SCRIPTA MANENT VERBA VOLANT

(yang tertulis akan tetap mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin)

Senin, September 01, 2008

Mudik

Hari masih gelap. Karena memang malam masih larut. Ku lihat jam dinding dengan hiasan kaligrafi yang memebentuk kubah masjid. Meski sudah tua, namun jam itu masih istiqomah pada setiap detak jarumnya. Jam itu adalah kenang-kenangan dari mbak Eva, sarjana ekonomi yang pernah indekos di sini. Masih jam dua. Malam masih larut dalam buai mimpi-ninpi anak Adam. Sementara jauh di sana terdengar suara orang yang dengan mikrofon dia membangunkan umat Islam untuk makan sahur. Setelah itu ayat-ayat Al-Quran melantun dengan tartil. Entah dari masjid mana. Suaranya terbawa hembusan angin malam, menelusup ke relung-relung hati. Sejuk.

Aku mengurungkan niatku utuk ke kamar mandi tatkla ku dengar isak tangis dari kamar mbak Astri. Ku dekatkan telingaku ke pintu kamar yang sedikit terbuka. Ku lihat mbak Astri sedang duduk dan larut dalam untaian doa-doanya. Lampu yang temaram memantulkan kilauan cahaya dari air matanya yang mengalir deras di pipinya dan kemudian jatuh di pangkuannya. Ah, indah sekali.


Saat makan sahur sengaja aku menunggu mbak Astri dan duduk di sampingnya.
Mbak Astri tadi bangun jam berapa? Kok tidak mau membangunun aku?” tanyaku basa-basi.
“Emmm, jam berapa ya? Aku lupa tadi tidak lihat jam. Mbak kira kamu malah sudah bangun, soalnya mbak denger tu si Kitaro sedang konser.” Memang aku sering tidur dengan komputer tetap menyala. Dan selalu, musik-musik instrumrntal yang aku play. Pengantar tidur. Walaupun sering teman-teman satu kontrakan menasihatku “Nis, itu namanya pemborosan. Hemat listrik donk. Sebentar lagi pemerintah mau naikin TDL lho. Bisa-bisa kiriman kita cuman cukup untuk bayar listrik.” Kata Dhe, begitu gadis berjilbab gede asal Brebes itu dipanggil, pada suat pagi, saat kami sedang duduk-duduk santai sembari membaca koran pagi. Ah biarlah, toh aku bayarnya sesuai dengan proposi, walaupun aku masih ragu, mereka tertanggu atau tidak ya?

Ku perhatikan wajah mbak Astri. Wajahnya masih kelihat lebam. Nampak sekali kalu dia habis menangis. Sebenarnya bukan hanya malam itu saja aku melihat mbak Astri menangis dalam shalat malamnya. Tapi entahlah, malam ini tangisnya terasa beda dari malam-malam sebelumnya.

“Mbak semalam begadang ya, mata mbak kok kelihat lebam?” tanyaku yang jelas hanya sekedar mamastikan, karena aku sudah tahu tadi malam.
“Yah, mumpung Ramadhan. Itu janji Allah dan rasul-Nya lho. Mumpung bisa bertemu Ramadhan. Kan tidak ada jaminan kita kita bisa bertemu Ramadhan lagi tahun depan. Benar tidak, Nis?” Mbak Astri memang lumayan pengetahuan agamanya. Meski ia kulih di sastra Inggris, tapi sewaktu di SMA dia tidak hanya belajar di sekolah, tetapi juga nyantri. Ketika ku tanya mengapa dia memilih sastra Inggris, “Aku ingin mengkaji lebih jauh peradaban Barat, biara imbang. Tidak barat saja yang mengkaji peradaban Timur dan menganggap Dunia Timur inferior. Dan bahasa adalah kuncinya.”. katanya. Dia juga berkata, kalau mengaji sesuatu itu harus meletakkan objek kajian secara berimbang.

