SCRIPTA MANENT VERBA VOLANT

(yang tertulis akan tetap mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin)

Rumahku Surgaku

Rumah bukan hanya tempat berteduh dari sengat matahari dan derasnya hujan, tetapi ia juga tempat bertumbuh rasa kasih sayang, tempat kembali bersama kehangatan keluarga.

Allah Maha Pemurah

Burung yang keluar dari sangkarnya dengan perut kosong, akan kembali di sore hari dengan perut kenyang. Sungguh Allah Maha Pemuerah kepada semua makhluk-Nya.

Di Atas Langit Masih Ada Langit

Langit hanyalah batas dari ketidakmampuan pandangan mata kita, namun akanl dan iman kita akan selalu mengatakan bahwa masih ada langit di atas langit yang kita lihat.

Jalan Hidup

Jalan hidup tak selamanya datar. kadang ia menaik-turun, berliku dan terjal. Hanya pribadi yang kuatlah yang mampu menempuh jalan itu.

Lebah

Ia hanya makan dari sesuatu yang bersih dan bergizi sehingga ia menghasilkan sesuatu yang bersih dan bergizi pula. ia tak pernah merusak saat mencari makan. ia ada untuk bermanfaat.

Kamis, Juni 02, 2011

Perjalanan Pulang

Peluit panjang menggema. Kereta ekonomi Progo yang membawaku bergerak perlahan meninggalkan stasiun Lempuyangan. Aku lempar pandanganku ke luar kereta, tampak beberapa orang di sana melambaikan tangan ke arah kereta, yang jelas bukan kepadaku. Aku perahatikan wajah mereka. Ada yang tertawa bahagia sambil bergurau dengan sesamanya, ada yang hanya mesam-mesem, ada yang seperti tersenym namun senyum itu tampak begitu beratnya sehingga lebih tampak dia seperti orang menangis. Ada yang memang dia menangis, meneteskan air mata, meski tidak berteriak heiteris merang-raung.

Dispunya air yang mengalir di pipi itu dengan sapu tangan basah karena sudah sedari tadi dia menangis. Aku taksir gadis itu berumur 20 tahunan. Dia yang ketika kereta belum berangkat, duduk di sampingku di bangku tunggu bersama seorang pemuda yang usianya mungkin masih di bawahku. Entah, di gerbong berapa pemuda itu duduk, aku tak tahu. Bisa jadi dia masih berdiri di depan mintu sambil juga melambaikan tangan, seperti dalam film-film, tentu bukan film made in Indonesia, karena film made in Indonesia jarang sekali yang memasukkan kereta ekonomi dalam filmnya. Tidak matching alias tidak nyambung. Kerata api, apalagi ekonomi, sejak dulu telah menjadi simbol tersendiri, yaitu masyarakat kelas bawah.

Kereta tua itu melaju, memburu matahari yang mulai memerahkan langit. Selaput awan menoda kebeninga langit, tapi noda itu justru menambah keindahan langit sore itu. Serombongan burung Kuntul tampak mengepakkan sayapnya di angkasa menuju pulang ke sarang, sementara di bawah, segerombolan manusia memadati jalan, juga menuju pulang. Lelah tampak membayang di wajah-wajah mereka. Ingin segera sampai rumah tentu, dan tak sabar berharap kereta yang menutupi jalan mereka lekas berlalu.

Pulang. Indah sekali kata itu, kata yang menggetarkan hati para perantau jika mendengarnya, meski tak dipungkiri ada juga yang merasa kecut. Aku termasuk golongan pertama. Sudah hampir empat tahun aku tidak menginjakkan kaki di tanah kelahiranku. Entah seperti apa rupa kampungku, rumahku dan orang-orangnya saat ini, aku tak tahu. Rindu selalu datang saat dalam kesendirian, namun apa daya, waktu dan dana seringkali menjadi kendala. Jawa-Sumatra, atau Lampung-Jogja kini terasa begitu jauh, tidak seperti masa-masa aku di S1 dulu. Setiap saat aku bisa pulang kampung, tentu denga biaya yang dikirm dari kampung oleh bapakku. Kini untuk pulang, aku harus menyediakan dana sendiri, dan aku kira tidak hanya cukup untuk ongkos, tetapi juga untuk membelikan oleh-oleh untuk sanak kerabat. Itulah risiko orang yang sudah lulus kuliah dan dianggap sudah bekerja, sudah berpenghasilan. Meskipun sebenarnya bapak dan ibu tidak menuntut itu, tapi tidak demikian dengan sanak saudara yang lain serta para tetangga.

