Berbicara tentang pernikahan
pastilah berbicara tentang hubungan dua orang manusia yang berasal daru dua
keluarga dan dua budaya. Kedunya bertekad bulat untuk menjadi satu dalam sebuah
ikatan keluarga. Status keduanya pun sudah berubah, tidak lagi gadis dan jejaka.
Mereka kini sepasang suami istri. Mereka berdua kini memiliki 4 orang tua yang
harus diletekkan sejajar, dihormati dan disayangi sama baiknya.
Selain sebagi pemimpin, seorang
suami berkewajiban untuk mencarikan nafkah bagi keluarganya. Satu hal yang
perlu diingat adalah, segala sesuatu yang dimakan oleh seseorang akan mengalir
di darah dan dan seluruh tubuh kita. Jika makanan yang masuk ke dalam perut
kita adalah makanan yang baik, maka baik pula perkembangan tubuh kita. Baik di
sini tentu atas dasar ajaran agama. Dalam Islam, makanan yang baik adalah
makanan yang halalan thayyiban, halal lagi toyib. Halal artinya dibolehkan
oleh agama. Halal di sini menyakup dua hal, yaitu halal dalam cara
memperolehnya dan halal secara zatnya itu sendiri. Sementara thayyib
mempunyai arti baik secara kesehatan, yaitu makanan yang sehat dan bergizi.
Untuk itu, seorang suami harus berhati-hati dalam memberikan nafkah kepada
keluarganya, karena tidak hanya berpengaruh kepad perkembangan jasmani, tetapi
jika ruhani.
Selain sebagai seorang suami,
orang yang sudah menikah pada waktunya juga akan menjadi seorang ayah. Sebagai
seorang ayah, ia berkewajiban untuk membimbing anak-anaknya agar menjadi
anak-anak yang saleh-salihah. Memastikan bahwa anak-anaknya mendapatkan
penghidupan dan pendidikan yang semestinya. Dan yang menjadi catatan adalah;
anak akan melihat apa yang dikerjakan oleh ayahnya. Jika seorang ayah melakukan hal yang baik, itu berarti ia
telah memberi teladan yang baik kepada anaknya. Keteladanan adalah cara yang
paling baik untuk mendidik anak.
Sementara itu, setelah menikah,
seorang perempuan bergeser statusnya menjadi seorang istri. Istri adalah
pendamping suami. Sebagai pendamping, sudah sepatutnya seorang istri berada di
sisi suami, baik saat suka maupun duka. Saat suka istri menjadi teman berbagi,
saat duka istri menjadi orang yang selalu memotifasi dan menguatkan. Sebagai
istri, ia juga berkewajiban mengingatkan suaminya jika sang suami menyimpang
dari syariat Allah. Kepatuhan kepada suami adalah selama sang suami berada di
jalan Allah. Namun yang perlu diingat adalah cara mengingatkannya, yaitu dengan
caya yang baik.
Sebagai istri, ia juga membantu
suaminya dalam mencari nafkah, dengan syarat sang suami ridha akn hal itu.
Karena bisa jadi penghasilan suami tidak mencukupi untuk penghidupan
sekeluarga. Sebagaimana suami, yang harus dilakukan oleh istri dalam membantu
mencari nafkah adalah nafkah yang halalan thayiban. Ia juga berkewajiban
menjaga harta bendanya saat sang suami sedang tidak ada di rumah.
Selain sebagai istri, seorang
perempuan juga menjadi seorang ibu bagi anak-anaknya. Ibu adalah orang yang
paling dekat dengan anak, karena sejak dalam kandungan, seorang anak sudah
bersama dengan ibunya. Kemudian ibu menyusui anaknya selama dua tahun
sebagaimana termaktub dalam Al-Quran. Begitu juga dalam perkembangannya,
seorang anak seringkali lebih dekat dengan ibunya. Kedekatan ini yang kemudian
membuat anak banyak belajar dari ibunya, sehingga ada pepatah yang mengatakan al-ummu
madrasatul ula, ibu adalah sekolah yang pertama. Tidak hanya pertama,
tetapi juga utama. Untuk itu, seorang ibu sebaiknya tidak hanya mengandalkan
nalurinya saja dalam mengasuh anak, namun perlu untuk selalu belajar dan
menggali ilmu.
Sebagai pasangan, suami-istri istri
haruslah berjalan beriringan, berangkulan satu sama lain, dan bekerjasama dalam
membina rumah tangga. Dalam berbagai kebudayaan, ada semacam kesamaan dalam
memaknai hubungan suami istri. Di dunia barat, pasangan suami istri sering
disebut sebagai soulmate, atau yang kita kenal dengan belahan jiwa.
Dalama kebudayaan Jawa seorang istri disebut garwo yang merupakan
kependekan dari sigare nyowo. Konsep ini mengisaratkan bahwa suami istri
pada hakikatnya adalah dua jiwa yang terpisah yang kemudian dipertemukan
kembali. Ini selaras dengan doa Nabi Muhammad untuk Ali bin Abi Thalib dan
Fatimah Az-Zahra, “semoga Allah mengumpulkan yang terserak dari mereka
berdua”. Ini juga bisa berarti, pernikahan telah membuat sepasng
suami-istri menjadi satu kesatuan yang utuh. Suami menjadi pelengkap istri yang
tanpanya istri tidak akan sempurna. Istri menjadi pelengkap suami yang tanpanya
suami tak akan sempurna.
Baik suami maupun istri adalah
sama-sama manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Namun itu bukan
berarti seseorang harus selalu berbuat salah. Juga bukan berarti kesalah itu
sebagai alasan untuk kehilangan kesempurnaan. Kesalahan pastilah ada. Namun
yang lebih penting dari itu adalah bagaimana sepasang suami istri saling
mengingatkan antara satu sama lain, tawashaubilhaqqi wa tawashaubish
shabr, saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam
kesabaran.
Untuk menggambarkan seperti apa
hubungan suami-istri ini, Allah telah dengan begitu indahnya menggambarkan
dalam Al-Quran:
mereka (istri-istrimu) adalah pakaian bagimu, dan kamu
pun adalah pakaian bagi mereka
(QS. Al-Baqarah: 187)
Al-Quran menggambarkan
suami-istri sebagai pakain. Fungsi pakaian adalah menutupi aurat dan kehormatan
seorang manusia. Pakain juga digunakan sebagai zinah atau hiasan,
karena memang dengan pakain seseorang selain terhormat juga akan lebih indah
(cantik/tampan). Dengan demikian, suami-istri haruslah menjadi penutup untuk
kekurangan-kekurangan pasangannya masing-masing. Selain itu, keberadaan pasangan
suami-istri harus juga menjadikan pasangannya lebih terhormat, lebih anggun,
dan lebih sempurna.
Wallau ‘alam bishshawab.
0 komentar:
Posting Komentar