SCRIPTA MANENT VERBA VOLANT

(yang tertulis akan tetap mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin)

Rumahku Surgaku

Rumah bukan hanya tempat berteduh dari sengat matahari dan derasnya hujan, tetapi ia juga tempat bertumbuh rasa kasih sayang, tempat kembali bersama kehangatan keluarga.

Allah Maha Pemurah

Burung yang keluar dari sangkarnya dengan perut kosong, akan kembali di sore hari dengan perut kenyang. Sungguh Allah Maha Pemuerah kepada semua makhluk-Nya.

Di Atas Langit Masih Ada Langit

Langit hanyalah batas dari ketidakmampuan pandangan mata kita, namun akanl dan iman kita akan selalu mengatakan bahwa masih ada langit di atas langit yang kita lihat.

Jalan Hidup

Jalan hidup tak selamanya datar. kadang ia menaik-turun, berliku dan terjal. Hanya pribadi yang kuatlah yang mampu menempuh jalan itu.

Lebah

Ia hanya makan dari sesuatu yang bersih dan bergizi sehingga ia menghasilkan sesuatu yang bersih dan bergizi pula. ia tak pernah merusak saat mencari makan. ia ada untuk bermanfaat.

Kamis, April 29, 2010

Takwa

Kehidupan di dunia ini adalah pengembaraan. Dia bukanlah awal dan juga bukan akhir. Bukan awal dikarenakan pada hakikatnya kita pernah mengalami satu kehidupan sebelum di dunia ini, yaitu kehidupan di alam rahim. Kehidupan di alam rahim ini secara umum lebih pendek dari kehidupan di dunia ini. Namun sebelum di alam rahim, kita juga pernah mengalami kehidupan di alam ruh. Terkait lamanya kehidupan di alam ruh ini, tak seorang pun mengetahuinya. Tentu, karena alam ini lepas dari dimensi ruang dan watu. Dengan demikian, nanti, esok atau lusa, kita akan meninggalkan dunia ini menuju pada satu kehidupan yang lain lagi, dunia yang lain lagi. Dan selanjutnya kita akan kembali kepada yang menciptakan kita, Allah ‘aza wa jalla.

Pada hakikatnya semua manusia akan “mudik”, pulang kampung halaman, berkumpul kembali dengan Kekasihnya. Ke mana lagi kalau bukan kepada yang dengan sinar kasih-Nya telah menciptakan kita? Bukankah hidup ini adalah sebuah perantauan? Bukankah kita ini hanyalah para musafir? Dan musafir pastilah dia tidak akan tinggal lama di persinggahan, dia akan segera berkemas dan berjalan kembali ke tempat tujuan akhirnya? Sebagai orang yang akan mudik sudahkah kita menyiapkan bekal untuk mudik? Sudahkah kita punya ongkos? Sudahkah kita membeli tiket? Sudahkan kita menyediakan oleh-oleh untuk yang kita cintai? Jika kita mudik ke kampung halaman, yang kita bawa biasanya adalah pakaian dan makanan. Ketika kita mudik kepada Allah, apa yang akan kita bawa? Apa yang akan kita persembahkan?
Dalam surat Al-baqarah 197 Allah berfirman:

Berbekallah, dan Sesungguhnya Sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal.

Sebenarnya, ayat tersebut berbicara dalam konteks ibadah haji, namun saya kira juga relevan kalau kita tarik pada ranah kehidupan yang lebih luas. Dalam ayat di atas, Allah menyerukan kepada hamba-Nya untuk membekali diri dengan takwa. Dalam ayat lain dikatakan libasu at-taqwa khair, pakaian takwa iitu adalah pakaian yang terbaik jadi kita harus mudik dengan membawa bekal dan pakaian takwa.Apa takwa itu?
Takwa, umunya didefinisikan dengan menjalankan segala perintah Allah dan meninggalkan segala apa yang dilarang-Nya. Takwa adalah sebauh kulitas kepribadian yang harus dicapai seorang muslim. Bahkan Islam mewanti-wanti umatnya agar jangan sampai di antara mereka ada yang mati tanpa bekal takwa. Takwa menjadi buah seluruh ibadah mahdlah dalam Islam, dari shalat, zakat, puasa dan naik haji, tujuan akhirnya adalah untuk mencapai derajat atau kualitas takwa.
Takwa haruslah menjadi asas bagi bangunan yang kita dirikikan. Hal ini tersirat dalam QS. at-Taubah [9]: 108 yang menceritakan tentang pendirian Masjid Dlirar, yaitu masjid yang didirikan oleh orang-orang munafik untuk memecah belah umat Islam, kemudian Allah berfirman :
Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguh- nya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa, sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. dan Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih. (QS. At-Taubah [9]: 108).

