SCRIPTA MANENT VERBA VOLANT

(yang tertulis akan tetap mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin)

Sabtu, November 22, 2008

Yang Awal dan Yang Akhir

Aku lahir karena cinta,
aku hidup karena cinta,
aku ingin mati karena cinta

Pernahakah sesekali kita menyempatkan diri untuk diam dan duduk merenung tentang diri kita? Sudahkah kita benar-benar mengenal diri kita? Bukan sebatas pada aku anak si anu, lahir di anu, tanggal sekian bulan sekian tahun sekian. Tidak juga sebatas aku ini punya neton ini, sifatnya begini dan hobinya ini itu. Bukan sebatas itu. Tetapi lebih fundamental dari itu, siapa kita? Dari mana kita? Dan hendak kemana kita?

Dalam filosofi jawa ada satu konsep yang selaras dengan ajaran Islam, yaitu sangkan paraning dhumadi, atau asal usul kejadian. Dalam konsep ini setidaknya ada beberapa hal yang harus dimengerti antara lain, asaling dhumadhi atau asal usul wujud, sangkaning dhumadhi atau dari mana datangnya dan bagaimana perkembangan wujud, tataraning dhumadhi atau martabat suatu wujud, dan paraning dumadhi atau cara atau arah perkembangan wujud.

Pertanyaan-pertanyaan diatas adalah pertanyaan fundamental bagi makhluk yang bernama manusia. Dalam filsafat eksistensialisme, seseorang akan menjadi manusia jika dia telah mempertanyakan dan menjawab persoaln-persoalan di atas. Mungkin ada yang mengatakan, ah, pertanyaan seperti itu sangat mudah jawabannya. Tapi ingat, setiap pilihan jawaban akan mempunyai satu konsekwensi logis. Atau mungkin ada yang belum sempat merenungkannya?

Baiklah pada awalnya kita bertanya dari mana asal wujud? Sebelumnya, yang dimaksud wujud di sini adalah sesuatu yang ada atau being, atau realitas. Sementara ketika kita berbicara realitas, tidaklah realitas itu terbatas pada sesuatu yang Nampak oleh indera alias konkrit, tetapi ada juga realitas yang abstrak. Sebagai contoh saja, kita mengenal apa yang dinamakan dengan grafitasi, namun apakah pernah kita melihat atau merabanya? Namun kita tetap yakin itu ada.
Wujud atau yang ada ini tentulah tidak ada dengan sendirinya, sebagaimana halnya kursi yang kita duduki atau pakaian yang kita pakai yang ada pembuatnya. Karena dalam akal kita tidak mungkin sesuatu itu ada tanpa ada yang membuat atau menciptanya. Dengan demikian yang mencipta itu juga Ada atau Wujud. Lalau sipa yang menciptakan Sang Pencipta? Tidak ada. karena Dia ada dengan sendiri-Nya. Bagaimana Dia ada dengan sendirinya? Karena Dialah Yang Awal, maka dari Dia “mucullah” segala sesuatu.

Jika manusia ada, hewan ada, alam ada dan Yang Pencipta ada, lalu apa bedanya diantara yang Pencipta (Khaliq) dengan yang dicipta (makhluk)? Bedanya adalah bahwa keber-ada-an manusia dan makhluk lainnya bergantung kepada keberadaan Sang Khaliq, sehingga dia disebut sebagai mumkinatul wujud atau wujud relatif/nisbi. Sementara kebera-ada-an Sang Khaliq adalah Mutlak, absolut sehingga Dia disebut sebagai Wujud Muthlaq atau Wajibul Wujud. Lalau bagaimana dengan keber-ada-an manusia?

Yang Pertama, manusia adalah makhluk. Sebagai makhluk, keber-ada-an manusia bergantung kepada keberadaan Wujud Muthlaq. Kedua, manusia, sebagaimana mkhluk lainnya, diciptakan oleh karena cinta Allah kepada diri-Nya. Dalam hadits qudsy yang sering disetir oleh Ibn ‘Arabi Allah berfirman: “Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, Aku ingin diketahui, maka Aku menciptakan makhluk. Dengan demikian, manusia dalam hidupnya haruslah mengenal penciptanya. Ketiga, sebelum kealam rahim dan alam dunia, ketika manusia masih di alam ruh, manusia telah melakukan perjanjian dengan Sang Pencipta bahwa dia bersakasi bahwa Allah, Wujud Yang Mutlak itu adalah Tuhan yang telah menciptakannya. Perjanjian itu sering disebut sebagai perjanjian primordial. Dengan demikian, manusia telah mengikatkan satu janji bahwa hanya kepada Pencipta-nyalah manusia akan beribadah. Keempat, manusia diciptakan dumuka bumi adalah untuk dijadikan sebagai khalifah Allah yang bertugas memakmurkan bumi. Di bumi atau di dunia inilah kemudian manusia berada pada tataran bagaimana wujud itu berproses.

