SCRIPTA MANENT VERBA VOLANT

(yang tertulis akan tetap mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin)

Rumahku Surgaku

Rumah bukan hanya tempat berteduh dari sengat matahari dan derasnya hujan, tetapi ia juga tempat bertumbuh rasa kasih sayang, tempat kembali bersama kehangatan keluarga.

Allah Maha Pemurah

Burung yang keluar dari sangkarnya dengan perut kosong, akan kembali di sore hari dengan perut kenyang. Sungguh Allah Maha Pemuerah kepada semua makhluk-Nya.

Di Atas Langit Masih Ada Langit

Langit hanyalah batas dari ketidakmampuan pandangan mata kita, namun akanl dan iman kita akan selalu mengatakan bahwa masih ada langit di atas langit yang kita lihat.

Jalan Hidup

Jalan hidup tak selamanya datar. kadang ia menaik-turun, berliku dan terjal. Hanya pribadi yang kuatlah yang mampu menempuh jalan itu.

Lebah

Ia hanya makan dari sesuatu yang bersih dan bergizi sehingga ia menghasilkan sesuatu yang bersih dan bergizi pula. ia tak pernah merusak saat mencari makan. ia ada untuk bermanfaat.

Jumat, November 28, 2008

Hujan di Akhir November

“Aku pergi”.
“Kemana kamu akan pergi?”
“Entahlah, yang penting aku harus pergi, meski sampai saat ini aku sendiri tidak tahu ke mana?”
“Iya, tapi mengapa engkau harus pergi?”
“Untuk hidup”.
“Apakah selama ini kamu mati atau setengah mati?”
“Tidak, aku hidup, tapi terasa mati. Hampa”.
“Kamu kehilangan makna”.
“Aku belum mempunyai makna”.
Dan kamu pun akhirnya pergi. Seperti yang kamu katakan. Kamu pergi diiringi hujan yang turun derasnya di ujung bulan November ini.
Aku tak tahu mengapa engkau harus pergi, hingga kini aku masih juga tak tahu. Engkau mengatakan harus, tanpa pernah engkau memberi alasan. Engkau mengatakan. Pokoknya. Siapapun tahu, bila kata pokoknya telah terucap, apa pun itu harus terlaksana dan tertunaikan, entah bagaimana caranya.
Aku tertegun dengan keputusanmu yang tiba-tiba. Selama kebersamaan kita, tak pernah aku mendengar bahkan sekedar guarauan, kamu akan pergi, namun ketika hujan turun di sore itu engkau mengatakannya. Bukankah dulu kamu bertekat tinggal di sini, di kota ini? “aku igin jadi penulis besar, dan kota ini sangat mendukung, suasananya kondusif”, katamu.

