SCRIPTA MANENT VERBA VOLANT

(yang tertulis akan tetap mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin)

Rumahku Surgaku

Rumah bukan hanya tempat berteduh dari sengat matahari dan derasnya hujan, tetapi ia juga tempat bertumbuh rasa kasih sayang, tempat kembali bersama kehangatan keluarga.

Allah Maha Pemurah

Burung yang keluar dari sangkarnya dengan perut kosong, akan kembali di sore hari dengan perut kenyang. Sungguh Allah Maha Pemuerah kepada semua makhluk-Nya.

Di Atas Langit Masih Ada Langit

Langit hanyalah batas dari ketidakmampuan pandangan mata kita, namun akanl dan iman kita akan selalu mengatakan bahwa masih ada langit di atas langit yang kita lihat.

Jalan Hidup

Jalan hidup tak selamanya datar. kadang ia menaik-turun, berliku dan terjal. Hanya pribadi yang kuatlah yang mampu menempuh jalan itu.

Lebah

Ia hanya makan dari sesuatu yang bersih dan bergizi sehingga ia menghasilkan sesuatu yang bersih dan bergizi pula. ia tak pernah merusak saat mencari makan. ia ada untuk bermanfaat.

Kamis, Juni 28, 2012

Guru: Mengajar itu Memanusiakan

Judul buku : Gurunya Manusia
Penulis : Munif Chatib
Penerbit : Kaifa, Bandung.
Tahun : Pertama, Mei 2011
Halaman : xx + 253

Apa yang menjadi faktor terpenting dalam kemajuan sebuah bangsa? Jawabannya adalah pendidikan. Dua negara maju saat ini bisa kita jadikan sebagai rujukan, yaitu Amerika Serikat dan Jepang. Kemajuan dua negara tersebut tidak bisa dipisahkan dari baiknya sistem pendidikan yang mereka miliki. Pendidikan menjadi prioritas utama mereka, karena mereka sadar bahwa tanpa adanya sistem pendidikan yang baik, tidak akan lahir generasi yang unggul yang dengan ilmu pengetahuannya dapat menguasai sendi-sendi kehidupan ini.

Lalu apa yang menjadi faktor terpenting dalam pendidikan? Tak lain dan tak bukan adalah guru. Guru adalah orang yang menentukan kualitas sebuah generasi, karena dari dan oleh merekalah ilmu pengetahuan dan nilai ditransfer kepada sebuah generasi. Bukan suatu yang mengherankan jika sesaat setelah pengeboman yang meluluhlantakkan Nagasaki dan Hiroshima tahun 1945, Kaisar Hirohito dalam pidatonya menanyakan jumlah guru yang selamat. Tak lain karena sang kaisar sadar bahwa guru adalah tulang punggung kemajuan suatu bangsa. Hingga kini, guru mendapat perhatian yang tinggi di negara tersebut. 


Hal yang sama juga terjadi di Finlandia. Menyadari akan peran penting guru bagi kemajuan bangsanya, Finlandia menempatkan guru sebagai profesi terhormat. Pemerintah Filnlandia menempatkan angggaran pendidikan pada prioritas utama, dan yang paling besar adalah untu gaji guru. Konsekwensinya, seseorang harus bersaing ketat untuk masuk pada jurusan pendidikan. Dengan demikian kualitas guru di negara tersebut sangat terjaga. Lalu, bagiamana dengan kualitas pendidikan dan guru di Indonesia?
 

Harus diakui bahwa kesadaran akan peran penting pendidikan bagi kemajuan sebuah bangsa yang perlu mendapat prioritas utama masih belum terbangun di negeri ini. Pemerintah, dengan berbagai alasan, belum berani menjadikan pendidikan sebagai investasi terbesarnya, dengan demikian guru masih menjadi profesi tingkat rendah di negeri ini, apalagi jika dibandingkan dengan profesi-profesi lainnya seperti pegawai bank atau pegawai kantoran. Banyak yang menjadi guru lantaran tidak diterima di bidang lain. Mau tidak mau, hal ini akan berdampak pada kualitas guru.
 