Empat tahun bukanlah waktu yang singkat bagiku, meski temankau ada yang lebih dari itu. Pernah suatu saat salah seorang temanku bertanya, apakah aku sudah memutuskan untuk tinggal di Jogja? Entahlah, sampai saat ini aku belum memutuskan. Aku hidup hanya mengikuti arus yang membawaku, sampai kemudian aku tiba di samudara. Itulah jawabku beberapa bulan yang lalu, dan sampai saat ini masih juga tidak berubah. Dia bilang aku adalah orang yang takut bertempur di daerah sendiri. Bagiku, bukanlah persoalan tidak berani atau takut bertempur di daerah sendiri, namun masih ada asa di hati ini yang masih memberatkanku untuk keluar dari tanah perantauan ini.
Memasuki stasiun Kutoarjo, matahari benar-benar telah pergi meninggalkan kereta ini berjalan dalam selimut kegelapan malam. Tampak beberapa orang duduk dengan tenang dan melaksanakan shalat magrib. Keriuhan para penumpang kereta tampaknya tak mengganggu kekhusukan mereka. Aku pun kemudian melakakan hal yang sama, menunaikan kewajiban yang tak bisa ditinggal meski kita terbaring lemah, kita mesti melakukannya, meski dengan isyarat mata dan bacaan lirih, atau bahkan dalam hati. Sebenarnya bisa saja aku menjamaknya nanti di Stasiun Senin, toh sampai sana belum masuk waktu subuh. Tapi, siapa yang menjamin kereta ini akan sampai di stasiun Senin tepat waktu? Bisa jadi kereta ini terlambat, atau malah tidak sampai ke sana. Tak ada yang tahu, termasuk juga aku. Aku takut kalau ini menjadi perjalanku pulang kepada Tuhan, sementara aku masih menanggung utang kepada-Nya.

Kutempelkan tanganku ke dinding kereta. Kuangkat lalu kuusapkan di wajahku. Aku tempelkan lagi tangganku ke jendela kereta lalu kusapukan di kedua tanganku secara bergantian. Setelah itu aku benahi dudukku dan mencoba konsentrasi “Allahu akbar…”

“Turun di mana, mas?” tanya seseorang yang duduk di sampingku. Aku baru sadar bahwa dia adalah pemuda yang duduk di sampingku di bangku tunggu. Berarti dia juga tadi yang dilambai mesra oleh seorang perempuan muda saat kereta ini pelan mulai berjalan.
“Senin”, jawabku. “Sampean?” aku balik bertanya.
“Saya di Bekasi”. Aku perhatikan wajahnya dengan seksama saat dia sedang membeli rokok dari pedagang asongan yang sedari tadi hilir mudik. Aku yakin umurnya masih di bawahku. Masih tampak guratan-guratan kenakan di wajah itu, pun demikian dengan cara dia berpakaian.
“Rokok, mas”. Dia kembali beramah tamah.
“Terima kasih, kebetulan saya tidak merokok.”
“Tidak apa-apa kan saya merokok di sini?” Dia tampak rikuh.
“Monggo.. moggo.. Silahkan saja, lha wong ini ruang umum kok.” Meski aku tidak merokok, mana mungkin aku melarang orang lain untuk tidak merokk, apalagi di ruang umum seperti ini yang rata-rata adalah, sekali lagi, masyarakat kelas bawah.
“Kalu boleh tahu, tujuan Sampean ke mana, mas?” saat ini keramahannya benar-benar tampak, tidak hanya basa-basi.
“Saya mau ke Lampung, tengok orang tua. Sampean ke Bekasi ke tempat siapa.”
“Saya kerja di sana, di pabrik tekstil di Cikarang.”
“Sudah lama? Tanyaku.
“Kurang lebih sudah dua tahun.”
“Tidak kerja di Joga saja mas?”
“Upahnya kecil, mas. Lagian dari kecil aku sudah di Jogja, mas. Sekalian cari pengalaman.
“Mas asli jogja?” tanyaku meyakinkan.
“Gunung Kidul.”

