SCRIPTA MANENT VERBA VOLANT

(yang tertulis akan tetap mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin)

Rumahku Surgaku

Rumah bukan hanya tempat berteduh dari sengat matahari dan derasnya hujan, tetapi ia juga tempat bertumbuh rasa kasih sayang, tempat kembali bersama kehangatan keluarga.

Allah Maha Pemurah

Burung yang keluar dari sangkarnya dengan perut kosong, akan kembali di sore hari dengan perut kenyang. Sungguh Allah Maha Pemuerah kepada semua makhluk-Nya.

Di Atas Langit Masih Ada Langit

Langit hanyalah batas dari ketidakmampuan pandangan mata kita, namun akanl dan iman kita akan selalu mengatakan bahwa masih ada langit di atas langit yang kita lihat.

Jalan Hidup

Jalan hidup tak selamanya datar. kadang ia menaik-turun, berliku dan terjal. Hanya pribadi yang kuatlah yang mampu menempuh jalan itu.

Lebah

Ia hanya makan dari sesuatu yang bersih dan bergizi sehingga ia menghasilkan sesuatu yang bersih dan bergizi pula. ia tak pernah merusak saat mencari makan. ia ada untuk bermanfaat.

Rabu, Agustus 03, 2011

Lelaki Tua di Pekuburan

Mabh Marto, itulah namanya. Lelaki tua yang tidak pernah lepas dari kepalasanya songkong hitam yang sudah mulai memerah. Entah berapa tahun usia kopiah itu. Mungkin masih belum terlalu tua, namun bisa jadi karena kurangnya perwatan menjadikan kopiah itu nampak usang. Bukan hanya kopiah hitam yang memerah yang menjadi ciri khas mbah Marto, tetapi juga plastik bungkus permen yang dijadikannya wadah tembakau, wor dan kertas rokok. Hitam bibirnya petanda bahwa Mbah Marto adalah perokok ulang. Perokok lintingan tepatnya. Rokok ini pula yang menambah kharismatik pada diri mbah Marto sebagai seorang JKM.

