SCRIPTA MANENT VERBA VOLANT

(yang tertulis akan tetap mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin)

Rumahku Surgaku

Rumah bukan hanya tempat berteduh dari sengat matahari dan derasnya hujan, tetapi ia juga tempat bertumbuh rasa kasih sayang, tempat kembali bersama kehangatan keluarga.

Allah Maha Pemurah

Burung yang keluar dari sangkarnya dengan perut kosong, akan kembali di sore hari dengan perut kenyang. Sungguh Allah Maha Pemuerah kepada semua makhluk-Nya.

Di Atas Langit Masih Ada Langit

Langit hanyalah batas dari ketidakmampuan pandangan mata kita, namun akanl dan iman kita akan selalu mengatakan bahwa masih ada langit di atas langit yang kita lihat.

Jalan Hidup

Jalan hidup tak selamanya datar. kadang ia menaik-turun, berliku dan terjal. Hanya pribadi yang kuatlah yang mampu menempuh jalan itu.

Lebah

Ia hanya makan dari sesuatu yang bersih dan bergizi sehingga ia menghasilkan sesuatu yang bersih dan bergizi pula. ia tak pernah merusak saat mencari makan. ia ada untuk bermanfaat.

Jumat, November 20, 2009

Menyegarkan Kembali Kesaksian Kita

Berbicara keyakinan, pertanyaan yang sering muncul adalah mengapa orang harus beragama? Atau mengapa orang harus bertuhan atau percaya akan adanya Tuhan. Pertanyaan demikian sangat wajar dan sangat alamiah, sebagaimaana kepercayaan itu juga bersifat alamiah

Kepercayaan akan adanya Tuhan dalah suatu hal yang fitrah. Dalam artian, sejak manusia dilahirkan dia telah membawa kepercayaan dalam dirinya, tetapi sifatnya masih berupa firtah atau potensial. Sebagai suatu yang potensial, dia bisa tumbuh dan berkembang, atau sirna tertimbun berbagai hal. Adanya fitrah ini setidaknya dapat dilihat dari tiga hal. Pertama bahwa Allah adalah Esa, semua selain dia adalah makhluk atau yang dicipta. Dalam mencipta, tentu tidak lain adalah dari diri Dia sendiri, sehingga semua makhluk tidak lain adalah cerminan dari Allah sendiri. Kedua, Allah berfirman bahwa ketika menciptakan manusia, Allah meniupkan ruh-Nya kepada manusia, sehingga ruh manusia tidak lain adalah bagian dari ruh Tuhan. Ketiga, ketika di alam ruh, manusia telah mengambil kesaksian bahwa Allah adalah Tuhannya, Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, pada dasarnya manusia telah terikat dengan sumpah primordialnya. Tidak ada jalan lain baginya kecuali menunaikan sumpahnya tersebut.

Penunaian sumpah atau janji primordial tersebut adalah dengan cara “berislam”, yaitu tunduk dan patuh pada ajaran-ajaran agama. Untuk itu, asas yang palingfundamen dalam Islam adalah Syahadatain yang berbunya asyhadu an la ila alla Alla wa asyhadu anna muhammdar rasulullah. Penyaksian yang pertama adalah penyaksian bahwa tida ilah selain Allah. Kata ilah bisa diartikan sebagai sesuatu yang dijadikan sandaran, orientasi atau sesembahan. Berarti, tidak ada yang menjadi seembahan, menjadi tujuan selain Allah SWT. Ini adalah pengikat anatar manusia dengan yang ghaib, sesuatu yang abstrak. Sementara syahadat kedua adalah penyaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Pengakuan ini mencerminkan kesedian kita untuk menumpuh thariqah muhammadiyah, menempuh jalan kenabian dan menjadikan nabi Muhammad SAW sebaga teladan. Ini berarti pula bahwa setiap kita membawa visi dan misi kenabian dalam kehidupan kita.

Setelah kita melakukan persaksian, ada konsekuensi yang mesti ditanggung. Pertama: bahwa Tuhan adalah wujud yang mutlak yang menjadi sumber wujud yang lain. Sebagia wujud yang mutlak, tidak mungkin akan diketahui oleh manusia yang relative, kecuali Tuhan mengenalkan diri-Nya sendiri. Sebagai sumber segala wujud, Allah adalah sangkan paraning dumadi, asal muasl kejadian. maka dari sana pulalah wujud manusia ada, dan kepada-Nyapula manusia akan kembali. Inilah makna inna lillahi wa inna ilai raji’un. Segala aktivitas yang manusia lakukan haruslah diorientasikan atau ditujukan kepada-Nya. Inilah yang disebut dengan ikhlas. Apapun aktivitasnya, entah dia seorang pemimpin negara, guru, petani, nelayan, mahasiswa, harus mendasari pekerjaanya itu dengan keihklasan.

Konsekuensi yang kedua adalah paham persamaan manusia. Bahwa seluruh manusia di dunia ini mempunyai harkat dan martabat yang sama di depan Allah. Tidak ada seseorang atau stu kaumpun yang lebih tinggi derajatnya di sisi Allah, melainkan karena alasan ketakwaannya. Takwa adalah kualitas kepribadian seseorang, yaitu sebuah sintetis antara iman dan amal shaleh. Dengan demikian, tidak selayaknya seseorang berbuat sewenang-wenang kepada orang lain, karena dengan berbuat sewenang-wenang demikian itu dia telah berusaha untuk memakai “baju Allah”.

Kelanjutan dari konsekuensi kebertuhanan itu adalah manusia harus menerima perannya, yaitu sebagai hamba (‘abd) sekaligus khalifah Allah di muka bumi ini. Sebagai ‘abdullah atau hamba Allah, manusia dituntut totalitasnya untuk mengabdi, atau beribadah, menjalankan syari’at yang telah Allah gariskan. Sementara sebagai khalifa Allah, peran manusia adalah memakmurkan bumi. Dalam memakmurkan bumi yang perlu diingat adalah dia akan berhadapan dengan manusia lain yang mempunyai peran sama, dan alam semesata juga makhluk Allah yang diciptakan untuk manusia. Dalam menjalankan hal ini, manusia tidak melulu melakukan taskhir atau penaklukan, tetapi juga menjaga kelestarian alam untuk kelangsungan kehidupan manusia sendiri, untuk itu manusia harus manjalin keharmonisan dengan alam.

Dalam menjalani kehidupan di dunia ini, dua peran manusia tersebut tidak bisa dipisahkan, karena manusia tidak akan sampai kepada Tuhan hanya dengan beribadah (mahdlah) an sich dan melupakan peran sosial atau kekhalifahannya. Rahmat atau kasih sayang Allah ahanya dapat diperoleh ketika manusia tersebut mengasihi manusia lainnya. Allah akan peduli kepada seseorang apabila orang tersebut peduli kepada sesamanya. Inilah makna dari irham man fi al-ardhi yarhamka man fi as-sama’, sayangilah apa yang ada di bumi, maka kamu akan disayangi oleh apa yang ada di langit, dan juga “la yu’minu ahadukum hatta yuhbba li nafsihi ma yuhibba li akhihi”, tidak beriman seseorang sehingga dia mencintai untuk saudaranya sebagaimana dia mencintai untuk dirinya sendiri. Rumusnya sederhana, apabila engkau ingin disayangi, maka sebarlah kasih sayang kepada siapapun. Karena, pada dasarnya, orang lain sama dengan diri kita sendiri, tidak ingn disakiti, tidak ingin dizalimi, tidak ingin dirugikan. Untuk itu, yang tidak kalah penting adalah memahami diri kita terlebih dahulu. Barangsiapa mengenali dirinya, maka sesunggunya dia telah mengenal Tuhannya, man ‘arofa nafsahu faqod ‘arofa robbahu.

Dengan mencintai, dengan memberi, dengan berbuat adil, di sanalah sebenarnya kita sedang bersyahadat, bersaksi bahwa Allah itu ada, dan keberadaannya itu hadir dalam setiap ciptaannya, dalam setiap tingkah laku kita. Karena keyakinan tidak sebatas percaya dalam diri, atau berhenti dalam ranah intelektual kita, tetapi yang tidak kalah penting adalah pada laku kita. Orang yang perbuatannya tidak sesuai dengan keyakiinan dan pengetahuannya tidak disebut sebagai orang mu’min atau orang yang meyakini. Amal shaleh adalah wujud nyata dari keyakinan. Untuk itu kata iman dalam al-quran selalu disintesiskan dengan amal shaleh. Dalam amal shaleh itulah sebenarnya manusia mnge-ADA. Wallahu a’lam bishawab.

Ironi Hukum Kita

Ada yang mengiris hati saya ketika membaca KOMPAS pagi ini (20/11), seorang ibu diajukan ke pengadilan karena dia ketahuan memetik tiga biji buah kakuo. Yah 3 buah, hanya tiga buah. Dan bisa ditebak, sang ibu atau tepatnya sang nenek pun dijatuhi hukuman. Itulah realitas hukum di negeriku tercinta ini. kasus ini saya kira bukan yang pertama dan bukan satu-satunya.

Saya kira masih banyak kasus yang serupa yang tidak terekspos oleh media massa. Mengapa KOMPAS mengangkatnya. Ini tidak terlepas dari gonjang-ganjing persoalan hukum di negeri ini. kasus makelar kasus (markus) dan para Mafioso peradilan merajalela di negeri ini. orang yang memakan harta rakyat miliaran atau bahkan triliunan rupiah masih dapat berkeliaran. Para pejabat yang kurupsi ratusan juta tidak sempat mencium hawa penjara. Inilah hukum Indonesia. Uang dan kekuasaan lebih banyak berbicara ketimbang keadilan itu sendiri. keadilan adalah barang mahal di negeri yang sedang mengalami krisis hati nurani ini. bukan berarti saya sepatak dengan apa yang dilakukan sang nenek, tetapi saya hanya merasa miris. Sungguh ironis dan kontradiktif.

Hukum di negeri ini adalah laksana pisau bermata satu, dia akan begitu tajam bila berhadapan dengan wong cilik, rakyat jelata, orang tidak berpendidikan, namun menjadi tumpul jika berhadapan dengan para pengusa dan konglomerat. Hukum dapat dibeli, sehingga siapapun yang mempunyai uang pastilah dia akan menguasai hukum. Pagi para hakim pun demikian, kebahagian bukanlah ketika dia mampu memutus perkara dengan keadilan, tetapi bagaimana ketika suatu perkara telah diputus dia mendapatkan uang yang banyak.

Uang berbicara banyak di sini. Uang yang menentukan siapa yang benar dan siapa yang kalah. Semua karena uang. Orang mau melakukan manipulasi terhadap hukum juga karena uang. Uang menjadi tuhan. Sungguh kasihan manusia yang menjadikan uang sebagai tuhannya. Mereka itulah orang-orang yang dalam setiap aktivitasnya dilakukan untuk mendapatkan uang lalu membelanjakannya. Dia makan demi uang, dia minum demi uang, di tidur demi uang, dia bekerja untuk uang, berkunjung ke saudara ke teman karena alasan uang. Bagi orang yang menjadikan uang sebagai tuhan apa yang dilihat adalah uang, atau minimal berpotensi menjadi uang.

Sungguh rendah sekali manusia yang menjadikan uang atau kekayaan sebagai tuhannya. Uang adalah hasil kreasi manusia. Sebagai sesama makhluk Tuhan jelas uang jauh lebih rendah derajatnya dari manusia. Dengan menjadikan uang sebagai tujuan setiap aktivitasnya, berarti manusia tersebut telah merendahkan dirinya sendiri. Inilah yang dimaksud dalam Al-Quran bahwa manusia telah diciptakan dalam keadaan paling baik, sempurna, ahsanu taqwim, namun diantara mereka ada yang dikembalikan pada derajat paling rendah, yaitu orangorang yang tidak beriman. Iman bukan tidak mengakui akan adanya Tuhan, tetapi juga berarti menjadikan Tuhan sebagai Tujuan awal dan akhir setiap aktivitas keseharian kita.

Bagi insan-insan kehakiman, sebagai hakim, hendaklah sadara bahwa kata hakim itu tidak lain lain dari nama Tuhansediri. Al-Hakim, Yang Maha Adil, Yang Maha Bijaksana. Manusia adalah pencerminan diri Tuhan, untuk itu Rasul SAW bersabda takhalaqu bi khuluqillah, berakhlaklah dengan akhlak tuhan. Dengan demikian seorang hakim hendaklah pada dirinya juga terdapat sifat al-Hakim,dengan demikian sesungguhnya dia telah berjalan menuju Tuhan, dia menjadi wakil Tuhan dan dia menjadi saksi akan keadilah Tuhan. Haruskakn Tuhan sendiri yang mengadili kita, sekarang juga?

Kamis, November 12, 2009

oh, ... Istiqomah

oh, ... istiqomah
Nama yang selalu membuat aku gelisah
membuat aku berkesah
mengelus dada, merintih
Tunduk malu pada laku

serentang panjang jalan aku telusur
berdetik waktu aku selam
seraya berbusa doa aku utara
tak jua kau aku dekap
aku peluk, aku miliki

oh,... istiqomah
si anak 'azam dan niyah
perias paras hati tutur dan laku
jalan sunyi
di atas duri kaki berdiri

rabbul istiqomah, penguasa istiqamah
kuasakanlah aku atasnya
hadiyahkan dia kepadaku
patrikan di terdalam lubuk qolbu
jalankanlah aku bersamanya
di jalan lurus-Mu, menuju-Mu
agar laras kata dan laku
agar tiada lagi aku berkesah.

Minggu, November 08, 2009

Nulis Yoo.!!!!

sudah lama aku tidak menulis di blog ini. menuis sebenarnya adalah terapi, terapi untuk kebekuan otak kita, juga untuk melatih konsentrasi kita. menulislah, karena ilmu itu adalah laksana binatang buruan, dan pengikatnya adalah catatan atau tulisan, begitu kata Imama Ali. karena peradaban harus ditulis. itu adalah alasan lain.