Stereotip di atas hanya satu permasalahan dari segunung permasalahan keguruan di tanah air ini. Permasalahan yang lain adalah dari dalm diri guru sendiri. Masih banyak guru yang mengajar dengan menggunakan paradigma lama yang menganggap anak sebagai tong kosong yang perlu diisi dengan air (banking system learning). Anak tak ubahnya sebuah robot yang menerima program begitu saja tanpa ada penolakan. Permasalah yang lain adalah rendahnya komitmen para guru. Tidak sedikit guru yang hanya sekedar menyampaikan materi tanpa memedulikan apakah anak paham atau tidak terhadap materi tersebut, karena yang terpenting materi akan habis di akhir semester. Begitulah yang dilakukan sepanjang semester sepanjang tahun. Ditambah lagi dengan metode mengajar yang monoton yang tidak menumbuhkan keinginan anak untuk memahami pelajaran tersebut.
Dengan kondisi guru seperti di atas, maka pendidikan Indonesia masih jauh untuk bisa dikatakan maju atau berkualitas. Akibatnya hingga saat ini indeks pembangunan manusia Indonesia masih di bawah negara-negara tetangga yang dari usia lebih muda dari kita. Bahkan dari dua hasil penelitian berbeda yang dihimpun oleh seorang konsultan pendidikan, Indonesia menempati urutan keempat dari bawah pada penelitan pertama dan urutan kedua dari bawah pada penelitian kedua. Untuk mengejar ketertinggalan tersebut tidak ada jalan lain kecuali dengan meningkatkan kualitas pendidikan kita. Itu berarti meningkatkan kualitas para guru dan mencetak guru-guru profesional, karena hanya guru profesionallah yang mampu melakukan sebuah transformasi. Lalu seperti apa guru profesional tersebut?
 

Munif Chatib, seorang konsultan pendidikan dan pakar Multiple Intelligences (sebuah teori yang saat ini menjadi landasan pendidikan hampir di seluruh dunia), menggambarkan guru profesional itu dalam bukunya Gurunya Manusia; Menjadikan Semua Anak dan Semua Anak Juara, dengan satu profil yaitu Gurunya Manusia. Menurut Munif, Gurunya Manusia adalah guru yang fokus kepada kondisi peserta didik. Semakin banyak data dan informasi tentang kondisi peserta didik, akan semakin memudahkan guru masuk ke dunia siswa (hal. xviii). Dan syarat utama untuk menjadi Gurunya manusia adalah ia tidak pernah berhenti belajar (hal. 64), karena dengan terus belajar inilah seorang guru dapat terus mengembangkan kemampuannya.
Munif Chatib menuliskan setidaknya ada tiga kata kunci yang harus tertanam pada Gurunya Manusia., yaitu paradigma, cara dan komitmen. Dan ketiga kata kunci itu bisa dijabarkan dalam enam hal:
 

Yang pertama, guru harus mempunyai cara pandang bahwa yang diajar adalah manusia yang tak lain adalah makhluk dinamis, dan setiap anak adalah juara, setiap anak mempunyai potensi kebaikan, dan kemampuan anak berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dengan demikian tidak ada anak yang bodoh. Paradigma ini telah dijelaskan panjang lebar oleh Muif dalam bukunya yang pertama, Sekolahnya Manusia (Kaifa:2009). Kedua, guru harus mempunyai cara pandang bahwa mengajar adalah pekerjaan seni tingkat tinggi yang harus dilakukan dengan hati. Ketiga, guru harus memahami kemampuan dalam arti luas. Kemampuan siswa tidak dipahami hanya dalam artian sempit saja, yaitu kognitif, tetapi juga harus diakui kemampuan psikomotorik dan afektifnya. Keempat, gurunya manusia harus menjadi “penyelam” untuk terus mencari kemampuan siswa. Hal ini di dasari oleh cara pandang bahwa setiap siswa adalah juara. Tugas guru adalah menggali potensinya sampai ia menemukan kemampunnya dan setelah ketemu guru lalu menjadi katalisator (pemantik) kemampuan siswa tersebut.
 

