Sebelum berbicara tentang pernikahan, saya terlebih
dahulu akan berbicara tentang penciptaan. Mengapa? Karena semua berawal dari
penciptaan yang terbungkus oleh qudrah dan iradah Allah.
Dalam Al-Quran banyak dijelaskan tentang proses
penciptaan manusia. Namun untuk mengetahui apa tujuan dari penciptaan itu, maka
jawabnya dapat di temua dalam firman Allah surah Al-A’raf ayat …
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia
melainkan untuk beribadah kepadaku.”
Dalam sebuah riwayat, Ibnu Abbas menjelaskan bahwa
kata “liya’buduni” di sini berarti “lima’rifati” atau untuk bermakrifat
kepadaku, mengenal Allah. Hal ini selaras dengan sebuah hadis qudsi yang
berarti “ aku adalah perbendaharan tersembunyi, aku ingin diketahui, maka aku
menciptakan makluk”.
Terlepas dari riwayat tersebut, kata “abada” sendiri
berarti sebuah pengkhidmatan diri, pelayanan diri. Adapun subjek dari kata
tersebut adalah ‘abid, (yang menyembah). Ada yang mengabdi, tentu yang
diabdi (ma’bud), yaitu Allah swt. Sang abid di sini harus menjadikan Al-Ma’bud
sebagai titik pusat orientasi hidupnya. Dengan demikian, jin dan manusia harus
menjadikan Allah sebagai titik tolak sekaligus titik tuju. Segala apa yang ia
perbuat haruslah semata-mata untuk dan karena Allah. Inilah yang disebut dengan
ikhlas. Ikhlas sendiri berasal dari kata khalasha yang artinya bersih
dan terbebas dari segala sesuatu. Apabila seseorang melakakukan sesuatu tidak
didasari dengan pengabdian kepada Allah, maka perbuatan itu bukan berbuatan
yang ikhlas (bersih). Dan ia telah melakukan perbuatan menyimpang. Mengapa
dikatakan menyimpang? Karena ia telah mengingakari janji. Janji apa? Janji
primordial.
Sebelum dilahirkan ke dunia, terlebih dahulu manusia
mengalami kehidupan di alam lain yang disebut sebagai alam rahim. Dan sebelum
itu, manusia berada di alam ruh. Saat di alam ruh inilah manusia berikrar pada
Tuhan. Alastu birabbikum? “bukankah aku Tuhanmu?
Pemaparan singkat di atas saya kira sudah cukup untuk
menjawab pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini. Ya.. saya menikah karena
saya tercipta sebagai manusia yang telah berjanji bahwa setiap salatku,
ibadahku, hidupku dan matiku semata-mata karena Allah. Pernikahanku pun tak
lain dan tak bukan semata-mata karena Allah swt. Itulah jawab pertama dari
pertanyaan di atas.
****
Bisakah Anda membayangkan Anda berada di suatu tempat
yang asing yang sama sekali belum pernah Anda kunjungi? Malangnya, di tempat
itu tidak ada polisi yang selalu siap melayani masyarakat. Karena di tempat itu
orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Karena di tempat itu setiap orang
juga memikirkan nasib dan masa depannya sendiri. Tapi bedanya, di sana tidak
ada kompetisi. Mereka memang sibuk dengan urusan pribadi, tapi tidak ada yang
karena ingin ia sukses kemudian ia menyingkirkan orang lain. Mereka hanya
mengkhawatir diri mereka sendiri. Menunggu apa yang akan terjadi dan kemana
mereka akan pergi.
Pada saat-saat seperti itu tiba-tiba lewatlah
sekelompok orang yang bernaung di bawah sebuah bendera berwarna hijau.
Rombongan itu mempunyai hak istimewa menjadi rombongan pertama yang
meninggalkan tempat itu. Setelah sebelumnya seorang lelaki bingung ingin ikut
kelompok mana (karena memang tidak ada yang dikenal), maka ia memutuskan untuk
ikut kelompok itu, karena ia yakin mereka adalah kelompoknya. Namun saat ia hendak bergabung dengan barisan tersebut, tiba-tiba
pimpinan kelompok itu berkata:
“Anda mau kemana?” tanya pimpinan itu.
“Ikut Engkau, wahai pimpinanku”. Jawab laki-laki
tersebut.
“Tidak bisa. Anda bukan bagian dari kami”, katanya.
“Kok bisa Baginda bilang seperti itu”. Laki-laki itu
terkejut.
“Karena Anda tidak melakukan apa yang kami lakukan.”
