SCRIPTA MANENT VERBA VOLANT

(yang tertulis akan tetap mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin)

Minggu, Oktober 20, 2013

Mengapa Menikah?

Jika ada yang bertanya: di mana kita bisa mendapatkan air yang jernih? Maka aku akan menyarankannya untuk menelusuri sungai hingga ia sampai ke hulu. Di sanalah kita akan menemukan air yang jernih yang langsung dari sumbernya. Apa hubungannya dengan judul di atas? Ada, tapi agak jauh. Saya hanya ingin mengatakan bahwa apabila kita menginginkan sesuatu yang murni, kita harus merujuk pada sumbernya. Lebih jelasnya, ketika akan berbicara tentang pernikahan, maka kita harus merujuk pada sumbernya. Tentu saja dalam hal ini sumber tersebut adalah Al-Quran yang merupakan pitutur Tuhan.


Sebelum berbicara tentang pernikahan, saya terlebih dahulu akan berbicara tentang penciptaan. Mengapa? Karena semua berawal dari penciptaan yang terbungkus oleh qudrah dan iradah Allah.

Dalam Al-Quran banyak dijelaskan tentang proses penciptaan manusia. Namun untuk mengetahui apa tujuan dari penciptaan itu, maka jawabnya dapat di temua dalam firman Allah surah Al-A’raf ayat …

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepadaku.”

Dalam sebuah riwayat, Ibnu Abbas menjelaskan bahwa kata “liya’buduni” di sini berarti “lima’rifati” atau untuk bermakrifat kepadaku, mengenal Allah. Hal ini selaras dengan sebuah hadis qudsi yang berarti “ aku adalah perbendaharan tersembunyi, aku ingin diketahui, maka aku menciptakan makluk”.

Terlepas dari riwayat tersebut, kata “abada” sendiri berarti sebuah pengkhidmatan diri, pelayanan diri. Adapun subjek dari kata tersebut adalah ‘abid, (yang menyembah). Ada yang mengabdi, tentu yang diabdi (ma’bud), yaitu Allah swt. Sang abid di sini harus menjadikan Al-Ma’bud sebagai titik pusat orientasi hidupnya. Dengan demikian, jin dan manusia harus menjadikan Allah sebagai titik tolak sekaligus titik tuju. Segala apa yang ia perbuat haruslah semata-mata untuk dan karena Allah. Inilah yang disebut dengan ikhlas. Ikhlas sendiri berasal dari kata khalasha yang artinya bersih dan terbebas dari segala sesuatu. Apabila seseorang melakakukan sesuatu tidak didasari dengan pengabdian kepada Allah, maka perbuatan itu bukan berbuatan yang ikhlas (bersih). Dan ia telah melakukan perbuatan menyimpang. Mengapa dikatakan menyimpang? Karena ia telah mengingakari janji. Janji apa? Janji primordial.

Sebelum dilahirkan ke dunia, terlebih dahulu manusia mengalami kehidupan di alam lain yang disebut sebagai alam rahim. Dan sebelum itu, manusia berada di alam ruh. Saat di alam ruh inilah manusia berikrar pada Tuhan. Alastu birabbikum? “bukankah aku Tuhanmu?

Pemaparan singkat di atas saya kira sudah cukup untuk menjawab pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini. Ya.. saya menikah karena saya tercipta sebagai manusia yang telah berjanji bahwa setiap salatku, ibadahku, hidupku dan matiku semata-mata karena Allah. Pernikahanku pun tak lain dan tak bukan semata-mata karena Allah swt. Itulah jawab pertama dari pertanyaan di atas.

****
Bisakah Anda membayangkan Anda berada di suatu tempat yang asing yang sama sekali belum pernah Anda kunjungi? Malangnya, di tempat itu tidak ada polisi yang selalu siap melayani masyarakat. Karena di tempat itu orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Karena di tempat itu setiap orang juga memikirkan nasib dan masa depannya sendiri. Tapi bedanya, di sana tidak ada kompetisi. Mereka memang sibuk dengan urusan pribadi, tapi tidak ada yang karena ingin ia sukses kemudian ia menyingkirkan orang lain. Mereka hanya mengkhawatir diri mereka sendiri. Menunggu apa yang akan terjadi dan kemana mereka akan pergi.