Kelima, Gurunya Manusia adalah guru yang mengajar dengan cara menyenangkan. sekolah bukanlah penjara bagi siswa, melainkan arena anak untuk belajar. Dan belajar yang baik adalah ketika pelajaran itu masuk kedalam memori jangka panjang (long term memory) siswa. Hal itu bisa terjadi jika proses pembelajaran berlangsung dengan cara yang menyenangkan. Dan yang keenam, Gurunya Manusia adalah sang fasilitator. Gurunya Manusia sadar bahwa subjek belajar yang utama adalah siswa. Sebagai subjek, siswa tidak boleh dibiarkan pasif, mereka harus terlibat aktif dalam pembelajaran. Dengan enam modal dasar tersebutlah, seseorang dapat menjadi guru profesional atau Gurunya Manusia. 

Namun seakan belum puas membekali para guru dengan enam modal dasar menjadi Gurunya Manusia tersebut, dalam buku ini Munif juga memberikan strategi-strategi pembelajaran dengan Multiple Intelligences, bagaimana cara mendesain pelatihan guru dan kiat-kiat praktis bagaimana menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (Lesson Plan) yang kreatif. Untuk itu, buku ini layak menjadi bacaan wajib tidak hanya para guru, kepala sekolah, pengurus yayasan dan praktisi pendidikan lainnya, tetapi juga bagi para pengambil kebijakan di negeri ini.

Rabu, Juni 27, 2012

Tampilan Blog

Ketika saya Blog Walking (BW) ke beberapa blog orang terkenal, salah satunya Armahedi Mahzar, saya melihat template-nya (tampilan) biasa-biasa saja. Mungkin bagi Armahedo, dan mungkin juga bagi sebagaian orang, penampilan blog tidaklah begitu penting. Yang terpenting adalah konten dari blog itu sendiri.

Tidak salah memang berpikir subtansialis, namun kita juga harus ingat semboyan ekonomi, “orang tidak hanya membeli isi, tetapi juga membeli kemasannya. Saya kira itu pula yang berlaku di dunia blogging. Orang tidak hanya melihat dari konten, tetapi kadang orang singgah hanya untuk melihat penampilan blog. Atau orang yang semula tidak berminat membaca namun keran melihat tampilannya menarik, orang pun jadi tertarik membaca. Bukankah salah satu kebahagian penulis adalah ketika tulisannya dibaca orang?
 
Merubah dan memperindah tampilan blog selain memili manfaat untuk orang lain seperti di atas, juga bermanfaat bagi pemilik blog itu sendiri. Dengan tampilan yang baru dan menarik, sang pemilik blog akan merasa terpuaskan juga. Di sisi lain, dengan penampilan yang baru akan memotivasi seorang blogger untuk menuangkan gagasan-gagasan bermutunya. Masak tampilan blognya bagus isinya gak mutu, apa lagi kalau sampai tidak pernah di-update. Malu kan!
 
Baik isi maupun tampilan haruslah serasi. Ibarat orang, template adalah baju. Jangan sampai baju kita ganti, namun otak kita Dengan demikian, blogging pun menjadi seuatu yang bermanfaat. Meskipun belum bisa bernilai ekonomis, setidaknya seorang blogger mendapatkan kepuasan spitual saat menuangkan gagasannya dalam tulisan dan saat tulisannya dibaca orang.
Akhirul kalam, MET BLOGGING.

Berteman Tanya

Satu perjalanan telah dimulai
Perjalanan yang panjang
Tujuan telah ditetapkan
Arah telah ditentukan
Adakah yang berkenan berjalan di sisiku?

Tanya itu menggema
Tanya itu terbawa
Langkah itu terukir
Dalam setiap jejak langkahku
Dalam setiap tetes keringatku
Lalu menguap bertransformasi menjadi gelombang
Gelombang menjadi energi
Energi merambat sampai entah kepada siapa
Hanya Tuhan yang tahu
Yang kau tahu
Perjalannku kini hanya ditemani sebuah tanya

29/09/2011





Hening Bening

Adzan magrib berkumandang
Matahari pulang ke peraduan
Aku pulang pada keheningan malam
Dalam hening aku temukan kebeningan

Kamera Allah dan Kamera Manusia

Tulisan ini telah dimuat di Bulletin Jumat Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta dan dalam Buku "Apa Kabar Islam Kita", terbitan MJS Press 2013

Saat menjadi mahasiswa, saya sering diminta untuk memandu pelatihan mahasiswa. Bagi saya memandu sebuah pelatihan adalah suatu hal yang menyenangkan, karena selain saya dapat mentransfer pengetahuan saya, saya juga dapat belajar lebih banyak hal lagi. Namun ada hal lain yang bersifat eksterna yang membuat saya senang, yaitu saya bisa mengaktualisikan hobi saya: bermain kamera. Dengan kamera saya bisa mengambil gambar peserta (baik berupa video maupun foto). Hasil jepretan dan shoot saya itu kemudian saya edit dan saya tayangkan setelah seremonial penutupan. Wal hasil, para peserta pelatihan pada tertawa melihat gambar-gambar mereka.

