SCRIPTA MANENT VERBA VOLANT

(yang tertulis akan tetap mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin)

Rabu, September 30, 2015

Pernikahan: Menyatukan Dua Kebudayaan


Pernikahan sebagai sebuah kelahiran kembali juga mengingatkan kepada sepasang pengantin bahwa mereka tidak sendiri lagi. Ada orang lain di sampingnya yang akan menemani perjalanan hidupnya. Namun perlu diingat, bahwa orang lain yang ada di sisi itu bukanlah Hawa yang diciptakan Allah sedemikian rupa yang saat Adam terbangun dari tidur sudah berada di sisinya. Orang yang berada di sisi kita sama dengan kita: lahir dari sepasang laki-laki dan perempuan. Apa maksudnya?

Pasangan kita adalah makhluk yang menyejarah. Ia lahir, tumbuh, berkembang dan menjadi dewasa, lalu bertemu kita. Itu artinya pasangan kita mempunyai sejarah yang berbeda dengan kita. Ia berasal dari ayah dan ibu yang berbeda, keluarga yang berbeda, bahkan juga berasal dari suku dan kebudayaan yang berbeda. Ini artinya, pernikahan tidak hanya menyatukan dua hati, dua jiwa, sepasang kekasih, tetapi juga menyatukan dua keluarga atau bahkan dua kebudayaan. 

Bisa Anda bayangkan, untuk menyatukan dua kepala saja sudah sulit, bagaimana menyatukan dua kebudayaan? Di sinilah pentingnya proses mengenal (ta’aruf) antara satu sama lain. Proses pengenalan ini tidak hanya sebatas apakah laki-laki dan perempuan itu cocok atau tidak, tetapi juga apakah keluarga keduanya cocok, sepaham atau tidak. Maksudnya apakah kedua keluarga mempunayi pemahaman sama tentang pernikahan atau tidak. Apabila kedua keluarga sepaham dan sepakat, maka terlaksanalah pernikahan.

Karena berbedaan kultur, sepasang pengantin ini kemudian harus saling memahami satu sama lain. Kesepahaman itu hanya akan tercipta melalu komunikasi. Misalnya tentang apa yang disuka dan apa yang tidak disuka oleh pasangan kita. Apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dikonsumsi oleh pasangan kita. Jangan sampai pasangan kita menderita karena memakan makanan yang ia alergi terhadapnya.

Namun ternyata tidak berhenti di situ. Pasangan suami istri ini pun harus mengenal adat istiadat di lingkungan keluarga pasangannya. Tidak hanya mengenal siapa pakde, paman, bibi ata keponakan, tetapi juga kebiasaan-kebiasaan mereka. Kita harus ingat, lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Selama kebiasaan itu tidak bertentangan dengan agama, maka ia harus sebisa mungkin menyesuaikan. Jangan sampai karena ketidaktahuan akan ungguh-unnguh di keluarga pasangan kita kita dianggap sebagai anak yang durhaka. No way.

0 komentar:

Posting Komentar