SCRIPTA MANENT VERBA VOLANT

(yang tertulis akan tetap mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin)

Senin, Juli 06, 2015

Alex sang Penjelajah


Tersebutlah ada sebauh pulau, pulau Ura namanya. Di pulau itu ada hutan di mana hidup kawanan kera. Orang menyebutnya kera pulau Ura. Kera di sana sangat bersahabat dengan para wisatawan. Wisatawan pun senang memberi mereka makanan berupa kacang-kacangan, pisang atau buah-buah lainnya.
Namun hubungan yang baik antara manusia dan kera di pulau Ura mulai terusik karena oleh Alex si kera muda. Suatu saat para pengunjung pulau itu diresahkan oleh kawanan kera muda yang sering mengambil makanan mereka dan juga dari warung-warung. Para pengunjung akhirnya mulai resah dan tidak nyaman.

Kejadian itu ternyata tidak hanya membuat resah para pengujung, tetapi juga bagi kawanan kera pulau Ura.
 “Ayah, kami melakukan ini karena persedian makanan kita di sini tidak cukup. Jumlah kita semakin banyak, tapi makanan tidak bertambah,” kata Alex.
“Itu tidak bisa menjadi alasan untuk mencuri. Itu perbuatan hina. Jangan lagi kau ajak teman-temanmu untuk merampas makanan dari manusia. Jika mereka tidak lagi datang ke pulau ini, maka makanan kita akan lebih sedikit lagi,” kata sang pemimpin, “kalau ingin makan enak dan banyak, kita harus bekerja keras, banting tulang, bukan merampas. Kita bisa menanam pisang dan buah-buahan lainnya di pulau ini.”
“Tapi, Ayah, kita ini kera, bukan manusia. Kita tidak mempuanyai kemampuan bertani seperti manusia,” kata Alex.
“Kalau begitu kamu bisa keluar dari pulau ini, silahkan cari makanan di luar pulau ini jika kamu merasa selalu kurang di sini,” kata pemimpin itu yang juga Ayah Alex.
***
Rapat hari itu berakhir tanpa ada penyelesaian. Para tokoh adat it pun sebenarnya juga sering merasakan lapar  yang sama. Namun sebaliknya, rapat itu memberi ide bagi para kera muda. Yah, setelah rapat akbar itu, sebagian kera muda berkumpul lagi bersama. Kali ini Alex yang memimpin. Mereka bersepakat dan bertekad untuk menacari makan di luar pulau Ura. Semula ada yang ragu dengar perkataan ayah Alex, tetapi Alex bisa meyakinkan mereka. Ia meyakinkan bahwa ayahnya telah banyak berpengalaman dan menjelajah dunia.
“Mulia besok kita harus belajar renang!” kata Alek.
“Sejak kapan kera bisa berenang. Sampai kiamat hal itu tidakakan terjadi.
“Kita ikut perahu manusia saja,” usul seekor kera.
“Tidak mungkin, mereka tampaknya sudah terlanjur benci kepada kita,” kata yang lain.
 “Mengapa kita tidak membaut perahu sendiri saja?” Kat seekor kera bernama Alin.
Akhirnya kera-kera muda itu bergotong royong bersama-sama. Pertama-tama mereka mencari kay yang cukup besar untuk dijadikan perahu, lalu mereka menebangnya. Namun setelah berhari-hari menebang, kayu itu tidak kunjung tumbang. Mereka mulai putus asa.
Mereka pun akhirnya bermusyawarah lagi. Mereka mencoba ranting-ranting kecil yang diikat dengan kulit pohion, tapi ternyata gagal. Sampai akhirnya mereka memakai bahan lain, bambu. Bambu lebi ringan, jadi mungkin bisa mengapung, pikir mereka. Akhirnya jadi satu rakit bambo. Namun karena rakit itu hanya cukup untuk 6 kera, maka mereka membuat beberapa rakit lagi.
Pada hari yang kelima pembuatan rakit selesai dua buah. Mereka pun telah siap untuk pergi. Namun Alex tetap meminta kawanan kera muda itu untuk berpamitan kepada orang tua mereka masing-masing.
“Anakku, sebaiknya kalian urungkan saja niat kalian!” kata Raja Gargoli.
“Bukankah ayah menyuruh kami pergi? Bukankah kata ayah di luar sana ada hutan lebat yang menyediakan makanan untuk kawanan kera?” kata Alex protes.
“Ayah waktu itu sedang marah, jadi bicara ayah ngawur.” Kata sang Raja.
“Tidak, Ayah. Kami sudah terlanjur percaya kepada Ayah. Semula saya sendiri tidak percaya, tapi ketika melihat para manusia itu membawa makanan yang banyak, tentu di sana masih ada yang lainnya. Tekad kami sudah bulat ayah,” kata Alex.
Raja Gorgoli pun tak mampu mencegah mereka. Ia hanya bias mendoakan semoga kawanan kera muda itu selamat.
***
Keesokan paginya, Alex sudah berada di tepi pantai sejak matahari belum muncul. Setelah lama menunggu, akhirnya satu persatu mulai datang. Namun sampai matahari sepenggalah naik, baru tujuh ekor kera yang sudah berkumpul.
“Sepertinya yang lain tidak jadi ikut. Mereka takut risiko,” kata Alex.
“Biar saya susul mereka. Mengapa mereka mereka berani mengingkari janji,” kata seekor kera bertubuh besar bernama Bandi.
“Tidak usah, Bandi. Sejak awal saya tidak pernah meminta kalian untuk ikut,” kata Alex,  “dan bagi kalian yang ikut, saya katakan bahwa setiap tindakan ada risikonya. Bisa jadi kita mati di makan ikan. Bisa di sana tidak ada hutan. Kalau pun ada mungkin tidak ada buahnya. Apakah kalian siap dengan semua risiko itu?” Tanya Alex.
“Siap ... “ jawab mereka kompak.
Rawe-rawe rantas, malang-malang putung,” kata seekor kera.
Mereka pun mulai menarik rakit yang mereka buat itu ke sungai. Rakit yang satu mereka biarkan tetap di tempat. Mula-mula mereka ragu. Namun akhirnya naik juga mereka ke bambu-bambu yang telah diikat menjadi satu dengan menggunakan kulit pohon. Pelan-pelan mereka mulai mendayung rakit itu ke tengah lautan dengan disaksikan oleh linangan air mata dari kera-kera yang bersembunyi di balik rimbun pohon.
 “Ingat, kita tidak tahu kapan akan sampai di darat, jadi kita harus hemat. Terutama minuman,” kata Alex.
“Bukannya di sini banyak air? Mengapa kita harus khawatir?” kata seekor kera bernama Gugun.
“Air laut itu asin. Kalau kita meminumnya, kita bisa mati,” kata Alex.
Setelah lima lima hari lima malam terombang-ambing di lautan, kera-kera muda itu sampai juga di tepian pantai. Dari atas rakit, mereka bisa melihat hutan yang sangat lebat. Setelah turun, mereka pun langsung lari ke arah hutan itu. Di sana mereka menemukan berbagai macam buah-buahan. Ada pisang, ada jambu, ada papaya, ada rambutan dan masih banyak lagi. Mereka makan dengan lahabnya. Saat haus, mereka tinggal turun. Di sana ada air sungai yang mengalir kea rah laut.
“Benar kata ayahku, kalau mau makan enak kita harus bekerja keras dulu, merantau bila perlu,” kata Bani.
“Ya, benar. Seperti kata pepatah berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian”.#

0 komentar:

Posting Komentar