Tentulah tidak semua peristiwa dalam pelatihan tersebut bisa saya abadikan. Hanya beberapa peristiwa “yang menarik” saja yang saya ambil seperti penjelasan pemateri yang unik, aktivitas peserta yang bersemangat, saat mereka makan bersama atau saat ada yang tertidur saat pemateri sedang sibuk dengan segudang teori. Bagi saya, peristiwa-peristiwa itu sangat eksotik untuk didokumentasikan dan dikenang.

Rambut boleh sama hitam, tapi isi kepala pasti beda. Itu pula yang dapat saya tarik kesimpulan saat saya mengoprasikan kamera saya. Ekspresi tiap orang berbeda-beda. Jika mau digolongkan, setidaknya ada tiga tipe orang dalam menghadapi kamera. Yang pertama, orang tersebut tidak sadar bahwa dirinya sedang diabadikan dalam sebuah video. Orang seperti ini akan berbuat sesuai dengan kesadaran dia yang alamiah. Yang kedua, orang yang sadar bahwa dirinya sedang diabadikan dengan kamera, namun ia mengacuhkannya, tidak peduli dengan keberadaan kamera tersebut. Sementara yang ketiga adalah orang yang sadar kamera. Ia sadar bahwa ia sedang direkam dan kemudian bertingkah sebaik mungkin agar gambarnya nantinya tidak mengecewakan.
 
Saat hasil rekaman itu ditayangkan, berbagai reaksi pun muncul. Seperti yang saya katakan di awal, kebanyakan mereka tertawa. Namun di balik tawa itu ada bermacam rasa yang hadir. Bagi tipe orang yangpertama, ia mera kaget karena ia baru tahu bahwa sebenarnya saat pelatihan tersebut ada yang mengabadikan tingkah lakunya. Bisa jadi ada rasa kesal pada orang yang mengambil gambar yang tidak bilang-bilang saat mau mengambil gambar. Seandainya saja di tahu, mungkin dia akan bertingkah selayaknya tokoh protagonis.
 
Tipe orang yang kedua, dia baru sadar ternyata gambar-gambar dia akan ditayangkan. Dia pun menyesal karena sebenarnya dia tahu, namn dia mengabaikannya. Dan orang yang ketiga dia merasa bahagia, karena gambar yang tayang adalah gambar yang bagus-bagus meski tidak diedit lagi. Dengan demiian dia tidak perlu malu lagi.
 
Saya ingin menarik keluar sedikit cerita saya di atas. Kemajuan teknologi saat ini sangat pesat. Setiap detik ada penemuan ilmiah yang sangat mengagumkan. Salah satu penemuan yang canggih itu adalah satelit kamera. Satelit ini bisa mengambil gambar dari luar angkasa yang kemudian di transfer ke bumi. Dengan teknologi semacam ini, seseorang bisa mengetahui keberadaan orang lain di muka bumi ini. Alat ini biasanya digunakan untuk mematai-matai orang yang dianggap sebagai musuh. Namun teknologi ini masih kurang jeli, karena seringkali ia kehilangan objek disebabkan oleh siatuasi alam.
 