“Oh ya Nis, sudah berapa kali khatam Al-Qurannya? Dah mau lewat lo rmadhannya!”
“Belum khatam mbak, itupun masih nerusin bacaan sebelum ramadhan kemarin.” Jawabku sedikit malu. Aku sadar, ramadhan ini telah banyak kesia-sian yang aku lakukan. Sore aku sibuk buka puasa bersama di sana-sini, dengan ini dengan itu. Malam. Ah .... terlalu asyik acara televisi untuk dilewatkan. Pagi. Setelah shalat subuh aku tidur lagi. Bangun, setelah amandi langsung berngkat ke kampus, kuliah. Padahal, kata mbak Astri, kalau kita istiqomah beberapa lembar saja setiap selesai shalat fardhu, pastilah kita akan mengkhatamkan bacaan kita dalam satu bulan. Memang benar. Waktu di SMA aku sempat khatam dua kali. Dan buktinya pula, empat jilid tetralogi Pramoedya Ananta Toer aku lahap tidak lebih dari dua minggu. Memang semua butuh prioritas. Aku jadi malu pad diriku sendiri.

“Mbak boleh tanya tidak? Aku yakin mbak bisa menjawabnya?”
“Orang tanya kok tidak boleh to? Kalau bisa mbak jawab, kalau tidak bisa berarti kita cari jawabannya bersama-sama. Okey!”
“Sebelumnya aku minta maaf, soalnya aku sering ngintip mbak Astri kalau lagi shalat malam. Aku sering lihat mbak nangis. Gimana to mbak kok bisa nangis?”
“Seperti itu gimana makdusnya”, mabk Astri memancingku.
“Yah itu, kok bisa menangis sesenggukan?” Kalau orang cengeng mungkin aku tidak heran. Tapi mbak Astri? Dia membiayai kuliahnya sendiri, dan kadang sempat mengirimkan sebagian ke kampung. Dia juga aktif di organisasi ekstra kampus, di masjid dan juga mengurus desa binaannya di daerah Dlingo.
“Kalau mbak jelasin, nanti dikira kuliah subuh lagi? Kan ini belum subuh!”
“Nggak lagi! Aku tanya serius nih mbak, malah dikira guyon.” Bantahku.
“Nis, di dunia ini kira-kira ada tidak manusia yang hidup tanpa menanggung satu masalahpun? Ada tidak?” aku menggeleng, “tidakkan? Semua orang pasti punya masalah. Ada yang ketika menghadapi masalah ia lari dia lari masalah tersebut, yang justru dia sendiri yang berasalah. Ada yang lari ke drug, ada yang curhat ke orang lain, lewat radio, chatting dan sebagainya. Kamu sendiri gimana?”
“Maksud mbak, kalau lagi ada masalah? Emm.... aku curhat ke teman. Atau aku tulis di buku deary.” Aku jadi ingta, sudah lima deary aku habiskan sejak tiga tahun aku di kota pelajar ini. Tapi kayaknya tidak bakalan dierbitkan seperti punya Ahmad Wahib atau Soe Hok Gie yang terkenal itu. Aku sendiri kadang malu kalau harus baca tumpukan deary itu. Dah tulisannya acak-acakan, tidak mutu lagi.
“Allah adalah tempat mengadu, mengeluh. Dia tempat bergantung semu makhluk kepada-Nyalah aku memumphkan semua keluhku, pintaku.”
“Kalau itu aku tahu mbak, Lagu Tuhan ciptaan Bimbo. Sudah di luar kepala. Tapi tetap aku tidak bisa.”
“Allah adalah nurun ‘ala nurin, Cahaya di atas cahay. Dia adalah Ruh semesta. Dia tidak bisa hanya didekati dengan akal, logika, tapi dengan ini .....” mabk Astri menunjuk ke arah dada, “dengan hati. Datanglah pada Nya dengan hati yang bersih, ikhlas dan dipenuhi oleh cinta-Nya. Kaern akecintaan-Nya pada diri-Nyalah Dia menciptakan semesta ini. Pengabdian atas nama cinta, bukan akrena keterpaksaan atau rasa takut semata. Khaufa w thama’a.” Aku hanya diam mendengarkan. Walau ada beberapa yang aku tidak mengerti, tapi aku enggan menanyakannya. Aku takut ketahuan benar-benar DDR alias daya dong rendah.
“Satu lagi Nis, yang menjadikan malam-malam Ramadhan ini berbeda dengan yang lain. Sebentar lagi aku bertemu dan kumpul bareng keluargaku. Kamu tahukan, sudah lima tahun aku belum pulang kampung. Sehingga rasa syukurku semakin bertambah.”
Memang sudah lima tahun ini konon mbak Astri tidak pulang kampung. Tahun pertama dia tidak langsung kuliah, tetapi mencari kerja terlebih dahulu, sembari mengajar TPA di masjid sebelah. Dan bulan januari mendatang, dia akan diwisuda sebagai sarjana saastra Inggris. Kepulangannya sekaligus akan memeberitahu keluarga akan kelulusannya. Dia pernah ditawari untuk menjadi guide di perusahan pariwisata, tapi mbak Astri lebih memilih tawaran menjadi asisten dosen di almamaternya, “biar bisa dapat beasiswa master,” katanya.
“Wah, mbak pasti sudah rindu banget ama keluarga di kampung, ya? Eh... aku dengardi sumatra masih banyak hutannya ya mbak? Berarti mbak pulhut donk, alias pulang ke hutan, bukan pulang kampung!” Selorohku.
“Ngaco kamu. Memang sih, dulu waktu aku pergi ke jogja belum ada listrik, tapi sekarang katanya sudah ada listrik masuk ke kampung mbak. Ah, masa modoh. Orang tuh, kalau sudah cinta dan terlanjur kangeng, jangankan hutan dan lautan, langitpun akan didaki”
“Mana mungkin? Gomkbal kalii...!”
“Lho kok gombal. Nah itu Nabi Muhammad waktu mi’raj sampai ke langit ke tujuh.”
“Masak kita kok dibandingin nabi.” Protesku.”emm.. mbak, kalau sudah sampai di rumah mbak mau ngapain?”
“Pertama, mbak ingin sungkem sama ibu. Aku tak tahu seperti apa sekarang wajah beliau. Pasti sudah semakin tua. Tiap malam selalu terbayang wajah ibu yang penuh cinta, penuh kasih dan kehangatan. Mbak masih ingat, keteika mbak mau berangkat ke jawa, sebagaiman kebnyakan orang melayu, ibu memberi nasihat kepadaku lewat syair yang selalu kuingat:

