Pagi masih terlalu dingin. Mobilku pun tak segera menyala ketika aku starter. Udara di kota ini memang cukup dingin. Bisa dikatakan, tempat ini adalah puncaknya kota ini. Aku juga tidak paham mengapa bapak memilih membangun rumah di sini, di bukit yang berjarak 30 kilometer dari pusat kota. Bisa jadi bapak salah perkiraan.
Semula tempat ini memang sangat menarik. Kontur perbukitannya dengan sedikit lahan landai di bagian lain, membuat tempat ini begitu menarik para pebisnis perumahan dan villa. keindahan tempat ini pula yang menarik putra penguasa negeri ini saat itu untuk membangunnya menjadi resort. Namun ketika kekuasaan ayahnya tumbang, dia pun bangkrut. Masih tampak di sana sisa-sisa calon track motorkros yang belum selesai dibangun. Lahan yang luas itu kini menjadi milik pemerintah, sementara masyarakat yang dulu diusir dari tempat tersebut tidak bisa kembali mengambil tanahnya, kecuali dia seperti bapakku yang punya jabatan dan kekayaan.
Jujur aku katakana, rumahku bukanlah rumah yang dibangun asal-asalan, karena arsisteknya, Wijayakusuma, yang tidak lain adalah ayahku sendiri, adalah jebolan universitas terkemuka di Prancis. Dengan kamahirannya itu dia membangun rumah ini, perpaduan antar arsistektur modern dan arsisterktur jawa kuno. Justru yang tidak nampak adalah corak kesumatraanya, padahal kami tinggal di pintu gerbang Sumatra. Namun aku tidak heran, karena bapak memang orang jawa tulen.
Kami memang keluarga jawa. Bahakan anak-anak bapak, termasuk aku anak yang ketiga sekaligus terakhir, semuanya lahir di Jawa. Kami baru pindah ke sini saat usiaku sekitar 13 tahun, saat aku masih duduk di kelas dua SLTP. Saat itu bapak mendapatkan proyek besar di sini, pembangunan resort milik putra penguasa negeri ini kala itu. Namun meskipun proyek itu gagal, dan semua asset disita oleh pemerintah, bapak tetap selamat. Itu karena kedekatan bapak dengan semua orang, khusunya para pembesar pemerintah daerah di sini. Malah bapak kini menjadi direktur sekaligus pemegang saham terbesar di salah satu perusahan konstruksi.
Saat pertama ke kota ini, kami tinggal di rumah yang kami sewa di dekat tempat kerja bapak, tidak jauh dari tempat tinggal kami sat ini. Baru setahun kemudian bapak membangunkan “istana” ini. Yah, banyak tetangga dan tamu yang datang ke rumah mengatakan rumah ini adalah istana. Bahkan Alfian, teman sekolahku di SMA menyebutnya sebagai miniatur surga. Waktu itu memang kami baru belajar pelajaran agama yang diletakkan, atau lebih cocoknya disispkan pada jam terakhir. Guru agama kamii menjelaskan tentang taman surga, dimana air yang cukup jernih mengalir, buah-buahan tersedia dan mudah dipetik, bunga-bunga bermekaran di sana sini, suara-suara burung yang terdengar merdu. Apa saja yang manusia inginkan ada di surga. demikian kata guruku. Dan semua itu seakan telah tersedia di rumahku.
“Bukankah ibu guru tadi bilang kita harus menjadikan rumah kita sebagi surga, rumahku surgaku”, kata Alfian protes setelah aku katakan pada dia, rumah ini seperti neraka bagiku. Bagaimana tidak. Setiap hari yang aku dengar adalah pertengkaran bapak dan ibu pada pagi hari sebelum keduanya pergi bekerja. Tentu bukan di meja makan, karena sejak pindah ke Sumatra ini kami tidak pernah lagi makan bersama. Itu pula yang menyebabkan kami jarang bertegur sapa, apalagi guyup larut dalam obrolan. Paling hanya aku dan Liana, saudaraku yang kedua. Saudara pertamaku, Mas Agung, tidak ikut pindah ke Sumatra. Dia memilih tinggal bersama kakek nenek di Jawa. Beruntunglah dia tidak iktu pindah. Dan sekarang dia telah dikarunia satu orang anak. Mudah-mudahan dia tidak meniru sikap bapak.
Sebagai seorang kepala keluarga, bapak bersikap layaknya seorang raja. Semua perkataannya harus didengar. Namun tidak pernah mau mendengarkan orang lain. Sementara ibu justru tidak selayaknya permaisuri yang manut nurut pada raja, tetapi dia menjadi Ken Dedes yang memberontak pada suaminya. Sehingga pertengkaran tidak bisa dielakkan. Itu pula yang memebadakan dia dengan Ken Dedes. Ken Dedes masih berbicara lembut dengan suaminya, tetapi ibuku tida lagi berbicara lembut selayaknya seorang wanita solo yang pernah aku kenal.
Ketika terjadi perang kata, aku memilih diam atau pergi begitu saja meninggalakan rumah, ke rumah Alfian atau ke Game Center. Pulang menejelang larut malam. Namun seringkali aku tidak mendapatkan kedua orang tuaku di rumah. Semula aku sering menanyakan pada Liana, namun selalu jawabanya sama, belum pulang. Mereka berdua pulang larut malam, dengan mobilnya masing-masing. Bahkan kadang tidak pulang ke rumah.