Begitulah kebanyakan orang menyingkat profesi mabh Marto sebagai Juru Kunci Makam, profesi yang telah dijalaninya selama kurang lebih lima belas tahun itu. Kurang lebih, yah karena tidak pernah ada orang yang benar-benar menghitungnya. Tidak penting. Dan juga tidak ada kaitannya dengan birokrasi, tidak ada pensiun. Begitu juga Mbah Marto tidak pernah menghitungnya. Dia begitu menikmati profesinya. Orang yang merasakan kenikmatan tidak pernah menghitung-hitung berapa lama dia telah mekakukanya. Menghitung-hitung waktu biasanya hanya dilakukan orang-orang yang tidak bahagia, tidak bisa menikmati kehidupan.
Sebagai seorang JKM, tugas Mbah Marto tidak jauh dari makam. Mengurus penguburan jenazah, membersihkan makam, membaca doa untuk orang yang sedang berziarah. Dan Mbah Marto pun identik dengan perkuburan, makam. Jika berbicara tentang makam atau kuburan, selalu saja orang akan segera ingat akan Mbah Marto. JKM pun kadang diplesetkan menjadi Juru Kunci Marto. Dan Mabh marto pun tidak marah akan hal itu, dia hanya tersenyum.
Berhitung waktu berlalu, banyak hal yang telah dialami oleh Mbah Marto. Kadang menyenangkan, kadang tidak mengenakkan hati. Namun, sekali lagi, dia mencoba untuk menikmati semuanya. Dia pernah menggali makam pada malam hari. Alasannya, pihak keluarga ingin agar jenazah segera dikuburkan. Pernah juga dia mengubur jenazah tanpa identitas. Jenazah tersebut ditemukan di pinggir kali yang mengalir di sepanjang pinggir daerah Mbah Marto . Warga kemudian melapor pada Polisi. Jenazah pun akhirnya dibawa ke rumah sakit. Namun setelah beberapa lama tidak ada sanak keluarga yang mengkonfirmasi, akhirnya jenazah dimakamkan di pekuburan tersebut. Saat dimakamkan, bau busuk begitu menusuk.
Kalau ditanya kapan waktu yang paling menyenangkan, pasti jawab Mbah Marto adalah menjelang bulan Ramadhan. Sehari sebelum memasuki bulan suci itu, warga banyak yang berziarah. Senangnya Mbah Marto adalah karena dia tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga untuk membersihkan pemakaman tersebut. Ditambah lagi, kalau sedang baik hati, orang yang meminta Mbah Marto untuk mendoa akan memberi Mbah Marto sejumlah uang. Tidak besar, tetapi cukup untuk tambahan beli tembakau. Kalaupun selain hari menjelang Ramadhan, tentulah hari itu hari jumat. Sebagian orang rajin untuk berziarah pada hari jumat pagi. Sunah rasul katanya.
Ziarah kubur memang dianjurkan dalam agama. Sebelumnya Nabi pernah melarang umatnya untuk berziarah karena takut umatnya akan musyrik, meminta kepada kuburan, bukan kepada Tuhan. Namaun kemudian Nabi membolehkannya. Untuk mengingat maut katanya. Yah, maut memang harus selalu diingat-ingat, agar manusia sadar bahwa kelak ia juga akan mati.
Maut adalah misteri. Dia ada bersembunyi dan selalu mengintai manusia. tak seorang pun tahu kapan dan di mana maut akan datang kepadanya. Dia menyapa, bukan hanya orang yang sudah tua renta, tetapi juga bayi yang baru lahir. Dia bisa datang saat manusia sedang lelap maupun terjaga. Dan ketika dia datang, tak ada lagi kompromi, tak ada tawar menawar, tak ada negosiasi. Bahkan juga tanpa permisi. Jika tiba waktu dia datang begitu saja, tanpa diundang. Maut adalah pemutus. Dia pemutus kenikmatan, kesengseraan, kebahagian, kesedihan dan kebersamaan, pemutus kefanaan.
Ingatan Mbah Marto menyelesur menembus waktu tiga bulan yang lalu. Seusai shalat subuh, salah seorang jamaah mendatangngi mbah Marto dan menyapanya.
“Mau minta oleh-oleh apa dari Jogja, Mbah?” Tanya seorang jamaah yang bernama Roziqun itu.
“Emang kamu mau ke Jogja, Ziq? Ada acara apa?”
“Wisudanya Rani, Mbah,” jawab Raziqun. Mbah Marto pastilah tahu Rani, anak pertama Raziqun yang sedang kuliah di Jogja. Masih sedikit warga kampung ini yang mau merantau untuk menuntut ilmu. Kebanyakan mereka bekerja, sehingga keberadaan Rani pun sangat menonjol, khususnya bagi Mbah Marto.