Penulis besar, itulah obsesimu. Aku pun yakin kamu bisa mewujudkannya. Jujur, aku sering jengkel karena obsesimu itu. Setiap aku keluar denganmu, selalu saja kau megajakku bertemu dengan teman-temanmu itu. Sebelum aku kenal mereka, aku sudah sering melihat wajah-wajah mereka di jalanan, denganmu juga tentunya. Begitu juga ketika kamu mengajak aku berbelanja, tentunya yang kamu maksud tempat belanja tidak lain adalah toko buku. Dari mu juga aku tahu tempat mencari dan membeli buku yang murah. Darimu juga aku tahu kalau kota ini memang kota buku. Bukan hanya toko buku, tetapi juga penerbitan. Kamu banyak mengenal para editor di penerbit-penerbit itu. “temanku”, katamu.
Aku sendiri heran, mengapa aku betah berjalan dengan dirimu, bersamamu. Aku merasa berbeda dengan mu. Teman-teman ku menjulukiku si mulut seribu, alis si cerewet. Dan kamu, pendiam, kalem, cool.
Jika kamu tidak mengajakku keluar, maka aku yang datang ke kosmu. Ku dapati kamu sedang asyik dalam tumpukan buku-buku mu. Kamarmu dihiasi oleh rak-rak buku. Karpetmu tertutupi oleh buku yang berserakan. Nampak di dinding yang tidak tertutupi oleh buku, poster-poster para pemikir-pemikir dunia. Di pojok kamarmu aku dapati komputer bututmu. Di depan komputer itulah akau duduk sembari main game, sesekali harus mengeluh karena komputernya hang. Dan kamu masih asyik dengan buku-bukumu.
“Eh, ad novel baru nih, bagus.” Katamu mecoba menyapaku yang sedang asyik dengan game yang ada di komputer. “mau baca gak nih?” lanjutmu
“Tidak ah, yang kemarin aja belum selesai” kataku. Dua minggu yang lalu kamu meminjami buku juga kepadaku, novel. Sampai saat itu aku juga belum membacanya, kecuali pada bagian awal bab pertama.
“Malas amat sih non!, baca buku setipis itu aja dua minggu belum selesai.
“Banyak tugas kuliah, tahu..”, protesku.
Beberapa kali kamu telah meminjamkan novelmu kepadaku, tanpa pernah aku memintanya. Bahakan saat ulang tahunku, engkau pun membelikan aku sebuah novel, novel feminis katamu. Itu semua tidak lepas dari saat perkenalan aku dengan mu. Aku bertemu denganmu di salah satu toko buku. Saat itu aku diajak oleh salah seorang temanku dalam acara bedah buku di lantai dua toko tersebut. Di situlah kita bertemu. Temanku memperkanlakanku kepadamu.
“Suka novel?” tanyamu.
“Ya, sedikit.”
“Kok sedkit sih, banyak juga tidak apa kok, tidak ada yang melarang. Oh, ya, suka novel apa”
“Tenleet”, aku tidak yakin. Sebenanya sejak dua tahun aku di sini, baru satu novel yang aku baca. Novel remaja yang bercerita tentang cinta SMA.
“Aku punya beberapa novel tenleet, kalau suka boleh kok pinjam”, katamu. Dan kita pun sering bertemu sejak saat itu. Atau tepatnya, kau sering main ke kontrakkanku.dan kita kemudian sering pula jalan bersama.
***
Sore itu, entah kenapa aku merasa kehilangamu. Sepanjang kebersaman kita, aku hanya menganggapmu sebagai kakak, tidak lebih dari itu. Dan kamu pun menganggap ku sebagai adik. Dan kita bersama dalam hubungan itu. Namun sore itu ada rasa yang hadir dalam hati ini. Ada rasa kehilangan di sini akan mu, tetapi bukan sebagi seorang adik yang kehilangan kakanya. Entahlah, rasa itu hadir sesaat setelah kamu pergi meninggalkanku dari kota ini. Sebagai seorang adik, aku berhak untuk merasa kehilangan dirimu, karena aku pernah merasa memilikimu. Tapi rasa kehilangan ini? Namun apa daya, aku tidak bisa mencegah Kereta Progo yang membawamu dengan satu tekad untuk pergi. Hujan di akhir November telah telah membasahi diriku sepulangku mengantarmu pergi, tiga tahun yang lalu tepatnya.
Seperti November tiga tahun yang lalu, akhir November ini pun hujan masih tetap turun. Dan aku masih menelusuri keberadaanmu di duni maya. Tak pernah ketinggalan, selalu aku buka friendster dan blog-mu, namun semu masih sama dengan tiga tahun yang lalu. Mesin pencari pun tidak menemukanmu, selain namamu di beberapa situs media masa di mana tulisanmu pernah dimuat sebelum tiga tahun yang lalu. Dan dirimu tak pernah aku temukan.
Di pojok warung kopi ini, di sinilah kamu sering mengajaku menghabiskan waktu malam. Di pojok lebih nyaman, katamu saat aku tanya mengapa kita memilih tempat di sini. Dari sini kita dapat melihat kemana-kemana, ke seluruh sudut ruangan, termasuk ke arah luar. Kala sunyi, suara gesekan daun padi terdengar mesra bersama tiupan angin malam. Namun tidak seperti tahun yang lalu, sekarng sudah ada fasilitas hotspot. Suasananya pun lebih hening dari beberapa waktu yang lalu, karena setiap orang asyik dengan dirinya masing-masing yang sedang berselancar di dunia maya.
Aku pun mulai berselancar di dunia maya. Meng-update foto di friendster-ku, meng-up loud tulisan di blog-ku. Aku juga harus mengirim tulisan ke salah satu media yang akan dimuat untuk edisi bulan depan. Malam ini sengaja aku tidak mencari jejakmu di dunia maya. Namun alangkah terkejutnya aku saat melihat namamu di inbook e-mailku. Saat aku tidak mencarimu, saat itulah kamu hadir kepadaku.
“Salam. Aku dapat e-mailmu dari novelmu…..”. Begitulah kalimat pembuka surat elektronikmu. Memang aku sertakan alamat e-mailku dalam biografi penulis yang ada dalam novelku yang terbit tiga bulan yang lalu. Dan aku tak pernah menyangka engkau mendapatkan novel itu. Selanjutnya kamu menanyakan kabarku. Lalu kamu bercerita tentang kehidupanmu, aktifitasmu sekarang, dan juga alasanmu mengapa dulu engkau pergi.
“Semula aku berfikir bahwa mencerahkan kehidupan rakyat adalah dengan menulis buku. Bukannya aku tidak lagi percaya bahwa buku dapat merubah dunia, namun aku baru sadar bahwa tidak semua orang bisa mengakses buku. Kiranya perlu bagimu untuk keluar sejenak dari jawa dan berjalan-jalan ke pelosok-pelosok kampung. Mereka tidak mampu untuk memebeli buku. Bagi mereka buku adalah barang yang mewah. Dari itu kitalah yang harus membacakan untuk mereka. Mereka bukan orang-orang bodoh, mereka hanya tidak mempunyai kesempatan yang sama dengan orang kota. Bahasamu masih seperti yang dulu, kritis dan provokatif. Sebenarnya aku ingin meniru bahasamu dalam novelku, tetapi editor telah memangkas bahasa seperti itu. Kurang populer katanya, tidak marketabel. Oh ya, dia itu adalah editor yang dulu kamu perkenalkan kepadaku.
Seperti orang yang lama tidak pernah bertemu dengan nasi lalu kemudian ketemu nasi, seperti itulah kamu menulis surat elektronikmu,.panjang dan lebar. Kamu pun tetap memotifasi aku untuk tetap menulis. “Setinggi apapun orang sekolah, kalau tidak berkarya, dia akan dilupakan oleh orang”. Begitu katamu mengutip Pramoedya Ananta Toer. Pada bagian selanjutnya kamu bercerita bahwa kamu telah beristri, bahkan baru satu minggu yang lalu istrimu melahirkan. Kamu pun menyarakan kepadaku untuk segera menyempurnakan agamaku.
Aku telah menemukanmu, meski dalam dunia maya. Aku telah tahu mengapa engkau pergi dari kota ini, aku juga tahu kamu masih kakakku dan juga guruku yang dulu, yang pernah mengajari aku membaca dan menulis, meski tetap ada rasa kehilangan dalam diri ini. Tak terasa ada yang mengalir di pipiku. Hangat. Semakin lama alirannya semakin deras, sederas hujan yang turun di akhir November.