Berbeda dengan teknologi di atas, ada kamera yang merekam dengan sangat detail setiap kehidupan manusia, bahkan sejakk ia masih dalam kandungan. Kamera ini tidak akan rusak dan ia tidak akan salah dalam mengambil gambar. Ia juga tidak terpengaruh dengan posisi objek. Kamera tersebut bisa bernama al-Bashir, al-‘Alim maupun al-Muhith. Kamera itu adalah “Mata” Allah. Sebagaiman dokumentasi pada pelatihan di atas, hasil rekaman ini juga akan di tayangkan pasca seremoni penutupan kehidupan dunia. Bedanya ia tidak diedit dan hanya sang pemain itu sendirilah yang menyaksikannya. Dengan demikian ia tak perlu malu dengan orang lain. Ia hanya perlu malu kepada dirinya sendiri, dan tentu saja kepada Sang Pembuat video tersebut. jika video pelitahian di atas tidak memengaruhi apakah ia lulus pelatihan atau tidak, sialnya video ini akan sangat memengaruhi kelulusannya. Jika rekamannya baik, maka ia lulus dan berhak untuk tinggal di sebuah istana di surga. Namun jika rekamnnya buruk, ia harus mampir di nereka. Bisa sejenak, bisa lama, bisa juga untuk selama-lamanya. Seratus persen itu tergantung dari cara ia berakting dalam film kehidupan.
 
Beruntunglah orang yang sadar kamera, karena ia akan merasa terus diawasi. Dengan demikian ia akan bertingkah sebaik mungkin layaknya seorang bintang film layar lebar. Dan kesialanlah bagi orang yang tidak (mau) sadar akan kamera agung Allah. Yang ia dapat hanyalah rasa malu dan penyesalan diri. Lalu bagaimana agar kita tidak malu nanti di hadapan Sang Pengadil? Caranya adalah, miliki rasa malu itu sejak saat masih di dunia ini. Malu kepada diri sendiri, malu kepada orang lain dan malu kepada Allah. Malu jika kita berbuat keburukan. Malu jika kita berakting tidak sesuai dengan keinginan Sang Sutradara. Rasa malu itu yang akan menyelamatkan kita. Rasa malu itu pula yang membuat manusia menjadi terhormat. Jika rasa itu telah hilang, maka manusia akan jatuh dalam lubang kehinaan, manusia akan menjadi seperti binatang, atau bahkan lebih buruk. Jika kamu tidak merasa malu berbuatlah sesukamu, kata Nabi.
 
Jika kita melihat kondisi bangsa ini tentu kita merasa prihatin. Hampir setiap hari kita disuguhi oleh berita kekerasan yang terjadi di mana-mana. Di sisi lain para penguasa negeri ini berebut kue kekuasan dengan menghalalkan segala cara. Korupsi terjadi dari tingkat pusat sampai tingkat RT. Jika dulu orang merasa malu melakukan kesalahan, sekarang kata malu itu menjadi tabu.
 
Adanya korupsi tak lain karena telah hilangnya rasa malu sang koruptor tersebut, baik malu pada diri sendiri, orang lain maupun pada Allah. Selain itu ia juga kehilangan kesadarannya bahwa “kamera” Allah selalu merekamnya. Pun demikian, orang yang membuang sampah sembarangan juga orang yang telah kehilangan rasa malu dan kesadarannya. Itulah mengapa Nabi mengatakan bahwa malu itu separo dari iman. Artinya orang yang telah kehilangan rasa malunya ia telah kehilangan separo imannya. Sedangkan surga hanya untuk orang-orang yang berimana secara sempurna (kamil).

Film apa yang mau kita tonton saat menanti Pengadilan Tertinggi nanti? Apakah film yang berkualitas yang pemainnya bermain sesuai dengan instruksi Sang Sutradara? Atau film yang pemainnya bermain asal-asalan karena tidak pernah membaca naskah dan mengikuti instruksi Sang Sutradara? Pilihan itu semuanya terserah Anda. Namun sekedar mengingatkan, telah banyak orang yang semula dianggap terhormat harus hancur karir dan kehidupan keluarganya karena “film buruknya” diputarkan oleh Allah di dunia ini.
 
Sebagai kata pentup, saya nukilkan doa dari Ali bin Abi Thalib kw. Yang diajarkan kepada Sabahat Kumail: wahai pelindungku, betapa banyak kejelekan yang Engkau tutupi,...., betapa banyak pujian baik yang tidak layak bagiku telah engkau sebarkan,....,janganlah Engkau ungkap dengan pantauan-Mu rahasiaku yang tersembunyi, janganlah Engkau segerakan siksa atas perbuatanku dalam kesendirianku.

Jangan Berteriak...!!!

