SCRIPTA MANENT VERBA VOLANT

(yang tertulis akan tetap mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin)

Rabu, September 03, 2008

Ramadhan Bulan Konsumsi

Ramadhan kini manyapa kita kembali. Bulan yang suci, penuh rahmah dan ampunan. Bulan yang mulia di mana Al-Quran sebagai petunjuk mansia diturunkan. Di dalamnya juga terdapat malam kemuliaan, malam yang sangat istimewa yang lebih baik dari seribu bulan. Pada bulan ini umat Islam diwajibkan untuk menjalankan salah satu rukun Islam, yaitu puasa.

Al-Jarhawi dalam kitabnya, hikmah at-tasyri’ wa falsafatuhu menjelaskan salah satu hikmah dari ibadah puasa adalah tumbuhnya rasa empati shaim atau orang yang berpuasa kepada kaum papa. Pada saat puasa, orang akan merasakan rasa haus dan lapar sehingga tubuhnya terasa lemah tak bertenaga. Pada saat itulah akan tumbuh pada dirinya rasa empati kepada kaum mustadl’afin, serta fakir dan miskin, di mana hidup mereka selalu dalam kekurangan. Orang-orang inilah yang tidak pernah berfikir untuk bagaimana makan enak, bagaimana berbelanja di mall, bertamasya ke luar negeri, atau sekedar jalan-jalan santai bertamasya bersama keluarga ke pantai, karena mereka telah disibukan dengan persoalan bagaimana dia dan anak-anaknya serta keluarganya yang lain bisa makan esok hari

Budaya Konsumsi di Bulan Ramadlan
Bulan ramadhan yang sakral tersebut kini seakan telah terdistorsi oleh prilaku umat Islam sendiri. Ramadhan yang seharusnya digunakan untuk berpuasa sebagai wahana mencapai ketakwaan, kesempurnaan akan kemanusiannya, kini berubah menjadi bulan konsumsi. Dari beberapa sumber dan pengamatan dapat diketahui bahwa tingkat konsumsi masyarakt pada bulan ramadhan semakin menaik dari pada hari-hari biasa. hal ini dapat kita lihat juga dari kebutuhan-kebutuhan yang dibeli saat ramadhan. Dalam tradisi masyarakat kita, jika ramdhan datang maka banyak hal yang harus dilakukan seperti dengan makan yang lezat, baju baru, mengecat rumah yang telah mengalokasikan anggaran yang berlipat ganda dari hari biasa.

Media massa tidak ketinggalan berperan aktif dalam peningkatan pola hidup konsumtif di bulan ramadhan ini. Dengan strategi marketing-nya media menawarkan produk-produk yang dikemas sesuai dengan nuansa ramadhan, bahkan tidak jarang para agamawan dan da’i kondang menjadi bintang iklan dengan gaya khasnya dan atribut keislaman, menawarkan produk-produk yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan ibadah di bulan ramadhan ini. Selain itu, tempat-tempat perbelanjaan, baik mall-mall besar maupun pasar-pasar tradisional menawarkan barang-barang yang khas ramdhan, dalam artian barang-barang tersebut hanya dapat diperoleh saat ramadhan saja.
Menu makan pada bulan ramadhanpun menjadi istimewa, berbeda dengan hari-hari biasa. biasanya lebih meningkat. Padahal pola makannya masih tetap sama seperti hari-hari biasa, hanya berpindah jam saja. Semula waktu makannya adalah pagi, siang dan malam, kini berganti sore (saat berbuka), malam (biasanya selepas shalat tarawih) dan pagi hari (makan sahur). Tidak ada yang berubah.

Bulan ramadhan yang semestinya menjadi bulan yang mendatangkan kegembiraan bagi para fakir miskin, karena pada bulan ini adalah momentum meningkatkan kwalitas dan kwatintas ibadah dan shadakoh umat Islam. Tetapi ternyata merka hanya dapat melihat saja, tanpa bisa menikmati indahnya bulan ramadhan. Seringkali terjadi di kota-kota besar, atas dalih penertiban kota, para pengemis dan gelandangan seringkali dikejar-kejar pihak pemerintah kota.

Budaya konsumsi pada bulan ramadhan sebagaimana di atas tentu betentangan dengan ajaran Islam akan perintah puasa. Bagaimana dalam diri seorang yang berpola hidup konsumtif akan tumbuh rasa empati dan kepedulian sosial? Bagaimana orang yang hanya memikirkan perut sendiri akan bisa merasakan rasa lapar yang dialami oleh orang lain?

Islam menyerukan umatnya berpuasa, makan saat sebelum fajar dan saat senja (magrib) adalah agar ia merasakan perihnya rasa lapar, rasa yang selalu bergelayut dalam kehidupan sebagian besar masyarakat kita, namun yang terjadi adalah sikap mental balas dendam dengan mengkonsumsi makanan sebanyak-banyaknya pada malam hari, sementara pada siang hari, dengan dalih puasa, mereka sering mengurangi aktifitas kerjanya, sehingga menjadi tidak produktif.

Sebelum terlambat, tidak salahnya kita intropeksi diri kita, sudahkan puasa yang kita jalani ini sesuai dengan yang Allah kehendaki?

Puasa pada hakikatnya tidak sekedar menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga menahan keseluruhan diri kita, mata, telinga, lisan, tangan, kaki dan syahwat dari perbuatan-perbuatan yang tercela. Puasa juga bukan hanya sekedar ritual tahunan yang tidak berdampak apapun, tetapi puasa merupakan suatu amalan trnsformatif. Secara individual, ramadhan ini tak ubahnya kepompong bagi kupu-kupu, atau selayaknya ular yang sedang bermetamorfosis, berganti sel-sel yang lebih muda. Selain dimensi eksoteris, puasa juga mengandung dimensi esotoris, karena yang mengetahui ia berpuasa atu tidak hanyalah orang itu sendiri dan Allah SWT. Makanya kata Allah, ibadah puasa itu adalah untukku.

Pada sisi transformasi sosialnya, puasa dapat menumbuhkan sifat altruisme pada shaim atau orang yang berpuasa, yaitu mendahulukan kepentingan orang lain yang lebih besar ketimbang kepentingan diri pribadi. Sifat empati dan kepedulian sosial juga tertanam dalam ibadah puasa ini. Yang tidak kalah penting, puasa melatih kita untuk dapat mengendalikan diri dan nafsu kita, termasuk dari pola hidup boros dan konsumtif.
Ramadhan adalah bulan tarbiyah (madrasah Ilahai), sebagi candradimuka umat Islam. Sebagaimana sebuah sekolah yang berhasil adalah merka yang lulus ujian dari madrasah ini yang kemudian mendapat predikat muttaqi atau orang yang bertakwa, yaitu orang yang menghadirkan Allah SWT dalam setiap aktivitas kehidupannya. Sementara dalam salah satu hadits qudsi-Nya Allah SWT berfirman bahwa Dia selalu bersama orang-orang miskin (mustadh’afin)

Predikat takwa tidak akan menempel pada orang yang tidak mengalami perubahan pada saat sesudah bulan ramadhan, orang –orang yang tetap berpola hidup boros, konsumtif, apatis dan individualis. Keberhasilan suatu ibadah adalah ketika dapat tertransformasi pada masyarakat. Kiranya belum terlambat untuk berbenah diri. Wallahu ‘alam bishshawab.

Setahun yang lalu tulisan ini dibuat dan dimuat di www.hminews.com

0 komentar:

Posting Komentar