Bangunan di sini bukan hanya berarti bangunan fisik, tetapi mencakup seluruh bangunan hidup kita. Dalam artian, apa pun yang kita lakukan di dunia ini haruslah dilandasi oleh takwa, yaitu bahwa esegala sesuatu tidak diniatkan kecuali untuk menggapai ridha Allah swt. Bukan untuk kepentingan sesaat, kepentingan pragmatis, aau hanya untuk memenuhi hawa nafsu semata. Dan untuk mencapai keridhaan tersebut hanya akan mungkin bila kita menjalankani kehidupan ini seseuai dengan kehendak-Nya.

Ketakwaan adalah sesuatu yang bersifat rohani. Rasulullah saw. bersabada “ at-taqwa hahuna” Takwa itu di sini, sembari menunujuk ke arah dadanya. Jadi, dia berada dalam diri yang terdalam manusia. Namun demikian, sebagaimana halnya muiara, ketakwaan yang ada di dalam dada ini kemudian memancar keluar dalam bentuk perbuatan dan sikap hidup, sehingga ketakwaan seseorang akan tercermin dari bagaimana di menjalani hidup ini.

Allah swt kemudian merinci ciri-ciri orang yang bertakwa. Dalam surat Al-Baqarah ayat 3-5 Allah menjelaskan orang yang bertakwa adalah orang yang 1) beriman kepada yang ghaib, 2) mendirikan shalat, 3) menafkahkan sebagian hartanya di jalan Allah, 4) beriman kepada apa yang duturunkan kepada Muhammad SAW (al-Quran) dan nabi-nabi sebelumnya, dan 5) beriman kepada hari akhir. Dari beberapa poin tersebut, takwa sikaitakn dengan iman. Iman kepada yang ghaib, yaitu Allah, malaikat, dan jin. Iman terhadap hal-hal tersebut berarti mengakui keberadaanya, meskipun tidak tampak secara kasat. Iman kepada Allah memberikan konsekwensi bagi kita untuk menjalankan perintahnya dan meninggalkan larangnnya. Iman kepada-Nya juga mengharuskan kita sadar bahwa segala tindak tanduk kita tidak mungkin luput dari pengawasan-Nya. Sehingga dalam ibdah kita dianjurkan “beribadahlah kamu seakan-akan kamu melihat Allah, seandainya pun kamu tidak melihat-Nya, niscaya Allah melihatmu”. Orang melakukan kejahatan dan kecurangan seirngkali karena merasa tidak ada orang yang melihat dan mengawasi dirinya, sehingga dia bebas berbuat semaunya, namun dia lupa bahwa Gusti ora sare, Allah itu tidak tidur. Dia mengetahui apa yang terjadi di langit dan di bumi.
Dalam ayat lain, yaitu surat Ali Imran 133-135 Allah menjelaskan ciri-ciri lain dari orang yang bertakwa, yaitu:

134. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. 135. dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau Menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.

Dari ayat tersebut, setidaknya ada empat cirri orang bertakwa, yaitu: 1) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, 2) orang-orang yang menahan amarahnya, 3) mema'afkan (kesalahan) orang, 4) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka serta tidak meneruskan dan mengulangi perbuatan kerji tersebut.
Apabila dalam surat Al-Baqarah 2-5 tadi sebagian besar mengaitkan ketakwan dengan keberimana, itu berarti takwa ditarik ke dalam dimension internal diri manusia, maka pada ayat-ayat di Surat Ali Imran di atas mengaitkan takwa dengan prilaku sosial. Sama dengan pada surat Al-Baqarah ayat 2, dalam hal ini menginfakkan sebagian harta kita kepada fakir miskin adalah ciri dari orang-orang yang bertakwa. Selain itu orang bertakwa adalah orang yang mau berlapang hati, bukan hanya untuk tidak marah, tetapi juga memberikan maaf kepada orang lain. Bisa jadi jika ada orang lain memojokkan kita, kita tidak akan marah, karena secara power kita tidak lebih kuat dari dia. Namun seringkali, meski tidak marah, ada orang yang masih mendendam, dan mencari kesempatan untuk membalas, atau minimal akan merasa puas dan bahagia apabila orang yang memojokkan tadi terpojook, meski bukan oleh orang itu sendiri. Sesuai ayat di atas, ini bukanlah sifat orang bertakwa. Hal ini ipertegas lagi, “apabila engkau memberi maaf, sungguh yang demikian itu lebih dekat kepada ketakwaan (QS. Al-Baqarah [2]: 237).

Orang bertakwa bukanlah orang yang tidak pernah melakukan kesalahan, tetapi orang yang apabila melakukan kesalahan dia segera sadar, bertobat, memohon ampun kepada Allah, lalui melakukan perbuatan baik untuk menutupi keburukkannya itu. Ini sesuai perintah Rasulullah SAW, ittaqillaha haitsu ma kunta, wattabi’s as-sayiata hasanata tamhuha, bertakwalah kepada Allah di mana saja, dan ikutilah perbuatan burukmu dengan perbuatan baik yang akan menghapus perbuatan buruk tersebut. Apabila perbuatan buruk kita bersangkutan dengan hak-hak anak Adam, maka hak-hak tersebut haruslah ditunaikan terlebih dahulu.