Mendengar daerah itu aku paham. Itu adalah kabuapetn terluas di jogja, namun sekaligus termiskin. Konon di sanalah sebenarnya gunung berapi kuno berada. Daerah itu merupakan daerah bebatuan. Jika kita pergi ke sana pada musim penghujan, kita akan mendapati bukit-bukitan yang hijau, tetapi jika kita ke sana pada musim panas, yang kita dapati hanyalah tonjolan-tonjolan bukit karts. Dengan konsidi tanah seperti itu, ketika musim panas dating, masyarakat Gunung Kidul harus rela memberi air yang diangkut oleh tangki dari Bantul atau Jogja. Untunglah belum lama ini proyek pengangkatan air dari sungai bawah tanah telah berhasil di selesaikan,. Meskipun proyek itu memakan biaya yang besar, namun saying baru beberapa daerah kecil saja yang bias menikmatinya, sementara yang lain masih harus membeli air atau menandu air hujan. Minimnya air berdampak pula pada minimnya penghasilan, sehingga angka kemiskinan di kabupaten ini tinggi. Hal ini pula yang menyebabkan angka bunuh diri juga tertinggi.

“Maaf! kalau boleh tahu, tadi itu pacar mas?”
“Oh.. itu istri saya mas.”
“Kok tidak diajak sekalian?” korekku. Insting jurnalistikku mulai bekerja.
“Repot mas, anak kami masih kecil. Baru satu bulan.”
“Ooo . . . .”

Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku. Pemuda itu menghisap rokoknya, menikmati setiap hisapannya sebagaimana dia menikmati hidup ini. Dua puluh tiga tahun, itu berarti selilisih lima tahun dari umurku. Bedanya kini dia telah menimang anak, sementara aku masih juga melajang.
Kereta terus melaju membawa semua penumpang dengan perasaannya masing-masing, beban hidup masing-masing. Keceraian tampak di wajah beberapa penumpang, bukan berarti mereka tidak mempunyai beban hidup, tetapi aku kira kemampuanya untuk berbagi dengan orang lainlah yang menjadikan beban itu terasa ringan. Minimal dengan berbincang dengan teman senasib sepenanggungan di kereta ini. Mereka mengalahkan waktu dan baban hidup serta jauhnya jarak dengan menertawakan diri sendiri. Itulah kemampuan yang tidak dimiliki oleh bangsa-bangsa di dunia ini, kecuali orang-orang Nusantara.
Aku memesan kopi panas kepada pedagang asongan yang entah sudah berapa kali berjala hilir mudik dari gerbong satu ke gerbong lainnya, dari ujung depan hingga ujung belakang, berdesakan dengan pedagang lain dan penumpang yang tidak mendapatkan temapt dukuk. Lelah tampak di wajahnya, namun itu tak dihiraukan. Mungkin yang terbayang di matanya adalah wajah-wajah anaknya yang sedang tidur atau sedang mengerjakan PR dari gurunya di sekolah. Itulah yang membuat wanita yang aku taksir berumur 40 tahunan itu tak kenal lelah menjajakan dagangannya, meski dia harus bersaing dengan 5 orang atau lebih yang seprofesi dengannya. Persaingan? Aku tak melihat itu, justru mereka sangat akrab sekali, tak tercium aroma persaingan di sana.

“Rezeki itu kan sudah ada yang mengaturnya, Mas, manusia cuma bisa berusaha. Dapat banyak syukur, sedikit ya syukur, kalau tidak dapat ya sabar”, begitu ujar salah seorang pedagang yang aku temui beberapa bulan yang lalu saat aku ke Jakarta dengan kereta yang sama.
“Buat apa bersaing, orang kita sama-sama mengais rezeki di sini,” kata pedang sale, oleh-oleh khas Banyumas, suatu ketika.
Begitulah mereka menjalani hidup, naik turun kereta menjajakan makanan atau minuman. Lebih separo harinya dihabiskan di kereta. Seorang ibu, aku lupa namanya, penjual minuman panas dan pop mie pernah bercerita, dia menjalani profesinya itu sudah hampir 15 tahun. Stasiun-stasiun kereta di Jawa hampir semua ia pernah singgahi, baik itu yang dibangun oleh Belanda seiring dengan pembangunan rel kreta ini, maupun stasiun-stasiun baru yang dibangun oleh pemerintah Indonesia. Biasanya dia naik dari Jogja turun di Kroya, lalu kembali lagi ke Jogja dengan kereta yang dari Jakarta atau Bandung. Kadang dia langsung saja di satu kereta sampai Jakarta. Pernah karena capek mendera tubuhnya, dia terbawa kereta hingga Surabaya.
“Dilakoni mawon, Mas. Apa-apa kalau sudah dilakoni enak-enak saja, tidak berat,” begitu ujar ibu itu saat aku tanya tentang enak susahnya jualan di atas kereta. Secara kasat mata, tentu orang akan memandang profesi itu sangat tidak mengenakkan, susah. Untungnya pun aku yakin tidak seberapa. Kopi yang aku minum ini seharaga Rp. 2000, selisih 500 rupiah dengan kopi yang ada di angkringan. Harga satu saset kopi itu di warugn Rp. 1.000. berarti keuntungan par penjual kopi di kerata itu sekitar seribu rupiah per saset. Jika dalam satu malam laku 10 saset, berarti keunutngan mereka Rp. 10.000. sementara jarak yang mereka tempuh sudah berpuluh kilometer. Itulah hiudp, itulah perjuangan. Sesusah apa pun suatu pekerjaan bila itu dilakukan demi yang dicintai, orang-orang yang dikasihi, pastilah akan terasa mudah.