Sabtu, November 22, 2008

Kriminalis intelektual

Mohon maaf, sebenarnya secara kebahasaan akan muncul kerancuan ketika kata kriminalis disandingkan dengan kata intelektual. Yang pertama menunjukkan suatu perilaku yang cenderung destruktif, sementara yang kedua bersifat konstrukstif. Namun di sini kita akan melihat dari sudut yang berbeda, bukan hanya pada tataran kebahasaan saja. Mungkin sedikit fenomenologis gitulah.
Perilaku kriminal sering diasosiasikan kepada perilaku kejahatan yang merugikan orang lain, dan biasanya dalam bentuk kekerasaan. Jadi sebagai contoh saja yaitu perilaku mencopet, maling, merampok, memperkosa, minum minuman keras, berkelahi dan membunuh. Perilaku-perilaku ini biasa juga disebut sebagai penyebab kerusuhan, kekhawatiran dan ketidaknyamanan bagi masyarakat.

Kriminalitas terjadi bukan tanpa sebab, tetapi dia banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Dari aspek ini, kriminalitas banyak terjadi di daerah urban. Gemerlapnya kehidupan urban telah begitu menggiurkan dan menarik bak magnet orang-orang dari pinggiran untuk mencoba merasakan kehidupan ini. Namun tidak semua bisa ditampung dalam sisitem kehidupan urban, ada di antara mereka yang masih juga tersingkir. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mereka mau melakukan segala sesuat. Yang terpenting adalah bagaimana bisa survival. Tidak jarang jalan pintas yang ditempuh. Mereka ini adalah orang-orang yang tidak mempunyai akses dalam bidang pendidikan dan hanya mengandalakan otot ketimbang otak. Secara structural pun mereka telah disingkirkan dengan tidak meletakkan mereka pada agenda pembangunana bangsa ini. Yang terjadi adalah mereka hidup di jalanan, makan dari jalanan, dengan cara apa saja, samapi pada tingkat dia harus membunuh orang lain untuk mendapatkan makan.

