SCRIPTA MANENT VERBA VOLANT

(yang tertulis akan tetap mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin)

Kamis, Agustus 09, 2012

JALAN YANG TAK SUNYI


 Ada yang mengenalnya sebagai seorang budayawan. Ada yang mengenalnya sebagai seorang penyair. Ada yang mengenalnya sebagai seorang penyanyi. Ada yang mengenalnya sebagai seorang aktivis sosial. Ada orang yang mengenalnya sebagai seorang kiai mbeling. Begitulah orang mengenal sosok Muhammad Ainun Najib atau yang lebih dikenal dengan Emha atau Cak Nun. Tak ada yang salah dengan kesemuannya itu, karena memang Emha melakoni hal-hal tersebut. bahkan bagi sebagain orang Emha adalah seorang mursyid, penunjuk jalan pulang, meski Emha sendiri tidak pernah mau dirinya disebut mursyid. Baginya, ia adalah rembulan yang memantulkan cahaya matahari ke bumi sehingga bumi menjadi terang oleh cahaya ilahi.


Matahari adalah lambang Tuhan. Dan cahaya matahari adalah simbolisme cahaya hidayah Ilahi. Itulah yang dilakukan oleh Emha, menjadi bulan yang memantulkan cahaya matahari ke bumi. Dengan demikian bumi tidak menjadi gelap gulita. Ia berkesenian, teater dan nyanyian, menulis di media massa, menulis buku, berbicara di forum-forum yang mengkaji permasalahan bangsa ini.

Namun pasca reformasi, Emha tidak lagi sering muncul di televisi. Tulisan-tulisannya pun sukar untuk didapati di media-media cetak. Meskipun tidak dikatakan secara terang-terangan, namun dari wawancaranya dengan salah satu televisi swasta yang diadakan di salah satu pengajiannya di Yogyakarta tampak Emha kecewa dengan reformasi, khususnya kepada orang-orang yang menggunting dalam lipatan. Sejak saat itu Emha menjauh dari hingar bingar politik dan lebih memilih jalannya sendiri, jalan sunyi. Meskipun demikian, jalan itu tak benar-benar sunyi. Emha tidak lari ke bukit dan menyendiri, sebaliknya ia turun gunung, membaur bersama semua orang. Berkumpul dengan mereka, mendengarkan keluhan mereka, memberi pencerahan dan menghibur mereka, orang-orang yang selama ini tertindas oleh sistem (mustadh’afin). Itulah yang dilakukan Emha, membangun kebersamaan atau lebih sering disebut maiyah. Perjalanan bersama jamah maiyah itulah yang coba dipotret oleh Prayogi R. Saputra dalam bukunya Spiritual Journey; Pemikiran dan Permenungan Emha Ainun Nadjib.

Apa itu maiyah? Bermula pada tahun 1993, atas gagasan Adil Amrullah – adik Emha-diselenggarakanlah pengajian keluarga. Namun kemudian pengajian itu meluas hingga para tetangga dari satu RT, satu desa, satu kecematan, satu kabupaten, satu propinsi hingga sampai keluar Jawa Timur. Pengajian itu kemudian dinamai Padhangmbulan karena diadakan setiap bulan purnama. Kemudian usai sejarah besar reformasi, diadakanlah pengajian serupa di Yogyakarta yang diberi nama Mocopat Syafaat. Selanjutnya lahir pula pengajian serupa di beberapa daerah dengan nama Papperandang Ate di Mandar, Haflah Shalawat dan Pengajian Tombo Ati di Surabaya (kemudian menjadi Bangbangwetan), gambang Syafaat di Semarang, Kenduri Cinta di Jakarta serta Obor Ilahi di Malang (hal. 30-31). Maiyah sendiri sebenarnya bersal dari kata maiyatullah, bersama Allah, terilhami oleh perjalanan hijrah saat Nabi dan Abu Bakar sedang berada di gua tsur , Jangan bersedih sesunggguhnya Allah bersama kita. Namun karena kesandung lidah orang Jawa kata itu hanya menjadi maiyah.