Dalam ayat lain Allah menjelaskan, orang yang bertakwa adalah mereka di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan, mereka sedikit sekali tidur di waktu malam, selalu memohonkan ampunan di waktu pagi sebelum fajar dan memberikan sebagaian harta mereka untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian (Ad-Dzariat 16-19). Ketakwaan, selain dikaitakan dengan berinfak, dalam ayat tersebut di atas juga dikaitkan dengan bangun malam.

Begitu dahsyatnya bangun malam (qiyamu al-lail), sehingga dia menjadi ciri-ciri orang yang bertakwa. dalam surat Al-Muzammil Allah memerintahkan untuk bangun bangun malam, mengisinya dengan shalat, membaca Al-Quran dan berdzikir, meskipun hanya sejenak. Begitulah yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabat, terlebih-lebih pada malam-malam bulan ramadhan, di mana segala amalan ibadah di dalamnya akan dilipatgandakan pahalanya. Bangun malam merupakan rahasia dari kesukessan dakwah Nabi Muhammad saw. Bahkan menurut satu riwayat, karena seringnya shalat malam, kaki Nabi sampai bengkak-bengkak. Setiap kali shalat malam, selalu sja beliau menangis. Melihat itu, Aisyah bertanya ”Ya Rasulullah s.a.w., mengapa engkau menangis. Bukankah engkau maksum, dan Allah s.w.t. telah berjanji mengampuni segala dosamu, baik yang akan datang maupun yang telah lalu?” Jawab nabi saw., ”Apakah tidak sepatutnya saya menjadi hambaNya yang bersyukur?” Rasulullah selanjutnya bersabda, ”Mengapa saya tidak berbuat seperti ini, padahal Allah s.w.t. telah berfirman:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambi tentang penciptaan berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan angit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka kami peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. Ali ’Imran [3]: 190-191).

Hal lain yang menjadi ciri orang bertakwa, sehingga Allah menintai golongan ini, adalah mau menempati janji. Allah berfirman,

(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertakwa, Maka Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa. (QS. Ali ‘Imran [3]: 76).

Dalam ayat lain Allah berfirman:

Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah Mengadakan Perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, Maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa. (QS. At-Taubah [9]: 4).

Dan juga firman Allah swt:

Bagaimana bisa ada Perjanjian (aman) dari sisi Allah dan RasulNya dengan orang-orang musyrikin, kecuali orang-orang yang kamu telah Mengadakan Perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjidilharaam? Maka selama mereka Berlaku Lurus terhadapmu, hendaklah kamu Berlaku Lurus (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa. (QS. At-Taubah [9]: 7)

Implikasi Takwa
Takwa adalah kualitas diri seseorang. Sikap yang konsisten untuk menjaga diri dari hal-hal yang menyebabkan datangnya kemurkaan Allah dengan menjalankna perintah-perintahnya ini, tentu akan mempunyai impliksi dalam kehidupan seseorang. Selayaknya fondasi sebuah bangunan, dia tidak hanya memperkokoh tegaknya bangunan, tetapi juga dia menjadi bagian integral yang mempengaruhi bentuk bangunan. Dalma artian bangunan tersebut akan menurut bentuk fondasinya. Dalam hal ini, ketakwaan akan mewarnai sikap dan laku seseorang, karena tingkah laku seseorang adalah cerminan dari apa yang ada di dalam dirinya.
Orang yang bertakwa akan selalu mengingat Allah. Allah swt akan selalu dihadirkan dalam setiap gerak-geriknya. Allah swt. selalu hadir dalam setiap tarikan nafasnya. dengan demikian, dia akan merasa bahwa Allah selalu mengawasinya. Maka dia akan melakukan hal yang terbaik selayaknya anak buah yang bekerja dan diawasi oleh atasannya. Bahakan lebih dari itu, karena yang mengawasi ini bukan hanya bos yang membayar kita, tetapi Dialah yang telah meciptakan dan menghidupkan kita.

Orang yang selalu menghadirkan Allah dalam setiap kehidupannya, maka Allah pun menghadirkan ornag tersebut dalam rahmatnya. Allah mencintai orang tersebut karena dia juga mencintai Allah. Sebagaiman digambarkan oleh Rasulullah saw, apabila engkau berjalan satu langkah menuju Allah, maka Allah seribu langkah mendekat kepadamu. Allah sangat dekat dengan yang dicintainya, sehingga wajar bila kemudian Dia berfirman,
Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. (QS. Ath-thalaq [56]: 2-3).