Dalam diri manusia terdapat ruh Ilahiyah. Pertama karena Allah sendiri telah meniupkan ruh-Nya ke dalam diri manusia. Kedua, karena manusia telah mengikat janji primordial sebagaimana dijelaskan di atas. Namun setelah lahir ke dunia, ruh manusia terkungkung oleh jasad. Namun demikian, dalam diri manusia itu selalu ada hasrat untuk mencari yang Mutlak itu tadi, yang pada-Nya dia telah berjanji. Dalam menjalankan aktifitas kehidupannya, manusia sering lalai dengan dirinya dan amanah yang ia emban sebagai khalifah. Kelalain ini biasanya disebabkan oleh keengganan manusia untuk menge-tahu-i. dalam arti lain, manusia enggan untuk mencari tahu dan belajar tentang dirinya. Akhirnya dia berjalan laksana robot tanpa jiwa.

Hendaknya manusia senantiasa ingat bahwa dia adalah makhluk. Sebagai makhluk manusia mempunyai hubungan vertikal dengan Khaliqnya yang terejawantahkan dalam ibadah. Sebagai makhluk, manusia juga mempunyai hubungan horizontal dengan sesama makhluk. Prinsip yang digunakankan adalah baik manusia maupun makhluk lainnya hanya tunduk kepada Allah dan kepada hukum Allah atau sunnatullah, dan manusia adalah khalfiah Allah yang bertanggungjawb memakmurkan bumi. Dengan demikian hubungan dia dengan makhluk lainnya adalah pemanfaatan dengan tetap menjaga kelestarian dalam keharmonisan. Sebagai khalifah atau mandataris Allah di muka bumi, maka manusia harus menjalankan titah tersebut sesuai dengan kehendak Allah sebagaimana dijelaskan dalam kitab-Nya dengantidak memebuat kerusakan (fasad). Sedangkan sesama manusia adalah berada pada prinsip bahwa yang palingmulia di sisi Allah adalah orang yang paling tinggi tingkat kualitas dirirnya (takwa). Dengan demikian, manusia tidak berhak untuk melakukan penindasan kepada manusia lainnya. Karena yang berhak demikian hanyalah Allah SWT.

Saat berproses sebagai manusia, janganlah sampai lupa pada asal mula kita, dan jangn pula kita tidak mengetahui tujuan kita. Jika kita berawal dari ADA Mutlak, di mana keberadaan segala sesuatu diliputi olehnya, lalu adakah tempat kembali selain kepada yang Mutlak dan Meliputi tersebut? Dengan demikian, kita juga akan menuju ke sana, kepada Yang Mutlak yang meliputi segala sesuatu.

Syekh Al-Isyraqi Suhrawardi menggambarkan bahwa Allah adalah Nur ala nur atau nur al-anwar. Dia adalah Cahaya di atas cahaya. Dia adalah sumber cahaya yang kemudian menerangi semesta. Semakan suatu entitas dekat dengan sumber cahaya, semakin tinggi intensitas cahaya yang berada padanya. Semakin terang pula dirinya. Sebaliknya, semakin jauh satu entitas dari sumber cahaya, maka semakin reduplah sinarnya, atau bahkan gelap sama sekali. Kegelapan adalah lawan dari cahaya. Kegelapan dalam bahasa Al-Quran disebut sebagai dzulm. Kata ini kemudian menjadi kata dzalim atau aniaya. Dengan demikian, perbuatan yang aniayalah yang menghalangi kita dari menuju Sumber Cahaya atu Wujud Mutlak tersebut. Mari kita berlingdung kepada-Nya dari perbuatan aniaya, agar kita sampai pada Dia Yang Awal dan Yang Akhir.

0 komentar:

Posting Komentar