Tersebutlah ada sebauh pulau, pulau
Ura namanya. Di pulau itu ada hutan di mana hidup kawanan kera. Orang
menyebutnya kera pulau Ura. Kera di sana sangat bersahabat dengan para
wisatawan. Wisatawan pun senang memberi mereka makanan berupa kacang-kacangan,
pisang atau buah-buah lainnya.
Namun hubungan yang baik antara
manusia dan kera di pulau Ura mulai terusik karena oleh Alex si kera muda. Suatu
saat para pengunjung pulau itu diresahkan oleh kawanan kera muda yang sering
mengambil makanan mereka dan juga dari warung-warung. Para pengunjung akhirnya
mulai resah dan tidak nyaman.
Kejadian itu ternyata tidak hanya membuat
resah para pengujung, tetapi juga bagi kawanan kera pulau Ura.
“Ayah, kami melakukan ini karena persedian
makanan kita di sini tidak cukup. Jumlah kita semakin banyak, tapi makanan
tidak bertambah,” kata Alex.
“Itu tidak bisa menjadi alasan untuk
mencuri. Itu perbuatan hina. Jangan lagi kau ajak teman-temanmu untuk merampas
makanan dari manusia. Jika mereka tidak lagi datang ke pulau ini, maka makanan
kita akan lebih sedikit lagi,” kata sang pemimpin, “kalau ingin makan enak dan
banyak, kita harus bekerja keras, banting tulang, bukan merampas. Kita bisa
menanam pisang dan buah-buahan lainnya di pulau ini.”
“Tapi, Ayah, kita ini kera, bukan
manusia. Kita tidak mempuanyai kemampuan bertani seperti manusia,” kata Alex.
“Kalau begitu kamu bisa keluar dari
pulau ini, silahkan cari makanan di luar pulau ini jika kamu merasa selalu
kurang di sini,” kata pemimpin itu yang juga Ayah Alex.
***
Rapat hari itu berakhir tanpa ada
penyelesaian. Para tokoh adat it pun sebenarnya juga sering merasakan lapar yang sama. Namun sebaliknya, rapat itu memberi
ide bagi para kera muda. Yah, setelah rapat akbar itu, sebagian kera muda
berkumpul lagi bersama. Kali ini Alex yang memimpin. Mereka bersepakat dan
bertekad untuk menacari makan di luar pulau Ura. Semula ada yang ragu dengar
perkataan ayah Alex, tetapi Alex bisa meyakinkan mereka. Ia meyakinkan bahwa
ayahnya telah banyak berpengalaman dan menjelajah dunia.
“Mulia besok kita harus belajar
renang!” kata Alek.
“Sejak kapan kera bisa berenang.
Sampai kiamat hal itu tidakakan terjadi.
“Kita ikut perahu manusia saja,” usul
seekor kera.
“Tidak mungkin, mereka tampaknya sudah
terlanjur benci kepada kita,” kata yang lain.
“Mengapa kita tidak membaut perahu sendiri
saja?” Kat seekor kera bernama Alin.
Akhirnya kera-kera muda itu bergotong
royong bersama-sama. Pertama-tama mereka mencari kay yang cukup besar untuk
dijadikan perahu, lalu mereka menebangnya. Namun setelah berhari-hari menebang,
kayu itu tidak kunjung tumbang. Mereka mulai putus asa.
Mereka pun akhirnya bermusyawarah
lagi. Mereka mencoba ranting-ranting kecil yang diikat dengan kulit pohion,
tapi ternyata gagal. Sampai akhirnya mereka memakai bahan lain, bambu. Bambu
lebi ringan, jadi mungkin bisa mengapung, pikir mereka. Akhirnya jadi satu
rakit bambo. Namun karena rakit itu hanya cukup untuk 6 kera, maka mereka
membuat beberapa rakit lagi.
Pada hari yang kelima pembuatan rakit selesai
dua buah. Mereka pun telah siap untuk pergi. Namun Alex tetap meminta kawanan
kera muda itu untuk berpamitan kepada orang tua mereka masing-masing.
“Anakku, sebaiknya kalian urungkan
saja niat kalian!” kata Raja Gargoli.
“Bukankah ayah menyuruh kami pergi?
Bukankah kata ayah di luar sana ada hutan lebat yang menyediakan makanan untuk
kawanan kera?” kata Alex protes.
“Ayah waktu itu sedang marah, jadi
bicara ayah ngawur.” Kata sang Raja.
“Tidak, Ayah. Kami sudah terlanjur
percaya kepada Ayah. Semula saya sendiri tidak percaya, tapi ketika melihat
para manusia itu membawa makanan yang banyak, tentu di sana masih ada yang
lainnya. Tekad kami sudah bulat ayah,” kata Alex.
Raja Gorgoli pun tak mampu mencegah
mereka. Ia hanya bias mendoakan semoga kawanan kera muda itu selamat.
***
Keesokan paginya, Alex sudah berada di
tepi pantai sejak matahari belum muncul. Setelah lama menunggu, akhirnya satu
persatu mulai datang. Namun sampai matahari sepenggalah naik, baru tujuh ekor
kera yang sudah berkumpul.
“Sepertinya yang lain tidak jadi ikut.
Mereka takut risiko,” kata Alex.
“Biar saya susul mereka. Mengapa
mereka mereka berani mengingkari janji,” kata seekor kera bertubuh besar
bernama Bandi.
“Tidak usah, Bandi. Sejak awal saya
tidak pernah meminta kalian untuk ikut,” kata Alex, “dan bagi kalian yang ikut, saya katakan bahwa
setiap tindakan ada risikonya. Bisa jadi kita mati di makan ikan. Bisa di sana
tidak ada hutan. Kalau pun ada mungkin tidak ada buahnya. Apakah kalian siap
dengan semua risiko itu?” Tanya Alex.
“Siap ... “ jawab mereka kompak.
“Rawe-rawe
rantas, malang-malang putung,” kata seekor kera.
Mereka pun mulai menarik rakit yang
mereka buat itu ke sungai. Rakit yang satu mereka biarkan tetap di tempat.
Mula-mula mereka ragu. Namun akhirnya naik juga mereka ke bambu-bambu yang
telah diikat menjadi satu dengan menggunakan kulit pohon. Pelan-pelan mereka
mulai mendayung rakit itu ke tengah lautan dengan disaksikan oleh linangan air
mata dari kera-kera yang bersembunyi di balik rimbun pohon.
“Ingat, kita tidak tahu kapan akan sampai di
darat, jadi kita harus hemat. Terutama minuman,” kata Alex.
“Bukannya di sini banyak air? Mengapa
kita harus khawatir?” kata seekor kera bernama Gugun.
“Air laut itu asin. Kalau kita
meminumnya, kita bisa mati,” kata Alex.
Setelah lima lima hari lima malam
terombang-ambing di lautan, kera-kera muda itu sampai juga di tepian pantai.
Dari atas rakit, mereka bisa melihat hutan yang sangat lebat. Setelah turun,
mereka pun langsung lari ke arah hutan itu. Di sana mereka menemukan berbagai
macam buah-buahan. Ada pisang, ada jambu, ada papaya, ada rambutan dan masih
banyak lagi. Mereka makan dengan lahabnya. Saat haus, mereka tinggal turun. Di
sana ada air sungai yang mengalir kea rah laut.
“Benar kata ayahku, kalau mau makan
enak kita harus bekerja keras dulu, merantau bila perlu,” kata Bani.
“Ya, benar. Seperti kata pepatah
berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang
kemudian”.#
0 komentar:
Posting Komentar