Selasa, April 20, 2010

Belum Punya Judul

Kembali Rani mencoba untuk memejamkan mata. Tubuhnya mulai terasa pegal, lelah. Namun tak jua matanya bisa terpejam. Keringat mulai membasahi punggungnya. Meski udara di luar dingin, tidak demikian dengan di dalam. Sumpek, panas. Dilihatnya jam weaker yang duduk di atas kardus di sebeleh tempat dia berbaring. 01.15. sudah lebih dari tiga jam dia berbaring di tempat itu, namun tak bisa juga sedikitpun terlelap. Dilihatnya Ibu dan Naila, adiknya yang berbaring di samping kirinya. Pulas sekali adiknya itu. Lelah bermain, mungkin. Pun demikian dengan ibunya. Kelelahan nampak membayang di wajah wanita yang telah melahirkannya itu. Pastilah sesiang tadi dia telah bekerja keras membantu ayahnya membersihkan rumah.

Dua minggu yang lalu warga kampungnya dihebohkan oleh sebuah peristiwa. Waktu itu rani baru saja turun dari bus kota, pulang dari sekolah. Dia berlari kecil, sembari tangannya di atas kepala menghindari hujan yang mulai turun rintik-rintik. Dia harus bergegas tiba di rumah. Langit telah tertutup oleh awan hitam kelam. Tak lama berselang pasti akan turun hujan yang sangat lebat.
Dugaan Rani tidak meleset. Belum juga dia memasuki gang yang menuju ke arah rumahnya, bintikan air itu membesar dan semakin kerap. Angin yang sedari tadi bertiup membelai mesra, perlahan tapi pasti, berubah menjadi kencang, menjatuhkan daun-daun kering dari pohon yang berdiri kokoh di pinggir jalan. Angin semakin kencang, hujan semakin deras, seperti baru saja ditumpahkan dari lautan. Kedua mata Rani mulai terasa pedas oleh terpaan angin dan air hujan. Namun dari mata yang mulai memerah itu Rani masih bisa melihat sesuatu yang ganjil. Gulungan awan hitam berputar-putar tidak jauh dari tempat dia berdiri, berjalan menjauh. Semakin lama semakin kencang putaran itu,diiringi kilatan petir menyambar-nyambar. Gumpalan awan itu turun mencapai tanah, berputar kencang, menerjang, menyapu apapun yang berpapasan dengannya. Plastik-plastik, kertas, daun-daun, ranting-ranting pohon, kayu-kayu, seng-seng, atap rumah terbang terbawa angin. Rani hanya terpaku, diam membisu. Tubuhnya menggigil, keringat bercucuran bercampur dengan air hujan. Entah apa yang sedang dia rasakan. Kagum, takjub, takut, ngeri. Dia tak mampu menggerakkan kakinya untuk berlalu pergi. hanya kedua bibirnya yang nampak bergerak, berkomat-kamit, membaca takbir, tasbih dan istigfar.
Saat dilihatnya awan hitam itu meninggi dan hilang entah kemana, Rani ingat akan keluarganya, rumahnya. Dia pun bergegas menuju rumah. Namun malang, gang yang menuju ke arah rumahnya tertutup oleh serakan reruntuhan rumah yang diterbangkan oleh angin tadi. Dilihatnya orang-orang berlari panic, sama seperti dirinya. Ada yang menggendong anaknya, ada yang memapah istrinya, ada yang menuntun bapaknya, ibunya dan saudaranya. Tangis, teriakan, rintiham dan keluhan berbaur dalam rintik hujan yang bergerak menuju reda.
Dengan susah payah, akhirnya Rani tiba di rumah. Namun dia tidak mendapati siapa-siapa di sana. Hanya bangunan rumahnya yang porak-poranda, berantakan dan tiada beratap lagi. Dia bingung, matanya berputar-putar mencari keluarganya ke berbagai arah.
“Lek, bapak keman, lek?” Tanya Rani kepada seorang lelaki tetangganya.
“Wah, aku tidak tahu, Ran. Pak Lek juga baru datang.” Jawabnya.
“Mas, lihat bapak dan ibuku?”
“Tidak, Ran.” Jawab pemuda yang berlalu di dekatnya. “Awas, hati-hati, Ran, Banyak paku dan pecahan kaca!” imbuhnya.