Pramoedya Ananta Toer pernah bilang, setinggi apa pun sekolahmu, kamu tidak akan dikenang orang jika kamu tidak menulis. jadi menurutnya, dengan tulisan kita bisa diingat orang. tapi tentu ada orang yang telah menulis banyak hal namun tidak diingat orang alias dilupakan.


Pram pernah menyetir perkataan RA. Kartini bahwa menulis adalah kerja keabadian. mungkin maknanya hampir sama dengan apa yang dimaksudkan sebelumnya. initnya, mari kita menulis, apa saja yang bisa ditulis. tulisan itu bisa dalam bentuk catatan harian seperti Ahad Wahib (pergolakan pemikiran Islam) dan Soe Hok gie (Catatan Seoarang Demontran), bisa juga dalam bentuk cerita memoar seperti andrea yang kemudian jadi best seller, bisa juga dalam cerita pendek (cerpen ) terlalu bnayak contohnya, atau dalam bentuk puisi.

tulisan gak mesti harus berat dan ilmiah. tulisan gak perlu memakai bahasa yang aneh-aneh. menulislah dengan bahsa sederhana, karena kekuatan tulisan sebenarnya sangat bergantung pada apa sebenarnya yang kita berikan dalam tulisan. dan yang paling kuat adalah alasan mengapa kita menulis, ketulusan hati kita untuk menulis. apa komentar gede prama terhadap novel-novel Andrea di acara Kick Andy tidak lain adalah karena Andrea menulis dengan penuh cinta dan ketulusan.

catatan terakhir, ada yang mengatakan, menulis itu seperti orang buang buang air besar (BAB). orang BAB akan bergantung berapa banyak dia makan. semakin dia banyak dan sering makan, semakin banyak pula dia BAB. makanan bagi penulis adalah apa yang harus dia tulis. bisa buku atau pengalaman menarik. seberapa banyak buku yang kita baca pasti akan berpengaruh terhadap kualitas tulisan kita. itulah sebabnya Andrea dipesani oleh gurunya, tiga hal yang menjadi sumber inspirasi yaitu baca Al-Quran, Baca buku dan melancong. yang pertama jelas berkaitan dengan hubungan kita dengan kitab suci yang merupakan sumber nilai tata kehidupan. dia berhubungan dengan komunikasi dengan yang mutlak. Muhammad iqbal bilang, bacalah AL-Quran seakan-akan dia diturunkan kepadamu, maka kamu akan mendapat spirit sebenarnya. Kedua berkaitan dengan pemikiran-pemikiran orang lain yamg telah dibukukuan terlebih dahulu. sementara yang ketiga, melancong, kita akan banyak mennemukan peristiwa dan pengalaman-pengalaman baru. so, mari ita nulis. Nulis Yoo.!!!!

Kamis, Oktober 15, 2009

Segala Puji Bagimu

Segala puji bagimu
Bagimu segala puji
Puji-pujian aku pujakan
Puja-puja aku pujikan

Pujian menutup dirimu
Tiada cela tuk keburukan
Engkau terpuji,meski tiada pemuji
Engkau mulia, meski tiada pemuja
para pemuji terpuji, para pemuja mulia
oleh pantulan puji dan kemulianMu

lirih angin menerpa dedauan, memujimu
debyur ombak meriak memujiMu
rintik hujan gemericik memujiMu
batu, tanah, pepohonan memujimu
burung, ikan, cacing dan coro memujimu
air, tanah, udara dan api memujiMu
alam memujiMu, makhluk memujiMu
namun, masihkah manusia memujiMu,
dan laku jauh dari kemulyaanMu?
Tiada kemulian makhluk,
Tanpa pemulian kepadaMu

Minggu, Oktober 11, 2009

Makna

kala aku sendiri
kalau sepi meyapa
kala senyap merayap
aku pun lelap
dalam kalut kabut
cahay pun tak amampu menembus

tetes-tetes embun tertinggal di ujung daun
menguap oleh sinar mentari
hilang segala sejuk, hilang aroma pagi
datang bising suara menerusuk telinga

bukankah hal itu biasa?
bukanakah itu berulang?
apa yang istimewa?

tiada!
kecuali kita memberi makna.



Sabtu, September 12, 2009

Mempersiapkan Bekal Mudik

Menjelang akhir Ramadhan, kita selalu menyaksikan, betapa masjid-masjid yang pada awal Ramadhan dipenuhi dengan jamaah, kini mulai sepi. Jamaah semakin sedikit. Ini sudah menjadi satu fenomena umum dan tidak mengherankan lagi. Setidaknya ada dua alasannya, pertama, sebagaimana Ramadhan ini adalah sebagai bulan madrasah, atau sekolah, tempat untuk menempa diri, tentu tidak semua orang yang masuk sekolah akan lulus, ada yang bahkan tidak sampai pada ujung tahun ajaran. Begitu juga ibadah dalam bulan Ramadhan. Kedua, banyak jama’ah yang telah pulang kampung atau mudik, sehingga jamah semakin sedikit. Meskipun hal ini kurang relevan juga, karena jamaah di masjid-masjid kampung juga semakin sepi. Tapi buka itu intinya, di sini saya hanya akan berbicara tentang tradisi yang telah mengakar di masyarakat kita, yaitu tradisi mudik.

Mudik atau pulang ke kampung halaman pada hari raya idul fitri adalah tradisi di Indonesia. Pada akhir Ramadhan, orang berduyun-duyun kembali dari tempat perantuan. Segala Sesutu telah dipersiapakan jauh hari sebelum mudik, termasuk tiket untuk di perjalanan. Orang rela menunggu seharian untuk mendapatkan tiket mudik. Tidak hanya itu, mereka pun siap untuk berdesak-desakan dengan oarng lain yang sama-sama akan mudik juga. Apapun dilakukan, termasuk mencari hutangan kepada teman, tetangga, atau menggadaikan harta benda yang dimilkiki, demi untuk mudik.

Dalam tradisi tahunan ini, kita akan sangat jarang mendapatkan orang yang mudik dengan membawa tas kecil, rata-rata mereka membawa tas besar, berisi pakaian dan tetek bengek sebagi oleh-oleh untuk keluarga di kampong, agar yang mudik dan yang dikampung merasakan kebahagian. Berkumpul bersama, apalagi di hari raya, adalah suatu kebahagian tersebdiri yang harus ditempuh dengan segala resikonya. Tapi, bagi perantau, itulah yang harus ditempuh, untuk sebuaah kebahagian.

Pada hakikatnya semua manusia akan “mudik”, pulang kampung halaman, berkumpul kembali dengan Kekasihnya. Ke mana lagi kalau bukan kepada yang dengan sinar kasih-Nya telah menciptakan kita? Bukankah hidup ini adalah sebuah perantauan? Bukankah kita ini hanyalah para musafir? Dan musafir pastilah dia tidak akan tinggal lama di persinggahan, dia akan segera berkemas dan berjalan kembali ke tempat tujuan akhirnya? Sebagai orang yang akan mudik sudahkah kita menyiapkan bekal untuk mudik? Sudahkah kita punya ongkos? Sudahkah kita membeli tiket? Sudahkan kita menyediakan oleh-oleh untuk yang kita cintai? Jika kita mudik ke kampong halaman, yang kita bawa biasanya adalah pakaian dan makanan. Ketika kita mudik kepada Allah, apa yang akan kita bawa? Apa yang akan kita persembahkan?

Dalam surat Al-baqarah 197 Allah berfirman yang artinya: Berbekallah, dan Sesungguhnya Sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal.

Sebenarnya, ayat tersebut berbicara dalam konteks ibadah haji, namun saya kira juga relevan kalau kita tarik pada ranah kehidupan yang lebih luas. Dalam ayat di atas, Allah menyerukan kepada hamba-Nya untuk membekali diri dengan takwa. Dalam ayat lain dikatakan libasu at-taqwa khair, pakaian takwa iitu adalah pakaian yang terbaik jadi kita harus mudik dengan membawa bekal dan pakaian takwa.Apa takwa itu?

Takwa, umunya didefinisikan dengan menjalankan segala perintah Allah dan meninggalkan segala apa yang dilarang-Nya. Tentu ini masih sangat umum sekali. Namun Allah kemudian merinci cirri-ciri orang yang bertakwa. Dalam surat Al-Baqarah ayat 3-5 Allah menjelaskan orang yang bertakwa adalah orang yang 1) beriman kepada yang ghaib, 2) mendirikan shalat, 3) menafkahkan sebagian hartanya di jalan Allah, 4) beriman kepada apa yang duturunkan kepada Muhammad SAW (Al-Quran) dan nabi-nabi sebelumnya, dan 5) beriman kepada hari akhir. Dari beberapa poin tersebut, takwa sikaitakn dengan iman. Iman kepada yang ghaib, yaitu Allah, malaikat, dan jin. Iman terhadap hal-hal tersebut berarti mengakui keberadaanya, meskipun tidak tampak secara kasat. Iman kepada Allah memberikan konsekwensi bagi kita untuk menjalankan perintahnya dan meninggalkan larangnnya. Iman kepada-Nya juga mengharuskan kita sadar bahwa segala tindak tanduk kita tidak mungkin luput dari pengawasan-Nya. Sehingga dalam ibdah kita dianjurkan “beribadahlah kamu seakan-akan kamu melihat Allah, seandainya pun kamu tidak melihat-Nya, niscaya Allah melihatmu”. Orang melakukan kejahatan dan kecurangan seirngkali karena merasa tidak ada orang yang melihat dan mengawasi dirinya, sehingga dia bebas berbuat semaunya, namun dia lupa bahwa Gusti ora sare, Allah itu tidak tidur. Dia mengetahui apa yang terjadi di langit dan di bumi.

Dalam ayat lain, yaitu surat Ali Imran 133-135 Allah menjelaskan ciri-ciri lain dari orang yang bertakwa, yaitu: 1) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, 2) orang-orang yang menahan amarahnya, 3) mema'afkan (kesalahan) orang, 4) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau Menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka.

Apabila dalam surat Al-Baqarah 2-5 tadi sebagian besar mengaitkan ketakwan dengan keberimana, itu berarti takwa ditarik ke dalam dimension internal diri manusia, maka pada ayat-ayat di Surat Ali Imran di atas mengaitkan takwa dengan prilaku sosial. Sama dengan pada surat Al-Baqarah ayat 2, dalam hal ini menginfakkan sebagian harta kita kepada fakir miskin adalah ciri dari orang-orang yang bertakwa. Selain itu orang bertakwa adalah orang yang mau berlapang hati, bukan hanya untuk tidak marah, tetapi juga memberikan maaf kepada orang lain. Bias jadi jika ada orang lain memojokkan kita, kita tidak akan marah, karena secara power kita tidak lebih kuat dari dia. Namun seringkali, meski tidak marah, ada orang yang masih mendendam, dan mencari kesempatan untuk membalas, atau minimal akan merasa puas dan bahagia apabila orang yang memojokkan tadi terpojook, meski bukan oleh orang itu sendiri. Sesuai ayat di atas, ini bukanlah sifat orang bertakwa. Dan orang berrtakwa bukanlah orang yang tidak pernah melakukan kesalahan, tetapi orang yang apabila melakukan kesalahan dia segera sadar, bertobat, memohon ampun kepada Allah, lalui melakukan perbuatan baik untuk menutupi keburukkannya itu. Ini sesuia perintah Rasulullah SAW, ittaqillaha haitsu ma kunta, wattabi’s as-sayiata hasanata tamhuha, bertakwalah kepada Allah di mana saja, dan ikutilah perbuatan burukmu dengan perbuatan baik yang akan menghapus perbuatan buruk tersebut. Apabila perbuatan buruk kita bersangkutan dengan hak-hak anak Adam, maka hak-hak tersebut haruslah ditunaikan terlebih dahulu.

Dalam ayat lain Allah menjelaskan orang yang bertakwa adalah mereka di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan, mereka sedikit sekali tidur di waktu malam, selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar dan memberikan sebagaian harta-harta mereka untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian (Ad-Dzariat 16-19). Ketakwaan, selain dikaitakan dengan berinfak, dalam ayat tersebut di atas juga dikaitkan dengan bangun malam. Begitu dahsyatnya bangun malam, dalam surat Al-Muzammil Allah memerintahkan untuk bangun bangun malam, mengisinya dengan shalat, membaca Al-Quran dan berdzikir, meskipun hanya sejenak. Begitulah yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabat, terlebih-lebih pada malam-malam bulan ramadhan, di mana segala amalan ibadah di dalamnya akan dilipatgandakan pahalanya. Ini berarti akan berlipat ganda pula kecepatan gerak kita menuju Allah. Ini berarti bahwa perjalanan mudik akan lancar, dan semakin cepat sampai kepada Sang Kekasih. Semoga, di usia kita yang tersisia ini, kita bisa mempersiapkan lebih banyak lagi bekal untuk mudik.

Minggu, Agustus 30, 2009

Rahmat Ramadhan

Ulil Abshar Abdalla pernah melakukan kritikterhadapperilaku umat Islam di bulan ramdhan ini. Menurut dia, prilaku ramadhan umat Islam pada bulan ramdhan seperti para pemain teater. Dia bermain peran dia atas panggung. Para selebriti yang pada bulan-bulandi luar ramadhan berpakaian terbuka, saat ramadhan menampkkan kereligiusannya. Namun sesaat ramadhan berlalu, mereka kembaliseperti semual. Inilah teater. Seorang tukang ojek bisa berperan menjadi seorang raja di atas panggung, sementara setelah tidak bermain teater, kembali dia menjadi tukang ojek.
Selain hal di atas, hal yang disoroti juga berkaitan dengan perilaku boros umat Islam pada bulan ini. Ramadhan yang seharusnya menjadi bulan pembeljaran untuk menahan diri, termasuk juga dari konsumsi berlebihan, justru malah menjdi bulan di mana konsumsi masyarakat meningkat. Ini memang nampak kontras. Dan jika dipandang dari sudut ini, memang hal ini seakan bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh Islam itu sendiri. Namun kiranya tidak salah bila kita memandang dari sudaut yang berbeda.

