SCRIPTA MANENT VERBA VOLANT

(yang tertulis akan tetap mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin)

Selasa, Oktober 29, 2013

Suami-Istri

Berbicara tentang pernikahan pastilah berbicara tentang hubungan dua orang manusia yang berasal daru dua keluarga dan dua budaya. Kedunya bertekad bulat untuk menjadi satu dalam sebuah ikatan keluarga. Status keduanya pun sudah berubah, tidak lagi gadis dan jejaka. Mereka kini sepasang suami istri. Mereka berdua kini memiliki 4 orang tua yang harus diletekkan sejajar, dihormati dan disayangi sama baiknya.
Setelah menikah, seorang lelaki berubah menjadi seorang suami. Posisinya dalam keluarga masyarakat pun bergeser. Dalam sebuah keluarga, suami adalah kepala keluarga (imam). Terkait hal ini, Sayidina Ali bin Abi Thalib berujar kepada Istrinya, Fatimah “Saya adalah pemimpin, jika benar ikuti saya, jika salah tegurlah saya.” Artinya, sebagai pemimpin suami harus menjadi penunjuk jalan yang lurus bagi keluarganya, membimbing mereka di jalan Allah dan menjaga mereka dari panasnya api neraka sebagaimana dipesankan Allah. Sebagai pemimpin, suami harus menjadi pemimpin yang bijak. Dia harus mendengarkan masukan-masukan dari orang lain, karena ada yang kadang seseorang tidak tahu namun orang lain mengetahuinya.
Selain sebagi pemimpin, seorang suami berkewajiban untuk mencarikan nafkah bagi keluarganya. Satu hal yang perlu diingat adalah, segala sesuatu yang dimakan oleh seseorang akan mengalir di darah dan dan seluruh tubuh kita. Jika makanan yang masuk ke dalam perut kita adalah makanan yang baik, maka baik pula perkembangan tubuh kita. Baik di sini tentu atas dasar ajaran agama. Dalam Islam, makanan yang baik adalah makanan yang halalan thayyiban, halal lagi toyib. Halal artinya dibolehkan oleh agama. Halal di sini menyakup dua hal, yaitu halal dalam cara memperolehnya dan halal secara zatnya itu sendiri. Sementara thayyib mempunyai arti baik secara kesehatan, yaitu makanan yang sehat dan bergizi. Untuk itu, seorang suami harus berhati-hati dalam memberikan nafkah kepada keluarganya, karena tidak hanya berpengaruh kepad perkembangan jasmani, tetapi jika ruhani.
Selain sebagai seorang suami, orang yang sudah menikah pada waktunya juga akan menjadi seorang ayah. Sebagai seorang ayah, ia berkewajiban untuk membimbing anak-anaknya agar menjadi anak-anak yang saleh-salihah. Memastikan bahwa anak-anaknya mendapatkan penghidupan dan pendidikan yang semestinya. Dan yang menjadi catatan adalah; anak akan melihat apa yang dikerjakan oleh ayahnya. Jika seorang  ayah melakukan hal yang baik, itu berarti ia telah memberi teladan yang baik kepada anaknya. Keteladanan adalah cara yang paling baik untuk mendidik anak.
Sementara itu, setelah menikah, seorang perempuan bergeser statusnya menjadi seorang istri. Istri adalah pendamping suami. Sebagai pendamping, sudah sepatutnya seorang istri berada di sisi suami, baik saat suka maupun duka. Saat suka istri menjadi teman berbagi, saat duka istri menjadi orang yang selalu memotifasi dan menguatkan. Sebagai istri, ia juga berkewajiban mengingatkan suaminya jika sang suami menyimpang dari syariat Allah. Kepatuhan kepada suami adalah selama sang suami berada di jalan Allah. Namun yang perlu diingat adalah cara mengingatkannya, yaitu dengan caya yang baik.
Sebagai istri, ia juga membantu suaminya dalam mencari nafkah, dengan syarat sang suami ridha akn hal itu. Karena bisa jadi penghasilan suami tidak mencukupi untuk penghidupan sekeluarga. Sebagaimana suami, yang harus dilakukan oleh istri dalam membantu mencari nafkah adalah nafkah yang halalan thayiban. Ia juga berkewajiban menjaga harta bendanya saat sang suami sedang tidak ada di rumah.
Selain sebagai istri, seorang perempuan juga menjadi seorang ibu bagi anak-anaknya. Ibu adalah orang yang paling dekat dengan anak, karena sejak dalam kandungan, seorang anak sudah bersama dengan ibunya. Kemudian ibu menyusui anaknya selama dua tahun sebagaimana termaktub dalam Al-Quran. Begitu juga dalam perkembangannya, seorang anak seringkali lebih dekat dengan ibunya. Kedekatan ini yang kemudian membuat anak banyak belajar dari ibunya, sehingga ada pepatah yang mengatakan al-ummu madrasatul ula, ibu adalah sekolah yang pertama. Tidak hanya pertama, tetapi juga utama. Untuk itu, seorang ibu sebaiknya tidak hanya mengandalkan nalurinya saja dalam mengasuh anak, namun perlu untuk selalu belajar dan menggali ilmu.
Sebagai pasangan, suami-istri istri haruslah berjalan beriringan, berangkulan satu sama lain, dan bekerjasama dalam membina rumah tangga. Dalam berbagai kebudayaan, ada semacam kesamaan dalam memaknai hubungan suami istri. Di dunia barat, pasangan suami istri sering disebut sebagai soulmate, atau yang kita kenal dengan belahan jiwa. Dalama kebudayaan Jawa seorang istri disebut garwo yang merupakan kependekan dari sigare nyowo. Konsep ini mengisaratkan bahwa suami istri pada hakikatnya adalah dua jiwa yang terpisah yang kemudian dipertemukan kembali. Ini selaras dengan doa Nabi Muhammad untuk Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra, “semoga Allah mengumpulkan yang terserak dari mereka berdua”. Ini juga bisa berarti, pernikahan telah membuat sepasng suami-istri menjadi satu kesatuan yang utuh. Suami menjadi pelengkap istri yang tanpanya istri tidak akan sempurna. Istri menjadi pelengkap suami yang tanpanya suami tak akan sempurna.
Baik suami maupun istri adalah sama-sama manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Namun itu bukan berarti seseorang harus selalu berbuat salah. Juga bukan berarti kesalah itu sebagai alasan untuk kehilangan kesempurnaan. Kesalahan pastilah ada. Namun yang lebih penting dari itu adalah bagaimana sepasang suami istri saling mengingatkan antara satu sama lain, tawashaubilhaqqi wa tawashaubish shabr, saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran.
Untuk menggambarkan seperti apa hubungan suami-istri ini, Allah telah dengan begitu indahnya menggambarkan dalam Al-Quran:
mereka (istri-istrimu) adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka
(QS. Al-Baqarah: 187)
Al-Quran menggambarkan suami-istri sebagai pakain. Fungsi pakaian adalah menutupi aurat dan kehormatan seorang manusia. Pakain juga digunakan sebagai zinah atau hiasan, karena memang dengan pakain seseorang selain terhormat juga akan lebih indah (cantik/tampan). Dengan demikian, suami-istri haruslah menjadi penutup untuk kekurangan-kekurangan pasangannya masing-masing. Selain itu, keberadaan pasangan suami-istri harus juga menjadikan pasangannya lebih terhormat, lebih anggun, dan lebih sempurna.
Wallau ‘alam bishshawab.

0 komentar:

Posting Komentar