“Saya titip Blangkon saja Ziq, yang murah-murah saja ya!” Mbah Marto mulai berpikir untuk mengganti pecinya yang sudah memarah.
Sore itu, mbah Marto sedang duduk-duduk di teras Masjid. Dia sedang memikirkan bagiamana penampilannya dengan blangkon ala kraton Jogja. Namun lamunannya buyar saat mobil Raziqin melintas di depan masjid. Bukan blangkon yang dia terima, tetapi kabar buruk. Raziqun pulang tidak hanya dengan Ijazah Rani, anakmya, tetapi juga dengan Jenazahnya. Rani meninggal karena terseret ombak laut selatan saat mereka sedang bertamasya di pantai Parangtritis usai Wisudanya. Itulah maut, tak kenal tempat, tak pandang bulu.
“Mati.’ Mbah Marto sedikit menggumam. Lirih. Seolah dia berkata pada dirinya sendiri. Rona wajahnya sedikit berubah, memucat. Ah, mengapa dia baru sekarang berpikir tentang maut, mati. Mengapa baru sekarang dia sadar dan merenungi tentang kematin? Bukankah hal itu sudah dihadapinya saben hari? Mengapa dia jadi teringat mati?
Mbah Marto mematikan lintingannya. Tangannya ia usapkan ke tanah. Yah, mengapa dia jadi teringat mati? Bukankah mati itu adalah sebuah keniscayaan bagi semua makhluk? Entah esok atau lusa, pastilah semua orang akan mati? Dia ingat, bagaimana dia membimbing orang yang sedang dalam keadaan sakarotul maut. Dia ingat saat dia memandikan jenazah, mengkafani, menshalati dan mengadzani serta meletakkannya di lubang yang sempit itu. Dia ingat bagaimana pucat dan dinginnya wajah itu saat dia membuka ikatan kafannya. Dia juga ingat saat satu persatu para peziarah melemparkan tanah ke dalam kuburan, lalu menimbunnya. Terakhir di atasnya diberi nisan petanda bagi siapa yang ingin berziarah. Dia juga ingat wajah-wajah orang yang ditinggal mati itu. Ada yang menangis sampai histeria bahkan sampai pingsan. Ada yang hanya bersedu sedan. Ada yang hanya meneteskan air mata, tanpa suara. Ada yang biasa-biasa saja. Ada juga yang tertawa, entah gembira atau apa. Dia ingat semua. Sementara jenazah ditinggal sendiri di ruang sempit itu, beralas dan berbantal tanah, berselimut gelap. Meski selama ini Mbah Marto sering sendiri, namun dia tidak bisa membayangkan kesendirian di dalam kubur.
Mbah Marto menatap ke sekeliling kubur, nisan-nisan nampak mulai lapuk diterpa panas dan hujan. Pikirannya belum bisa berdamai. Dia merenung, berpikir kapan dia akan mati, di mana dia akan mati, siapa yang akan membimbingnya saat dia sakaratul maut? Siapa yang akan memandikan, siapa yang akan mengkafani dan menshalitinya, siapa yang akan menguburnya? Adakah yang akan menangisinya?
Tiba-tiba air matanya menetes. Entah apa yang ditangisinya. Mungkin dia menangisi kematianya nanti, atau bisa juga dia menangisi nasibnya, kesendiriannya. Namun, baru kali ini Mbah Marto merasa takut. Entah apa yang dia takutkan. Kematian? Mengapa sesuatu yang pasti harus ditakuti. Bukankah kematian adalah gerbang yang akan mengantarkan manusia pada sebuah perjumpaan. Yah mugkin perjumpaan itu yang membuat Mbah Marto takut, sebuah perjumpaan dengan Dia yang membuat hidup. Mbah Marto merasa bekalna belumlah cukup. Mbah Marto tak ahu harus menjawab apa ketika Yang memberi hidup itu bertanya tentang orang-orang yang diamanatkan kepadanya.
Ingatan Mbah Marto melesat jauh menuju satu masa yang pernah dia lalui. Wajah-wajah membayang di tepian sawah, di antara pohon kacang sayur yang merambat di bamboo-bambu yang dibelah. Cerah, sumringah. sesumringah padi yang munguning. Masa panen hampir tiba. Mbah Marto melihat ke wajah istrinya. Senyum tersungging di sana. Tiada merugi dia menikahinya. Wanita inilah yang menguatkan hidup Mbah Marto. Namun Mabh Marto tidak tahu kalau itu adalah senyum yang terakhir Sumi, istrinya.