Rani memasuki rumahnya yang berantakan, menuju kamarnya. Tangannya mulai mengais mencari sesuatu. Satu persatu dia temukan apa yang cari. Buku-buku itu rusak terkena air bercampur tanah. Dia terduduk memegangi buku-buku pelajrannya itu. Baju putih abu-abu yang masih dia keakan mulai tampak mencoklat oleh tanah. Jilbabnya tiada lagi mau berlambai-lambai tertiup angin. Dipeluknya buku-buku itu. Rusak semua. Padahal Ujian Nasional tinggal menghitung hari. Ada air yang mengalir di kedua belah pipinya. Bukan air hujan. Air itu hangat dan mengalir semakin deras. Bahunya perlahan bergoyong oleh sedu sedannya. Semakin lama semakin kuat goyangan itu, bahkan terasa tergoncang.
“Ran, keluargamu di rumah sakit.” Rani menoleh ke arah sumber suara. Pak Lek Karim sudah berada di belakanganya. “Keluargamu di rumah sakit.” Ulangnya.
“Rumah sakit mana, Lek?” Tanya Rani kepada laki-laki yang tidak lain adalah paklek atau pamannya itu.
“Sardjito”
Tanpa berfikir panjang, dengan sigap Rani beranjak dari tempatnya duduknya. Seakan ingin berlari, dia melangkah cepat. Tujuannya tak lain adalah rumah sakit.
“Mau ke mana Kamu, Ram?”
“Rumah sakit, Pak lek.”
“Ndak usah, di sini saja! Kamu tidak usah ke sana. Keluargamu tidak apa-apa. Sebentar lagi juga kembali.”
“Tapi saya ingin ketemu mereka, Lek.”
“Sudah, kamu istirahat saja di rumah Pak Lek. Ganti dulu bajumu biar kamu tidak masuk angin. Kalau masuk anginkan kan tambah repot nanti.”
Sejak saat itu Rani tinggal bersama pak lek Karim. Demikian juga dengan semua keluarganya, bapak, ibu, Naila. Namun ada yang tidak bersama mereka, Ardian, adik Rani yang kedua, atau anak ketiga dari tiga bersaudara. Angin puting beliung siang itu telah menerbangkannya, tidak hanya tubuhnya, tetapi juga nyawanya. Ardian ditemukan sekitar 50 meter dari halaman tempat dia berdiri. Ketika itu ibu sedang memintanya membersihkan saluran air yang tersumbat. “malang sekali nasibmu.”’ Rani mengenang. Ah, sudah rindukah Tuhan denganmu sehingga segera dia memanggilmu. Ah, anak yang manis, lucu, meski sering membuat hal-hal yang membuat orang serumah marah. Tahun ini seharusnya dia mulai mengenakan seragam putih biru.
“Mbak, Ardian nanti pingin sekolah di SMP Negeri 1, biar tidak jauh dari rumah. Setelah itu Ardian mau sekolah di tempat Mbak Rani, terus kuliah di Kedokteran, biar jadi dokter. Kalau jadi dokter kan bisa membantu orang, mengobati orang sakit.” Itulah kata terakhir yang Rani dengar pagi-pagi itu saat mereka hendak pergi sekolah. Kata-kata itu masih mengiang di telinga Rani, menggema dalam relung terdalam, menggoreskan sembilu di hatinya, sedih. Sebagai manusia pun dia bertanya, adakah ini ujian dari Tuhan? Bukankah selama ini Tuhan telah menguji keluarganya dengan hidup yang kekurangan? Bapak ibunya selalu pontang-panting banting tulang mencari nafkah. Makan seadanya, tinggal di rumah yang kalau hujan turun deras, maka seakan peluru berjatuhan dari atap rumah. Ataukah ini peringatan? Mengapa dia? Mengapa keluarganya? Mengapa desanya? Mengapa bukan orang lain? Mengapa bukan Jakarta, tepatnya para koruptor itu? Ataukah ini adzab dari Mu ya Tuhan? Tapi mengapa kami, bukan mereka orang yang selalu bermaksiat pada-Mu? Sedemikian besarkah dosa kami sehinggga Engkau mengadzab kami dengan angin seperti engkau mengadzab kaum …….
Rani mengusap air matanya. Dia kembali merenung. Mungkin benar dia tidak salah, mungkin benar keluarganya tidak bermkasiat kepada Allah. Tapi bukankah akibat suatu kedzaliman itu tidak hanya menimpa orang-orang yang berbuat dzalim? Bukankah orang yang tidak melakukan kerusakan juga akan mendapatkan akibat dari kerusakan yang dibuat oleh orang lain. Dan manusia pastilah merasakan akibat kerusakan yang diperbuat oleh tangan-tangan mereka, oleh kerakusan perut mereka. Kerakusanlah penyebab kerusakan di alam ini. Hutan ditebangi, tanah longsor, bumi semakin panas, cuaca tiada beraturan. Wajar kalau belakangan ini banyak angin ribut melanda daerah-daerah di negeri ini. negeri yang sebenarnya adalah surga, di mana air mengalir di bawahnya, buah-buahan yang beraneka rupa, tinggal memetik saja, negeri yang bak zamrud khatulistiwa. Ah, negeri kaya yang salah urus. Wajar kalau Allah menyapanya dengan bencana. Mungkinkah kami tuli, ya Allah, sehingga kami tidak bisa mendengar sapaan-Mu? “Ampuni kami ya Allah!” ucapnya lirih, lebih lirih dari suara nyamuk yang terbang tepat di depan mukanya, berputar sejenak dan hinggap di pipi kiri rani. Dipukulnya nyamuk itu. Selamat, dia lolos. Terbang entah ke mana. Mungkin hinggap di adiknya, ibunya, atau pakaian yang menggantung di belakang pintu kamar.