Ramadhan bulan rahamt.
Nabi Muhammad SAW menerangkan kemulian rmadhan sebagai bulan penuh rahmat. Rahmat berarti kasih sayang. Berarti pada bulan ini kasih sayang Allah melimpah pada hamba-hamba-Nya. Pada bulan ini, segalam amal akan dilipatgandakan pahalanyad ari amaln di luar bulan ramadhan. Bahkan amal-amal sunnah diganjar dengan ganjaran amalan-amalan wajib diluar bulan ini. Bahakan tidurnya orang yang berpuaas dalam bula ini juga dihitung sebagi ibadah. Inilah keistimewaan ramadhan.

Dengan kemulian ramadhan seperti digambarkan Nabi tersebut, tidak mengherankan bila banyak orang yang berlomba-lomba untuk melakukan kebaikan-kebaikan. Beramal shaleh pada bulan ini. Kitasangat bersyukur, setidaknya pada bulan ini tayangan-tayangan televise sangat bernuansa religi sekaligus mendidik dan menyejukkan. Kita juga bersyukur pada bulan ini banyak orang yang bershdakoh, sehingga ke mana kita pergi akan sangat mudah untuk mendapatkan makanan untuk berbuka puasa.

Inilah barokah dan rahmat bulan ramdhan. Jika ramdhan ini adalah sekolah, candradimuka untuk bekal kita selama sebela bulan yang lain, tidak ada salahnya bila kita katakan bahwa sebenarnya sebelas bulan yang lain itu kita gunakan untuk persiapan ramadhan.. sehingga apa-apa yang kita peroleh pada bulan-bulan tersebut, kita gunakan untuk bulan ini. Untung ada bulan ramdhan, sehingga ada ragam yang erbeda dari kehidupan kita, dari liputan-liputan media, dari tayangan-tayangan teleisi. Namun, benar juga kata ulil, setidaknya ini tidak hanya sekedar teater, tetapi harus berlanjut di bulan setelah ramadhan. Itulah kupu-kupu yang keluar dari kompong.

Selasa, Agustus 25, 2009

Politik dan Budaya Kekerasan

Tulisan ini telah dimuat dalam MAJALAH "ISRA" PUSHAM UII Edisi Juli 2009.

Belakangan ini kita terlalu sering disuguhi oleh pemberitaan tentang kekerasan-kekerasan, khususnya yang terjadi di Indonesia, baik melalui media cetak maupun tayangan-tangan di media elektronik audio-visual. Saben hari kita “dipaksa” untuk menonton pemberitaan-pemberitaan tentang pembunuhan, pemerkosaan, penggusuran para pedagang kaki lima (PKL), perkelahian antar warga sampai tawuran antar pelajar atau mahasiswa. Contoh kasus terkini adalah penembakan di Papua, pengeboman yang terjadi di Mega Kuningan, tepatnya di Hotel JW. Marriot dan Ritz-Carlton. Peristiwa pengeboman tersebut juga mengingatkan kita kembali pada peristiwa pengeboman yang terjadi di tempat yang sama beberapa tahun yang lalu, kemudian di Bali, baik itu Bom Bali I maupun Bom Bali II yang telah banyak memakan korban jiwa. Belum lagi konflik antar daerah, antara suku yang terjadi di beberapa wilayah negeri ini. Dan entah, berapa banyak lagi kekerasan-kekerasan yang terjadi dengan berbagai macam bentuknya.

Dalam satu forum budaya di UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Emha Ainun Nadjib atau yang akrab disapa Cak Nun melontarkan satu pertanyaan, apakah konflik, kekerasan yang terjadi di Indonesia ini adalah merupakan geniun budaya Indonesia, atau ada faktor lain yang di luar itu yang menyebabkan manusia Indonesia melakukan kekerasan?
Mendefinisikan Kekerasan
Kekerasan biasa diterjemakan denan kata violence yang berkaitan erat dengan gabungan kata latin “vis” (daya, kekuatan) dan “latus” (yang berasal dari feree, membawa) yang kemudian berarti membawa kekuatan. Dalam kamus Bahasa Indonesia kekerasan berarti sifat atau hal yang keras; kekuatan; paksaan.

Johan Galtung mendefinisikan kekerasan sebagai segala sesuatu yang menyebabkan orang terhalang untuk mengaktualisasikan potensi diri secara wajar. (I Marsana Windhu: 1992). Definisi ini berpijak pada pikiran bahwa manusia mempunyai potensi-potensi dalam dirinya yang merupakan bahan untuk pertumbuhan pribadinya. Sementara pertumbuhan pribadi merupakan integritas diri (self) soma, dan fisik manusia. Apabila potensi-potensi diri manusia tersebut tidak teraktualisasi, maka di sanalah terjadi kekerasan. Aktualisasi tersebut bisa dalam bentuk aktifitas berfikir, termenung dan aktifitas yang nampak oleh kasat mata. Aktualisasi potensi juga menuntut terpenuhinya prasyarat pertumbuhan pribadi berupa kebebasan, persamaan, keadilan dan kesejahteraan, karena hanya dengan itulah potensi-potensi manusia dapat teraktualisasi dan pribadi akan tumbuh secara manusiawi.

Macam-Macam Kekerasan
Dari pengertian di atas, segala sesatu yang menghalangi proses aktualisasi diri dan pertumbuhan pribadi bisa disebut sebagai kekerasan. Dari sinilah Galtung membagi kekerasan menjadi dua jenis. Pertama kekerasan langsung. Kekerasan ini juga sering disebut sebagai kekerasan personal, yaitu kekerasan ini yang dilakukan oleh satu atau sekelompok actor kepada pihak lain (“violence-as-action) (Mohtar Mas’oed:1997). Kekerasan langsung, dengan demikian, dilakukan oleh seseorang ata sekelompok orang dengan menggunakan alat kekerasan dan seringkali berakibat fisik. Dalam kekerasan ini juga jelas siapa subjek dan siapa objek, siapa pelaku siapa korban.

Kedua kekerasan tidak langsung. Galtung menyebut kekerasan ini sebagai kekersan struktural. Kekerasan ini merupakan “built-in” dalam suatu struktur (“violence-as-structure). Kekerasan ini lebih banyak terjadi pada ranah pskis, meski beberapa juga pada ranah fisik. Apabila dalam kekerasan langsung jelas siapa subjek dan objeknya, maka dalam kekerasan tidak langsung atau struktural tidak jelas siapa subjek atau pelakunya. Adanya kasus gizi buruk yang berujung pada ketidaknormalan pertumbuhan diri atau bahkan kematian, bukanlah disebabkan oleh kejahatan seseorang atau sekelompok orang, melainkan akibat dari struktur sosial, struktur ekonomi dan struktur politik yang timpang dan tidak adil. Inilah kekerasan stuktural.

Kekerasan di Indonesia
Tulisan ini tidak akan cukup jika penulis harus mendata kekerasan yang terjadi di Indonesia, meski itu sebatas kurun waktu pasca reformasi. Namun untuk membicarakan kekerasan perlu kita melacak akar kesejarahan kekerasan di negeri ini.

Berbicara kekerasan di Indonesia, seringkali kita mengacungkan jari telunjuk menunjuk pada rezim Orde Baru sebagai biang keladi semua kerusuhan yang ada. Namun cukupkah segala kesalahan itu dilemparkan hanya kepada orde baru? Belum tentu, kita ahrus menilik pada masa sebelumnya sampai pada masa colonial.

Kekerasan memang tidak dimulai dari masa colonial, tetapi kolonialisme secara signifikan telah memproduksi kekerasan ke dalam sistemsistem yang berdaya jangkau lebih luas dari pada sekedar lokalitas kerajaan-kerajaan tradisional, berdaya paksa lebih kuat, dan lebih tahan lama. Henk Schulte Norholt melacak bahwa kekersan yang terjadi berawal dari penggunaan jago (preman desa) untuk menjaga wibawa, menghadapi perlawanan rakyat. Pemerintah colonial bekerja sama dengan kriminal untuk kepenting-kepentingannya, sementara para preman dibiarkan untuk beroprasi asal tidak jelas-jelas melanggar hukum (B. Bahri Juliawan: 2003). Model semacam inilah kemudian yang diwarisi oleh penguasa pasca kolonial sampai dengan saat ini. Pada pemerintahan Orde Baru, preman-preman dipelihara sebagai kendali kebijakan pemerintah, namun setelah tentara kuat, para preman ini dibasmi. Tentara kemudian menjadi alat kekerasan negara. Pada masa-masa akhir 80-an banyak orang-orang yang hilang misterius dikarenakan mereka dianggap menentang pemerintah. Semua itu dilakukan atas nama stabilitas nasional.

Penggunaan militer sebagai alat kekerasan negara pasca reformasi memang berkurang, namun bukan berarti penggunaan-penggunaan kekuatan semacam itu tidak ada. Kekuatan-kekuatan tersebut bermutasi menjadi kekuatan sipil yang menyerupai militer sebagai alat negara untuk tameng negara untuk melakukan kekerasan, penggusuran dan hal yang serupa.

Jika dicermati masa pasca kolonial tadi, dapat dilihat bahwa kekerasan digunakan untuk melanggngkan kekuasaan. Kekersan telah menyatu dengan kekuasaan. Pada masa Orde Baru, kekerasan seperti ini sengaja dipelihara. Inilah yang oleh Jean Baudrillard sebagai simulakrum kejahatan, yaitu kekerasan, horror, dan terror yang diciptakan sedimikian rupa, sehingga ia tampak seolaholah terjadi secara alamiah, padahal direkayasa (Yasraf A. Piliang: 2005). Kekerasan-kekerasan tersebut dilakukan untuk menunjukkan bahwa pemerintah bisa menjamin keamanan rakyatnya. Kekerasan diciptakan sedemikian rupa, sehingga muncul imag kelompok tertentulah yang melawan pemerintah, melawan negara, dan meraka harus dibasmi.

Akibat semakin majunya teknologi dan ilmu pengetahuan, kekerasan pun semakin kompleks. Kekuasan dan kekerasan yang ada dibaliknya dilengkai teknologi tinggi, manajemen tinggi, dan politik tinggi. Kekerasan ditutup topeng dan tirai. Kekerasan yang mutakhir yang didukung oleh kecanggihan teknologi adalah terorisme. Bukan hanya karena dia menggunakan bom, tetapi manajemen perencanaan juga dengan manajemen tinggi. Sampai saat ini baru diketahui siapa yang melakukan peledakan bom, namun tidak diketahui siapa dalang sebenarnya. Kalaupun ada, itu sebatas tuduhan, karena pada kenyataan ada missing link. Terorisme, ketika sudah bersentuhan dengan teknologi informasi, menjadi satu simbol yang melahirkan makna. Makna itu misalnya bahwa Indonesia adalah sarang teroris. Makna ini bisa ditukar misalnya dengan akses investigasi Negara lain ke wilayah Indonesia. Di sini kemudian terjadi erseingkuhan antara Negara dan kepentingan asing. Hal ini biasanya merugikan rakyat, karena sebagaimana Undang-Undang anti teror yang diadopsi dari Negara lain ternyata memberikan kesempatan kepada aparat untuk melakukan kekerasan terhadap rakyatnya sendiri.

Secara psikologis, kekejaman yang dilakukan secara berulang-ulang dalam waktu yang lama dapat meimbulkan trauma pada korban, pada orang yang menyaksikan, atau bahkan pada pelaku sendiri. Lewat perjalanan yang panjang, setiap orang didik untuk mempunyai inisiatif sendiri dalam menghadapi ancaman-ancaman keamanan. Kekerasan telah menjadi bagian akrab dari keseharian kita, seolah-olah setiap kali hendak menyelesaikan masalah serta persoalan satu-satunya pilihan adalah kekerasan (B. Bahri Juliawan: 2003). Kekerasan telah menjadi kebiasaan. Inilah yang oleh Hannah Arendt disebut sebagai banalitas kejahatan atau kejahatan yang banal, yaitu praktik kejahatan yang dijalankan bagaikan menjalankan aktivitas sehari-hari yang tidak disadari (Sindhunata: 2007). Hal ini mungkin dapat dilihat dari siaran-siaran media masa. Hampir setiap hari masyarakat kita mendengar berita tentang pembunuhan. Tidak hanya sebatas itu, kita juga disuguhi modus dan cara-cara pembunuh itu melakukan aksinya menghabisi korban. Kita disuguhi bagaimana pembunuh itu menyembelih korbannya, menguburnya.

Banalitas kejahatan ini akan semakin berkembang di masyarakat seiring adanya krisis legitimasi. Menurut Jurgen Habermas, krisis legitimasi (moral) ini menyebabkan tidak didengarnya lagi oleh masyarakat imbauan-imbauan moral pihak berwenang (khususnya penguasa), oleh karena mereka sendiri yang justru dianggap sering mempercontohkan tindakan-tindakan melanggar moral (Yasraf A. Piliang: 2007). Rakyat tidak lagi percaya kepada Presiden, DPR, ABRI, Polisi, Gubernur, Bupati, Camat atau kepala desa. Berapa banyak contoh-contoh perilaku amoral yang dilakukan oleh para penguasa. Sebagai contoh adalah perilaku anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang korup, suka bermain wanita, adu otot dengan anggota dewan lainnya, sehingga Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menganggap DPR sebagai Taman Kanak-kanak, atau malah Play Group.