Esok hari adalah masa panen raya. Sebagaimana tradisi di kampung itu, setiap panen raya pastilah masyarakat akan berbondong-bondong membawa makan ke sawah untuk dimakan bersama-sama. Namun belakangan acara panen raya itu ditambah lagi dengan satu acara pada malam harinya, yaitu dengan acara pengajian. Ini lantaran semakin banyaknya warga kampung tersebut yang mengirim anak-anaknya ke Jawa untuk belajar ilmu agama. Marto muda bukanlah Mbah Marto seperti saat ini yang selalu ada di masjid sat waktu-waktu shalat. Saat isu bias dikata dia asih abangan. Shalat hanya ia lakoni saat hari jumat dan hari raya saja.
Tak ada seorang pun warga desa yang menduga aka terjadi petaka di kampung mereka. Malam hari saat mereka mendengar pengajian di masjid kampung, mereka diserbu oleh segerombolan orang tidak dikenal dengan bersenjatakan senapan. Sawah ludes digasaknya. Saat kejadian tersebut Mbah Marto sedang memancing ikan di kali yang agak jauh dari kampung. Rencananya, ikan itulah besok yang akan jadi lauk saat pesta raya. Dia melihat kobaran api yang membakar kampung itu. Jerit orang-orang kampung terdengar dari tempat dia berdiri. Dia ingat istri dan Randi, anak laki-lakinya yang baru mau masuk SD. Sejak malam itu, kampung tersebut menjadi medan perseteruan dan kerusuhan. Warga kampung itu dianggap subversif, membangkang pada negara dan ingin membuat kekacauan. Sejak saat itu pula Mbah Marto tidak pernah pulang ke kampungnya.
Mbah Marto kembali tersadar. Seekor nyamuk menggigit lengannya. Dipukulnya nyamuk itu. Naas, sang nyamuk tidak sempat meloloskan diri. Disapunya dengan tangan kiri darahnya yang telah dihisap nyamuk itu. Pandangan kembali melayang mengitari makam. Ditatapnya dua makam yang terletak di bagian pojok. Entah munculnya dari mana rasa itu, keigninan itu. Tiba-tiba muncul dalam hatinya keinginan untuk nanti dikuburkan berdampingan dengan istri dan anaknya. Namu hatinya kembali ciut, dia tidak pernah tahu, apakah istri anaknya dikuburkan atau tidak. Kalaupun dikuburkan, dia pun tidak tahu di mana mereka dikuburkan. Kerusuhan itu telah membawa petaka, mengahapus semuanya. Sejak malam itu, Mba Marto tidak pernah kembali ke kampungnya.
Hari itu hari jumat. Sebagaiamana hari jumat sebelum-sebelumnya, pemakaman itu ramai oleh para peziarah. Mereka membersihkan makam, menyirami dengan air bunga lalu berdoa. Namun ada yang tidak biasa. Para peziarah tidak mendapatkan Mbah Marto di gubuk yang sering digunaknnya untuk berteduh dan beristirahat usai memberishkan makam. Para peziarahpun bertanya-tanya satu sama lain.
“Pulang kampung, kali”, kata seorang laki-laki dengan baju koko dan peci putih.
“Emang Mbah Marto punya kampung, punya keluarga?” Sanggah yang lain.
“Emang kamu saja yang punya kampung halaman,” kata lelaki pertama.
“Lagi cuti mungkin,” kata yang lain.
“Emang PNS, pakai cuti segala,” yang lain menyahut.
“Mungkin dia sudah bosan jadi JKM.”
“Mungkin…….” “Mungkin…..” “Mungkin…..” “Mungkin…..” suara bersahut-sahutan. Riuh rendah mereka berpendapat. banyak pendapat, banyak kemungkinan, banyak ketidaktahuan, banyak ketidakpastian. Yang pasti hari semakin siang, satu persatu orang meninggalkan makam, dan makam pun kembali sepi saat adzan berkumandang memanggil umat muslim utuk menunaikan shalat Jumat.
Sampai hari Jumat berikutnya, menghilangnya Mbah Marto masih menjadi perbincangan di makam itu, di mushola, di masjid di warung makan di pengajian, di arisan. Begitu juga hari-hari dalam minggu berikutnya, sampai pada satu bulan, dua bulan, tiga bulan. Pelan tapi pasti, obrolan itu pun menghilang. Tak ada lagi obrolan tentang Mbah Marto. Ia pun terlupakan.
Sembilan bulan sejak kepergian Mbah Marto, nampak rumput yang ada di makam mulai meninggi. Hanya beberapa makam saja yang masih nampak bersih, makam yang masih sering diziarahi oleh sanak familinya. Yang lain sudah mulai tertutupi oleh rumput yang tingginya sudah melebihi batu nisan.