ia juga akan mati.
Maut adalah misteri. Dia ada bersembunyi dan selalu mengintai manusia. tak seorang pun tahu kapan dan di mana maut akan datang kepadanya. Dia menyapa, bukan hanya orang yang sudah tua renta, tetapi juga bayi yang baru lahir. Dia bisa datang saat manusia sedang lelap maupun terjaga. Dan ketika dia datang, tak ada lagi kompromi, tak ada tawar menawar, tak ada negosiasi. Bahkan juga tanpa permisi. Jika tiba waktu dia datang begitu saja, tanpa diundang. Maut adalah pemutus. Dia pemutus kenikmatan, kesengseraan, kebahagian, kesedihan dan kebersamaan, pemutus kefanaan.
Ingatan Mbah Marto menyelesur menembus waktu tiga bulan yang lalu. Seusai shalat subuh, salah seorang jamaah mendatangngi mbah Marto dan menyapanya.
“Mau minta oleh-oleh apa dari Jogja, Mbah?” Tanya seorang jamaah yang bernama Roziqun itu.
“Emang kamu mau ke Jogja, Ziq? Ada acara apa?”
“Wisudanya Rani, Mbah,” jawab Raziqun. Mbah Marto pastilah tahu Rani, anak pertama Raziqun yang sedang kuliah di Jogja. Masih sedikit warga kampung ini yang mau merantau untuk menuntut ilmu. Kebanyakan mereka bekerja, sehingga keberadaan Rani pun sangat menonjol, khususnya bagi Mbah Marto.
“Saya titip Blangkon saja Ziq, yang murah-murah saja ya!” Mbah Marto mulai berpikir untuk mengganti pecinya yang sudah memarah.
Sore itu, mbah Marto sedang duduk-duduk di teras Masjid. Dia sedang memikirkan bagiamana penampilannya dengan blangkon ala kraton Jogja. Namun lamunannya buyar saat mobil Raziqin melintas di depan masjid. Bukan blangkon yang dia terima, tetapi kabar buruk. Raziqun pulang tidak hanya dengan Ijazah Rani, anakmya, tetapi juga dengan Jenazahnya. Rani meninggal karena terseret ombak laut selatan saat mereka sedang bertamasya di pantai Parangtritis usai Wisudanya. Itulah maut, tak kenal tempat, tak pandang bulu.
“Mati.’ Mbah Marto sedikit menggumam. Lirih. Seolah dia berkata pada dirinya sendiri. Rona wajahnya sedikit berubah, memucat. Ah, mengapa dia baru sekarang berpikir tentang maut, mati. Mengapa baru sekarang dia sadar dan merenungi tentang kematin? Bukankah hal itu sudah dihadapinya saben hari? Mengapa dia jadi teringat mati?
Mbah Marto mematikan lintingannya. Tangannya ia usapkan ke tanah. Yah, mengapa dia jadi teringat mati? Bukankah mati itu adalah sebuah keniscayaan bagi semua makhluk? Entah esok atau lusa, pastilah semua orang akan mati? Dia ingat, bagaimana dia membimbing orang yang sedang dalam keadaan sakarotul maut. Dia ingat saat dia memandikan jenazah, mengkafani, menshalati dan mengadzani serta meletakkannya di lubang yang sempit itu. Dia ingat bagaimana pucat dan dinginnya wajah itu saat dia membuka ikatan kafannya. Dia juga ingat saat satu persatu para peziarah melemparkan tanah ke dalam kuburan, lalu menimbunnya. Terakhir di atasnya diberi nisan petanda bagi siapa yang ingin berziarah. Dia juga ingat wajah-wajah orang yang ditinggal mati itu. Ada yang menangis sampai histeria bahkan sampai pingsan. Ada yang hanya bersedu sedan. Ada yang hanya meneteskan air mata, tanpa suara. Ada yang biasa-biasa saja. Ada juga yang tertawa, entah gembira atau apa. Dia ingat semua. Sementara jenazah ditinggal sendiri di ruang sempit itu, beralas dan berbantal tanah, berselimut gelap. Meski selama ini Mbah Marto sering sendiri, namun dia tidak bisa membayangkan kesendirian di dalam kubur.
Mbah Marto menatap ke sekeliling kubur, nisan-nisan nampak mulai lapuk diterpa panas dan hujan. Pikirannya belum bisa berdamai. Dia merenung, berpikir kapan dia akan mati, di mana dia akan mati, siapa yang akan membimbingnya saat dia sakaratul maut? Siapa yang akan memandikan, siapa yang akan mengkafani dan menshalitinya, siapa yang akan menguburnya? Adakah yang akan menangisinya?
Tiba-tiba air matanya menetes. Entah apa yang ditangisinya. Mungkin dia menangisi kematianya nanti, atau bisa juga dia menangisi nasibnya, kesendiriannya. Namun, baru kali ini Mbah Marto merasa takut. Entah apa yang dia takutkan. Kematian? Mengapa sesuatu yang pasti harus ditakuti. Bukankah kematian adalah gerbang yang akan mengantarkan manusia pada sebuah perjumpaan. Yah mugkin perjumpaan itu yang membuat Mbah Marto takut, sebuah perjumpaan dengan Dia yang membuat hidup. Mbah Marto merasa bekalna belumlah cukup. Mbah Marto tak ahu harus menjawab apa ketika Yang memberi hidup itu bertanya tentang orang-orang yang diamanatkan kepadanya.
Ingatan Mbah Marto melesat jauh menuju satu masa yang pernah dia lalui. Wajah-wajah membayang di tepian sawah, di antara pohon kacang sayur yang merambat di bamboo-bambu yang dibelah. Cerah, sumringah. sesumringah padi yang munguning. Masa panen hampir tiba. Mbah Marto melihat ke wajah istrinya. Senyum tersungging di sana. Tiada merugi dia menikahinya. Wanita inilah yang menguatkan hidup Mbah Marto. Namun Mabh Marto tidak tahu kalau itu adalah senyum yang terakhir Sumi, istrinya.
Esok hari adalah masa panen raya. Sebagaimana tradisi di kampung itu, setiap panen raya pastilah masyarakat akan berbondong-bondong membawa makan ke sawah untuk dimakan bersama-sama. Namun belakangan acara panen raya itu ditambah lagi dengan satu acara pada malam harinya, yaitu dengan acara pengajian. Ini lantaran semakin banyaknya warga kampung tersebut yang mengirim anak-anaknya ke Jawa untuk belajar ilmu agama. Marto muda bukanlah Mbah Marto seperti saat ini yang selalu ada di masjid sat waktu-waktu shalat. Saat isu bias dikata dia asih abangan. Shalat hanya ia lakoni saat hari jumat dan hari raya saja.
Tak ada seorang pun warga desa yang menduga aka terjadi petaka di kampung mereka. Malam hari saat mereka mendengar pengajian di masjid kampung, mereka diserbu oleh segerombolan orang tidak dikenal dengan bersenjatakan senapan. Sawah ludes digasaknya. Saat kejadian tersebut Mbah Marto sedang memancing ikan di kali yang agak jauh dari kampung. Rencananya, ikan itulah besok yang akan jadi lauk saat pesta raya. Dia melihat kobaran api yang membakar kampung itu. Jerit orang-orang kampung terdengar dari tempat dia berdiri. Dia ingat istri dan Randi, anak laki-lakinya yang baru mau masuk SD. Sejak malam itu, kampung tersebut menjadi medan perseteruan dan kerusuhan. Warga kampung itu dianggap subversif, membangkang pada negara dan ingin membuat kekacauan. Sejak saat itu pula Mbah Marto tidak pernah pulang ke kampungnya.
Mbah Marto kembali tersadar. Seekor nyamuk menggigit lengannya. Dipukulnya nyamuk itu. Naas, sang nyamuk tidak sempat meloloskan diri. Disapunya dengan tangan kiri darahnya yang telah dihisap nyamuk itu. Pandangan kembali melayang mengitari makam. Ditatapnya dua makam yang terletak di bagian pojok. Entah munculnya dari mana rasa itu, keigninan itu. Tiba-tiba muncul dalam hatinya keinginan untuk nanti dikuburkan berdampingan dengan istri dan anaknya. Namu hatinya kembali ciut, dia tidak pernah tahu, apakah istri anaknya dikuburkan atau tidak. Kalaupun dikuburkan, dia pun tidak tahu di mana mereka dikuburkan. Kerusuhan itu telah membawa petaka, mengahapus semuanya. Sejak malam itu, Mba Marto tidak pernah kembali ke kampungnya.
Hari itu hari jumat. Sebagaiamana hari jumat sebelum-sebelumnya, pemakaman itu ramai oleh para peziarah. Mereka membersihkan makam, menyirami dengan air bunga lalu berdoa. Namun ada yang tidak biasa. Para peziarah tidak mendapatkan Mbah Marto di gubuk yang sering digunaknnya untuk berteduh dan beristirahat usai memberishkan makam. Para peziarahpun bertanya-tanya satu sama lain.
“Pulang kampung, kali”, kata seorang laki-laki dengan baju koko dan peci putih.
“Emang Mbah Marto punya kampung, punya keluarga?” Sanggah yang lain.
“Emang kamu saja yang punya kampung halaman,” kata lelaki pertama.
“Lagi cuti mungkin,” kata yang lain.
“Emang PNS, pakai cuti segala,” yang lain menyahut.
“Mungkin dia sudah bosan jadi JKM.”
“Mungkin…….” “Mungkin…..” “Mungkin…..” “Mungkin…..” suara bersahut-sahutan. Riuh rendah mereka berpendapat. banyak pendapat, banyak kemungkinan, banyak ketidaktahuan, banyak ketidakpastian. Yang pasti hari semakin siang, satu persatu orang meninggalkan makam, dan makam pun kembali sepi saat adzan berkumandang memanggil umat muslim utuk menunaikan shalat Jumat.
Sampai hari Jumat berikutnya, menghilangnya Mbah Marto masih menjadi perbincangan di makam itu, di mushola, di masjid di warung makan di pengajian, di arisan. Begitu juga hari-hari dalam minggu berikutnya, sampai pada satu bulan, dua bulan, tiga bulan. Pelan tapi pasti, obrolan itu pun menghilang. Tak ada lagi obrolan tentang Mbah Marto. Ia pun terlupakan.
Sembilan bulan sejak kepergian Mbah Marto, nampak rumput yang ada di makam mulai meninggi. Hanya beberapa makam saja yang masih nampak bersih, makam yang masih sering diziarahi oleh sanak familinya. Yang lain sudah mulai tertutupi oleh rumput yang tingginya sudah melebihi batu nisan.