Rani bangkit dari tidurnya, berjalan ke kamar mandi, wudlu, shalat beberapa rekaat dan tanpa sadar tertidur pulas di atas sajadahnya. Tak lama kemudian dia mendengar suara Ibunya.
“Bangun, Ran. Sudah subuh.”
***
Rani terduduk. Dia tidak berani menatap wajah perempuan yang duduk berhadapan dengannya itu. Namun demikian Rani tahu, tangan perempuan tersebut sedang membuka lembaran-lembaran kertas yang berada di atad mejanya.
“Nilai Try Out mu tidak lulus, Ran. Ibu juga heran, bukannya kamu paling suka dengan pelajaran fisika? Ibu perhatikan juga tadi kamu tertidur di dalam kelas saat pelajaran ibu. Ingat, UN tinggal beberapa hari lagi!” Ujar Ibu Marleni, guru bidang fisika sekaligus wali kelas Rani.
“Beberapa malam ini saya susah tidur, Bu. Belajar juga tidak bisa konsentrasi. Namanya juga tidur di tempat orang, bukan rumah sendiri.”
“Yah, Ibu paham, ibu mengeri. Ibu juga turut prihatin dengan apa yang menimpa keluargamu.” Hibur Ibu Marleni. “Kamu masih belum ikhlas dengan semua apa yang menimpamu?”
“Berat, bu,” kembali mata Rani mulai basah oleh air hangat, “musibah ini telah mengambil nyawa adik saya, juga merampas kesempatan saya untuk belajar di perguruan tinggi” Jawabnya. Wajahnya masih tertunduk. Matanya menatap ubin. lantai.
“Kamukan tidak sendirian, Ran. Orang lain juga banyak yang mengalami nasib seperti kamu. Malah ada yang dalam satu keluarga hanya tinggal satu orang yang tersisa. Kamu tahukan gempa yang menimpa warga bantul beberapa waktu lalu? Bukankah itu lebih besar, lebih parah dari apa yang menimpa Kamu saat ini? Kamu juga tahukan korban lumpur lapindo yang sampai saat ini belum mendapatkan ganti rugi. Rumah mereka hilang, mata pencaharian mereka raib, dan kini mereka terlunta-lunta.” Ibu Marleni merubah posisi duduknya. Disandarkannya tubuhnya ke kursi hitam itu. Tangannya kini memain-mainkan sebuah pena.
“Lalu apa yang harus Rani lakukan, Ibu?” Tanya Rani. Kini pandangannya ke arah wajah ibu Marleni yang nampak tersenyum kecil.
“Tetap semangat, tetap belajar. Kapan pun, di mana pun, dan dalam kondisi apa pun.” Ibu Marleni memotivasi. “Belajarkan bisa di ruang kelas, di perpustakaan, di kamar tidur, ruang tamu, di taman, di mana saja kamu bisa belajar. Bung Hatta, ketika beliau diasingkan di pembuangan di digul, beliau selalu membawa koleksi buku-bukunya. Sayyid Qutb, HAMKA, Pramoedya justru banyak melahirkan karya-karya besar mereka ketika berada di dalam penjara. Benarkan?”
“Tapi ibu, saya tidak punya bahan. Buku-buku saya banyak yang rusak.”
“Kamu bisa pinjam punya teman-teman kamu. Bisa juga dari perpustakaan.” Saran bu Marleni. “Atau kalau kamu mau, ibu bisa meminjamkan buku-buku ibu, asal kamu mau silaturrahmi ke rumah ibu. Gimana?”
“Terimakasih, bu. Saya telah banyak merepotkan Ibu. Saya jadi tidak enak.”
“Tidak apa-apa. Memang sudah semestinya begitu. Guru itukan pelayan, pelayan bagi ilmu pengetahuan dan orang-orang yang menginginkan ilmu pengetahuan.” Begitulah yang selalu diungkapankan Ibu Marleni di kelas maupun di luar kelas. Dia tidak hanya mengucapkan, tetapi juga melaksanakannya, mengabdi pada ilmu pengetahuan. “oh ya, kamu pulang bareng Ibu saja ya, Ran, sekalian ibu silaturrahmi ke tempat kamu. Maaf sejak musibah itu ibu belum sempat ke sana. Tapi kamu tunggu di gerbang ya, Ibu mau ke ruang TU terlebih dahulu.”