Maiyah sendiri bukan oraganisi seperti NU atau Muhammadiyah, dan tidak akan pernah menjadi organisasi apalagi partai politik. Bagi Emha, maiyah adalah cahaya yang dinyalakan dalam kegelapan negeri ini. Yang menyalakan bukan Emha, tetapi jamaah maiyah itu sendiri, karena bagi Emha, “Maiyah bukan karya saya, bukan ajaran saya dan bukan milik saya. Orang-orang Maiyah bukan santri saya, bukan murid saya, bukan anak buah, makmum atau jamaah saya.” Meskipun tidak bisa dihindari jika ada orang yang menjadikan Emha – meskipun tidak langsung – sebagai mursyidnya.

Pengajian Maiyah sendiri biasanya dimulai sekitar pukul 20.00 dan akan berakhir pukul 02.00 atau 03.00 dinihari. Narasumber tetapnya dalah Emha Ainun Najib, sementara nara sumbernya bisa siapa saja, karena memang di sana setiap orang boleh berbicara, tidak peduli apakah ia mahasiswa, sarjana, dosen, peneliti, politisi, aparat, kiai, petani, gelandangan dan sebagainya. Tak ajarang pula narasumbernya adalah para ilmuwan dan peneliti dari luar negeri. Tak heran jika tema yang dibahas pun beragama sebagaimana yang terekam dalam karya Prayogi R. Saputra yang terbagai kedalam beberapa mozaik (bab) ini. Sesekali ia membicarakan masalah fisika, lebih spisifik lagi fisika quantum, sebagaimana tertuang dalam Mozaik 2. Lain waktu dibahas pula tentang tasawuf seperti kajian terhadap Ilmu Khidir dan surat An-Nur dalam Mozaik 5 dan 6. Tak jarang pula jamah disuguhi masalah-masalah sosial seperti Neo-Liberalisme dan Kolonialisme.
Dalam bagian lain, buku ini juga merekam pembicaraan tentang sejarah Nusantara yang berdasarkan peneletian Dos Santos merupakan asal mula peradaban dunia, karena di sinilah dulu bangsa Atlantis seperti yang diceritakan Plato berada. Dengan demikian, sebenarnya bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, namun saat ini belum menemukan kesadarannya, sehingga , kata Emha, garuda yang mestinya perkasa kini hanya menjadi burung emprit. Untuk itu, perlu kajian sejarah sebagai upaya menumbuhkan kesadaran bangsa indonesia sebagai bangsa yang besar.

Jika Anda berharap dapat melihat perjalanan hidup Emha secara utuh di buku ini, Anda akan kecelek. Pun demikian jika Anda berharap mendapat gambaran keutuhan pemikiran Emha. Buku ini hanyalah transkripsi sebagain kecil pemikiran Emha yang terlontar dalam bentuk puzzle dalam pengajian maiyah, karena dalam satu pengajian biasanya dibahas tema yang beragam. Prayogi R. Saputra layaknya seorang murid pada zaman Islam klasik, dimana ia mencatat uraian gurunya dan memberi syarh (komentar) pada bagain-bagain tertentu. Namun demikain, buku ini dapat mengobati kerinduan kita pada pemikiran Emha yang memandang suatu permasalahan selalu dari perspektif yang berbeda dari orang kebanyakan. Ditulis dengan gaya bertutur, buku ini sedikit bisa memberi gambaran bagi mereka yang belum pernah mengikuti pengajian Maiyah tentang apa yang dilakukan oleh Emha dan seperti apa Maiyah itu. Bagi mereka yang masih aktif mengikuti pengajian Maiyah, buku ini bisa menjadi pengingat puzzle-puzzle yang sempat terlupa. Dan bagi yang pernah secara intens mengikuti pengajain Maiyah namun karena satu dan lain hal tidak lagi bisa mengikutinya, membaca buku ini terasa kembali berada di tengah-tengah jamaah Maiyah, mendengarkan petuah Cak Nun. Bermunajat kepada Allah dan bershalawat kepada rasulullah.

Identitas Buku:
Judul                    : Spiritual Journey; Pemikiran dan Permenungan Emha Ainun Nadjib.
Penulis                 : Prayogi R. Saputra
Penerbit               : Penerbit Buku Kompas
Cetakan               : I, Maret 2012
Tebal                    : XVIII + 214
ISBN                    : 978-979-709-629-8

0 komentar:

Posting Komentar