Pernikahan sebagai sebuah kelahiran kembali juga
mengingatkan kepada sepasang pengantin bahwa mereka tidak sendiri lagi. Ada
orang lain di sampingnya yang akan menemani perjalanan hidupnya. Namun perlu
diingat, bahwa orang lain yang ada di sisi itu bukanlah Hawa yang diciptakan
Allah sedemikian rupa yang saat Adam terbangun dari tidur sudah berada di
sisinya. Orang yang berada di sisi kita sama dengan kita: lahir dari sepasang
laki-laki dan perempuan. Apa maksudnya?
Pasangan kita adalah makhluk yang menyejarah. Ia lahir, tumbuh, berkembang dan menjadi dewasa, lalu bertemu kita. Itu artinya pasangan kita mempunyai sejarah yang berbeda dengan kita. Ia berasal dari ayah dan ibu yang berbeda, keluarga yang berbeda, bahkan juga berasal dari suku dan kebudayaan yang berbeda. Ini artinya, pernikahan tidak hanya menyatukan dua hati, dua jiwa, sepasang kekasih, tetapi juga menyatukan dua keluarga atau bahkan dua kebudayaan.
Pasangan kita adalah makhluk yang menyejarah. Ia lahir, tumbuh, berkembang dan menjadi dewasa, lalu bertemu kita. Itu artinya pasangan kita mempunyai sejarah yang berbeda dengan kita. Ia berasal dari ayah dan ibu yang berbeda, keluarga yang berbeda, bahkan juga berasal dari suku dan kebudayaan yang berbeda. Ini artinya, pernikahan tidak hanya menyatukan dua hati, dua jiwa, sepasang kekasih, tetapi juga menyatukan dua keluarga atau bahkan dua kebudayaan.
Bisa Anda bayangkan, untuk menyatukan dua kepala saja sudah
sulit, bagaimana menyatukan dua kebudayaan? Di sinilah pentingnya proses
mengenal (ta’aruf) antara satu sama lain. Proses pengenalan ini tidak hanya
sebatas apakah laki-laki dan perempuan itu cocok atau tidak, tetapi juga apakah
keluarga keduanya cocok, sepaham atau tidak. Maksudnya apakah kedua keluarga
mempunayi pemahaman sama tentang pernikahan atau tidak. Apabila kedua keluarga
sepaham dan sepakat, maka terlaksanalah pernikahan.
Karena berbedaan kultur, sepasang pengantin ini kemudian
harus saling memahami satu sama lain. Kesepahaman itu hanya akan tercipta
melalu komunikasi. Misalnya tentang apa yang disuka dan apa yang tidak disuka
oleh pasangan kita. Apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dikonsumsi oleh
pasangan kita. Jangan sampai pasangan kita menderita karena memakan makanan
yang ia alergi terhadapnya.
Namun ternyata tidak berhenti di situ. Pasangan suami istri
ini pun harus mengenal adat istiadat di lingkungan keluarga pasangannya. Tidak
hanya mengenal siapa pakde, paman, bibi ata keponakan, tetapi juga
kebiasaan-kebiasaan mereka. Kita harus ingat, lain ladang lain belalang, lain
lubuk lain ikannya. Selama kebiasaan itu tidak bertentangan dengan agama, maka
ia harus sebisa mungkin menyesuaikan. Jangan sampai karena ketidaktahuan akan ungguh-unnguh
di keluarga pasangan kita kita dianggap sebagai anak yang durhaka. No
way.
0 komentar:
Posting Komentar