Kamis, Juni 02, 2011

Perjalanan Pulang

Peluit panjang menggema. Kereta ekonomi Progo yang membawaku bergerak perlahan meninggalkan stasiun Lempuyangan. Aku lempar pandanganku ke luar kereta, tampak beberapa orang di sana melambaikan tangan ke arah kereta, yang jelas bukan kepadaku. Aku perahatikan wajah mereka. Ada yang tertawa bahagia sambil bergurau dengan sesamanya, ada yang hanya mesam-mesem, ada yang seperti tersenym namun senyum itu tampak begitu beratnya sehingga lebih tampak dia seperti orang menangis. Ada yang memang dia menangis, meneteskan air mata, meski tidak berteriak heiteris merang-raung.

Dispunya air yang mengalir di pipi itu dengan sapu tangan basah karena sudah sedari tadi dia menangis. Aku taksir gadis itu berumur 20 tahunan. Dia yang ketika kereta belum berangkat, duduk di sampingku di bangku tunggu bersama seorang pemuda yang usianya mungkin masih di bawahku. Entah, di gerbong berapa pemuda itu duduk, aku tak tahu. Bisa jadi dia masih berdiri di depan mintu sambil juga melambaikan tangan, seperti dalam film-film, tentu bukan film made in Indonesia, karena film made in Indonesia jarang sekali yang memasukkan kereta ekonomi dalam filmnya. Tidak matching alias tidak nyambung. Kerata api, apalagi ekonomi, sejak dulu telah menjadi simbol tersendiri, yaitu masyarakat kelas bawah.

Kereta tua itu melaju, memburu matahari yang mulai memerahkan langit. Selaput awan menoda kebeninga langit, tapi noda itu justru menambah keindahan langit sore itu. Serombongan burung Kuntul tampak mengepakkan sayapnya di angkasa menuju pulang ke sarang, sementara di bawah, segerombolan manusia memadati jalan, juga menuju pulang. Lelah tampak membayang di wajah-wajah mereka. Ingin segera sampai rumah tentu, dan tak sabar berharap kereta yang menutupi jalan mereka lekas berlalu.