Kehidupan mereka seringkali bergerombol dalam satu komunitas yang menjunjung tinggi solidaritas dan kesetiakawanan. Ketika ada diantara anggota komunitas mereka yang berkelahi, terluka atau terbunuh oleh komunitas, maka prinsip mereka adalah darah dibayar dengan darah. Tawuran pun terjadi. Dan hal itu berlanjut pada anak cucu mereka, jika merka masih bisa hidup di tengah kesulitan ekonomi. Kita mungkin jengkel dan benci dengan fenomena tersebut. Atau bahakan kadang kita jijik melihat mereka. Namun ingat, mereka adalah orang-orang yang tidak mampu mengakses pendidikan, sehingga mereka “bodoh” (maaf kasar), orang tidak berpendidkan tidak akan diterima dalam sistem kapitalisme, karena dia bukan capital yang menghasilkan.

Meski diantara kita ada yang jijik dan ikut-ikutan meminggirkan mereka, namun kita sudah terbiasa dengan hal tersebut. Namun bagaimana dengan kriminalitas yang di lakukan oleh sekelompok orang yang mentasbihkan dirinya sebagai intelektual? Mereka yang sering disebut sebagai agen of change? Mereka itu adalah para mahasiswa yang berada di perguruan tinggi, di kampus-kampus megah. Mereka inilah yang dulu sering disebut sebagai garda depan perubahan bangsa. Tapi sekarang?

Aku masih sedikit bangga ketika melihat teman-temanku adu dorong dengan aparat keplisian memaksa masuk ke gedung DPR dan terjadi keributan di sana dengan aparat keamanan. Aku bangga karena mereka masih ada niatan mnyuarakan aspirasi rakyat. Tapi bagaimana ketika para mahasiswa itu rebut dengan sesama mahasiswa temananya sendiri?
Masih terasa segar dalam ingatan kita tawuran mahasiswa di Jakarta, Mataram, Maluku, Makasar dan bebreapa kota di Sumatra. Dengan segudang alasan yang tidak rasional, merka secara arogan melempari lawannya dengan batu, merusak kendaraan yang kebetulan parkir di dekat arena tawuran, merusak bahkan sampai memebakar kampus. Nampak jelas di-shoot oleh beberapa wartawan televise, para mahasiswa itu membawa senjata dari batu, kayu pemukul, ketapel, panah, pisau, golok atau bahkan samurai. Sepanjang sejarah, baru kali ini di instutusi pendidikan tinggi ada mahasiswa yang membawa benda tajam. Bukankah mereka seharusnya membawa pena, buku, kamus, alat praktikum ataupun laptop? Inilah yang saya maksud dengan kriminalis intelektual.

Mahasiswa adalah satu status yang disandang karena dia dianggap lebih banyak memahami ilmu ketimbang ia masih menjadi siswa. Mereka adalah sekolompok orang yang menggunakan akal sehatnya untuk memahami teori-teri ilmu pengetahuan guna memajukan masyarakatnya. Mereka seharusnya sadara bahwa merekalah calon pemimpin masa depan. Namun tegakah kita menyerahkan kepemimpinan bangsa ini kepada mereka yang suka bertengkar dengan sesame temannya sendiri, entah satu jurusan, entah satu kapmpus ataupun berbeda kampus? Namun saya yakin, masih banyak mahasiswa yang tekun belajr, berdiskusi, membaca buku, turun aksi menyuarakan aspirasi rakyat, terjun berbaur dengan kehidupan masyarakat. Merkalah yang sebenarnya intelektual yang oleh Gramsci disebut sebagi intelektual organik. Dan merka yang berhak meneruskan cita-cita bangsa ini. Wallahu a’lam.



Yang Awal dan Yang Akhir

Aku lahir karena cinta,
aku hidup karena cinta,
aku ingin mati karena cinta

Pernahakah sesekali kita menyempatkan diri untuk diam dan duduk merenung tentang diri kita? Sudahkah kita benar-benar mengenal diri kita? Bukan sebatas pada aku anak si anu, lahir di anu, tanggal sekian bulan sekian tahun sekian. Tidak juga sebatas aku ini punya neton ini, sifatnya begini dan hobinya ini itu. Bukan sebatas itu. Tetapi lebih fundamental dari itu, siapa kita? Dari mana kita? Dan hendak kemana kita?