Mungkin puisi kau Ini Bagaimana atau Aku Harus Bagaimana karya Musthofa Bisri atau Gus Mus cukup untuk menggambarkan hal tersebut. Gus Mus menulis:
Aku harus bagaimana //Aku Kau suruh menghormati hukum // Kebijaksanaanmu menyepelekannya // Aku kau suruh berdisiplin Kau mencontohkan yang lain. . . . Kau ini bagaiman // Kau suruh aku menggarap sawah // Sawahku kau tanami rumah-rumah // Kau bilang aku harus punya rumah // Aku punya rumah kau meratakkannya dengan tanah // Aku harus bagaimana // Aku kau larang berjudi // Permainan spikulasimu menjadi-jadi // Aku Kau suruh bertanggungjawab // Kau sendiri terus berucap wallahu a’lam bish shawab.

Secara puitis Gus Mus menggambarkan bagaimana mungkin rakyat akan mengikuti imbauan-imbaun penguasa, pada saat yang sama para penguasa itu melanggar apa yang mereka katakan. Diibaratkan tangan kanan pemerintah membawa roti sementara tangan kirinya membawa pukulan. Rotia tiada seberapa mengenyangkan, namun kepala babak belur oleh pemukul. Dari kutipan terakhir pusi tersebut, Gus Mus ingin mengatakan bahwa penguasa tidak mau bertanggungjawab atas keputusan dan kebijakannya, atas nasib rakyatnya. Inilah yang menyebabkan rakyat acuh-tak acuh lagi terhadap seruan penguasa.

Di samping itu, krisis legitimasi terjadi karena negara telah banyak melakukan, kembali pada definisi Galtung, kekerasan struktural. Kekerasan ini menampakkan diri sebagai kekuasaan yang tidak seimbang yang menyebabkan peluang hidup tidak sama. Hal ini nampak pada ketimpangan yang merajalela: sumberdaya, pendapatan, kepandaian, pendidikan, serta wewenang untu mengambil keputusan mengenai distribusi sumberdaya pun tidak merata (I Marsana Windhu: 1992). Berkumpulnya sekitar 80 persen rupiah di Jakarta adalah bukti tidak meratanya pembangunan. Daerah-daerah yang memiliki sumberdaya alam yang melimpah, seperti Papua dan Aceh, justru menjadi daerah paling miskin dan tertinggal. Berpuluh-puluh jalan tol dibangun di Jakarta yang luasnya tidak seberapa, tetapi berapa puluh kilo meter jalan di Kalimantan dan Papua masih tanah yang ketika hujan berlumpur dan ketika musim kemarau ditutupi oleh debu. Desentralisasi politik memang telah dilakukan, tetapi tidak demikian dengan desentralisasi kesejahteraan. Kita masih sering mendengar berita tentang busung lapar, gizi buruk di bagian negeri ini yang kono adalah negeri gemah ripah loh jenawi, toto tentren kerta raharja. Busung lapar, gizi buruk adalah penghambat proses aktualisasi potensi diri manusia, padahal sebenaranya hal tersebut dapat dicegah atau diatasi. Karena hal ini berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar yang berkaitan dengan kelangsungan dan kelestarian hidup, kebebasan, kesejahteraan maka hal ini termasuk pada kekerasan struktural.

Kekerasan struktural, sebagaiman sifatnya, dia mencakup lingkup yang luas. Namusn selalu saja, masyarakat bawah yang selalu menjadi korban. Para petani telah sekian lama mengalami kekerasan ini. Lahan pertanian yang semakin sempit, karena lahan-lahan tersebut kini beralih fungsi sebagai perumahan, perkantoran atau jalan tol. Mereka lebih sengsara oleh karena mahal dan minimnya pupuk. Dan laksana jatuh tertimpa tangga, ketika panen hasil penen mereka dibeli dengan harga oleh pemerintah atau oleh monopoli para pemodal.

Masyarakat bawah yang sering menjadi korban adalah kaum miskin kota. Mereka tidak mendapat akses pekerjaan. Pengangguran merajalela. Dalam kondisi seperti ini mereka sering mendapatkan terror, penggusuran oleh aparat, dengan dalih keindahan dan kebijakan. Dalih untuk kebaikan dan kesejahteraan ini juga yang sering digunakan untuk melakukan penindasan kepada rakyat. Kasus tukar guling sebuah sekolah di Sampang Siantar menjadi satu bukti bahwa sebenarnya kebijakan pemerintah tidak benar-benar memihak kepada rakyat, tetapi kepada pemodal. Ini diketahui setelah ternyata lokasi sekolah tersebut akan dijadikan sebagai pusat perbelanjaan. Sepanjang kekuasaan mengabdi kepada pemodal, bukan kepada rakyat, maka kekerasan struktural ini akan masih tetap eksis, karena rakyat hanya bagian dari mesin penghasil uang, dan pemerintah tidak ubahnya panitia dari hajatan besar bernama pasar bebas. Masyarakat yang berorientasi pada kapital, pasar, maka gaya hidupnya pun akan beroreintasi pada materialisme. Orientasi masyarakat ini adalah menumpuk keuntungan yang sebesar-besarnya lewat produksi dan konsumsi, tanpat terlalu ambil pusing dengan persolan-persoalan moral, idiologi, dan spiritual dalam proses produksi dan konsumsi tersebut.

Kekerasan dan Masa Depan Bangsa
Kekerasan yang telah lama terjadi dan dilakukan secara terstruktur menjadikan bangsa ini lupa terhadap nilai-nilai luhur yang dimilikinya. Di kalangan masyarkat yang tersisa adalah rasa saling curiga. Masyarakat yang semacam ini akan sangat mudah tersulut konflik dan akan terjadi kekerasan sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Dan bangsa ini akan terus dihantui oleh horor-horor kekerasan. Untuk itu perlu segera ada langkah untuk mencegah terulang sejarah-sejarah kelam bangsa ini. Harus ada pendekatan yang holistic terhadap peristiwa kekerasan. Segala kekerasan harus dilihat dalam rangka kekerasan yang lebih luas, yaitu kekerasan politik, kekerasan ekonomi, kekerasan cultural, kekerasan simbol, kekerasan media dan kekerasan lainnya.

Dalam hal ini, Richard A. Falk, sebagaimana dikutip I Marsana Windhu (1992), mengajukan empat nilai yang akan menjadikan kehidupan lebih baik, yaitu a) Usaha meminimalisasi kekerasan Kolektif, b) maksimalisasi sosial dan ekonomis, c) realisasi hk-hak asasi dan keadilan politik dan d) rehabilitasi, menjaga dan melestarikan alam. Selain itu, penggalian kepada kearifan-kearifan budaya lokal. Lembaga-lembaga moral, cultural, spiritual dibutuhkan unutk menjembatani dialog dan membuka ruang public, sehingga terwujud kedewasaan demokrasi.

Minggu, Agustus 23, 2009

Dia Datang

dia datang,
dia datang saat aku masih terlena
dalam nada menggema
dalam musik yang asyik
tiba-tiba dia datang

mungkin tidak tiba-tiba
bukan, bukan mungkin, memang
dia datang tidak tiba-tiba
ada sejuta suara mengabarkannya
ada nyanyian menyambutnya
ada tabuhan mengiringinya
dan dia tidak datang tiba-tiba

aku mencoba bangun, mengepal tangan
menahan berat badan, lesuh tubuh
mengumpul kesadaran
mengatur nafas dan irama suara
lalu ikut bersenandung
marhaban ya ramadhan

d

Rabu, Agustus 19, 2009

Di Terminal Pemberangkatan

satu sore di sebuah terminal pemberangkatan
aku melihat seorang ibu muda
dengan anak kecilnya
melepas kepergian sang suami atau ayah dari anaknya

bus jurusan jakarta segera berangkat
sang ayah memberikan ciuman pada anaknya
sang istri menyalami tangan suaminya
keduanya saling melambaikan tangan
sang ibu mencoba mengajari anaknya "dadah" untuk ayahnya
sang ibu nampak tersenyum sembari mencuim kedua pipi anaknya,
menatap suaminya yang berangkat ke Jakarta
mungkin untuk bekerja

sang istri mencoba tersenyum
tertawa kecil,
namun aku tak tahu apa yang ada dalam pikirannya
mungkin malamnya kan sendirian, hanya ditemani oleh anaknya
pun beigtu sang ayah
namum mereka tetap tersenyum
meski aku tak tahu apa yang ada dalam hati mereka
sore itu, di terminal pemberangkatan Gubuk, Grobokan.

Kamis, Juni 25, 2009

Sayembara Menulis Guru PAI

INOVASI BARU: Cara Modern Menjadi Penulis Hebat!



Ketika manusia muslimah berpegang teguh kepada sumber pedoman kehidupan dan menempatkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai landasan dari semua kehidupannya serta dirinya memiliki keunggulan ketrampilan, wawasan pengetahuan, ilmu pengetahuan dan pendidikan, sudah dapat dipastikan dia akan berhasil dalam kehidupannya sendiri di dunia masa sekarang (rahmatan lil’alamin). Dan ketika dirinya menjadi seorang Insan Kamil, yang rahmatan lil’alamin, maka segala wawasan dan ilmu pengetahuannya tersebut akan sangat berguna karena dirinya mampu memberikan kontribusi terhadap perbaikan kehidupan sesama umat manusia, dalam kehidupan di dunia ini dan di akhirat kelak.
Konsep kehidupan yang disebut diatas itulah yang menjadi dasar pemikiran atas terselenggarakannya sayembara penulisan naskah cerita ini agar membawa cara pandang hidup Islami dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat di Indonesia yang mayoritas beragama Islam guna kemajuan berbangsa dan bernegara. Saat ini tercatat +/- 180.000 Guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di seluruh Indonesia, dan sebagai Insan yang memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan pengetahuan Agama Islam berlandaskan Al-Qur’an dan As-sunnah, tentunya para guru ini mempunyai potensi berupa buah pikir mengenai kehidupan yang bertemakan nuansa Islami.

MAKSUD DAN TUJUAN SAYEMBARA

Sebagai bagian dari kontribusi untuk memperkaya khasanah budaya bangsa dan nilai-nilai luhur seb a gai sebuah bangsa yang besar dan pemeluk Islam yang berwawasan nasionalisme bagi kemajuan umat berbangsa dan bernegara.

Suatu sayembara penulisan naskah cerita dalam melihat dan menyikapi permasalahan serta potensi yang dimiliki oleh bangsa ini yang berazaskan nilai-nilai leluhur budaya bangsa dan berlandaskan ajaran Agama Islam dan Al Qur’an.

Sayembara Penulisan Naskah Cerita yang diselenggarakan oleh Departemen Agama dalam rangka pencitraan lembaga keagamaan dan sebagai suatu wahana khususnya bagi Para Guru Pendidikan Agama Islam di sekolah tingkat SMA/SMK, baik sekolah negeri maupun sekolah Islam Swasta di Indonesia untuk dapat mengekspresikan dan menuangkan gagasan murni, pikiran baru dan perasaan mereka dalam bentuk tulisan dengan baik yang berguna untuk kemajuan bangsa dan negara.

HADIAH SAYEMBARA
a. Juara I : Rp 5.000.000 + sertifikat + piala
b. Juara II : Rp 3.500.000 + sertifikat + piala
c. Juara III: Rp 2.000.000 + sertifikat + piala
d. Juara Harapan I:Rp. 1.000.000 + sertifikat
e. Juara Harapan II :Rp. 500.000 + sertifikat

Informasi lengkap:
http://www.qultummedia.com
http://www.sayembaragurupai.com
Sumber http://www.penulislepas.com

Selasa, Mei 19, 2009

Sufisme Dalam Lirik Lagu Letto1

Pada bulan ramadhan kemarin, group Letto diwawancari oleh wartawan infotaiment: mengapa mereka tidak membuat album religious sebgaiman banyak dilakukan oleh band-band lainya? Jawaba mereka adalah, Letto tidak punya agama. Letto adalah milik semua orang. Namun dibalik jawaban itu, penulis melihat bahwa sebenarnya Letto tidak melihat lagi keterpisahan antara bermusik dengan beragama. Kedua hal tersebut merupakan satu kesatuan. Hal ini bisa dirujuk dari pernyatan Cak Nun pada saat kenduri Cinta di Jakarta yang di sana juga hadir Noe, voklais Letto dan juga ank Cak Nun, bahwa kesenian tidak bisa dilepaskan dari dunia spiritualitas. Bahkan, seniman lah spiritualis sejati.