Aku seruput kopiku yang masih menguap. Aromnya masuk ke hidung, meski tak seharum kopi Lampung, namun untuk suasana seperti ini sudah cukup terasa nikmat, sama nikmatnya dengan kopi di angkringan tugu, Matto, Lembayung, Blandongan dan tempat-tempat nongkrong lainnya di Jogja. Bukankah nikmatnya kopi tidak hadir dari kopi itu sendiri, tetapi juga dari suasananya, dan tentu saja dengan siapa kita meminumnya? Ada lagi, siapa yang membuatnya.
Malam merambat dengan pelan, sepelan laju kereta yang harus mengalah pada kereta kelas binis atau eksekutif. Suasana kereta pun mulai sepi. Hanya beberap orang yang masih tampak terjaga dan bercakap-cakap, sementara yang lain telah asyik dibuai mimpi masing-masing. Satu dua orang pedangang asongan masih ada yang berjalan menyusur gerbong. Dalam suasana seperti itu gemeretak benturan besi-besi tua terdengar sangat keras, namun perlahan kemudian suara itu berubah menjadi komposisi musik yang berirama. Irama itu pelan-pelan memaskui ruang kesadaranku. Perlahan, pandangaku mulai kabur, mataku sedikit-demi sedikit mulai terkatup. Namun sayang, belum lebih dari tiga menit aku terlelap, aku dikejutkan oleh getar dan dering HP yang aku taruk di kantong Jaket. Satu pesan singkat masuk.

“Lg mudik ya? TTDJ. Jngn lp oleh2nya!” pengirim Dania, teman satu klasku di Program Magister.
Belum selesai aku menuliskan SMS balasan, HP-ku mati, habis baterey, sehingga membuatku urung untuk membalas SMS-nya. Kembali angin malam yang masuk lewat jendela yang memang sudah tidak ada kacanya lagi, menyatu dengan irama benturan besi tua, masuk dalam kesadaranku dan meninanabobokanku.
Menara Siger mulai tampak dari tempat aku berdiri. Menara yang sengaja dibangun dengan megah di atas bukit. Bangunan itu seakan ingin mengucapkan “Selamat Datang di Bumi Ruawa Jurai”. Warna kuning keemasannya tampak berkilau diterpa sinar matahari. Perjalanan dengan kerata api Jogja-Jakarta semalam meskipun beberapa kali berhenti, tapi masih lumayan cepat, tidak seperti biasanya yang harus banyak berhenti karena mempersilahkan kereta kelas bisnis berlalu terlebih dahulu. Biasanya hal itu tidak terjadi sekali dua kali. Kadang sampai tiga atau empat kali. Kali ini perjalanaku begitu cepat, sehingga sepagi ini aku sudah berada di atas geladak kapal Ferry Merak-Bakahuni.
Sejak beberapa hari yang lalu, mas Baim tak henti-hetinya menelponku, memintaku segera pulang. Bapak sakit keras, dan mengharap semua keluarga bisa menuggui beliau. Ahmad Ibrahim, begitu nama lengkapnya, adalah kaka pertamaku atau tertua dari lima bersaudara. Menikah dengan Jannah, teman sepermainnya dan dikarunia dua orang anak, keduanya putri semua. Meskipun bertani, namun kehidupanya bisa dibilang makmur. Mbak Jannah yang anak tunggal membawa keberkahan sendiri bagi Mas Baim. Tanah warisannya cukup luas, dan lebih dari cukup untuk menghidupi satu istri beserta dua anaknya. Itu sebabnya Mas Baim sering mengirim uang kulaih di saat hasil panen bapak kurang baik.
Jika kedunya kurang baik, maka giliran Mbak Laila, kakakku yang kedua, yang mengirim. Dia kini tinggal di bandung bersama suaminya dan satu orang anaknya. Meskipun menurutnya kirimannya tidak terlalu banyak, karena harus dibagi dua dengan adik Aa’ Aep yang kuliah di Bandung, namun kiriman Mbak Laila lebih banyak. Apalagi kalau Aa’ Aep lagi dapat orderan membuat seragam sekolah, seragam partai atau perusahan tertentu. Sebenarnya setelah lulus itu aku diminta Bantu Aa’ Aep mengurus konveksinya yang tidak terlalu besar, namun aku menolak. Aku masih memilih Jogja. Alasan rasional? Jangan pernah tanyakan itu padaku, aku sudah terlanjur jatuh cinta pada kota kecil ini, dan cinta tidak membutuhkan alasan.
Itulah tiga sumber keuanganku. Sementara dua saudaraku lagi, Ahmad Fathani dan Maisaroh masih kuliah. Maisaroh di Jogja, sehingga aku masih sering ketemu. Meski sedikit, aku sering membantu keuangannya. Hasil dari mengajar privat di beberapa rumah cukup untuk dia hidup di Jogja. Dia sudah pulang terlebih dahulu 3 hari yang lalu. Aku harus menyelesaikan Ujian Akhir semester genap ini, baru kemudian pulang. Selain itu aku juga harus menyelesaikan pekerjaan biar bisa izin beberapa hari, karena naskah harus sudah terbit akhir bulan ini.
Ingatanku kembali kepada bapak. Lelaki yang aku hormati dan sangat bersahaja, tenang dan selalu menyungging senyum. Semoga beliau baik-baik saja.

