SCRIPTA MANENT VERBA VOLANT

(yang tertulis akan tetap mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin)

Jumat, November 20, 2009

Ironi Hukum Kita

Ada yang mengiris hati saya ketika membaca KOMPAS pagi ini (20/11), seorang ibu diajukan ke pengadilan karena dia ketahuan memetik tiga biji buah kakuo. Yah 3 buah, hanya tiga buah. Dan bisa ditebak, sang ibu atau tepatnya sang nenek pun dijatuhi hukuman. Itulah realitas hukum di negeriku tercinta ini. kasus ini saya kira bukan yang pertama dan bukan satu-satunya.

Saya kira masih banyak kasus yang serupa yang tidak terekspos oleh media massa. Mengapa KOMPAS mengangkatnya. Ini tidak terlepas dari gonjang-ganjing persoalan hukum di negeri ini. kasus makelar kasus (markus) dan para Mafioso peradilan merajalela di negeri ini. orang yang memakan harta rakyat miliaran atau bahkan triliunan rupiah masih dapat berkeliaran. Para pejabat yang kurupsi ratusan juta tidak sempat mencium hawa penjara. Inilah hukum Indonesia. Uang dan kekuasaan lebih banyak berbicara ketimbang keadilan itu sendiri. keadilan adalah barang mahal di negeri yang sedang mengalami krisis hati nurani ini. bukan berarti saya sepatak dengan apa yang dilakukan sang nenek, tetapi saya hanya merasa miris. Sungguh ironis dan kontradiktif.

Hukum di negeri ini adalah laksana pisau bermata satu, dia akan begitu tajam bila berhadapan dengan wong cilik, rakyat jelata, orang tidak berpendidikan, namun menjadi tumpul jika berhadapan dengan para pengusa dan konglomerat. Hukum dapat dibeli, sehingga siapapun yang mempunyai uang pastilah dia akan menguasai hukum. Pagi para hakim pun demikian, kebahagian bukanlah ketika dia mampu memutus perkara dengan keadilan, tetapi bagaimana ketika suatu perkara telah diputus dia mendapatkan uang yang banyak.

Uang berbicara banyak di sini. Uang yang menentukan siapa yang benar dan siapa yang kalah. Semua karena uang. Orang mau melakukan manipulasi terhadap hukum juga karena uang. Uang menjadi tuhan. Sungguh kasihan manusia yang menjadikan uang sebagai tuhannya. Mereka itulah orang-orang yang dalam setiap aktivitasnya dilakukan untuk mendapatkan uang lalu membelanjakannya. Dia makan demi uang, dia minum demi uang, di tidur demi uang, dia bekerja untuk uang, berkunjung ke saudara ke teman karena alasan uang. Bagi orang yang menjadikan uang sebagai tuhan apa yang dilihat adalah uang, atau minimal berpotensi menjadi uang.

Sungguh rendah sekali manusia yang menjadikan uang atau kekayaan sebagai tuhannya. Uang adalah hasil kreasi manusia. Sebagai sesama makhluk Tuhan jelas uang jauh lebih rendah derajatnya dari manusia. Dengan menjadikan uang sebagai tujuan setiap aktivitasnya, berarti manusia tersebut telah merendahkan dirinya sendiri. Inilah yang dimaksud dalam Al-Quran bahwa manusia telah diciptakan dalam keadaan paling baik, sempurna, ahsanu taqwim, namun diantara mereka ada yang dikembalikan pada derajat paling rendah, yaitu orangorang yang tidak beriman. Iman bukan tidak mengakui akan adanya Tuhan, tetapi juga berarti menjadikan Tuhan sebagai Tujuan awal dan akhir setiap aktivitas keseharian kita.

Bagi insan-insan kehakiman, sebagai hakim, hendaklah sadara bahwa kata hakim itu tidak lain lain dari nama Tuhansediri. Al-Hakim, Yang Maha Adil, Yang Maha Bijaksana. Manusia adalah pencerminan diri Tuhan, untuk itu Rasul SAW bersabda takhalaqu bi khuluqillah, berakhlaklah dengan akhlak tuhan. Dengan demikian seorang hakim hendaklah pada dirinya juga terdapat sifat al-Hakim,dengan demikian sesungguhnya dia telah berjalan menuju Tuhan, dia menjadi wakil Tuhan dan dia menjadi saksi akan keadilah Tuhan. Haruskakn Tuhan sendiri yang mengadili kita, sekarang juga?

0 komentar:

Posting Komentar