Pada saat-saat seperti itu tiba-tiba lewatlah sekelompok orang yang bernaung di bawah sebuah bendera berwarna hijau. Rombongan itu mempunyai hak istimewa menjadi rombongan pertama yang meninggalkan tempat itu. Setelah sebelumnya seorang lelaki bingung ingin ikut kelompok mana (karena memang tidak ada yang dikenal), maka ia memutuskan untuk ikut kelompok itu, karena ia yakin mereka adalah kelompoknya. Namun saat  ia hendak bergabung dengan barisan tersebut, tiba-tiba pimpinan kelompok itu berkata:

“Anda mau kemana?” tanya pimpinan itu.
“Ikut Engkau, wahai pimpinanku”. Jawab laki-laki tersebut.
“Tidak bisa. Anda bukan bagian dari kami”, katanya.
“Kok bisa Baginda bilang seperti itu”. Laki-laki itu terkejut.
“Karena Anda tidak melakukan apa yang kami lakukan.”
“Semua yang Baginda lakukan telah saya lakukan. Saya salat, puasa, zakat, haji sadakah. Semua telah saya lakukan.” Bantah Si laki-laki.
“Belum, karena kamu tidak menikah. Padahal nikah itu adalah sunnahku, barang siapa yang tidak menyukai sunnahkku, maka dia bukan dari golongnaku. So, good Bye.” Kata pimpinan rombongan itu.

Laki-laki itu pun bersedih. Satu-satunya kelompok yang ia kenal ternyata tidak mengakuinya. Ia terkatung-katung di negeri asing yang bernama barzakh.

Anda mau seperti itu? Saya yakin jawaban Anda seperti jawaban saya juga: tidak mau. Saya tidak mau terasing di negeri yang asing. Saya tidak mau dicuekin oleh orang yang selama ini saya harap-harapkan pertolongan (syafaatnya) di hari dan saat-saat seperti di atas. Meski sekelebat pun belum pernah saya menatap indah wajahnya, mendengar merdu suaranya, namun cukuplah cerita-cerita tentangnya menuntun saya untuk meneladani perilaku manusia agung ini, kekasih Allah, Nabi Muhammad saw. Bukankah hal ini juga menjadi ikrar kita?

Setiap kali kita berikrar bahwa tiada Tuhan selain Allah dan menjadikan Allah sebagai titik orientas, kita kemudian berikar bahwa Nabi Muhammad saw. adalah utusan Allah.  Itu artinya untuk beribadah (bermakrifat) kepada Allah, kita harus meniti jalan yang diajarkan oleh rasal-Nya, Muhammad saw.  Pun demikian jika kita mencintai Allah, kita harus mencinta rasul-Nya. Qul, in kuntum tuhibbunallah fattabiuni yuhbibkumullah. Katakanlah jika Kamu mencinta Allah, maka ikutilah aku (Muhammad saw.) niscaya Allah akan mencintaimu. Demikian kata Allah.

Mencinta Nabi Muhammad saw. adalah dengan mengikuti sunah-sunahnya, salah satunya adalah menikah. Itu adalah jawaban kedua.

Jawaban ketiga. Menikah adalah menyempurnakan separuh agama.
Suatu malam seorang anak kecil dengan girangnya memanggil ibunya.
“Bunda, lihatlah ke atas. Indah sekali ya?” kata si anak. Sementara bunda pun melihat ke arah yang ditunjuk anaknya. Di  sana bulan separo seperti tergantung di langit yang dihias kabut tipis.
“Kamu ingin lihat yang lebih indah lagi sayang?” Tanya bunda. Si anak pun mengangguk. “Esok akan bunda kasih lihat.”
Keesokan harinya, sang bunda memanggil si anak keluar rumah.
“Lihatlah sayang, bulan separo memang indah, tapi bulan purnama jauh lebih indah.” Kata sang bunda.
Si anak pun takjub melihat keindahan bulan purnama yang bulat sempurna.

Pada lain waktu, si anak menangis memanggil-manggil bundanya.
“Ada apa nak, kok nanggis?” tanya bunda khawatir.
“Saya mau beli roti fidaus di warung, tapi tidak boleh?” kata si anak.
“Kenapa tidak boleh?”
“Duitnya.”
Bunda pun melihat duit yang dipegang anaknya. Kemudia berkata : “Ya wajar saja kalau tidak boleh. Lha ini, duitnya cuma separo. Sobekkannya mana?”
Si anak pun hanya menggeleng.

Yang sempurna memang selalu lebih indah. Kesempurnaan adalah harapan semua orang dalam semua bidang. Bukankah kehidupan ini sendiri merupakan sebuah perjalanan menuju ke kesempurnaan, ke Yang Maha Sempurna?

Alasan yang keempat adalah karena kita terlahir sebagai manusia, yaitu makhluk yang berada pada puncak penciptaan (masterpeac ciptaan Allah) atau ahsanu takwim. Namun kesempurnaan itu bisa berbalik 380 derajat jika kita tidak menjaganya. Dalam artian, manusia bisa menjadi makhluk yang berderajat rendah jika ia tidak mengetahui posisi dan hakikat penciptaanya. Pernikahan adalah salah satu cara untuk menjaga kehormatan diri sebagai manusia. Pernikahan adalah pembeda antara manusia dan binatang dalam pemenuhan kebutuhan biologisnya.#

*Tulisan ini adalah bagian I bab 1 dari buku Surat untuk Istriku.

0 komentar:

Posting Komentar