***
Kapal Ferry yang membawaku pelan-pelan mulai merapat. Para penumpung pun satu per satu juga merapat ke pintu. Beberapa buruh angkut berseragam merah tampak bersiap-siap melompat ke kapal, meski badan kapal belum benar-benar bersandar pada pelabuhan. Seragam merah yang membungkus tubuh-tubuh kekar mereka sebagian mulai tampak menguning, tertutup debu dermaga. Sesampai di kapal, mereka berebut menawarkan jasa dan tenaga mereka. Posisi dermaga IV yang jauh di ujung akan membuat orang enggan untuk mengangkat barang bawaannya, saat itulah jasa buruh angkat barang dibutuhkan. Aku pernah memakai jasa mereka sewaktu aku pulang dari Jogja mampir Jakarta dan banyak membawa barang titipan. Sekarang, apa pula yang mau diangkat, yang ada padaku hanya satu tas gendong yang melekat di punggungku dengan isi tidak lebih dari dua potong pakaian dan beberapa buku bacaan. Dengan bawaan seperti itu, dengan mudah aku menerobos penumpang yang lain, berjalan menyelusuri lorong yang menuju ke terminal.

“Raja basa… Raja Basa..” terdengar teriak para kondektur mencari penumpang saat para penumpang telah keluar dan berada di terminal pelabuhan. Bebera kernet jahil menarik bawaan calon penumpangnya, memaksa calon penumpang itu untuk ikut dengan busnya.
Seorang perempuan paruh baya berusaha keras menghindr serbuan para kondektur itu. Rupanya dia ingin naik bus yang ber-AC. Dengan susah payah dia berjalan menuju bus yang ber-AC. Tak lamu aku pun menyusulnya, karena aku juga ingin naik bus ber-AC. Perjalan dari Jogja tadi sudah cukup melehakan, dan aku masih butuh waktu empat jam untuk sampi di rumah. Herannya, tak seornag kondektur pun yang berani menarik-narik aku, atau bahkan sekedar menawari aku untuk ikut busnya. Mungkinkah mereka takut melihatku? Ah, apa yang mereka takutkan. Lebih pas mungkin karena aku tak layaknya calon penumpang. Dandanannku yang kusut dengan hanya mengenakan kaos oblong dan sandal jepit sudah cukup buat alasan mereka untuk tidak menarik-narik lagi. Bukan rahasia umum lagi, kalau dia antara orang-orang yang menarik-narik penumpang ada yang berprofesi sebagai copet.
Bus masih belum sepenunya terisi, masih ada beberapa bangku yang kosong, meski berada di bagian belakang. Aku duduk di dekat seorang ibu yang tak lain adalah calon penumpang yang tasnya ditarik-tarik tadi.