Pulang. Indah sekali kata itu, kata yang menggetarkan hati para perantau jika mendengarnya, meski tak dipungkiri ada juga yang merasa kecut. Aku termasuk golongan pertama. Sudah hampir empat tahun aku tidak menginjakkan kaki di tanah kelahiranku. Entah seperti apa rupa kampungku, rumahku dan orang-orangnya saat ini, aku tak tahu. Rindu selalu datang saat dalam kesendirian, namun apa daya, waktu dan dana seringkali menjadi kendala. Jawa-Sumatra, atau Lampung-Jogja kini terasa begitu jauh, tidak seperti masa-masa aku di S1 dulu. Setiap saat aku bisa pulang kampung, tentu denga biaya yang dikirm dari kampung oleh bapakku. Kini untuk pulang, aku harus menyediakan dana sendiri, dan aku kira tidak hanya cukup untuk ongkos, tetapi juga untuk membelikan oleh-oleh untuk sanak kerabat. Itulah risiko orang yang sudah lulus kuliah dan dianggap sudah bekerja, sudah berpenghasilan. Meskipun sebenarnya bapak dan ibu tidak menuntut itu, tapi tidak demikian dengan sanak saudara yang lain serta para tetangga.

Empat tahun bukanlah waktu yang singkat bagiku, meski temankau ada yang lebih dari itu. Pernah suatu saat salah seorang temanku bertanya, apakah aku sudah memutuskan untuk tinggal di Jogja? Entahlah, sampai saat ini aku belum memutuskan. Aku hidup hanya mengikuti arus yang membawaku, sampai kemudian aku tiba di samudara. Itulah jawabku beberapa bulan yang lalu, dan sampai saat ini masih juga tidak berubah. Dia bilang aku adalah orang yang takut bertempur di daerah sendiri. Bagiku, bukanlah persoalan tidak berani atau takut bertempur di daerah sendiri, namun masih ada asa di hati ini yang masih memberatkanku untuk keluar dari tanah perantauan ini.
Memasuki stasiun Kutoarjo, matahari benar-benar telah pergi meninggalkan kereta ini berjalan dalam selimut kegelapan malam. Tampak beberapa orang duduk dengan tenang dan melaksanakan shalat magrib. Keriuhan para penumpang kereta tampaknya tak mengganggu kekhusukan mereka. Aku pun kemudian melakakan hal yang sama, menunaikan kewajiban yang tak bisa ditinggal meski kita terbaring lemah, kita mesti melakukannya, meski dengan isyarat mata dan bacaan lirih, atau bahkan dalam hati. Sebenarnya bisa saja aku menjamaknya nanti di Stasiun Senin, toh sampai sana belum masuk waktu subuh. Tapi, siapa yang menjamin kereta ini akan sampai di stasiun Senin tepat waktu? Bisa jadi kereta ini terlambat, atau malah tidak sampai ke sana. Tak ada yang tahu, termasuk juga aku. Aku takut kalau ini menjadi perjalanku pulang kepada Tuhan, sementara aku masih menanggung utang kepada-Nya.

Kutempelkan tanganku ke dinding kereta. Kuangkat lalu kuusapkan di wajahku. Aku tempelkan lagi tangganku ke jendela kereta lalu kusapukan di kedua tanganku secara bergantian. Setelah itu aku benahi dudukku dan mencoba konsentrasi “Allahu akbar…”

“Turun di mana, mas?” tanya seseorang yang duduk di sampingku. Aku baru sadar bahwa dia adalah pemuda yang duduk di sampingku di bangku tunggu. Berarti dia juga tadi yang dilambai mesra oleh seorang perempuan muda saat kereta ini pelan mulai berjalan.
“Senin”, jawabku. “Sampean?” aku balik bertanya.
“Saya di Bekasi”. Aku perhatikan wajahnya dengan seksama saat dia sedang membeli rokok dari pedagang asongan yang sedari tadi hilir mudik. Aku yakin umurnya masih di bawahku. Masih tampak guratan-guratan kenakan di wajah itu, pun demikian dengan cara dia berpakaian.
“Rokok, mas”. Dia kembali beramah tamah.
“Terima kasih, kebetulan saya tidak merokok.”
“Tidak apa-apa kan saya merokok di sini?” Dia tampak rikuh.
“Monggo.. moggo.. Silahkan saja, lha wong ini ruang umum kok.” Meski aku tidak merokok, mana mungkin aku melarang orang lain untuk tidak merokk, apalagi di ruang umum seperti ini yang rata-rata adalah, sekali lagi, masyarakat kelas bawah.
“Kalu boleh tahu, tujuan Sampean ke mana, mas?” saat ini keramahannya benar-benar tampak, tidak hanya basa-basi.
“Saya mau ke Lampung, tengok orang tua. Sampean ke Bekasi ke tempat siapa.”
“Saya kerja di sana, di pabrik tekstil di Cikarang.”
“Sudah lama? Tanyaku.
“Kurang lebih sudah dua tahun.”
“Tidak kerja di Joga saja mas?”
“Upahnya kecil, mas. Lagian dari kecil aku sudah di Jogja, mas. Sekalian cari pengalaman.
“Mas asli jogja?” tanyaku meyakinkan.
“Gunung Kidul.”

Mendengar daerah itu aku paham. Itu adalah kabuapetn terluas di jogja, namun sekaligus termiskin. Konon di sanalah sebenarnya gunung berapi kuno berada. Daerah itu merupakan daerah bebatuan. Jika kita pergi ke sana pada musim penghujan, kita akan mendapati bukit-bukitan yang hijau, tetapi jika kita ke sana pada musim panas, yang kita dapati hanyalah tonjolan-tonjolan bukit karts. Dengan konsidi tanah seperti itu, ketika musim panas dating, masyarakat Gunung Kidul harus rela memberi air yang diangkut oleh tangki dari Bantul atau Jogja. Untunglah belum lama ini proyek pengangkatan air dari sungai bawah tanah telah berhasil di selesaikan,. Meskipun proyek itu memakan biaya yang besar, namun saying baru beberapa daerah kecil saja yang bias menikmatinya, sementara yang lain masih harus membeli air atau menandu air hujan. Minimnya air berdampak pula pada minimnya penghasilan, sehingga angka kemiskinan di kabupaten ini tinggi. Hal ini pula yang menyebabkan angka bunuh diri juga tertinggi.

“Maaf! kalau boleh tahu, tadi itu pacar mas?”
“Oh.. itu istri saya mas.”
“Kok tidak diajak sekalian?” korekku. Insting jurnalistikku mulai bekerja.
“Repot mas, anak kami masih kecil. Baru satu bulan.”
“Ooo . . . .”

Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku. Pemuda itu menghisap rokoknya, menikmati setiap hisapannya sebagaimana dia menikmati hidup ini. Dua puluh tiga tahun, itu berarti selilisih lima tahun dari umurku. Bedanya kini dia telah menimang anak, sementara aku masih juga melajang.
Kereta terus melaju membawa semua penumpang dengan perasaannya masing-masing, beban hidup masing-masing. Keceraian tampak di wajah beberapa penumpang, bukan berarti mereka tidak mempunyai beban hidup, tetapi aku kira kemampuanya untuk berbagi dengan orang lainlah yang menjadikan beban itu terasa ringan. Minimal dengan berbincang dengan teman senasib sepenanggungan di kereta ini. Mereka mengalahkan waktu dan baban hidup serta jauhnya jarak dengan menertawakan diri sendiri. Itulah kemampuan yang tidak dimiliki oleh bangsa-bangsa di dunia ini, kecuali orang-orang Nusantara.
Aku memesan kopi panas kepada pedagang asongan yang entah sudah berapa kali berjala hilir mudik dari gerbong satu ke gerbong lainnya, dari ujung depan hingga ujung belakang, berdesakan dengan pedagang lain dan penumpang yang tidak mendapatkan temapt dukuk. Lelah tampak di wajahnya, namun itu tak dihiraukan. Mungkin yang terbayang di matanya adalah wajah-wajah anaknya yang sedang tidur atau sedang mengerjakan PR dari gurunya di sekolah. Itulah yang membuat wanita yang aku taksir berumur 40 tahunan itu tak kenal lelah menjajakan dagangannya, meski dia harus bersaing dengan 5 orang atau lebih yang seprofesi dengannya. Persaingan? Aku tak melihat itu, justru mereka sangat akrab sekali, tak tercium aroma persaingan di sana.

“Rezeki itu kan sudah ada yang mengaturnya, Mas, manusia cuma bisa berusaha. Dapat banyak syukur, sedikit ya syukur, kalau tidak dapat ya sabar”, begitu ujar salah seorang pedagang yang aku temui beberapa bulan yang lalu saat aku ke Jakarta dengan kereta yang sama.
“Buat apa bersaing, orang kita sama-sama mengais rezeki di sini,” kata pedang sale, oleh-oleh khas Banyumas, suatu ketika.
Begitulah mereka menjalani hidup, naik turun kereta menjajakan makanan atau minuman. Lebih separo harinya dihabiskan di kereta. Seorang ibu, aku lupa namanya, penjual minuman panas dan pop mie pernah bercerita, dia menjalani profesinya itu sudah hampir 15 tahun. Stasiun-stasiun kereta di Jawa hampir semua ia pernah singgahi, baik itu yang dibangun oleh Belanda seiring dengan pembangunan rel kreta ini, maupun stasiun-stasiun baru yang dibangun oleh pemerintah Indonesia. Biasanya dia naik dari Jogja turun di Kroya, lalu kembali lagi ke Jogja dengan kereta yang dari Jakarta atau Bandung. Kadang dia langsung saja di satu kereta sampai Jakarta. Pernah karena capek mendera tubuhnya, dia terbawa kereta hingga Surabaya.
“Dilakoni mawon, Mas. Apa-apa kalau sudah dilakoni enak-enak saja, tidak berat,” begitu ujar ibu itu saat aku tanya tentang enak susahnya jualan di atas kereta. Secara kasat mata, tentu orang akan memandang profesi itu sangat tidak mengenakkan, susah. Untungnya pun aku yakin tidak seberapa. Kopi yang aku minum ini seharaga Rp. 2000, selisih 500 rupiah dengan kopi yang ada di angkringan. Harga satu saset kopi itu di warugn Rp. 1.000. berarti keuntungan par penjual kopi di kerata itu sekitar seribu rupiah per saset. Jika dalam satu malam laku 10 saset, berarti keunutngan mereka Rp. 10.000. sementara jarak yang mereka tempuh sudah berpuluh kilometer. Itulah hiudp, itulah perjuangan. Sesusah apa pun suatu pekerjaan bila itu dilakukan demi yang dicintai, orang-orang yang dikasihi, pastilah akan terasa mudah.

Aku seruput kopiku yang masih menguap. Aromnya masuk ke hidung, meski tak seharum kopi Lampung, namun untuk suasana seperti ini sudah cukup terasa nikmat, sama nikmatnya dengan kopi di angkringan tugu, Matto, Lembayung, Blandongan dan tempat-tempat nongkrong lainnya di Jogja. Bukankah nikmatnya kopi tidak hadir dari kopi itu sendiri, tetapi juga dari suasananya, dan tentu saja dengan siapa kita meminumnya? Ada lagi, siapa yang membuatnya.
Malam merambat dengan pelan, sepelan laju kereta yang harus mengalah pada kereta kelas binis atau eksekutif. Suasana kereta pun mulai sepi. Hanya beberap orang yang masih tampak terjaga dan bercakap-cakap, sementara yang lain telah asyik dibuai mimpi masing-masing. Satu dua orang pedangang asongan masih ada yang berjalan menyusur gerbong. Dalam suasana seperti itu gemeretak benturan besi-besi tua terdengar sangat keras, namun perlahan kemudian suara itu berubah menjadi komposisi musik yang berirama. Irama itu pelan-pelan memaskui ruang kesadaranku. Perlahan, pandangaku mulai kabur, mataku sedikit-demi sedikit mulai terkatup. Namun sayang, belum lebih dari tiga menit aku terlelap, aku dikejutkan oleh getar dan dering HP yang aku taruk di kantong Jaket. Satu pesan singkat masuk.