betapa luas laut
anakku, selalu ada tepian
tetapi tidak semua tepian
pantas jadi pelabuhan
dan betapapun jauah
ombak membawamu mengembara
tentu masih tersisa
sebaris arus mengajakmu pulang
jangan lupakan tepian itu, anakku.i


ah, ibu. Kini aku akan segera kembali, ibu.”
“Tepian yang mana mbak, mas ari yang sering datang ke sini tiu ya? He.. he.... atau tepian apa nih? Bakauheni?”
“Terserah kamulah! Yang jelas, Allah adalah sebaik-baik pelabuhan, dan jka butuh sahabat untuk menuju ke etpian, mengapa tidak?”
“Mbak Astri jadi pulang nanti malam? Naik apa mbak?”
“Naik kereta. Oh ya Nis, kmu jadi pulang ke Madiun hari Sabtu kan? Mbak minta tolong, nanti malam antar mbak ke setasiun Lempuyangan. Bisa kan?”
belum sempat aku menjawab, secera serentak kami bangkit dari tempat duduk, setelah mendengar suara sirine tanda imsak dari masjid sebelah. Aku langsung menuang air dari deaspanser. Serempak warga kos yang di ruang tiu tertawa melihat aku seperti orang kebingungan. Rupanya yang aku tuang adalah air panas. Mau tidak mau aku harus mengeluarkannya, kalau tidak ingin lidahku mendidih. Aku menyemprotkannya ke luar. Malangnya Dewi alis Dhe yang jadi korbannya.
“Wah, kayak mbah dukun aja kamu ini, main semprot aja!” Aku jadi tidak enak hati melihat jilbab panjang Dhe basah oleh semprotanku. Wah kayak pemadam kebakaran aja.
***
selesai shalat Isa, aku memebantu mbak Astri berkemas. Sengaja tidak terawis di masjid, takut ketinggalan kereta. Dan itu sudah jelas.