Bus berjalan pelan, merambat, naik turun menelusuri jalan Tans Sumatra, jalan yang menjadi penghubung antarpropins di pulau Adalas ini. Karena propinsi ini adalah gerbangnya Sumatra, maka tak heran jika banyak kendaraan melalui jalur ini. Namun anehnya, sejak kepulanganku yang terakhir hingga saat ini tidak ada perubahan yang mencolok pada jalan tersebut. Adapun pelebaran hanya beberapa meter saja dari pentu keluar pelabuhan, sisanya adalah jalan sempit yang dihiasi lubang-lubang kecil.
Bayang-bayang masa lalu melintas dalam ingatanku, saat bus yang aku tumpangi melewati pantai Pasir Putih, tempat pariwisata yang tak asing bagiku. Di tempat inilah aku merayakan kelulusan dan juga perpisahan bersama teman-teman SMA untuk kedua kalinya. Perayaan pertama kami lalui di puncak bukit yang tak lama lagi akan kelihatan dari jalan raya ini. Di bukit itulah kami berjanji akan berkumpul lagi setelah lewat 10 tahun. Itu berarti masih 2 tahun yang akan datang. Dengan demikian aku masih bisa memenuhi syarat untuk datang, yaitu membawa pasangan hidup yang sah. Semula aku kira persyaratan itu konyol, masak reuini di puncak gunung dan harus membawa teman hidup alias istri atau suami masing-masing. Memang, masa-masa SMA adalah masa-masa yang penuh dengan kekonyolan.

Teringat persyaratan itu aku langsung teringat Zahro. Pernah tersebeit satu harapan aku datang bersamanya di reuni tersebut. Sayang sekali aku harus pulang ke Lampung pada saat di mengunjungi Jogja. Seharusnya aku bisa bertemu dengan dia di sana, main ke malioboro dan nogkrong di sana sampai subuh sama seperti saat study tour dulu.

***
Saat tiba di perempatan, aku tidak menemukan Mas Baim di sana. Mengapa tidak terpikir olehku untuk mengecas HP di Kapal tadi. Tapi setidaknya Ms Baim sudah tahu kalu hari ini aku sampai Lampung. Terpikir olehku untuk naik ojek. Hari sudah sore, kalau aku tidak segera naik ojek, magrib mungkin aku masih di jalan. Untungnya aku sudah jamak asar tadi waktu di kapal.
Saat aku hendak melangkah ke pangkalan ojek, aku melihat wajah yang tak asing lagi bagiku muncul mengendari motor bebek dari arah barat. Segera setelah aku jabat tanggannya, aku membonceng di belakanga dia. Motor yang dikendari Mas Baim pun berjalan pelan mennggalkan perempatan.

“Bagaimana perjalanannya?”
“Alhamdulillah lancea, Mas?"
Sisa-sisa air hujan masih menggenang di aspal yang rusak dan membuat lobang.
“Rahma apa kabar , mas?” Rahma adalah anak Mas Baim yang pertama.
“Alhamdulillah baik. Tadi lagi TPA. Kamu belum pernah ketemu adeknya rahma ya? Tadi dia pingin ikut, tapi tidak boleh ma Mbakmu, takut nanti kehujanan di jalan. Sore biasanya hujan”.
“Namanya siapa mas? Sudah seberapa?” aku memang belum pernah ketemu. Yah, 4 tahun aku tidak pulang. Wajah Rahma mungkin juga aku sudah agak lupa.
“Dua bula lagi dia genap dua tahun. Sudah mulai jalan. Sedikit-sedikit juga sudah belajar ngomong. Biasanya, anak kalu jalan duluan, nomongnya agak telat.”
Sepanjang jalan Mas Baim bercerita banyak tentang kondisi rumah, kondisi kampong, si A sudah nikah, si B sudah punya anak, Si Z kemarin baru meninggal. Namun tak sedikit pun dia menyinggung persolan bapak. Aku pun tak mempertanyakannya. Pikiranku asyik bermain bersama kawan-kawan kecilku di pematang sawah yang kami lewati. Padi yang belum lama ditanam tampak mulai ijo royo-royo. Biasanya saat musim seperti ini sangat baik untuk memancing belut di sawah.

Memasuki halaman, aku merasa ada yang aneh. Rumahku ramai oleh orang. Beberapa sanak kerabat baik dari bapak maupun ibu ada di sana. Aku masih berdiri di depan halaman saat aku lihat ibu keluar dari rumah. Wajahnya sendu. Dengan tenang beliau berjalan ke arahku. Aku pun langsung menghampirinya. Aku sungkem pada beliau lama. Ada satu ketenangan dan kehangatan yang aku rasa saat aku sungkem itu. Mungkin seperti inilah kehangatan saat aku masih di rahim wanita ini. Aku masih sungkem, sampai aku merasa ada air hangat jatuh di punggungku. Saat itu aku rasakan ibu mengangkat tubuhku. Aku lihat matanya telah basah oleh air mata yang kemudian mengalir di pipinya. Wanita itu tampak lebih tua dari saat terakhir aku temui di acara wisudaku.