“Lg mudik ya? TTDJ. Jngn lp oleh2nya!” pengirim Dania, teman satu klasku di Program Magister.
Belum selesai aku menuliskan SMS balasan, HP-ku mati, habis baterey, sehingga membuatku urung untuk membalas SMS-nya. Kembali angin malam yang masuk lewat jendela yang memang sudah tidak ada kacanya lagi, menyatu dengan irama benturan besi tua, masuk dalam kesadaranku dan meninanabobokanku.
Menara Siger mulai tampak dari tempat aku berdiri. Menara yang sengaja dibangun dengan megah di atas bukit. Bangunan itu seakan ingin mengucapkan “Selamat Datang di Bumi Ruawa Jurai”. Warna kuning keemasannya tampak berkilau diterpa sinar matahari. Perjalanan dengan kerata api Jogja-Jakarta semalam meskipun beberapa kali berhenti, tapi masih lumayan cepat, tidak seperti biasanya yang harus banyak berhenti karena mempersilahkan kereta kelas bisnis berlalu terlebih dahulu. Biasanya hal itu tidak terjadi sekali dua kali. Kadang sampai tiga atau empat kali. Kali ini perjalanaku begitu cepat, sehingga sepagi ini aku sudah berada di atas geladak kapal Ferry Merak-Bakahuni.
Sejak beberapa hari yang lalu, mas Baim tak henti-hetinya menelponku, memintaku segera pulang. Bapak sakit keras, dan mengharap semua keluarga bisa menuggui beliau. Ahmad Ibrahim, begitu nama lengkapnya, adalah kaka pertamaku atau tertua dari lima bersaudara. Menikah dengan Jannah, teman sepermainnya dan dikarunia dua orang anak, keduanya putri semua. Meskipun bertani, namun kehidupanya bisa dibilang makmur. Mbak Jannah yang anak tunggal membawa keberkahan sendiri bagi Mas Baim. Tanah warisannya cukup luas, dan lebih dari cukup untuk menghidupi satu istri beserta dua anaknya. Itu sebabnya Mas Baim sering mengirim uang kulaih di saat hasil panen bapak kurang baik.
Jika kedunya kurang baik, maka giliran Mbak Laila, kakakku yang kedua, yang mengirim. Dia kini tinggal di bandung bersama suaminya dan satu orang anaknya. Meskipun menurutnya kirimannya tidak terlalu banyak, karena harus dibagi dua dengan adik Aa’ Aep yang kuliah di Bandung, namun kiriman Mbak Laila lebih banyak. Apalagi kalau Aa’ Aep lagi dapat orderan membuat seragam sekolah, seragam partai atau perusahan tertentu. Sebenarnya setelah lulus itu aku diminta Bantu Aa’ Aep mengurus konveksinya yang tidak terlalu besar, namun aku menolak. Aku masih memilih Jogja. Alasan rasional? Jangan pernah tanyakan itu padaku, aku sudah terlanjur jatuh cinta pada kota kecil ini, dan cinta tidak membutuhkan alasan.
Itulah tiga sumber keuanganku. Sementara dua saudaraku lagi, Ahmad Fathani dan Maisaroh masih kuliah. Maisaroh di Jogja, sehingga aku masih sering ketemu. Meski sedikit, aku sering membantu keuangannya. Hasil dari mengajar privat di beberapa rumah cukup untuk dia hidup di Jogja. Dia sudah pulang terlebih dahulu 3 hari yang lalu. Aku harus menyelesaikan Ujian Akhir semester genap ini, baru kemudian pulang. Selain itu aku juga harus menyelesaikan pekerjaan biar bisa izin beberapa hari, karena naskah harus sudah terbit akhir bulan ini.
Ingatanku kembali kepada bapak. Lelaki yang aku hormati dan sangat bersahaja, tenang dan selalu menyungging senyum. Semoga beliau baik-baik saja.

***
Kapal Ferry yang membawaku pelan-pelan mulai merapat. Para penumpung pun satu per satu juga merapat ke pintu. Beberapa buruh angkut berseragam merah tampak bersiap-siap melompat ke kapal, meski badan kapal belum benar-benar bersandar pada pelabuhan. Seragam merah yang membungkus tubuh-tubuh kekar mereka sebagian mulai tampak menguning, tertutup debu dermaga. Sesampai di kapal, mereka berebut menawarkan jasa dan tenaga mereka. Posisi dermaga IV yang jauh di ujung akan membuat orang enggan untuk mengangkat barang bawaannya, saat itulah jasa buruh angkat barang dibutuhkan. Aku pernah memakai jasa mereka sewaktu aku pulang dari Jogja mampir Jakarta dan banyak membawa barang titipan. Sekarang, apa pula yang mau diangkat, yang ada padaku hanya satu tas gendong yang melekat di punggungku dengan isi tidak lebih dari dua potong pakaian dan beberapa buku bacaan. Dengan bawaan seperti itu, dengan mudah aku menerobos penumpang yang lain, berjalan menyelusuri lorong yang menuju ke terminal.

“Raja basa… Raja Basa..” terdengar teriak para kondektur mencari penumpang saat para penumpang telah keluar dan berada di terminal pelabuhan. Bebera kernet jahil menarik bawaan calon penumpangnya, memaksa calon penumpang itu untuk ikut dengan busnya.
Seorang perempuan paruh baya berusaha keras menghindr serbuan para kondektur itu. Rupanya dia ingin naik bus yang ber-AC. Dengan susah payah dia berjalan menuju bus yang ber-AC. Tak lamu aku pun menyusulnya, karena aku juga ingin naik bus ber-AC. Perjalan dari Jogja tadi sudah cukup melehakan, dan aku masih butuh waktu empat jam untuk sampi di rumah. Herannya, tak seornag kondektur pun yang berani menarik-narik aku, atau bahkan sekedar menawari aku untuk ikut busnya. Mungkinkah mereka takut melihatku? Ah, apa yang mereka takutkan. Lebih pas mungkin karena aku tak layaknya calon penumpang. Dandanannku yang kusut dengan hanya mengenakan kaos oblong dan sandal jepit sudah cukup buat alasan mereka untuk tidak menarik-narik lagi. Bukan rahasia umum lagi, kalau dia antara orang-orang yang menarik-narik penumpang ada yang berprofesi sebagai copet.
Bus masih belum sepenunya terisi, masih ada beberapa bangku yang kosong, meski berada di bagian belakang. Aku duduk di dekat seorang ibu yang tak lain adalah calon penumpang yang tasnya ditarik-tarik tadi.

Bus berjalan pelan, merambat, naik turun menelusuri jalan Tans Sumatra, jalan yang menjadi penghubung antarpropins di pulau Adalas ini. Karena propinsi ini adalah gerbangnya Sumatra, maka tak heran jika banyak kendaraan melalui jalur ini. Namun anehnya, sejak kepulanganku yang terakhir hingga saat ini tidak ada perubahan yang mencolok pada jalan tersebut. Adapun pelebaran hanya beberapa meter saja dari pentu keluar pelabuhan, sisanya adalah jalan sempit yang dihiasi lubang-lubang kecil.
Bayang-bayang masa lalu melintas dalam ingatanku, saat bus yang aku tumpangi melewati pantai Pasir Putih, tempat pariwisata yang tak asing bagiku. Di tempat inilah aku merayakan kelulusan dan juga perpisahan bersama teman-teman SMA untuk kedua kalinya. Perayaan pertama kami lalui di puncak bukit yang tak lama lagi akan kelihatan dari jalan raya ini. Di bukit itulah kami berjanji akan berkumpul lagi setelah lewat 10 tahun. Itu berarti masih 2 tahun yang akan datang. Dengan demikian aku masih bisa memenuhi syarat untuk datang, yaitu membawa pasangan hidup yang sah. Semula aku kira persyaratan itu konyol, masak reuini di puncak gunung dan harus membawa teman hidup alias istri atau suami masing-masing. Memang, masa-masa SMA adalah masa-masa yang penuh dengan kekonyolan.