Apa yang dikatakan oleh Cak Nun ada benarnya. Coba bayangkan, bagaimana suatu lukisan bisa bernilai jutaan rupiah, padahal kalau dirunut dari bahan yang digunakan bisa jadi tidak lebih dari seratus ribu rupiah. Orang tidak melihat dari bahan material tersebut, tetapi dari apa yang di belakngnya, sesuatu yang abstrak, sesuatu yang spiritual. Spiritualitas tersebut juga dapat kita temu dalam lagu-lagu yang dinyanyikan oleh para penyani Indonesia, meskipun merka tidak menyebutnya sebagai lagu religi. Sebagi misal adalah Dewa 19 dan Chrise (al-maghfur lah).
Spirutualitas tersebut juga penulis temui di beberapa lagu Letto yang akan coba penulis bedah. Penulis mencoba untuk menerapkan metode Hermeneutika dalam menganalisis lirik-lirik lagu tersebut. Letto sendiri tidak mau terlalu menafsirkan lagu-lagunya. “We don’t want to control the meaning of our songs,” Baginya lagu-lagu Letto sangat terbuka untuk ditafsirkan oleh semua orang. Menurutnya Spiritualitas yang penulis maksud di sini adalah sufisme, atau ajaran esoteric Islam. Hal ini terkait dengan latar belakang Letto sendiri.
Sufisme
Di sini penulis tidak akan mengulas akar sejarah sufisme, tetapi hanya mencoba sedikit menengok pada ajaran-ajaran fundamental dalam sufisme. Dengan demikian, harapannya bisa mencakup berbagai aliran tasawuf yang ada di dunia Islam. Dan lebih sempit lagi pada tasaawuf yang banyak diikuti di kalangan Sunni dengan Al-Ghaazli sebagai tokoh pemikirnya.
Ada beberpa istilah yang sering digunakan dalam dunia sufisme yang sering disebut maqom, atau station, yaitu tingkatan-tingkata perjalan yang harus di lalui seorang sufi. Menurut Al-ghazali, maqom-mqom itu mencakup tauhid, ma’rifah, mahabbah. Kita mengenal juga istilah fana dan baqa’, hulul dan ittiha, dn juga wahdatul wjud.
Tauhid adalah pengesaan Allah, yaitu kesaksian bahwa Allah itu tunggal dalam sifat dan dzatnya. Sementara ma’rifatullah adalah mengenal Allah mellaui penyingkapan tabir, sehingga manusia bisa mengenal Allah sebagaiman Allah mengenalkan dirinya. Mahabbah adalah rasa cinta kepada Allah yang telah didahului oleh ma’rifatullah. Dari mahabbah ini kemudian muncul al-unsu billah, yaitu rasa keintiman dan kemesraan bersama Allah. Dari mahabbah muncul pula as-syauq atau kerinduan. Kerinduan seorang sufi laksana seorang yang kehausan yang tak hilang hausnya meski dia telah meneguk seluruh air lautan. Dari sini kemudian dia mengalami satu ekstase atau semacam mabuk.
Pada tingkatan ini seorang sufi akan merasakan, pertama keteterkejutan, karena dia telah kasyaf, tersingkap tabir, dan menyaksikan keindahan wajah Tuhan. Lalu kemudian dia terkagum-kagum dan hanyut terserap pada keindahan wajah Tuhan tersebut.
Lirik-lirik sufisme
Ada beberapa kata yang menjadi core dari lagu-lagu Letto. Cinta, kesunyain dan kerinduan. Seringkali Leto mengidentikkan hidupnya dengan kesunyian. Terkadang dia merasa ragu dlam perjalanan itu. Kadang dia meraba, mencari arah tujuan. Lihat saja lirik:
Yakinkah ku berdiri, di hampa tanpa sepi
Bolehkah aku mendengarmu
Terkubur dalam emosi, tanpa bisa sembunyi
Aku dan nafasku merindukanmu

Terpurukku di sini, teraniaya sepi
Dan kutahu pasti kau menemani… yeah
Dalam hidupku, kesendirianku
(Sandaran Hati, Truth, Cry and Lie)
Lihat juga lirik lagu sebelum cahaya

Ku teringat hati
Yang bertabur mimpi
Kemana kau pergi cinta
Perjalanan sunyi
Engkau tempuh sendiri
Kuatkanlah hati cinta
(Sebelum Cahaya, Don’t make me sad)


Namun dalam kesepian itu, Letto mencoba mencari jalan, orientasi, arah yang akan di tuju. Pencarian itu bukanlah sesuatu yang mudah, tetapi melalui derita. Namun derita itu tidaklah mengapa baginya. Keteguhanlah kuncinya. Ini sebagi pemenuhan janji primordial yang telah dipersyaksika oleh ruh kepada Allah, perjanjian akan pengkuan Allah sebagi Tuhan. Dengan demikian. Jadi dia mencoba untuk terus berdiri, berjalan menuju-Nya, karena Letto yakin, segala kesusahannya, segala resahnya akan hilang ketika bersama-Nya.

Ketika kucoba mencari-cari
Jalan yang hilang

Aku tak peduli
Apa kata orang
Hanyalah untukMu
Seluruh rinduku
Harus kutemukan sekali lagi
Jalan yang hilang
(Jalan Yang Hilang, Lethologica)

Dalam mengarungi jalan sunyi ini, Letto yakin tidak akan pernah sendiri. tidak pernah manusia itu berada dalam kesndirian, karena pasti Tuhan kan bersamanya, manyaksikannya. Bahkan ketika manusia sudah sampai pada taraf sadar akan jagad kosmos, dia akan mendengar alam yang juka bertasbih kepa-Nya.

Ingatkan engkau kepada
Embun pagi bersahaja
Yang menemanimu sebelum cahaya
Ingatkan engkau kepada
Angin yang berhembus mesra
Yang kan membelaimu cinta
(Sebelum Cahaya, Don’t make me sad)

Sebelum cahaya menunjukkan satu waktu di mana ini juga mengungkapkan pada jalan sunyi seorang yang mengejar cinta. Dia ternyata tidak pernah terlepas dari cinta, bahkan Letto mengatakan bila dia lepas dari Cinta, maka dia akan hilang. Kehilangan ini menyiratkan akan kehilangan makna hidup, atau bahkan kehilangan eksistensi diri. Dari itu Letto menginginkan suatu kebersamaan selalu dengan Cinta. Di sinilah dia menginginkan agar dia selalui dihantui oleh Cinta.

Rasa cinta yang mendalam, suatu perjalanan sunyi, keterikatan dan keyakinan pada janji ini kemudian mengguratkan kerinduan-kerinduan pada diri Letto. Rindu untuk kembali kepada Sang Azali, rindu untuk selalu bersama. Di sinilah kerinduan menemukan ruang. Kerinduan adalah satu petunjuk keberjarakan Letto dengan Cinta. Satu waktu jarak ini menemukan momentum pertemuan. Suatu penyaksian akan wajah Cinta. Pada pertemuan itu, Letto sendiri merasakan satu rasa yang tak menentu. Satu rasa yang aneh, yang sebelumnya tidak pernah dia rasakan. rasa ini bisa juga disebut sebagai keterkaguman. Keterkaguman Letto pada wajah Cinta yang Maha Agung. Dan diapun berkesimpulan, ku tak pantas memandangi wajahmu. Di sini sebenarnya dia telah hanyut terbawa oleh keterkaguman tersebut.

Anatar profanisme, Sufisme dan kepekaan Sosial
Letto menyadari bahwa dirinya adalah manusia bumi yang tidak bisa terlepas dari realitas sosialnya. Namun dia tidak ingin terseret dalam arus massa. Dia mencoba meihat dengan lebih jernih. Sebagaimana dia menafsirkan tentang cinta. Menurutnya, cinta yang dia maksud bukanlah sebagaimana cinta yang telah terkontaminasi oleh kepentingan, atau hanya cinta antara dua manusia yang berlawanan jenis. Sehingga pemahaman cinta dalam lirik-lirik agunya pun akan berbeda dengan pemahaman cinta dalam lagu-lagu musisi kebanyakan.
Sepertinya hanyalah ada
Memang aku tak setuju
Dengan dirimu
Tentang arti cinta
Bukan hanya berdua
Tetapi tentang semuanya
(itu lagi-itu lagi, Lethologica)

Kepekaan sosail Letto juga akan nampak pada lagu ku tak percaya. Lagu yang melihat kontes pemilihan umum dengan acara kampanyenya sebagai penghamburan katakata yang tak bermakna, hanya sebagai pelamis bibir saja.

Kata-kata takkan pernah punya makna
Takkan pernah punya makna
Ketika hati tak bicara
Jangankan kau berikan pada ku
Mimpii surgama
Jangan pernah kau tawarkan kepadaku
Keindahan yang semu
Tanpa itu aku mampu menjalani hidupku
Dan kukatakan padamu
Kata hatiku Ku tak percaya

Kamu kah pahlawanku
Yang mengaku orang nomor satu
yang katanya mampu menghapuskan sedihku
Kalau itu yangkau bilang
Coba lai kau kumandangkan
Janji-jani yang engkau banggakan itu
(ku tak percaya, Lettologica)

Minggu, Mei 10, 2009

Orang Indonesia tidak masuk surga?

Saat menonton berita di televisi, salah seorang teman menyeltuk begitu saja, bahwa orang Indonesia tidak akan masuk surga. Waktu itu di televisi sedang ada wawancara dengan menteri keuangan, Sri Mulyani. Sebagaiman kebiasaan dan ahli dia, saat itu dia sedang membicarakan tentang hutang lua negeri.

Mengapa tidak masuk surga? Karena, setiap warga Negara Indonesia mempunyai tanggungan hutang, bahkan ketika dia baru lahir cenger di negeri kaya ini. dalam ajaran agama, orang yang meninggal dan dia masih mempunyai tanggungan hutang, maka dia akan ditahan untuk masuk surga. Bagaimana dengan orang Indonesia tadi. Meskipun meraka seringkali tidak pernah merasakan hasil uang utangan tersebut, api merekalah yang dibebani untuk membayar. Semoga itu tidak dihitung sebagai hutang nanti di sisi akhirat, karena semua itu adalah pemerasan oleh kaum neo-liberal, baik yang berkulit putih maupun kulit sawo matang, yaitu para Mafia barkeley. Ya Allah bebaskanlah kami dari beban hutang

Rabu, April 22, 2009

Rumahku Bukan Surgaku


Pagi masih terlalu dingin. Mobilku pun tak segera menyala ketika aku starter. Udara di kota ini memang cukup dingin. Bisa dikatakan, tempat ini adalah puncaknya kota ini. Aku juga tidak paham mengapa bapak memilih membangun rumah di sini, di bukit yang berjarak 30 kilometer dari pusat kota. Bisa jadi bapak salah perkiraan.

Semula tempat ini memang sangat menarik. Kontur perbukitannya dengan sedikit lahan landai di bagian lain, membuat tempat ini begitu menarik para pebisnis perumahan dan villa. keindahan tempat ini pula yang menarik putra penguasa negeri ini saat itu untuk membangunnya menjadi resort. Namun ketika kekuasaan ayahnya tumbang, dia pun bangkrut. Masih tampak di sana sisa-sisa calon track motorkros yang belum selesai dibangun. Lahan yang luas itu kini menjadi milik pemerintah, sementara masyarakat yang dulu diusir dari tempat tersebut tidak bisa kembali mengambil tanahnya, kecuali dia seperti bapakku yang punya jabatan dan kekayaan.

Jujur aku katakana, rumahku bukanlah rumah yang dibangun asal-asalan, karena arsisteknya, Wijayakusuma, yang tidak lain adalah ayahku sendiri, adalah jebolan universitas terkemuka di Prancis. Dengan kamahirannya itu dia membangun rumah ini, perpaduan antar arsistektur modern dan arsisterktur jawa kuno. Justru yang tidak nampak adalah corak kesumatraanya, padahal kami tinggal di pintu gerbang Sumatra. Namun aku tidak heran, karena bapak memang orang jawa tulen.

Kami memang keluarga jawa. Bahakan anak-anak bapak, termasuk aku anak yang ketiga sekaligus terakhir, semuanya lahir di Jawa. Kami baru pindah ke sini saat usiaku sekitar 13 tahun, saat aku masih duduk di kelas dua SLTP. Saat itu bapak mendapatkan proyek besar di sini, pembangunan resort milik putra penguasa negeri ini kala itu. Namun meskipun proyek itu gagal, dan semua asset disita oleh pemerintah, bapak tetap selamat. Itu karena kedekatan bapak dengan semua orang, khusunya para pembesar pemerintah daerah di sini. Malah bapak kini menjadi direktur sekaligus pemegang saham terbesar di salah satu perusahan konstruksi.

Saat pertama ke kota ini, kami tinggal di rumah yang kami sewa di dekat tempat kerja bapak, tidak jauh dari tempat tinggal kami sat ini. Baru setahun kemudian bapak membangunkan “istana” ini. Yah, banyak tetangga dan tamu yang datang ke rumah mengatakan rumah ini adalah istana. Bahkan Alfian, teman sekolahku di SMA menyebutnya sebagai miniatur surga. Waktu itu memang kami baru belajar pelajaran agama yang diletakkan, atau lebih cocoknya disispkan pada jam terakhir. Guru agama kamii menjelaskan tentang taman surga, dimana air yang cukup jernih mengalir, buah-buahan tersedia dan mudah dipetik, bunga-bunga bermekaran di sana sini, suara-suara burung yang terdengar merdu. Apa saja yang manusia inginkan ada di surga. demikian kata guruku. Dan semua itu seakan telah tersedia di rumahku.

“Bukankah ibu guru tadi bilang kita harus menjadikan rumah kita sebagi surga, rumahku surgaku”, kata Alfian protes setelah aku katakan pada dia, rumah ini seperti neraka bagiku. Bagaimana tidak. Setiap hari yang aku dengar adalah pertengkaran bapak dan ibu pada pagi hari sebelum keduanya pergi bekerja. Tentu bukan di meja makan, karena sejak pindah ke Sumatra ini kami tidak pernah lagi makan bersama. Itu pula yang menyebabkan kami jarang bertegur sapa, apalagi guyup larut dalam obrolan. Paling hanya aku dan Liana, saudaraku yang kedua. Saudara pertamaku, Mas Agung, tidak ikut pindah ke Sumatra. Dia memilih tinggal bersama kakek nenek di Jawa. Beruntunglah dia tidak iktu pindah. Dan sekarang dia telah dikarunia satu orang anak. Mudah-mudahan dia tidak meniru sikap bapak.

Sebagai seorang kepala keluarga, bapak bersikap layaknya seorang raja. Semua perkataannya harus didengar. Namun tidak pernah mau mendengarkan orang lain. Sementara ibu justru tidak selayaknya permaisuri yang manut nurut pada raja, tetapi dia menjadi Ken Dedes yang memberontak pada suaminya. Sehingga pertengkaran tidak bisa dielakkan. Itu pula yang memebadakan dia dengan Ken Dedes. Ken Dedes masih berbicara lembut dengan suaminya, tetapi ibuku tida lagi berbicara lembut selayaknya seorang wanita solo yang pernah aku kenal.