Dalam filosofi jawa ada satu konsep yang selaras dengan ajaran Islam, yaitu sangkan paraning dhumadi, atau asal usul kejadian. Dalam konsep ini setidaknya ada beberapa hal yang harus dimengerti antara lain, asaling dhumadhi atau asal usul wujud, sangkaning dhumadhi atau dari mana datangnya dan bagaimana perkembangan wujud, tataraning dhumadhi atau martabat suatu wujud, dan paraning dumadhi atau cara atau arah perkembangan wujud.

Pertanyaan-pertanyaan diatas adalah pertanyaan fundamental bagi makhluk yang bernama manusia. Dalam filsafat eksistensialisme, seseorang akan menjadi manusia jika dia telah mempertanyakan dan menjawab persoaln-persoalan di atas. Mungkin ada yang mengatakan, ah, pertanyaan seperti itu sangat mudah jawabannya. Tapi ingat, setiap pilihan jawaban akan mempunyai satu konsekwensi logis. Atau mungkin ada yang belum sempat merenungkannya?

Baiklah pada awalnya kita bertanya dari mana asal wujud? Sebelumnya, yang dimaksud wujud di sini adalah sesuatu yang ada atau being, atau realitas. Sementara ketika kita berbicara realitas, tidaklah realitas itu terbatas pada sesuatu yang Nampak oleh indera alias konkrit, tetapi ada juga realitas yang abstrak. Sebagai contoh saja, kita mengenal apa yang dinamakan dengan grafitasi, namun apakah pernah kita melihat atau merabanya? Namun kita tetap yakin itu ada.
Wujud atau yang ada ini tentulah tidak ada dengan sendirinya, sebagaimana halnya kursi yang kita duduki atau pakaian yang kita pakai yang ada pembuatnya. Karena dalam akal kita tidak mungkin sesuatu itu ada tanpa ada yang membuat atau menciptanya. Dengan demikian yang mencipta itu juga Ada atau Wujud. Lalau sipa yang menciptakan Sang Pencipta? Tidak ada. karena Dia ada dengan sendiri-Nya. Bagaimana Dia ada dengan sendirinya? Karena Dialah Yang Awal, maka dari Dia “mucullah” segala sesuatu.

Jika manusia ada, hewan ada, alam ada dan Yang Pencipta ada, lalu apa bedanya diantara yang Pencipta (Khaliq) dengan yang dicipta (makhluk)? Bedanya adalah bahwa keber-ada-an manusia dan makhluk lainnya bergantung kepada keberadaan Sang Khaliq, sehingga dia disebut sebagai mumkinatul wujud atau wujud relatif/nisbi. Sementara kebera-ada-an Sang Khaliq adalah Mutlak, absolut sehingga Dia disebut sebagai Wujud Muthlaq atau Wajibul Wujud. Lalau bagaimana dengan keber-ada-an manusia?

Yang Pertama, manusia adalah makhluk. Sebagai makhluk, keber-ada-an manusia bergantung kepada keberadaan Wujud Muthlaq. Kedua, manusia, sebagaimana mkhluk lainnya, diciptakan oleh karena cinta Allah kepada diri-Nya. Dalam hadits qudsy yang sering disetir oleh Ibn ‘Arabi Allah berfirman: “Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, Aku ingin diketahui, maka Aku menciptakan makhluk. Dengan demikian, manusia dalam hidupnya haruslah mengenal penciptanya. Ketiga, sebelum kealam rahim dan alam dunia, ketika manusia masih di alam ruh, manusia telah melakukan perjanjian dengan Sang Pencipta bahwa dia bersakasi bahwa Allah, Wujud Yang Mutlak itu adalah Tuhan yang telah menciptakannya. Perjanjian itu sering disebut sebagai perjanjian primordial. Dengan demikian, manusia telah mengikatkan satu janji bahwa hanya kepada Pencipta-nyalah manusia akan beribadah. Keempat, manusia diciptakan dumuka bumi adalah untuk dijadikan sebagai khalifah Allah yang bertugas memakmurkan bumi. Di bumi atau di dunia inilah kemudian manusia berada pada tataran bagaimana wujud itu berproses.