Teringat persyaratan itu aku langsung teringat Zahro. Pernah tersebeit satu harapan aku datang bersamanya di reuni tersebut. Sayang sekali aku harus pulang ke Lampung pada saat di mengunjungi Jogja. Seharusnya aku bisa bertemu dengan dia di sana, main ke malioboro dan nogkrong di sana sampai subuh sama seperti saat study tour dulu.

***
Saat tiba di perempatan, aku tidak menemukan Mas Baim di sana. Mengapa tidak terpikir olehku untuk mengecas HP di Kapal tadi. Tapi setidaknya Ms Baim sudah tahu kalu hari ini aku sampai Lampung. Terpikir olehku untuk naik ojek. Hari sudah sore, kalau aku tidak segera naik ojek, magrib mungkin aku masih di jalan. Untungnya aku sudah jamak asar tadi waktu di kapal.
Saat aku hendak melangkah ke pangkalan ojek, aku melihat wajah yang tak asing lagi bagiku muncul mengendari motor bebek dari arah barat. Segera setelah aku jabat tanggannya, aku membonceng di belakanga dia. Motor yang dikendari Mas Baim pun berjalan pelan mennggalkan perempatan.

“Bagaimana perjalanannya?”
“Alhamdulillah lancea, Mas?"
Sisa-sisa air hujan masih menggenang di aspal yang rusak dan membuat lobang.
“Rahma apa kabar , mas?” Rahma adalah anak Mas Baim yang pertama.
“Alhamdulillah baik. Tadi lagi TPA. Kamu belum pernah ketemu adeknya rahma ya? Tadi dia pingin ikut, tapi tidak boleh ma Mbakmu, takut nanti kehujanan di jalan. Sore biasanya hujan”.
“Namanya siapa mas? Sudah seberapa?” aku memang belum pernah ketemu. Yah, 4 tahun aku tidak pulang. Wajah Rahma mungkin juga aku sudah agak lupa.
“Dua bula lagi dia genap dua tahun. Sudah mulai jalan. Sedikit-sedikit juga sudah belajar ngomong. Biasanya, anak kalu jalan duluan, nomongnya agak telat.”
Sepanjang jalan Mas Baim bercerita banyak tentang kondisi rumah, kondisi kampong, si A sudah nikah, si B sudah punya anak, Si Z kemarin baru meninggal. Namun tak sedikit pun dia menyinggung persolan bapak. Aku pun tak mempertanyakannya. Pikiranku asyik bermain bersama kawan-kawan kecilku di pematang sawah yang kami lewati. Padi yang belum lama ditanam tampak mulai ijo royo-royo. Biasanya saat musim seperti ini sangat baik untuk memancing belut di sawah.

Memasuki halaman, aku merasa ada yang aneh. Rumahku ramai oleh orang. Beberapa sanak kerabat baik dari bapak maupun ibu ada di sana. Aku masih berdiri di depan halaman saat aku lihat ibu keluar dari rumah. Wajahnya sendu. Dengan tenang beliau berjalan ke arahku. Aku pun langsung menghampirinya. Aku sungkem pada beliau lama. Ada satu ketenangan dan kehangatan yang aku rasa saat aku sungkem itu. Mungkin seperti inilah kehangatan saat aku masih di rahim wanita ini. Aku masih sungkem, sampai aku merasa ada air hangat jatuh di punggungku. Saat itu aku rasakan ibu mengangkat tubuhku. Aku lihat matanya telah basah oleh air mata yang kemudian mengalir di pipinya. Wanita itu tampak lebih tua dari saat terakhir aku temui di acara wisudaku.

“Ikhlaskan ya, le..” Ujarnya lirih nyaris tak terdengar, beradu keras dengan suara tangisnya.
Aku tak mengerti apa yang Ibu maksud. Beliau memelukku. Tangisnya kini pecah. Baru kali ini aku mendengar ibu menangis. Aku tahu wanita itu adalah orang yang tegar dan tabah hatinya. Sejak masih kecil beliau sudah ditinggal untuk selama-lamanya oleh bapak dan ibunya yang berarti kakek-nenekku, sehingga dia dibesarkan oleh pakdenya. Itulah yang membuat beliau tegar. Tapi sore ini aku melihat benteng ketegaran itu jebol, sehingga nuansa kesedihan membanjiri siapa saja yang ada di dekatnya. Wanita itu kemudian memelukku, erat sekali dan lama. Pelukan seperti ini yang selalu aku rindukan saat pulang dari perantauan, pelukan hangat yang selalu menghadirkan rasa ingin pulang. Namun, ada nuansa lain sore itu yang sepenuhnya belum aku mengerti.

Aku rasakan ada orang lain yang memegang punggungku. Ternyata Pak Lek Wagiman. Pak lek dan Mas Baim kemudian membing aku dan ibu masuk rumah. Aku masih tidak mengerti apa yang terjadi. Aku duduk di kursi berhadapan dengan paklek Wagiman yang ada di seberang meja. Aku lihat pak lek ingin mengungkapkan sesuatu. Namun masih ragu. suasana di ruangan itu menjadi hening. Sesekali isak tangis Ibu masih terdengar.
“Kang Masmu tadi berklai-kali menghubungi HP-mu, tapi tidak aktif,” akhirnya Pak Lek angkat bicara.
“Bagaimana perjalananmu?”
“Alhamdulillah lancara, Pak Lek,” jawabku.
Aku menangkap ada yang tidak beres. Pertanyaan pak lek tampak sekali hanya basa-basi.
“Pak lek boleh Tanya sesuatu, le? Tanya Paklek.
“Masalah apa pak Lek?” aku balik bertanya. Kuedarkan mayaku ke Ibu dan Mas Baim serta Mai yang baru masuk membawakan segelas air putih untukku dan lalu duduk dekat ibu.
“Kamu tahu kenapa kamu pulang?” Pak lek kembali bertanya. Aku tidak tahu ke mana arah pertnayaan Pak Lek.
“Diminta Mas Baim,” jawabku singkat.
“Kamu pulang karena kamu diminta pulang Kang Masmu, soale Ibumu, kang masmu, adikmu, keponakanmu dan keluarga di sini kangen kamu.” Paklek berhenti lagi. Ditariknya nafas panjang-panjang. Aku merasakan ada yang menggenang di pelupuk mataku, tak lama kemudian mataku mulai berkaca-kaca. Aroma kesedihan mulai tampak di setiap kata yang keluar dari Paklek.
“Bapakmu juga ada yang mengangeni, ada yang merindukan. Dia sudah disuruh pulang. Pulang ke kampung halaman, pulang pada yang menciptakan. Dia sudah mengalami pahit manisnya hidup ini, sudah menempuh waktu dan jarak perjalan hidup yang panjang, sudah saatnya dia menempuh perjalanan pulang……”