“Wah, bawaannya banyak sekali mbak? Tidak terlalu berat nih?” tanyaku ketika melihat barang yang akan dibawa mbakAstri.
“Namanya lama tidak pulang kampung. Ini ada oleh-oleh untuk Ibu, kakek, nenek, saudara. Ini pakaian untuk Dea, keponakkanku. Katanya dia sudah sekitar dua tahun.”
“Kok, tidak naek bus langsung aja, mbak? Kan lebih mudah.”
“Mbak janjian ama saudara di Jakarta mau pulang bareng.”
Setelah selesai berkemas, aku meminta mbak Astri menunggu di luar. “Nis, cepat! Nanti ketinggalan kereta.” Panggil mbak Astri dari luar.
Sebentar mbak, aku lagi nyari helm nih.”tidak sekali dua kai, kalau pas lagi butuh, helm pada pergi tidak tahu ke mana.
“Fitrotunnisa.... buruan, ayo... entar kalau mbak ketinggalan kereta aku denda kamu.” Wah, tidak sabar banget mbak Astri, samapai pakai memanggil aku dengan namu lengkapaku, dengan suara nyaring lagi. “tidak pakai hel tidak apa-apa, orang dekat ini kok.” Akhirnya aku keluar hanya dengan membawa satu helm. Karena aku yang nyetir, maka akulahyang memakainya.

Motorku melaju dengan kecepatan 45KM/jam, karena aku tahu KA di Indonesia tidak pernah tepat waktu, persis seperti yang dibilang bang Iwan Fals.
“Nis cepet sedikit donk, entar aku telat lho. Kamu akau denada, mau?” mbak Astri mengancam lagi.

Karena di desak, akhirnya aku mulai tarik gas, menambah kecepatan laju motor, meski terasa berat oleh barang bawaan mbak Astri. Karena motor yang melaju begitu cepat dan beban yang berat, aku tidak bisa mengendalikan satang motorku, ketika di bawah jembatan ada sepeda motor melaju cepat dari arah selatan. Duaaaarrr.........motorku menabraknya. Aku melayang ke udara. Kemudian gelap.
***
Mataku menatap secercah cahaya. Ha, itukah Cahaya di atas cahaya. Ku tatap sekelilingku. Serba putih. Ku buka lebih lebar lagi kelopak mataku. Oh bukan, itu cahaya lampu.

“Alhamdulillah, kamu sudah sadar Nis.” Aku seperti kenal suara itu. Aku lihat Dhe dengan jilbab birunya duduk di kusi dekat pembaringnku. “Bapak ama Ibumu lagi istirahat di luar, mencari makan.” Lanjutnya. “kamu sudah ahmir empat hari tidak sadarkan diri.”
“Ada apa denganku Dhe? Aku di mana? Itu kok ada ketupat?” tanyaku dengan suara yang lirih, dan mungkin tidak terdengar oleh Dhe jika dia tidak mendekatkan kepalanya ke arahku.
“kamu jangan terlalu banyak bicara dulu ya, Nis! Ini dah lebaran anak manja. Itu ketupat pamanmu yang bawa kemarin.”
Aku meraba kepalaku, seperti ada yang menempel. Seperti perban. Aku masih loading. Mencoba untuk mengingat-ingat sesuatu.
“Mbak Astri? Mbak Astri? Mbak Astri mana Dhe? Dhe .. jawab, jangan diam saja! Jawab Dhe..! Ku lihat wajah Dhe memucat pasi. Bibirnya seakan ingin terbuka, tetapi berat.
“Mbak Astri...............................”

Terasa ada air hangat yang mengalir melewati pipi ini. Air yang sama yang sering aku saksikan kular dari mata mbak Astri. Namun sayang ia tidak akan eluar lagi dari mata yang sejuk itu. Oh, mbak Astri. Begitu cepat engkau harus mudik, bertemu kekasihmu, menyatu dengan-Nya. Mbak Astri, begitu sempitkah lautmu, sehingga dengan mudah engkau menemukan tepian untuk berlabuh? Mengapa engkau tidak menunggu sahabat yang akan mengantar dan menemani engkau berlabu? Oh, tidak, engaku tidak sendirian mbak. Yah, aku melihatmu bersama-sama sosok-sosok yang indah, berpakaian serba putih. Aku melihat engkau naik ke langit ke tujuh, seperti Muhammad yang sedang mi’raj. Tapi mengapa di bulan Ramadhan, bukan Rajab? Lailatul qodar? Ku lihat engkau semakin tinggi, kemudian yang terlihat adalah kain yang serba putih yang menghilang berbaur dengan putihnya cakrawala. Lalu muncullah cahaya yang berkelip-kelip dari angkasa, seperti kuang-kunang. Semakin lama semakin banyak, memenuhi angkasa. Kilauan cahaya membuat sakit mataku, aku tidak bisa melihat apa-apa. Gelap.

Untuk Imal cemoy.
Puisi Abdul Qadir

0 komentar:

Posting Komentar