Ketika terjadi perang kata, aku memilih diam atau pergi begitu saja meninggalakan rumah, ke rumah Alfian atau ke Game Center. Pulang menejelang larut malam. Namun seringkali aku tidak mendapatkan kedua orang tuaku di rumah. Semula aku sering menanyakan pada Liana, namun selalu jawabanya sama, belum pulang. Mereka berdua pulang larut malam, dengan mobilnya masing-masing. Bahkan kadang tidak pulang ke rumah.

Sikap kediktatoran bapak juga yang menyuruhku kuliah di bidang arsistektur, biar bisa meneruskan usaha bapak, katanya. Padahal waktu itu aku ingin belajar sastra Inggris. Aku hanya bisa diam dan menurutinya, meski dalam hati terbesit satu tekad, aku tidak akan pernah meniru bapak.

***
Lima tahun aku kuliah di Perancis. Semula aku ingin mengikuti jejak mas Agung, tinggal dan membangun keluarga di Jawa. Pernah aku utarakan maksudku pada Endah, teman kuliahku sesama orang Indonesia, tapi dia malah menganggapku bergurau. Selama aku kuliah, dialah orang yang banyak aku ajak bicara tentang keluargaku. Aku bercerita padanya, menuangkan seluruh gundah gulanaku, setelah aku dapat kabar meninggalnya ibu. Aku ceritakan padanya tentang keluargaku padanya meskipun tidak semua tetek bengeknya. Karena sedikit berat membicarakan permasalahan keluarga dengan orang lain yang bukan keluargaku. Menceritakan bapakku yang sering pergi, ibuku yang jarang di rumah, saudara perempuanku yang ikut-ikutan ngeluyur. Bukankah itu aib kelurga yang tidak perlu aku bicarakan dengan orang lain, kecuali jika sudah terlanjur alias keceplosan karena sudah tidak kuat aku memendamnya.

Tidak ada penyambutan, tidak ada selebrasi atau sejenisnya. Keinginanku untuk langsung pulang ke rumah aku batalkan. Aku mencari rumah kontrakkan dan menaruk semua barang-barangku di sana. Setelah dua bulan baru aku datang ke rumah.
Lima tahun bagiku waktu yang lama tinggal di negeri orang, jauh dari orang-orang yang aku hormati, cintai, namun sering juga aku benci. Sempat juga aku merindukan miniatur surga itu. Namun ternyata waktu lima tahun tidak cukup untuk memperbaiki kebobrokan rumah ini.

Tak ada ada banyak perubahan di rumah ini. Bunga-bunga itu, kolam ikan, air mancur, ayunan yang tergantung di pohon jambu di belakang rumah. Hanya saja aku tidak mendnegar kicauan burung lagi. Kata Pak Parman, pembantu rumah ini, bilang bapak takut terjangkit flu burung, sehingga burung-burung itu dikasihkan ke teman-temannya. Aneh, bukannya bapak jarang di rumah, mengapa mesti takut? Justru Parman dan teman-temannya sesama pembantulah yang selayaknya ttakut, karena mereka yang saben hari tinggal di rumah ini dan merawatnya. Memang tidak ada yang berubah, termasuk sikap bapak.

Sejak meninggalnya ibu, bapak tambah jarang di rumah. Liana pun sibuk dengan pekerjaannya. Aku coba memaksa diriku bertahan tinggal di rumah ini, yang semula aku kira bisa menganggapnya menjadi surga. namun tetap, rumah ini bukan surgaku, bukan baiti jannati, tetapi justru menjadi neraka yang orang tidak akan pernah betah tinggal di dalamnya.

***
Sudah sepuluh hari ini bapak tidak pulang ke rumah. Kabar yang aku dengar dia tinggal di apartemen temannya yang proyeknya baru bapak selesaikan. Sebagai imbalan, bapak mendapatkan satu apartemen di gedung itu. Dan akupun lebih senang tinggal di rumah kontrakkanku.

Mengetahui bapak tinggal di apartemen temannya tidak membuatku pusing. Apalagi aku mulai larut dalam tugas-tugas kantor. Sampai pada satu hari aku mendapatkan berita yang tidak mengenakan dan menyesakkan hatiku. Bapak meninggal, jenajahnya kini ada di salah satu rumah sakit di ibu kota.

Ceritanya berawal dari seorang pelayan catering yang mendapatkan bapak terkulai di kamarnya, kemudian pelayan tersebut memangil Pak Heru, pemilik apartemen sekaligus teman bapak. Rumah sakit daerah tidak bisa menangani penyakit bapak, dan harus dirujuk ke rumah sakit ibu kota. Namun naas, sesaat setelah diturunkan dari pesawat, bapak menghembuskan nafas terakhirnya.

Satu tahun sepeninggalan bapak, kami tiga bersaudara sepakat unutk menjual rumah peninggalan keluarga itu. Liana tinggal bersama suaminya di Palembang. Mas Agung tetap tinggal di Jawa. Sementara aku mebeli rumah sederhana yang selama ini aku kontrak.

Bagiku, baiti jannati tidak harus rumah itu besar, luas, mewah, dimana air jernih mengalir dan memancar, sebidang taman bunga dan buah-buahan yang rimbun, ataupun kolam ikan yang jernih hingga ikan yang di dasar kolam terlihat jelas. Juga bukan rumah dengan segudang pembantu yang siap melayani setiap saat. Rumahku surgaku adalah rumah yang harmonis, saling perngertian satu sama lain yang timbul karena adanya komunikasi. Dia adalah rumah, bukan istana dengan seonggok raja. Rumah yang guyup dengan tegur sapa dan canda di meja makan.

Sabtu, April 18, 2009

Hidup Adalah Ujian

Sejatinya kehidupan ini adalah ujian alias cobaan, sehingga akan diketahui kelak siapa orang yang paling baik amal perbuatannya. (QS. Al-Mulk: 2) Dengan demikian, seluruh yang terkandung dalam hidup ini adalah ujian. Jadi, senang-sedih, bahagia-sakit, kenyang-lapar, haus-kembung, kaya-miskin, cantik-buruk dan lain sebagainya tidak lebih dari ujian. Dan sebagaimana ujian pada umumnya, hasil dari ujian ini adalah yang menentukan siapa yang lulus dan siapa yang gagal. Pertanyaannya adalah lulus dari mana? Standar kelulusnya apa?

Hidup adalah perjalanan pulang. Kembali ke asal. Ke sumber kehidupan. Kembali kepada kesempurnaan, ke yang Maha Sempurna. Sangat wajar jika manusia di dunia ini diibaratkan sebagai musafir, singgah sebentar kemudian berlalu kembali. Urep mung mampir ngumbeh, kata orang jawa. Hidup ini sekedar persinggahan untuk minum. Karena sekedar mampir minum, seyogyanyalah kita minum sekedarnya saja, sekedar cukup menghantarkan perjalanan kita untuk pulang. Kiranya tersedia di sana berbagai macam minuman, seperti air putih, susu, madu dan arak, hendaklah kita memilih yang menyehatkan dan membuat kita teetap berjalan tegak. Kita bebas memilih, namun setiap pilihan kita memberi konsekwensi tersendiri bagi kita. Masing-masing bertanggungjawab dan memikul sendri apa yang diakibatkan oleh pilihannya tersebut.

Kehidupan adalah ujian. Seorang anak Sekolah Dasar (SD) mendapatkan soal sesuai dengan kemampuannya. Begitu juga siswa Sekolah Menengah Pertama (SLTP) ataupun Sekolah Menengah Atas (SMA) ataupun tingkat perguruan tinggi. Semua mendapat soal ujian sesuai tingkatatnnya. Tidak mungkin seorang anak SD mendapatkan soal ujian yang seharusnya untuk SMA, atau sebaliknya siswa SMA mendapatkan soal anak SD. Tuhan menguji umatnya sesuai dengan kadar kemampuan masig-masing. Semakin tingi tingkat kehidupan seseorang, maka semakin tinggi tanggungjwaab dia. Semakin tingi tanggung jawab, semakin tinggi ujian yang Tuhan berikan. Semakin tinggi suatu pohon tumbuh semakin kencang angin menerpanya. Kurang lebih seperti itu kata pepatah.

Orang akan diuji dengan apa yang mereka miliki. Ketika seseorang memiliki ilmu, maka dia akan diuji dengan ilmu tersebut. sejauh mana ilmu itu bermanfaat. Ketika seseorang mempunyai kedudukan di lingkungan sosial, dia akan diuji dengan sejauh mana kedudukannya itu mampu memberikan kesejahteraan bagi orang lain. Ketika seseorang mempunyai harta maka dia kan diuji, sejauh mana dia mendistribusikan hartanya kepada orang lain? Sejauh mana harta tersebut bisa mensejahterakan diri, keluarga, orang-orang yang membutuhkan. Begitu juga sebaliknya ketika seseorang tidak mempunyai kekayaan dan hidup dalam kekurangan, kehidupan seperti ini juga adalah ujian, sejauh mana dia berusaha mencara rizki Tuhan, sejauh mana dia berusaha dan berjuang merubah nasib, secara personal maupun sosial, dan sejauh mana dia mampu menerima keadaan itu dengan tawakal.

Manusia akan diuji dengan apa yang dimilki, termasuk juga dengan perkataannya. Diam (tidak berkata-kata) adalah hikmah, namun sedikit orang yang melakukannya. Begitu kata Nabi Muhammad SAW. Banyak orang yang lebih suka berkata-kata ketimbang diam. Selain apa yang seseorang perbuat, apa yang ia katakan juga merupakan ujian baginya. Tanggung jawab orang yang berilmu adalah adalah menyampaikan ilmunya. Dan tanggungjawab umt manuisa semua adalah untuk saling menasihati dalam hal kebenaran dan kesabaran (Al-‘Ashr: 3). Menasehti. Berhati-hatilah dengan laku ini. Salah satu perbuatan yang Allah kecam adalah seseorang yang mengatakan sesuatu, padahal dia tidak melakukannya. Kebencian Allah sangat besar kepada golongan ini (QS. Ash-shaff: 2-3).

Orang yang menasihati orang lain, maka sebenarnya nasihat itu akan kembali kepada dia. Ketika seseorang menasihati orang lain untuk berbuat baik, maka setelah itu dia kan mendapat ujian bagaimana dia harus berbuat baik. Ketika seseorang menasihati orang lain, jangan marah!, maka setelah itu Allah akan memberikan satu kejadian yang akan menguji dia apakah dia akan marah atau tidak dalam mengahadapi hal tersebut. bisa jadi setelah seseorang menasihati orang lain untuk berderma, kemudian Allah mengirim peminta-minta kepada dia untuk menguji kedermawanannya. Yah demikianlah Allah mendidik dan menguji hamba-Nya, supaya hamba-Nya lulus mendapat derajat khalilullah, sahabat Allah, derajat orang-orang takwa yang lulus dengan predikat sangat memuaskan. Wallahu a’lam bi shawabih.

Tulisan ini disampaiakn pada Pengajian Kelas XI A-1 SMA Muhammadiayah 3 Yogyakarta, 16 April 2009

Kamis, April 16, 2009

Cerita Rahib

Ada dua orang rahib yang sedang berjalan-jalan melalui pinggiran kali. Pada saat kedua rahib tersebut sedang berjalan dan menikmati pemandangan daerah tersebut yang indah, ada seorang wanita yang meminta tolong agar ia dibantu menyeberangi kali. Seketika salah satu rahib tersebut menggendong wanita tersebut dan membawanya ke seberang kali, kemudian rahib tersebut kembali ke tempat semula lalu melanjutkan perjalanannya.

setelah berjalan agak jauh, rahib yang satunya baru sadar bahwa temannya tadi telah menggendong seorang wanita dan membawanya menyeberangi kali. bukankah dia rahib? bukankah itu hal tercela, apalagi bagi seorang rahib? meski demikian dia tidak enak menanyakannya kepada temannya tersebut. Dalam sepanjang perjalanan dia memikirkan kejadian tersebut? ada apa dengan temannya tadi? apakah dia telah lupa terhadap larangan-larangan dalam kerahiban.

Setelah berjalan kucup jauh, keduanya beristirahat untuk makan dan minum. rahib yang sedari tadi memendam pertanyaan tidak kuat juga untuk tidak menanyakan perisitwa yang telah ia lihat tadi. akhirnya dia pun bertanya.

"Wahai kawan, mengapa enggkau tadi menggendong seorang wanita, bukankah hal itu tercela, apa lagi bagi seorang rahib?" tanya sang rahib. Rahib yang menyebrangkan wanita tadi dengan santai menjawab: "saya menggendongnya sudah lewat tadi, dan saya sekarang tidak menggendongnya lagi, tetapi mengapa engkau masih menggenongnya dalam pikiranmu?" Sang Rahib pun terdiam mendengar jawaban teman seperjalanannya itu.

Hikmahnya apa ya? kalau gak tahu and males mikir, tanya aja pada rahibnya.


Minggu, April 12, 2009

e-book

Harga kertas naik, otomatis harga buku juga naik. sejak selesai kuliah ini aku mulai jarang beli buku, maklum kiriman distop, sementara gaji sebulan cuma cukup untuk makan. akhirnya aku hanya dapat pinjam dari beberapa orang teman atau meminta teman yang masih kuliah untuk memnjamkan buku di Perpustakaan universitas. tapi di mana ada keinginan pasti ada jalan.

Dalam era IT seperti sekarang ini, banyak cara yang bisa kita lakukan untuk memperoleh bahan bacaan, salah satunya melalui e-book. nah kalau kita lagi berselancar di dunia maya, kit ajuga kan mendapatkan beberapa situs yang menyediakan layanan ddownload grats buku-buku dalam bentuk pdf, entah itu fiksi maupun non fiksi. salah satunya adalah www.warungfiksi.net.

selain itu, saya juga sernig mendapat kiriman scanbook dari salah seorang teman yang bekerja di salah satu lembaga peneitina yang memang berusaha menyebarkan buku-buku yang berguna. so, kita bisa menjadikan buku-buku tersebut sebagai sumber bacaan.