Aku tak mampu lagi menangkap ucapan Paklek. Air yang sedari tadi menggenang di mataku, kini bobol sudah, mengalir di pipiku, meski aku tak merasakan hangatnya air itu. Ia menjadi dingin, sedingin bongkahan es yang menyesaki dadaku hingga membuatku sulit untuk bernafas. Aku tak mampu berkata-kata, aku tak mampu untuk membuka mulutku, meski hanya untuk tangisan. Tangisan itu terpendam di dasar dada yang semakin membekukanku, sehingga badanku pun menggigil. Kini air tak hanya keluar dari sudut kedua mataku, namun dari seluruh tubuhku. Dingin. Aku semakin tergigil dan membeku, sehingga tanganku tak mampu mengusap air yang yang telah menutupi pandanganku. Yang tampak kemudian hanya gelap. Sungguh, gelap yang pekat.
Dalam gelap itu aku tergagap, mencoba mencari terang. Tanganku menyusur dinding yang kemudian membawaku pada satu titik cahaya, namun begitu kecil, begitu jauh. Aku menelusur sebidang ruang yang ternyata adalah lorong, menuju cahaya yang semakin terang. Saat aku tiba di ujung lorong, aku takjub. Cahaya itu bukan dari sinar matahari, juga bukan dari pembakaran. Cahaya itu keluar dari setiap benda yang ada di sana, taman yang begitu indah. Dia keluar dari tiap bagian bunga yang tumbuh di sana. Dia keluar dari air yang mengalir, dari burung yang terbang dan kemudian hinggap di dahan pohon yang sedang berbuah labat yang buahya juga bercahaya. Bukan hanya bulu-bulu burung itu yang bercahaya, dalam kicauannya pun mengandung cahaya. Cahaya itu juga keluar dari batu-batu yang ada di taman itu, serta sayap kupu-kupu yang terbang disekiar bbunga-bungan nan inah itu. Ia hinggap, meghisap sari bung, lalu pergi lagi.

Saat itu aku melihat satu sosok yang sedang duduk di atas batu yang bercahaya. Sosok itu pun juga mengeluarkan cahaya dari seluruh tubuhnya. Ragu, sepertinya aku mengenalnya. Aku perhatikan sosok itu dalam rentang waktu yang agak lama, sampai kemudian dia menolehku. Aku pun yakin dia adalah Bapak. Aku berjalan mendekat sesaat setelah beliau melambaikan tangannya.
“Bapak sedang apa”, tanyaku setelah tiba di sana.
“Apa kamu tidak lihat, bapak sedang istirahat, setelah melakukan perjalanan yang panjang. Sungguh melelahkan perjalanan itu”, kata bapak.
“Namun aku tidak melihat kelelahan di wajah Bapak?” tanyaku. Beliau tampak segar.
“Lelah itu akan berlalu setelah kita sampai pada apa yang kita tuju. Dan memang untuk sampai pada yang kita tuju, kita harus mau berlelah-lelah. Jika kita tidak merasakan lelah, maka tujuan itu pun tidak akan terasa indah. Namun lelah itu akan tertutup oleh rasa bahagia yang tiada terkira,” aku tidak begitu paham dengan ucapan Bapak.
“Bapak mau ke mana lagi?” tanyaku saat aku melihat Bapak bangkit dari duduknya.
“Jalan lagi, sebentar,” jawabnya.
“Bukannya Bapak tadi bilang sudah sampai tujuan?" tanyaku keheranan. Bapak menoleh padaku. Bibinya menyungging senyum.
“Kamu anggap semua ini tujuan Bapak? Bukan. Mereka semua ini makhluk sama seperti bapak, seperti kamu. Mana mungkin Bapak kembali kepada makhluk”, ujar beliau.
Aku gondeli tangan Bapak, saat lelaki itu baru mengayunkan kaki beberapalangkah.
“Aku ikut bapak”, kataku, sama seperti saat aku masih kecil dulu, saat bapak mau pergi ke kota.
“Setiap orang mempunyai perjalanan sendiri-sendiri, setiap orang menempuh jalannya sendiri-sendiri, dalam ruang dan waktunya sendiri-sendiri, sesuai dengan fungsinya. Jalanku dan jalanmu beda. Masaku dan masamu beda. Ikutilah jalanmu sendiri, dan nikmatilah perjalananmu itu," kata Bapak persis saat merayuku jika aku bertekat untuk ikut beliau ke kota. Dan aku selalu mengalah atau kalah oleh rayuan dan iming-iming Bapak. Kali ini beliau tak memberi imng-iming, namun tetap saja aku kalah. Tak bias membantah.

Bapak menatapku yang masih berdiri tertegun, lalu beliau mencium keningku. Ciuman itu terasa sangat menyejukkan. Aku larut dalam kesejukan itu. Aku pejamkan mataku beberapa saat untuk menelusuk lebih jauh pada kesejukan itu. Namun saat aku buka, aku tidak melihat Bapak lagi. Yang tampak dalam pandanganku adalah warna putih langit-langit kamarku. Aku raba keningku, sepotong kain basah menempel di atasnya. Tak lama kemudian kain itu diambil oleh ibu, saat beliau tahu aku sudah siuman. Hampir dua jam aku tidak sadarkan diri. Kata-kata Bapa masih trngiang, aku mash harus mnmpuh jalanku, yang mungkn masih panjang, terjal dan berliku, sebelum aku pulang kepada-Nya.

Senin, Februari 14, 2011

Melahirkan Kembali Muhammad

Dalam catatan hariannya, dalam keresahannya terhadap persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini, Ahmad Wahib pun berkata, seandainya Muhammad ada saat ini, apa yang akan dikatakan dan dilakukan oleh Muhammad. Mungkin itu bukan hanya menjadi keresahan Wahib saja. Bisa jadi itu menjadi keresahan saya dan juga anda, ya keresahan kita semua. Mengapa kita mengharapkan kehadiran Muhammad?