“Ikhlaskan ya, le..” Ujarnya lirih nyaris tak terdengar, beradu keras dengan suara tangisnya.
Aku tak mengerti apa yang Ibu maksud. Beliau memelukku. Tangisnya kini pecah. Baru kali ini aku mendengar ibu menangis. Aku tahu wanita itu adalah orang yang tegar dan tabah hatinya. Sejak masih kecil beliau sudah ditinggal untuk selama-lamanya oleh bapak dan ibunya yang berarti kakek-nenekku, sehingga dia dibesarkan oleh pakdenya. Itulah yang membuat beliau tegar. Tapi sore ini aku melihat benteng ketegaran itu jebol, sehingga nuansa kesedihan membanjiri siapa saja yang ada di dekatnya. Wanita itu kemudian memelukku, erat sekali dan lama. Pelukan seperti ini yang selalu aku rindukan saat pulang dari perantauan, pelukan hangat yang selalu menghadirkan rasa ingin pulang. Namun, ada nuansa lain sore itu yang sepenuhnya belum aku mengerti.

Aku rasakan ada orang lain yang memegang punggungku. Ternyata Pak Lek Wagiman. Pak lek dan Mas Baim kemudian membing aku dan ibu masuk rumah. Aku masih tidak mengerti apa yang terjadi. Aku duduk di kursi berhadapan dengan paklek Wagiman yang ada di seberang meja. Aku lihat pak lek ingin mengungkapkan sesuatu. Namun masih ragu. suasana di ruangan itu menjadi hening. Sesekali isak tangis Ibu masih terdengar.
“Kang Masmu tadi berklai-kali menghubungi HP-mu, tapi tidak aktif,” akhirnya Pak Lek angkat bicara.
“Bagaimana perjalananmu?”
“Alhamdulillah lancara, Pak Lek,” jawabku.
Aku menangkap ada yang tidak beres. Pertanyaan pak lek tampak sekali hanya basa-basi.
“Pak lek boleh Tanya sesuatu, le? Tanya Paklek.
“Masalah apa pak Lek?” aku balik bertanya. Kuedarkan mayaku ke Ibu dan Mas Baim serta Mai yang baru masuk membawakan segelas air putih untukku dan lalu duduk dekat ibu.
“Kamu tahu kenapa kamu pulang?” Pak lek kembali bertanya. Aku tidak tahu ke mana arah pertnayaan Pak Lek.
“Diminta Mas Baim,” jawabku singkat.
“Kamu pulang karena kamu diminta pulang Kang Masmu, soale Ibumu, kang masmu, adikmu, keponakanmu dan keluarga di sini kangen kamu.” Paklek berhenti lagi. Ditariknya nafas panjang-panjang. Aku merasakan ada yang menggenang di pelupuk mataku, tak lama kemudian mataku mulai berkaca-kaca. Aroma kesedihan mulai tampak di setiap kata yang keluar dari Paklek.
“Bapakmu juga ada yang mengangeni, ada yang merindukan. Dia sudah disuruh pulang. Pulang ke kampung halaman, pulang pada yang menciptakan. Dia sudah mengalami pahit manisnya hidup ini, sudah menempuh waktu dan jarak perjalan hidup yang panjang, sudah saatnya dia menempuh perjalanan pulang……”