“Diaaaaaaaaaaaaaam! Jangan terraik-teriak”, teriaku.
Kelas itu tiba-tiba hening, sehingga suara seorang anak yang berbicara langsung terdengar jelas.
“Tuh, mr. yang teriak”, kata Figo, anak yang aku teriaki untuk tidak berteriak.

Peristiwa itu terjadi saat pelajaran berlangsung setelah istirahat makan siang dan salat zuhur. AC yang tidak bekerja dengan baik menyebabkan ruangan kelas terasa panas. Di luar matahari baru sedikit bergeser dari atas kepala. Dalam suasana panas itu pembelajaran yang harus berlang dengan metode perorangan membuat suasana kurang kondusif. Anak-anak yang telah selesai dengan tugasnya membuat aktivitas sendiri. Kondisi itu tentu saja membuat konsentrasi saya terpecah. Ditambah lagi beberapa siswa kelas 2A tersebut memang mempunyai kebiasaan berteriak saat memanggil temannya atau saat merasa terganggu oleh teman-temannya. Saat itulah saya juga berteriak meminta mereka untuk diam sebagaimana di atas.

Ada dua hal yang ingin saya tulis di sini, yaitu tentang egosentris dan imitatif

1. Ego
Masa-masa keemesan (golden age) seorang anak sangat mudah menyerap informasi yang datang dari luar dirinya. pada golden age ini (0-8 tahun), menurut Frued, kontrol anak masih pada ego mereka. Artinya, anak masih menginginkan bahwa segala sesuatunya mesti berpusat kepada dia. Untuk itu, apa pun akan ia lakukan untuk menarik perhatian orang-orang di sekitar mereka. Saat anak-anak ini berbicara dengan teman sebaya mereka, bisa dipastikan tak akan ada yang mau mengalah. Masing-masing ingin pendapatnya didengar. Itulah buktinya.

Keinginan seorang anak agar dirinya menjadi pusat perhatian adalah sesuatu yang alamiah. Namun demikian hal tersebut bisa menjadi bumerang bagi perkembangan anak jika orang tua tidak memahaminya. Yang pertama: orang tua melakukan hal yang dianggap baik untuk anak dengan sangat ketat membatasi keinginan anak. Padahal hal tersebut justru menghambat perkembangan anak, karena rasa ingn tahu mereka harus tersumbat.

Kedua: orang tua sangat memanjakan anak, sehingga anak semakin bossy. Hal ini akan diperparah jika orang tua salah memilih pengasuh anak. Karena anak akan semakin bossy. Ini yang biasanya menumbuhkan sikap ingin menang sendiri, berteriak-teriak jika mempunyai keinginan.


2. imitatif
Saya ingin mengutip pepatah lawas “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Mungkin itu untuk menggambarkan peristiwa di awal tulisan ini. Memang saat itu siswalah yang berteriak terlebih dahulu, saya hanya akan menenagkan. Namun ketika anak berteraik dan kita juga berteriak, maka yang muncul adalah anak mendapatkan pembenaran terhadap apa yang ia lakukan. Itu dibuktikan oleh perilaku yang sama yang dilakukan oleh guru.


Dari persitiwa siang itu dan juga potongan dari film Nanny mcPhee di mana seorang ibu berkata pada anaknya untuk tidak berteriak dengan si ibu sendiri yang berteriak, saya mulai berpikir untuk mencari metode lain. Saya tidak langsung “menangani” anak tersebut, tetapi partnernya lah yang saya tangani terlebih dahulu, karena ia lebih mudah dikontrol. 


Cara yang lain adalah dengan bermain freezer, menjadi patung dan bertanya “suara siapa yang terakhir?”. Ternyata cara itu cukup efektif. Memang kadang siswa itu masih berteriak, namun karena tidak mendapatkan respon dari temannya yang lain, teriakannya menjadi berkurang. Bahkan kadang teman kelasnya yang mengingatkan agar dia tidak berteriak dan mengganngu temannya. Yang membuat saya lebih takjub, anak kelas dua itu membuat kesepakatan: bagi orang yang berteriak dan mengganggu orang lain akan berdiri di depan kelas sampai matapelajaran saat itu selesai.
Memang, mendidik memerlukan sebuah kesabaran.