Muhammad adalah sosok agung yang sampai saat ini masih terasa pengaruhnya. Bahkan dia diletakkan sebagai urutan pertama tokoh-tokoh yang paling berpengaruh terhadap perubahan sosial. Dalam waktu yang singkat, 23 tahun, Muhammad mampu melakukan transformasi sosial di satu negeri yang sedang terpuruk. Untuk sekedar mengingat, arab pada sekitar abad 6 Masehi adalah negeri yang secara moral dan sosial sedang terpuruk. Perekonomian mereka hanya dikuasai oleh segelintir orang, para pemodal dari kabilah-kabilah besar. Struktur sosial masyarakat saat itu berdasarkan kesukuan atau dikenal dengan kabilah. Kabilah dengan anggota yang banyak dan mempunyai sumber ekonomi, bisa dipastikan akan lebih berkuasa terhadap kabilah-kabilah lainnya. Apabila ada anggota satu kabilah terbunuh atau dibunuh oleh anggota kabilah lainnya, maka kabilah tersebut harus melakukan pembalasan. Sehingga, tidak jarang terjadi permusuhan, saling menyerang antar kabilah.
Hal lain yang mejadi budaya bangsa arab pra Islam ini yaitu apabila mereka dikarunia anak perempuan, mereka akan kecewa. Baginya, anak perempuan tidak bisa membantu kabilahnya. Maka sering kali mereka membunuh anak perempuannya itu.
Muhammad datang membawa cahaya baru bagi manusia. Dia adalah penerus risalah kenabian yang diutus, setidaknya, dengan dua visi kenabian, yaitu tauhid dan keadilan sosial. Muhammad adalah sosok dengan pembawaan yang lembut di tengah-tengah bangsa Arab yang keras. Dia penuh kasih sayang kepada semua orang. Dia adalah pribadi yang anggung, molek rupa dan akhlaknya. Beliau adalah sosok yang tegas dan juga adil. Dalam diri Muhammad terhimpun Musa, Daud dan Isa. Kesatuan inilah yang membawa beliau kepada kesuksesan dalam melakukan transformasi sosial di tanah Arab dalam waktu singkat.
Nur Muhammad, menurut satu riwayat, adalah hal pertama yang diciptakan Allah sebelum Dia menciptakan segala sesuatu. Hal ini yang menjadikan beliau sebagai kekasih Allah, bahkan tidak sekedar kekasih-Nya, tetapi juga thariqoh menujunya, sebagamana Allah firmankan:

Katakanlah, apabila kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku (Muhammad), maka Allah akan mencintaimu.

Fenomena yang berkembang saat ini, banyak sekali orang atau kelompok yang meneriakan jargon-jargon “Islam Kaffah”, namun tak jarang pula kita melihat dari mereka hanya mengambil bagian-bagian dari Islam itu sendiri. Tidak melihat Nabi secara utuh. Padahal Nabi adalah sosok yang utuh, mempunyai integritas tinggi. Dalam diri beliau terdapat uswah yang bisa diambil oleh siapa pun. Beliau adalah seorang kepala keluarga, bapak, pedagang, guru, imam shalat, pemimpin umat dan pemimpin negara. Beliau juga adalah seorang panglima perang yang handal.
Sebagai kepala keluarga, Muahmmad saw. Adalah orang yang sanag kasih sayang pada istri-istrinya dan anak-anaknya. Keluarga belaiu adalah keluarga yang harmonis, rukun dipenuhi oleh kasih sayang. Rumah beliau adalah sekolah bagi anak-anaknya dan juga para sahabat. Sebagai pedagang, beliau adalah pedagang yang jujur, tidak curang, tidak mengurangi timbangan, tidak memanipulasi haraga untuk memeroleh keuntungan yang tinggi, sehingga beliau dikenal dengan al-amin. Sebagai guru belia adalah orang yang sukses mendidik para sahabt menjadi pribadi-pribadi yang tangguh, cerdas, tegas, amanah, dermawan dan pandai. Hal ini minimal tergambar dalam pribadi khufaaurrasyidin. Sebagai pemimpin umat, beliau adalah orang yang bijaksana dan adil. Beliau sangat mengetahui kondisi umatnya dan hidup selayaknya umatnya. “Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadan miskin, dan matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku di akhirat nanti bersama kelompok orang-orang miskin”. Begitulah doa beliau yang mungkin tidak bisa kita tiru. Beliau adalah pemimpin yang peduli terhadap orang-orang miskin dan sangat dekat dengan mereka. Beliau adalah pemimpin yang adil, tidak pandang bulu, jikalau Fatimah binti Muhammad mencuri, pastilah akan aku potong tangannya. Begita ujar beliau. Beliau juga pernah memenangkan orang Yahudi yang bersengketa dengan dsfsdfsdorang Muslim.
Kita rindu pada sosok seperti itu, kita rindu pada pemimpin yang adil, dermawan, bijaksana yang mengerti kehidupan rakyatanya, yang hidup seperti juga rakyatnya hidup. Kita rindu pada pemimpin yang tegar, tidak pernah mengeluh pada rakyatnya, tetapi dia hanya mengeluh pada Tuhannya dalam sujudnya di sepertiga malam. Kita rindu pemimpin yang jujur, yang adil dan tidak pandang bulu. Pemimpin yang mau ditegur, diingatkan, pemimpin untuk semua rakyatnya, bukan untuk golongannya saja.
Kita rindu pada sosok pedagang, pengusaha yang jujur, yang tidak mengurangi timbangan. Pengusaha yang tidak memonopoli perdagangan. Kita rindu pada guru yang mempunyai integritas kepribadian, yang bisa menjadi suri teladan bagi murid-muridnya, yang mengamalkan apa yang ia ajarkan, guru yang bisa digugu dan ditiru.
Kita rindu pada pemimpin agama yang bijaksana, yang mengeluarkan fatwa dengan melihat seluruh aspek persoalan. Pemimpin agama yang menghadirkan kesejukan dalam kata-katanya, bukan pemimpin agama yang memecah belah umat. Kita rindu kepada pemimpin revolusi yang konsisten, istiqamah, tidak hanyut oleh pragmatisme kekuasaan dan kepentingan golongan. Kita rindu pada kebenaran. Kita rindu pada keadilan. Kita rindu pada kemakmuran. Kita rindu pada sosok Muhammad. Kita menanti kedatangan Muhammad untuk meyelesaikan persoalan umat ini. kita rindu Muhammad terlahir kembali.
Secara fisik, Muhammad tidak akan terlahir kembali. Namun nur Muahmmad, visi dan misi Muhammad tidak akan pernah lekang oleh waktu. Visi dan misi profetik. Yang kemudian lahir adalah generasi-generasi yang mempunyai integritas kepribadian, ketundukan kepada Allah dan perlawanan terhadap tiran, kasih sayang sesamanya dan sangat keras terhadap kekafiran, kezaliman, dan kesewangan-wenangan. Itulah generasi yang bisa merubah kondisi kita sat ini.