Aku tak mampu lagi menangkap ucapan Paklek. Air yang sedari tadi menggenang di mataku, kini bobol sudah, mengalir di pipiku, meski aku tak merasakan hangatnya air itu. Ia menjadi dingin, sedingin bongkahan es yang menyesaki dadaku hingga membuatku sulit untuk bernafas. Aku tak mampu berkata-kata, aku tak mampu untuk membuka mulutku, meski hanya untuk tangisan. Tangisan itu terpendam di dasar dada yang semakin membekukanku, sehingga badanku pun menggigil. Kini air tak hanya keluar dari sudut kedua mataku, namun dari seluruh tubuhku. Dingin. Aku semakin tergigil dan membeku, sehingga tanganku tak mampu mengusap air yang yang telah menutupi pandanganku. Yang tampak kemudian hanya gelap. Sungguh, gelap yang pekat.
Dalam gelap itu aku tergagap, mencoba mencari terang. Tanganku menyusur dinding yang kemudian membawaku pada satu titik cahaya, namun begitu kecil, begitu jauh. Aku menelusur sebidang ruang yang ternyata adalah lorong, menuju cahaya yang semakin terang. Saat aku tiba di ujung lorong, aku takjub. Cahaya itu bukan dari sinar matahari, juga bukan dari pembakaran. Cahaya itu keluar dari setiap benda yang ada di sana, taman yang begitu indah. Dia keluar dari tiap bagian bunga yang tumbuh di sana. Dia keluar dari air yang mengalir, dari burung yang terbang dan kemudian hinggap di dahan pohon yang sedang berbuah labat yang buahya juga bercahaya. Bukan hanya bulu-bulu burung itu yang bercahaya, dalam kicauannya pun mengandung cahaya. Cahaya itu juga keluar dari batu-batu yang ada di taman itu, serta sayap kupu-kupu yang terbang disekiar bbunga-bungan nan inah itu. Ia hinggap, meghisap sari bung, lalu pergi lagi.

Saat itu aku melihat satu sosok yang sedang duduk di atas batu yang bercahaya. Sosok itu pun juga mengeluarkan cahaya dari seluruh tubuhnya. Ragu, sepertinya aku mengenalnya. Aku perhatikan sosok itu dalam rentang waktu yang agak lama, sampai kemudian dia menolehku. Aku pun yakin dia adalah Bapak. Aku berjalan mendekat sesaat setelah beliau melambaikan tangannya.
“Bapak sedang apa”, tanyaku setelah tiba di sana.
“Apa kamu tidak lihat, bapak sedang istirahat, setelah melakukan perjalanan yang panjang. Sungguh melelahkan perjalanan itu”, kata bapak.
“Namun aku tidak melihat kelelahan di wajah Bapak?” tanyaku. Beliau tampak segar.
“Lelah itu akan berlalu setelah kita sampai pada apa yang kita tuju. Dan memang untuk sampai pada yang kita tuju, kita harus mau berlelah-lelah. Jika kita tidak merasakan lelah, maka tujuan itu pun tidak akan terasa indah. Namun lelah itu akan tertutup oleh rasa bahagia yang tiada terkira,” aku tidak begitu paham dengan ucapan Bapak.
“Bapak mau ke mana lagi?” tanyaku saat aku melihat Bapak bangkit dari duduknya.
“Jalan lagi, sebentar,” jawabnya.
“Bukannya Bapak tadi bilang sudah sampai tujuan?" tanyaku keheranan. Bapak menoleh padaku. Bibinya menyungging senyum.
“Kamu anggap semua ini tujuan Bapak? Bukan. Mereka semua ini makhluk sama seperti bapak, seperti kamu. Mana mungkin Bapak kembali kepada makhluk”, ujar beliau.
Aku gondeli tangan Bapak, saat lelaki itu baru mengayunkan kaki beberapalangkah.
“Aku ikut bapak”, kataku, sama seperti saat aku masih kecil dulu, saat bapak mau pergi ke kota.
“Setiap orang mempunyai perjalanan sendiri-sendiri, setiap orang menempuh jalannya sendiri-sendiri, dalam ruang dan waktunya sendiri-sendiri, sesuai dengan fungsinya. Jalanku dan jalanmu beda. Masaku dan masamu beda. Ikutilah jalanmu sendiri, dan nikmatilah perjalananmu itu," kata Bapak persis saat merayuku jika aku bertekat untuk ikut beliau ke kota. Dan aku selalu mengalah atau kalah oleh rayuan dan iming-iming Bapak. Kali ini beliau tak memberi imng-iming, namun tetap saja aku kalah. Tak bias membantah.

Bapak menatapku yang masih berdiri tertegun, lalu beliau mencium keningku. Ciuman itu terasa sangat menyejukkan. Aku larut dalam kesejukan itu. Aku pejamkan mataku beberapa saat untuk menelusuk lebih jauh pada kesejukan itu. Namun saat aku buka, aku tidak melihat Bapak lagi. Yang tampak dalam pandanganku adalah warna putih langit-langit kamarku. Aku raba keningku, sepotong kain basah menempel di atasnya. Tak lama kemudian kain itu diambil oleh ibu, saat beliau tahu aku sudah siuman. Hampir dua jam aku tidak sadarkan diri. Kata-kata Bapa masih trngiang, aku mash harus mnmpuh jalanku, yang mungkn masih panjang, terjal dan berliku, sebelum aku pulang kepada-Nya.