“Terimkasih sekali, Ibu.” Kedunaya kemudian bangkit dan keluar dari kantor guru itu. Ibu Marleni berjalan ke kantar TU, sementara Rani menuju pintu gerbang sekolah.
Keesokan harinya, Rani kembali dipanggil oleh Ibu Marleni di kantor guru. Ternyata Ibu Marleni telah membawakan buku-buku yang kemarin dijanjikannya.
“Jadi saya tidak perlu berkunjung ke rumah ibu nih.” Kata Rani kegirangan.
“Loh, kok bisa?”
“Kan Ibu sudah membawakan-buku-bukunya, jadi sayakan tidak perlu lagi mengambil ke sana”
“Ehmm…. Emang kalau silaturahmi itu harus ada kepentingannya ya, Ran.” Sergap bu Marleni. Rani menjadi tersipu malu. “Kamu nanti pulang bareng Ibu lagi?”
“Wah, terimakasih, Bu. Kebetulan saya nanti ada janji dengan Mbak Ida, mau mampir ke kosnya.” Tolak Rani.
“Siapa tuh?” Tanya Bu Marleni.
“Mbak Ida itu mahasiswa UGM. Kosnya di belakang sekolah ini kok. Dia relawan di tempat kami. Insya Allah, saat UN untuk sementara saya tinggal di kontrakan Mbak Ida, biar bisa konsentrasi belajar, dan lebih dekat dengan sekolah.”
***
Saat-saat melelahkan itu pun berlalu. Ujian Nasional dan Ujian Sekolah telah lewat, dan selama itu pula Rani tinggal di kontrakan Mbak Ida. Yang tersisa kini adalah masa-masa tegang menunggu pengumuman hasil ujian. Apapun hasilnya, Rani telah siap. Dia telah beruasa dengan sungguh-sungguh dalam menghadapi ujian ini, pastilah orang akan diganjar sesuai dengan apa yang dia lakukan. Kalaupun tidak lulus tahun ini tidak mengapa, dia mengulang tahun depan. Tahun ini dia juga belum bisa melanjutkan studinya di Perguruan Tinggi. Keluarganya masih belum bisa sepenuhnya keluar dari krisis. Bersamaan dengan usainya masa ujian itu pula, dia dan keluarganya sudah bisa menempati kembali rumahnya. Meski harus mendatangkan material-material seperti genteng, dan bambu dari luar Jogja karena persedian di dalam Jogja tersedot untuk rekonstruksi gempa, akhirnya rumah itu selelsai direnivasi, meski di sana-sini masih banyak barang-barang yang berserakan. Namun demikian, dia dapat menikmati masa-masa tegang itu sembari menikmati rumahnya dengan berteman sebuah novel yang dipinjam dari Mbak Ida.
Sore itu, Rani sedang asyik membaca novel di kamar tidurnya. Tanpa dia sadari, Ibunya telah berdiri di belakangnya dan menyentuh pundaknya dengan halus.
“Khusuk sekali ini anak, sampai-sampai dipanggil-panggil tidak menyahut”
“Oh Ibu, mengagetkan Rani saja. Maaf Ibu, ceritanya lagi seru-serunya, sampi Rani terbawa dalam cerita.”
“Bacanya diteruskan nanti saja ya, itu di depan ada tamu.”
“Siapa, Ibu?”
“Lihat saja sendiri sana!”
Saat Rani menyibakkan gorden pintu kamarnya, dia melihat Mbak Ida dan Mbak Galuh duduk berdampingan di ruang tamu. Di samping Mbak Galuh seorang perempuan dan dua orang lagi di sebelehnya lagi yang belum dia kenal. Perawakannya tidak jauh dari mbak Galuh, namun kulit mereka lebih putih, matanya sipit dan rambutnya lurus. Dari sisi usia, mereka bertiga nampaknya lebih tua dar Mbak galuah ataupun Mbak Ida. Rani menyalami Mbak Ida dan Mbak Galuh. Mbak Ida kemudia mengenlakan ketiga temannya itu. Yang perempuan bernama Taka, sedangakan yang laki-laki Joyko dan Tamada.
“Mereka adalah relawan gempa Jogja kemarin. Mereka datang kembali untuk meninjau bantuan rekonstruksi yang diberikan oleh pemerintah Jepang.” Terang Mbak Ida.
“Maaf, Rani bisa berbicara dengan bahasa Inggirs kan?” Tanya Mbak Galuh.
“Ya iya lah, masak ya iya donk. Orang dari SD, SMP sampai SMA belajar bahasa Inggris, masak tidak bisa ngomong bahasa Inggris” Jawab Mbak Ida mendahului aku.
“Mungkin aja lagi. Buktinya yang ada juga yang sampai lulus kuliah belum bisa bahasa Inggris.” Bela Mbah Galuh tidak mau kalah.