“Semua yang Baginda lakukan telah saya lakukan. Saya
salat, puasa, zakat, haji sadakah. Semua telah saya lakukan.” Bantah Si
laki-laki.
“Belum, karena kamu tidak menikah. Padahal nikah
itu adalah sunnahku, barang siapa yang tidak menyukai sunnahkku, maka dia bukan
dari golongnaku. So, good Bye.” Kata pimpinan rombongan itu.
Laki-laki itu pun bersedih. Satu-satunya kelompok yang
ia kenal ternyata tidak mengakuinya. Ia terkatung-katung di negeri asing yang bernama
barzakh.
Anda mau seperti itu? Saya yakin jawaban Anda seperti
jawaban saya juga: tidak mau. Saya tidak mau terasing di negeri yang asing.
Saya tidak mau dicuekin oleh orang yang selama ini saya harap-harapkan
pertolongan (syafaatnya) di hari dan saat-saat seperti di atas. Meski sekelebat
pun belum pernah saya menatap indah wajahnya, mendengar merdu suaranya, namun
cukuplah cerita-cerita tentangnya menuntun saya untuk meneladani perilaku
manusia agung ini, kekasih Allah, Nabi Muhammad saw. Bukankah hal ini juga
menjadi ikrar kita?
Setiap kali kita berikrar bahwa tiada Tuhan selain
Allah dan menjadikan Allah sebagai titik orientas, kita kemudian berikar bahwa
Nabi Muhammad saw. adalah utusan Allah.
Itu artinya untuk beribadah (bermakrifat) kepada Allah, kita harus
meniti jalan yang diajarkan oleh rasal-Nya, Muhammad saw. Pun demikian jika kita mencintai Allah, kita
harus mencinta rasul-Nya. Qul, in kuntum tuhibbunallah fattabiuni
yuhbibkumullah. Katakanlah jika Kamu mencinta Allah, maka ikutilah aku
(Muhammad saw.) niscaya Allah akan mencintaimu. Demikian kata Allah.
Mencinta Nabi Muhammad saw. adalah dengan mengikuti
sunah-sunahnya, salah satunya adalah menikah. Itu adalah jawaban kedua.
Jawaban ketiga. Menikah adalah menyempurnakan separuh
agama.
Suatu malam seorang anak kecil dengan girangnya
memanggil ibunya.
“Bunda, lihatlah ke atas. Indah sekali ya?” kata si
anak. Sementara bunda pun melihat ke arah yang ditunjuk anaknya. Di sana bulan separo seperti tergantung di
langit yang dihias kabut tipis.
“Kamu ingin lihat yang lebih indah lagi sayang?” Tanya
bunda. Si anak pun mengangguk. “Esok akan bunda kasih lihat.”
Keesokan harinya, sang bunda memanggil si anak keluar
rumah.
“Lihatlah sayang, bulan separo memang indah, tapi
bulan purnama jauh lebih indah.” Kata sang bunda.
Si anak pun takjub melihat keindahan bulan purnama
yang bulat sempurna.
Pada lain waktu, si anak menangis memanggil-manggil
bundanya.
“Ada apa nak, kok nanggis?” tanya bunda khawatir.
“Saya mau beli roti fidaus di warung, tapi tidak
boleh?” kata si anak.
“Kenapa tidak boleh?”
“Duitnya.”
Bunda pun melihat duit yang dipegang anaknya. Kemudia
berkata : “Ya wajar saja kalau tidak boleh. Lha ini, duitnya cuma separo.
Sobekkannya mana?”
Si anak pun hanya menggeleng.
Yang sempurna memang selalu lebih indah. Kesempurnaan
adalah harapan semua orang dalam semua bidang. Bukankah kehidupan ini sendiri
merupakan sebuah perjalanan menuju ke kesempurnaan, ke Yang Maha Sempurna?
Alasan yang keempat adalah karena kita terlahir sebagai
manusia, yaitu makhluk yang berada pada puncak penciptaan (masterpeac ciptaan
Allah) atau ahsanu takwim. Namun kesempurnaan itu bisa berbalik 380
derajat jika kita tidak menjaganya. Dalam artian, manusia bisa menjadi makhluk
yang berderajat rendah jika ia tidak mengetahui posisi dan hakikat
penciptaanya. Pernikahan adalah salah satu cara untuk menjaga kehormatan diri
sebagai manusia. Pernikahan adalah pembeda antara manusia dan binatang dalam
pemenuhan kebutuhan biologisnya.#
*Tulisan ini adalah bagian I bab 1 dari buku Surat untuk Istriku.
0 komentar:
Posting Komentar