Jumat, April 10, 2009

Lompatan Spiritual

Dalam Islam, ad satu pola yang telah diatur untuk menuju kepada sang pencipta. pola-pola itu yang sering disebut sebagai syariah. barang siapa mengikuti pola-pola tersebut dengan benar, maka dia akan sampai kepada-Nya. pola-pola itu itu tergambar dalam rukun Islam yang lima.

Pola-pola itu ibarat anak-anak tangga yang harus kita daki satu per satu untuk mencapai puncak tujuan. Semakin banyak anak tangga tangga yang kita tapaki semakin dekat jarak kita dengannya. Pola-poa tersebut menuntun kita menuju Yang Maha Agung dengan step by step atau selangkah demi selangkah.

Namun diluar itu, ada orang yang tanpa melalui proses tahapan tersebut dia bertemu Tuhan, atau dalam bahsa lain masuk surga. sebagaimana yang digambarkan oleh rasulullah tentang seorang pelacur yang oleh Allah dimasukkan surga lantaran dia memberi minum seekor anjing di suatu padang pasir yang kering dan tandus. orang yang seperti ini adalah orang yang telah mengalami suatu lompatan. orang yang mengalami suatu lompatan spritual adalah mana kala dia tidak lagi berikir tentang dirinya an sich, tetapi lebih mengutamakan yang lain. seperti pelacur tadi yang memberikan minum kepada anjing, padahal dia juga sangat membutuhkannya, dan hanya itulah air yang ada.
Lompatan seperti ii juga dialami oleh para sahabat. ketika perjuangan menyebarkan Islam pada masa nabi membutuhkan harta benda atau biaya, maka Abu Bakar mberkata "Amillah seluruh hartaku untuk perjuangan dijalan Allah". kemudian Umar berkata, "ambillah separo hartaku", dan Usman berkata, ambillah sepertiga hartaku. sementara Ali yang hidup miskin berkata "karena aku fakir dan tidak punya apa-apa, maka aku menyerahkan diriku ini". dari sini lalu Ali RA dijuluki murtadlha atau yang diridhlai.
Lompatan spritual ini terjadi ketika seseorang telah benar-benar menyerahkan dirinya kepada Alla SWT dan hanya bersandar kepadanya. orang-orang ini adalah mereka yang telah menemukan satu momentum quantum, telah berhasil melewati masa kritis dalam dirinya.
Disarikan dari obrolan di jogjagingan di Padepokan Syekh Siti Jenar.

Selasa, April 07, 2009

Lomba Cerpen

Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912, bekerjasama dengan Paguyuban Sastra Rabu Malam (PaSar MaLam) “Lomba Penulisan Cerita Pendek (Cerpen).” Lomba ini merupakan bagian dari rangkaian peringatan 97 tahun usia Bumiputera ini terbuka untuk umum, terutama para pecinta sastra.

Sebagai asuransi tertua dan terbesar di Indonesia, Bumiputera dikenal peduli terhadap pengembangan kreativitas masyarakat yang diwujudkan dalam berbagai kegiatan lomba penulisan setiap tahunnya, termasuk menyelenggarakan Lomba Kreativitas Ilmiah Guru dan Pemilihan Peneliti Remaja Indonesia. Sedangkan PaSar MaLam dikenal dengan kegiatannya seperti Sastra Reboan yang digulirkan secara rutin setiap hari Rabu akhir bulan di Warung Apresiasi (Wapres) Bulungan, Jakarta Selatan
Topik : “Sosial, Human Interest”

Persyaratan Peserta :

1. Masyarakat umum, warga negara Indonesia.
2. Peserta boleh menggunakan nama samaran (namun nama asli tetap dicantumkan di daftar riwayat hidup).
3. Melampirkan daftar riwayat hidup, (termasuk alamat lengkap, nomor telepon, dan e-mail).
4. Lomba ini tertutup bagi pegawai tetap (organik) AJB Bumiputera 1912.

Ketentuan Lomba :

1. Cerpen harus memiliki nilai manfaat bagi pengembangan
pengetahuan, khususnya pengetahuan tentang asuransi;
2. Cerpen tidak mengandung SARA.
3. Bentuk tulisan dengan gaya bahasa yang cair, kreatif, dan
tidak dalam bentuk makalah ilmiah.
4. Setiap karya wajib menyebutkan kata “asuransi” dan “AJB
Bumiputera 1912″ sedikitnya satu kali.
5. Panjang cerpen maksimum 15.000 karakter, disajikan dalam teks
Times New Romans, 1,5 spasi, dengan font 12.
6. Cerpen harus asli, bukan saduran atau terjemahan;
7. Cerpen belum pernah/tidak sedang diikutkan dalam lomba
penulisan lainnya dan belum pernah dipublikasikan di media
apapun;
8. Cerpen ditunggu paling lambat tanggal 30 Juni 2009 pukul
24:00 (untuk email) dan berdasarkan cap pos untuk pengiriman
melalui pos.
9. Cerpen yang menjadi pemenang akan dimuat di majalah
“bumiputeranews” (hadiah sudah termasuk honorarium pemuatan);
10. Keputusan juri tidak dapat diganggu gugat dan tidak diadakan
surat menyurat.
11. Pengumuman pemenang lomba penulisan akan dilakukan pada
bulan Agustus 2009 di website AJB Bumiputera 1912 di
http://www.bumiputera.com/, website PaSar MaLam di
http://www.reboan.com/ dan website panitia di
http://www.bumiputeramenulis.com/
12. Penyerahan hadiah dilaksanakan pada akhir Agustus 2009, yang
tempat dan waktunya akan diberitahukan kepada para pemenang.

Tata Cara Pengiriman Cerpen :

1. Peserta lomba dapat menulis lebih dari satu cerpen;
2. Cerpen dikirim melalui email ke komunikasi@bumiputera.com
atau bila dalam bentuk hardcopy melalui pos ke alamat:
Departemen Komunikasi Perusahaan, AJB Bumiputera 1912, Wisma
Bumiputera Lantai 19, Jl. Jend. Sudirman Kav 75, Jakarta 12910

Untuk informasi lebih lanjut hubungi Bumiputera :
Telp. 021-5224565;
Faks. 021-5224566
Email : komunikasi@bumiputera.com

Hadiah :

1. Juara I : Rp. 5.000.000,- (Lima juta rupiah) dan Piagam
Penghargaan.
2. Juara II : Rp. 4.000.000,- (Empat juta rupiah) dan Piagam
Penghargaan.
3. Juara III : Rp. 3.000.000,- (Tiga juta rupiah) dan Piagam
Penghargaan.
4. Juara Harapan sebanyak 5 orang masing-masing sebesar Rp.
1.000.000,- (Satu juta rupiah).
5. Pajak hadiah ditanggung oleh pemenang

Diambil dari www.penulislepas.com

Lomba Karya Tulis Pemuda

LOMBA KARYA TULIS PEMUDA TINGKAT NASIONAL

dan PENGHARGAAN UNTUK PENULIS ARTIKEL KEPEMUDAAN

Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga RI bekerja sama dengan Forum
Lingkar Pena menyelenggarakan Lomba Karya Tulis dan Penghargaan untuk
Penulis Artikel Kepemudaan.

Persyaratan Lomba Karya Tulis:
1. Naskah berbentuk “esai” dengan tema “Kepemimpinan Pemuda”.
Peserta dapat memilih salah satu dari sub-sub tema berikut):

a. Pemuda di Kursi Kepresidenan Indonesia
b. Pemimpin Muda Idaman.
c. Menjadi Pemimpin di Era Krisis Global.
d. Mencari Wadah Pencetak Pemimpin Bangsa.
e. Menjadi Pemimpin Lokal Berpikiran Global.
f. Jika Perempuan Menjadi Pemimpin Indonesia.
g. Budaya Baca Calon Pemimpin Bangsa.

2. Lomba dibagi dalam 3 kategori: pelajar, mahasiswa, dan umum.
3. Lomba terbuka untuk semua WNI berusia 15-35 tahun.
4. Esai tidak bertentangan dengan SARA dan tidak mengandung unsur
pornografi.
5. Naskah merupakan karya asli, bukan terjemahan, atau saduran.
6. Naskah belum pernah dipublikasikan di media massa cetak/elektronik
dan tidak sedang diikutkan dalam lomba sejenis.
7. Naskah ditulis dengan Bahasa Indonesia yang baik, diketik di kertas
A4, font Times New Roman, 6-12 halaman, spasi ganda.
8. Mencantumkan kategori di sudut kiri amplop pengiriman naskah.
9. Nama penulis harus diletakkan pada halaman terpisah dengan lembar naskah
10. Naskah dikirim rangkap 3 (tiga).

Persyaratan Penghargaan Penulis:
1. Artikel telah dimuat di media massa cetak antara bulan Oktober 2008-
April 2009 yang bertema Kepemudaan.
2. Melampirkan artikel (atau fotokopinya) yang telah dimuat sebanyak
tiga rangkap.
3. Lomba terbuka untuk umum (tanpa batasan usia)
4. Artikel tidak bertentangan dengan SARA dan tidak mengandung unsur
pornografi.
5. Mencantumkan “Penghargaan Penulis” di sudut kiri amplop.

Persyaratan Teknis :
1. Pengiriman naskah disertai dengan fotokopi identitas diri
(KTP/SIM/Kartu Pelajar/Paspor dan biodata singkat: nama, alamat lengkap,
nomor telepon/handphone, e-mail). Untuk pengiriman email,
identitas diri dapat discan (dengan resolusi secukupnya).
2. Pengiriman naskah lomba esai atau penghargaan penulis dikirim ke:

Panitia Lomba Karya Tulis Tingkat Nasional dan Penghargaan Penulis
Jl. Rasamala Raya No 20 Depok Timur 16418
Naskah lomba juga dapat dikirim melalui email: lomba.menpora@ gmail.com

(identitas diri dapat discan).

3. Naskah ditunggu selambat-lambatnya tanggal 5 Mei 2009

HADIAH setiap kategori dan Penghargaan Penulis:
Juara I: Rp2.500.000, -
Juara II: Rp2.000.000, -
Juara III: Rp1.500.000,
3 pemenang hiburan @ Rp500.000,-

* Pengumuman pemenang dapat dilihat di http://www.forumlin /gkarpena. net
dan http://forumlingkar /pena.multiply. com pada 1 Juni 2009.

Acara ini diselenggarakan oleh :
Deputi Pengembangan Kepemimpinan Pemuda Kementerian Pemuda dan
Olahraga bekerja sama dengan Forum Lingkar Pena

Didukung oleh: ANNIDA & Lingkar Pena Publishing House

Keterangan lebih lanjut hubungi
Maryati (021) 573 8158, HP: 085813144822
Koko 0813 67675459
Denny 0899 9910037

Diambil dari http://penulislepas.com

Minggu, April 05, 2009

Teather Demokrasi

Dimuat di Majalah Isra PUSHAM UII Edisi Maret Maret 2009

Pemilihan umum (Pemilu) legislatif tinggal menunggu hitungan hari lagi. Satu moment besar tersebut akan di gelar pada tanggal 9 April 2009. Meski demikian, sudah sejak jauh hari masyarakat telah dicokki dengan kampanye para calon, baik legis latif maupun eksekutif, sejak 8 bulan yang lalu. Hal ini karena peraturan terbaru yang memperbolehkan para peserta pemilu untuk mengkampanyekan dirinya 9 bulan sebelum masa pemilihan. Para partisipan tentu saja tidak ingin kehilangan momentum ini. Garis star pun dibuat, kampanye dimulai.

Kampanya pada dasarnya adalah satu kegiatan para peserta pemilihan, yaitu calon legislatif maupun eksekutif, untuk mengenalkan dirinya, termasuk visi dan misinya, kepada para calon pemilih. Hal ini dilakukan agar mereka mendapatkan suara terbanyak yang dan meloloskan mereka ke tampuk kekuasaan. Dalam mengenalkan dirinya, para kontestan ini pun kemudian berlomba-lomba agar mereka mendapatkan simpati dari para calon pemilih. Berbagai macam cara dilakukan. Kunjungn atau silaturrahmi ke tokoh-tokoh masyarakat, kunjungan ke para konstituen di daerah-daerah, mengadakan pengobatan gratis, pengajian masal, bazar sembako, memasang foto dipinggir-pinggir jalan, di media masa cetak maupun elektronik.

Teror wajah
Pasca reformasi, bangsa Indonesia seakann larut dalam ephuria kebebasan, termasuk juga dalam bidang politik. Hal ini Nampak dari banyaknya partai kontestan pada saat setiap Pemilu. Pada pemilu 2009 ini sebagany 44 partai dinyatakan lolos verivikasi dan berhak untuk mengikuti pesta demokrasi ini. Dengan demikian, atribut partai yang terpajang di pinggir jalan pun sama banyaknya dengan partai yang ada. Bisa dibayangkan, jika satu partai membuat dan memasang 5.000 atribut partai (bendera, spanduk, poster) di suatu daerah atau kota tertentu, berapa banyak atribut partai yang terpajang di suatu daerah atau kota. Belum lagi jika masing-masing partai setidaknya mempunyai 3 orang calon anggota legislative yang masing-masing membuat 5.000 gambar dirinya, berapa banyak atribut yang memenuhi tata ruang lingkunagn kita?

Ruang-ruang dalam tata kota/daerah negeri ini telah penuh sesak oleh simbol-simbol partai, atribut-atribut partai dan wajah-wajah para calon anggota legislatif-eksekutif. Kemanapun orang pergi dan berpaling, dia akan menemui hal-hal yang sama, atribut partai, wajah para kontestan pemilu. Jika diamati dari gambar wajah-wajah para calon anggota legislative yang terpampang di sepanjang jalan raya hingga ke lorong-lorong gang sempit dan pelosok desa-desa, pastilah akan ditemukan satu kesamaan. Semuanya menampakkan wajah yang sumringah, semangat, mempesona dan berwibawa. Gambar-gambar itu seakan mengatakan “inilah saya, calon anggota legislatif yang layak untuk dipilih”.