“Insya Allah sedikit-sedikit paham Mbak, kebetulan pernah jadi juara story telling contest di UAD semester kemarin.” Aku menengahi.
Sesaat Mbah Galuh berbincang-bincang dengan ketiga temannya yang ternyata berasal dari Jepang itu, meminta mereka untuk menjelaskan sesuatu kepada Rani, namun mereka saling melempar satu sama lain, dan akhirnya mengembalikan kepada Mbak Galuh. Dia pun kemudian menyenggol Mbak Ida, isyarat kepada Mbak ida untuk berbicara.
“Ada apa to ini, Mbak, kok main lempar?” Tanya Rani penasaran.
“Begini, Ran” Mbak Ida akhirnya bicara, “ada yang ingin kami kita tanyakan.”
“Masalah apa, Mbak?”
“Masalah studimu.” Mbak Ida merubah cara duduknya. “Kamu kan sudah lulus SMA tahun ini, nah ada rencana tida untuk melanjutkan kuliah?” Tanya Mbak Ida. Belum sempat Rani menjawab, Ibu keluar dari dapur dengan membawa teh panas di atas nampan untuk kami berenam.
“Sejujurnya Rani ingin sekali, Mbak, tapikan Rani belum tahu lulus apa tidak, kan belum pengumuman. Selain itu …” perkataan Rani terhenti sejenak. Ibu keluar dengan menghidangkan tempe dan singkong goreng di atas tiga piring. “selain itu, untuk tahun ini bapak masih krisis, Mbak, dana banyak keluar untuk biaya memperbaiki rumah.” Lanjut Rani.
“Okey, seandainya kuliah, Rani ingin di dalam apa luar negeri?” Rani tidak tahu arah pembicaraan ini.
“Dalam negeri aja, Mbak, yang murah. Itupun kalau bisa kuliah” jawabnya.
“Bagaimana kalau di luar negeri saja?”
“Maksud Mbak Ida?” Rani semakin tidak mengerti.
“Taka, can you tell her about your program?” Pinta Mbak Ida pada temannya yang perempuan Jepang itu.
“If you would study in Japan, our fondation will give the scholarship for you.” Ujar Taka singkat.
“Khususnya untuk bidang teknologi informasi.” Tambah Mbak Ida.
“Gimana tertarik?” Tanya Mbak Galuh. Rani masih terdiam.
“Ini full beasiswa, termasuk uang kuliah, living cost, buku dan visa serta transport ke sana.”
Rani masih terdiam. Dia masih belum mengerti benar apa yang terjadi di depannya. Dia merasakan bongkahan es di dadanya, dingin. Dia seakan tidak lagi menapak bumi, melayang. Tubuhnya terasa ringan, pikirannya begitu plong. Perasaan yang sama saat namanya dibacakan sebagai juara satu dalam Lomba Inovasi Teknologi Tingkat SMA di Fakultas MIPA UGM beberapa bulan yang lalu. Ingin sekali rasanya di berteriak “eurika”, namun yang keluar adalah tasbih dan tahmid pujian kepada Tuhan. “Ya Allah, aku malu untuk memnta banyak hal dari-Mu, namun Engkau selalu memberiku lebih banyak dari apa yang aku minta.” Ucapnya lirih.
Hari-hari Rani selanjutnya diisi dengan persiapan kebernagktannya ke Jepang. Dibiacanya buku-buku yang membahas tentang jepang, sejarah, kebudayaan, masyarakat dan tata kotanya. Tak lupa dia juga kursus bahasa Jepang. Semua dilakoni dengan rasa bahagia. Angin putting beliung itu kini akan menerbangkannya ke Jepang.

Yogyakarta, Mei 2009

Senin, April 05, 2010

Jiwaku Tertinggal di Sana

Jiwaku tertinggal di sana
Di sepanjang jalan yang aku lalui
Jalan yang minukung tajam, menanjak, menurun
Jalan yang membawaku pada keheningan
Takjub akan keindahan

Petak-petak sawah menghampar di kemiringan
Mencipta garis-garis yang melekuk
Mungkinkah ini Atlantis?
Ah Plato, kau mininggalkan seribu misteri
dalam setiap pertanyaan

Mataku menatap jauh ke barat
Bukit-bukit kecil timbul tenggelam
di antara lembah-lembah sunyi
diselimuti awan tipis
Di sana Lawu angkuh menjulang
Mengingatkan aku akan pendakian
Lelah, namun indah

Di selatan, bukit barisan yang memagari
pulau jawa dengan lautan selatan
Paku pagi bumi ini
setia menjaga nusantara

gerimis turun merintik
menambah dingin suasana
mulutku terkatup, aku merinding, dadaku bergetar

inilah negeriku,
potongan surga yang jatuh ke bumi
maka, nikmat Tuhanmu yang manalagi
yang kamu dusatakan?