Sikap kediktatoran bapak juga yang menyuruhku kuliah di bidang arsistektur, biar bisa meneruskan usaha bapak, katanya. Padahal waktu itu aku ingin belajar sastra Inggris. Aku hanya bisa diam dan menurutinya, meski dalam hati terbesit satu tekad, aku tidak akan pernah meniru bapak.
***
Lima tahun aku kuliah di Perancis. Semula aku ingin mengikuti jejak mas Agung, tinggal dan membangun keluarga di Jawa. Pernah aku utarakan maksudku pada Endah, teman kuliahku sesama orang Indonesia, tapi dia malah menganggapku bergurau. Selama aku kuliah, dialah orang yang banyak aku ajak bicara tentang keluargaku. Aku bercerita padanya, menuangkan seluruh gundah gulanaku, setelah aku dapat kabar meninggalnya ibu. Aku ceritakan padanya tentang keluargaku padanya meskipun tidak semua tetek bengeknya. Karena sedikit berat membicarakan permasalahan keluarga dengan orang lain yang bukan keluargaku. Menceritakan bapakku yang sering pergi, ibuku yang jarang di rumah, saudara perempuanku yang ikut-ikutan ngeluyur. Bukankah itu aib kelurga yang tidak perlu aku bicarakan dengan orang lain, kecuali jika sudah terlanjur alias keceplosan karena sudah tidak kuat aku memendamnya.
Tidak ada penyambutan, tidak ada selebrasi atau sejenisnya. Keinginanku untuk langsung pulang ke rumah aku batalkan. Aku mencari rumah kontrakkan dan menaruk semua barang-barangku di sana. Setelah dua bulan baru aku datang ke rumah.
Lima tahun bagiku waktu yang lama tinggal di negeri orang, jauh dari orang-orang yang aku hormati, cintai, namun sering juga aku benci. Sempat juga aku merindukan miniatur surga itu. Namun ternyata waktu lima tahun tidak cukup untuk memperbaiki kebobrokan rumah ini.
Tak ada ada banyak perubahan di rumah ini. Bunga-bunga itu, kolam ikan, air mancur, ayunan yang tergantung di pohon jambu di belakang rumah. Hanya saja aku tidak mendnegar kicauan burung lagi. Kata Pak Parman, pembantu rumah ini, bilang bapak takut terjangkit flu burung, sehingga burung-burung itu dikasihkan ke teman-temannya. Aneh, bukannya bapak jarang di rumah, mengapa mesti takut? Justru Parman dan teman-temannya sesama pembantulah yang selayaknya ttakut, karena mereka yang saben hari tinggal di rumah ini dan merawatnya. Memang tidak ada yang berubah, termasuk sikap bapak.
Sejak meninggalnya ibu, bapak tambah jarang di rumah. Liana pun sibuk dengan pekerjaannya. Aku coba memaksa diriku bertahan tinggal di rumah ini, yang semula aku kira bisa menganggapnya menjadi surga. namun tetap, rumah ini bukan surgaku, bukan baiti jannati, tetapi justru menjadi neraka yang orang tidak akan pernah betah tinggal di dalamnya.
***
Sudah sepuluh hari ini bapak tidak pulang ke rumah. Kabar yang aku dengar dia tinggal di apartemen temannya yang proyeknya baru bapak selesaikan. Sebagai imbalan, bapak mendapatkan satu apartemen di gedung itu. Dan akupun lebih senang tinggal di rumah kontrakkanku.
Mengetahui bapak tinggal di apartemen temannya tidak membuatku pusing. Apalagi aku mulai larut dalam tugas-tugas kantor. Sampai pada satu hari aku mendapatkan berita yang tidak mengenakan dan menyesakkan hatiku. Bapak meninggal, jenajahnya kini ada di salah satu rumah sakit di ibu kota.
Ceritanya berawal dari seorang pelayan catering yang mendapatkan bapak terkulai di kamarnya, kemudian pelayan tersebut memangil Pak Heru, pemilik apartemen sekaligus teman bapak. Rumah sakit daerah tidak bisa menangani penyakit bapak, dan harus dirujuk ke rumah sakit ibu kota. Namun naas, sesaat setelah diturunkan dari pesawat, bapak menghembuskan nafas terakhirnya.
Satu tahun sepeninggalan bapak, kami tiga bersaudara sepakat unutk menjual rumah peninggalan keluarga itu. Liana tinggal bersama suaminya di Palembang. Mas Agung tetap tinggal di Jawa. Sementara aku mebeli rumah sederhana yang selama ini aku kontrak.
Bagiku, baiti jannati tidak harus rumah itu besar, luas, mewah, dimana air jernih mengalir dan memancar, sebidang taman bunga dan buah-buahan yang rimbun, ataupun kolam ikan yang jernih hingga ikan yang di dasar kolam terlihat jelas. Juga bukan rumah dengan segudang pembantu yang siap melayani setiap saat. Rumahku surgaku adalah rumah yang harmonis, saling perngertian satu sama lain yang timbul karena adanya komunikasi. Dia adalah rumah, bukan istana dengan seonggok raja. Rumah yang guyup dengan tegur sapa dan canda di meja makan.