Kesamaan yang lain adalah, poster-poster tersebut hanya menampakkan dua hal, wajah dan nomor. Gambar-gambar tersebut tidak pernah ada yang menampkkan vifi dan misi para calon legislative. Gambar-gambar inilah yang sekian bulan mengisi ruang publik (public sphere) negeri ini. Masyarakat berbulan-bulan disuguhi oleh atribut partai teror wajah-wajah calon yang konon mewakili mereka.

Politik Imagologi

Seiring perkembangan teknologi informasi yang didikung oleh iklim kebebasan berekspresi, kampanye para partai politik dan para calon legislatif dan eksekutif kontestan Pemilu 2009 tidak sebatas menggunakan media poster yang dipajang di pinggir jalan dan juga di media cetak, tetapi juga merambah pada dunia digital virtual. Kampanye partai-partai politik pun mulai menggunakan media elektronik, baik audio, visual maupun audio-visual. Namun yang kedua inilah yang nampaknya dilihat mempunyai ekses yang lebih banyak sehingga dia lebih banyak pula dipilih.

Efektitifitas iklan sebagai media kampanye untuk meraih simpati para pemilih memang masih menjadi perdebatan dikalangan analisis media dan juga politik. Namun, dengan melihat realitas bahwa media elektronik (khususnya televisi) telah begitu mereaja lela hingga masuk pada ruang-ruang privat, baik di kalangan masyarakat urban maupun pedesaan, menunjukkan peluang besar untuk menarik simpati pemilih dan mendulang suara yang banyak. Partai politik melihat peluang ini dan kemudian menyambutnya. Biaya besar pun digelontorkan untuk memproduksi iklan yang menarik. Semakin besar uang digelontorkan, semakin sering partai politik kontestan pemilu tampil ditelevisi yang disaksikan oleh masyarakat negeri ini dari Merauke hingga Sabang. Iklan kampanye partai politik kemudian tidak ubahnya seperti iklan produk komersial.

Dunia politik, ketika dia telah bersinggungan dengan dunia Iklan maka sebenarnya dia telah masuk kepada dunia, yang oleh Yasraf Amir Piliang sebagai politik imagologi atau politik citra, yaitu penggunaan berbagai citra sebagai bagian dari aktivitas atau strategi politik, atau dalam pengertian lain mempolitisasi citra untuk satu kepentingan tertentu (Yasraf; 205). Kepentingan di sini adalah untuk memperoleh suara terbanyak sehingga dia bisa menjadi legislatif ataupun eksekutif. Dengan demikian politik pun mengikuti prinsip-prinsip dalam iklan yang bekerja untuk popularitas.

Dalam dunia informasi, iklan merupakan media untuk memasarkan produk kepada masyarakat umum. Dalam penyampaian tawaran melalui iklan, produsen menghadirkan produknya dengan prinsip, yang dihadirkan adalah keunggulan-keunggulan produk tersebut dan menyembunyikan keburuakan-keburukan. Dengan demikian sifat iklan adalah menunjukkan sekaligus menyembunyikan. Iklan adalah sesuatu yang ilusif dan manipiulatif. Sebagai contoh adalah group band yang mengiklankan salah satu produk rokok, namun sebenarnya mereka sendiri tidak merokok. Politik dalam bingkai citra iklan berarti dia menampakkan satu sisi ilusif dan manipultaif. Dia hanya menampakkan citra kebaikan, bukan kebaikan itu sendiri.

Teater Demokrasi
Salah satu aspek dari iklan adalah sifatnya yang persuasif. Keberhasilan iklan adalah sangat ditentukan dari kemampuan setiap orang untuk menjadi subjek, yaitu orang yang merasa bagian dari ide-ide yang ditawarkan oleh sebuah porduk. Iklan rokok berusaha menjadikan seseorang manjadi bagian dari dirinya yang jantan, pemberani. Iklan produk whitening menjadikan kaum wanita sebagai sasaran pemasaran produk, sehingga mereka dijadikan seolah-olah menjadi subjek dari produk tersebut yang merasa diri berkulit putih, langsing, bersinar. Iklan memanggil subjeknya secara simpatik. Pada kontek politik, hal ini sangat ditentukan oleh pihak mana yang membuat iklan. Apabila pembuat iklan adalah partai politik penguasa, maka yang ditampakkan adalah keberhasilan-keberhasilan yang telah dicapai pada masa pemerintahaannya, meskipun berhasilan-keberhasilan tersebut adalah keberhasilan semu. Dalam hal ini iklan politik atau kampanye, menggambarkan wajah-wajah yang cerah, ceria, dan penuh senyum dengan segala kemudahan hidup yang diperolah berkat kepemimpinan partai pemerintah. Ujung dari iklan ini dapat dipastikan, pemerintah saat ini telah berhasil, maka dia harus diteruskan.

Berbeda dengan partai politik yang berkuasa, partai politik oposan akan memberikan gambaran-gambaran yang menjunjukkan kehidupan rakyat yang sengsara oleh karena kegagalan pemerintahan saat ini. Dalam iklan kampanyenya, bisa dipastikan, partai politik ini membeberkan kesalahan, kejelekan dan kegagalan partai politik penguasa dengan menampilkan wajah-wajah yang memelas, penuh beban dan derita. Citra yang ditampilkan adalah bahwa “pemerintah saat ini telah gagal, jangan pilih mereka. Pilihlah kami, karena kami adalah orang-orang yang memperjuangkan kepentingan rakyat”. Akhirnya selalu sama dengan iklan produk kecap, “kamilah kecap nomor satu”.

Hal tersebut di atas bisa terjadi karena iklan adalah satu penampilan yang diproduksi dengan skenario tertentu. Scenario tersebut ditentukan oleh pemesan. Partai politik tersebutlah yang mempunyai cerita. Iklan politik in sebenarnya hanyalah bagian dari scenario yang diproduksi oleh politisi. Dia hanya berada pada satu sudut panggung pementasan besar yang bertajuk peseta demokrasi. Selayaknya teater, setiap orang yang di atas panggung memerankan bagiannya masing-masing. Untuk mendukung perannya, para pemain harus di-make up dan menyembunyikan keasliannya. Kata-katanya diatur sedemikian rupa. Tema-tema yang diusung teater-teater ini antara lain kemiskinan, pengangguran, korupsi.

Dalam dunia para pemain teater, kehidupan mereka dibagi menjadi dua, yaitu di panggung dan di luar panggung. Kehidupan di luara panggung akan sangat berbeda dengan kehidupan di panggung. Dengan demikan teater ini hanyalah kamuflase, ilusi dan kebohongan. Di panggung, para politisi menjukkan diri bahwa mereka adalah para pahlawan pembela rakyat, yag mampu mengentaskan rakyat dari kesengsaraan hidup. Namun pada kenyataannya, mereka pula yang menyebabkan kesengsaraan tersebut. Dalam kampanyenya, para politisi berjanji merubah kemiskinan menjadi kemakmuran. Dia menawarkan mimpi-mimpi kepada masyarakat, tentang kesejahteraan, pengobatan gratis, pendidikan gratis, namun setelah terpilih mereka lupa dengan janji-janji tersebut.

Di mana wong cilik dalam pentas teater demokrasi tersebut? Mereka terbagi dua, ada yang ditarik ke panggung lalu dirias sedimkian rupa sehingga Nampak bahwa meraka benar-benar miskin, kemudian mereka dijadikan sebagai komoditi pilitiknya. Yang lainnya di luar panggung, menjadi penonton. Namun keduanya sama, yaitu sebagai objek. Hal ini terbukti bahwa wong cilik tidak pernah benar-benar menjadi agenda dalam setiap tindakan para politisi, kecuali saat para politisi tersebut membutuhkan wong cilik untuk mendulang perolahan suara. Di luar tersebut, tindakan para politisi tidak didasarkan pertimbangan nasib wong cilik, tetapi atas pertimbangan pasar atau kapital. Kebijakan-kebijakan yang diambil sejauh mana mereka memperoleh untung, tidak peduli rakyat yang buntung. Menaik-turunkan harga bukan atas pertimbangan kepenitngan wong cilik, tetapi atas kepentingan pasar dan, sekali lagi, citra. Alih-alih melaksanakan dan memenuhi janji-janjinya, mereka malah memperkaya dirinya. Hal ini tidak terlepas dari pencitraan mereka melalu iklan dan cost pencaonan yang telah memakan biaya banyak

Saat ini wong cilik hanya menjadi komoditas. Tidak ada yang benar-benar memperjuangkannya. Kalau saat ini partai oposisi menganggap diri sebagai partai yang peduli terhadap wong cilik, namun saat mereka berkuasa mereka juga melupakan wong cilik. Mereka hidup dalam kondisi yang serba sederhana, berkekurangan, terpinggirkan, terabaikan. Sangat kontras dengan sekelompok orang tertentu yang jumlahnya sangat terbatas yang menikmati kehidupan serba ada, mewah, dan berlebihan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini. Ironisnya, mereka inilah yang katanya memperjuangkan nasib wong cilik. Wong cilik selalu menjadi korban.

Peran Partai Islam
Sengaja, penulis hanya berbicara sedikit tentang partai Islam di sini, karena ternyata partai Islam tidak berbeda dengan partai-partai lainnya. Ada 8 partai Islam, baik yang secara eksplisit dia menggunakan dasar Islam maupun partai berbasis masa Islam, yang turut dalam Pemilu kali ini. Namun, jika berkaca dari sejarah, partai Islam kurung memiliki peran yang signifikan. Hal ini tampak dari perolahan suara parta-partai Islam. Dari delapan partai tersebut, dua partai (PMB dan PKNU), merupakan partai baru yang merupakan perpecahan dari partai sebelumnya. Sementara perpecahan di tubuh PKB sendiri sampai saat ini tidak mencapai titik temu. Hal ini menunjukkan bahwa partai-partai Islam telah terjerumus juga pada pragmatisme politik yang berorientasi pada kekuasaan semata. Fakta lain adalah, beberapa politisi yang tertangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan para politisi dari parta Islam.

Hal lain yang menjadikan partai Islam kurang dilirik oleh masyarakat Indinesia yang mayoritas muslim adalah karena elitisme partai Islam. Sebagaimana partai lain, komitmen partai Islam kepada wong cilik juga rendah. Partai-partai Islam juga hanya menjual janji-janji pepesan kosong yang kadang dibumbui oleh jargon-jargon agama.

Saat ini rakyat tidak lagi membutuhkan janji-janji pepesan kosong, tetapi langkah kongkrit dari para politisi tersebut dalam menyelesaikan problem kebangsaan ini. Rakyat tidak lagi butuh jargon-jargon agama, tetapi yang mereka butuhkan adalah pekerjaan, harga sembako yang terjangkau, sehingga mereka bisa makan dan beribadah. Bukankah kemiskinan mendekatkan pada kekufuran? Rakyat tidak lagi butuh tontonan teater dengan tema dan para pemain yang tidak pernah itu-itu saja, berganti. Yang mereka butuhkan adalah kedaulatan, di mana rakyat berperan sekaligus menjadi pertimbangan dalam setiap pengambilan kebijakan dan perubahan sosial. Komitmen partai politiklah saat ini yang dubutuhkan. Bukan lagi janji. Untuk kontrak politik antara pemilih dan yang dipilih dibutuhkan.

Dalam era pemilihan langsung ini, masyarakat haruslah cerdas dalam memilih. Jangan sampai masyarakat hanya terjebak pada jargon-jargon agama atau primordialisme. Ketika Ibrahim AS dijanjikan oleh Allah sebagai pemimipin (imam), Ibrahim bertanya, “bagaimana dengan keturunanku?” Allah menjawab, “orang-orang yang dzalim tidak layak menjadi pemimpin (meskipun itu keturunan nabi)”. Yang layak dipilih adalah orang-orang yang mempunyai integritas kepribadian. (keimanan, intelektualitas dan akhlakul karimah), bukan karena kekayaan, ketampanan atau keturunan.

Masyarakat yang sudah dewasa dan cerdas, tentu akan merasa bosan jika hanya disodori dengan pentas teater, skenario dan pemain yang sama. Jika tidak mau berbenah, maka para politisi harus siap ditinggalakn oleh para pemilih.

Jumat, April 03, 2009

Selamat Jalan Kawan

aku belum lama mengenalu
aku juga belum akrab dengan mu
tapi kita telah saling tahu
aku tahu kamu
kamu pun tahu aku
pertama aku mengenalmu sat aku menjadi pemateri yang kamu ikuti
setelah itu hubungan kita berjalan biasa
tidak ada yang isitmewa

kita sedikit akrab ketika kita masak bersama
untuk acara bersama
akupun tahu kamu adalah seorang yang giat,
rajin, militan, teguh,
meski sedikit urakan

kita belum lama mengenal
kita belum lama bersama
kita belum lama dalam banyak hal
sehingga kdang sering aku bingung membedakanmu dengan temanmu
belum setahun waktu berselang
belum lama
tapi,

kau telah pergi terlebih dahulu
meninggalkan aku, dan kami semua
meniggalkan satu kenangan dan kesan
bahwa semakin sedkit orang yang semilitan kamu
kamu pergi tanpa pamit
menagih janji sebuah perjjuangan
namun kamu tak pernah kembali
sementara dan selamanya

Allah sangat merindukanmu
sehingga dia menjemputmu segera
meski melalui tragedi kereta pagi tadi

selamat jalan kawan
damailah bersama-Nya
meski jasadmu telah tiada
semangatmu akan tetap tertanam dalam jiwa-jiwa kami
selamat jalan, Muhammad Alim Ulama.