Dalam diri manusia terdapat ruh Ilahiyah. Pertama karena Allah sendiri telah meniupkan ruh-Nya ke dalam diri manusia. Kedua, karena manusia telah mengikat janji primordial sebagaimana dijelaskan di atas. Namun setelah lahir ke dunia, ruh manusia terkungkung oleh jasad. Namun demikian, dalam diri manusia itu selalu ada hasrat untuk mencari yang Mutlak itu tadi, yang pada-Nya dia telah berjanji. Dalam menjalankan aktifitas kehidupannya, manusia sering lalai dengan dirinya dan amanah yang ia emban sebagai khalifah. Kelalain ini biasanya disebabkan oleh keengganan manusia untuk menge-tahu-i. dalam arti lain, manusia enggan untuk mencari tahu dan belajar tentang dirinya. Akhirnya dia berjalan laksana robot tanpa jiwa.

Hendaknya manusia senantiasa ingat bahwa dia adalah makhluk. Sebagai makhluk manusia mempunyai hubungan vertikal dengan Khaliqnya yang terejawantahkan dalam ibadah. Sebagai makhluk, manusia juga mempunyai hubungan horizontal dengan sesama makhluk. Prinsip yang digunakankan adalah baik manusia maupun makhluk lainnya hanya tunduk kepada Allah dan kepada hukum Allah atau sunnatullah, dan manusia adalah khalfiah Allah yang bertanggungjawb memakmurkan bumi. Dengan demikian hubungan dia dengan makhluk lainnya adalah pemanfaatan dengan tetap menjaga kelestarian dalam keharmonisan. Sebagai khalifah atau mandataris Allah di muka bumi, maka manusia harus menjalankan titah tersebut sesuai dengan kehendak Allah sebagaimana dijelaskan dalam kitab-Nya dengantidak memebuat kerusakan (fasad). Sedangkan sesama manusia adalah berada pada prinsip bahwa yang palingmulia di sisi Allah adalah orang yang paling tinggi tingkat kualitas dirirnya (takwa). Dengan demikian, manusia tidak berhak untuk melakukan penindasan kepada manusia lainnya. Karena yang berhak demikian hanyalah Allah SWT.

Saat berproses sebagai manusia, janganlah sampai lupa pada asal mula kita, dan jangn pula kita tidak mengetahui tujuan kita. Jika kita berawal dari ADA Mutlak, di mana keberadaan segala sesuatu diliputi olehnya, lalu adakah tempat kembali selain kepada yang Mutlak dan Meliputi tersebut? Dengan demikian, kita juga akan menuju ke sana, kepada Yang Mutlak yang meliputi segala sesuatu.

Syekh Al-Isyraqi Suhrawardi menggambarkan bahwa Allah adalah Nur ala nur atau nur al-anwar. Dia adalah Cahaya di atas cahaya. Dia adalah sumber cahaya yang kemudian menerangi semesta. Semakan suatu entitas dekat dengan sumber cahaya, semakin tinggi intensitas cahaya yang berada padanya. Semakin terang pula dirinya. Sebaliknya, semakin jauh satu entitas dari sumber cahaya, maka semakin reduplah sinarnya, atau bahkan gelap sama sekali. Kegelapan adalah lawan dari cahaya. Kegelapan dalam bahasa Al-Quran disebut sebagai dzulm. Kata ini kemudian menjadi kata dzalim atau aniaya. Dengan demikian, perbuatan yang aniayalah yang menghalangi kita dari menuju Sumber Cahaya atu Wujud Mutlak tersebut. Mari kita berlingdung kepada-Nya dari perbuatan aniaya, agar kita sampai pada Dia Yang Awal dan Yang Akhir.

Rabu, November 12, 2008

Arus Balik


Nusantara atau yang sekarang disebut sebagai Indonesia pada mulanya adalah negeri maritim. Secara geografis sangat jelas sekali. Negeri ini terdiri dari beribu pulau, yang mana tiap pulau dibatasi oleh lautan. Dengn adanya beribu pulau itu menunjukan luasnya lautan kita. Dengan demikian tidak sedikit dari masyarakat negeri ini bergantung pada laut.

Fakta yang kedua adalah fakta historis, bahwa Majapahit, yang konon merupakan cikal bakal Indonesia ini adalah kerajaan maritim. Majapahit tidak mungkin mampu menyatukan Nusantara yang terbentang di seantro lautan tanpa adanya armada laut yang kuat. Begitu juga dia mampu menjalankan misi diplomasi perdamainnya ke kerajaan-kerajaan sebrang. Kapal-kapal besar dibuat pada masa kejayaan Majapahit, konon oleh orang yang bernama Empu Nala. Armada Majapahit singgah di negeri-negeri utara dalam misi diplomasinya. Sejak saat itu, negeri-negeri yang diungkapkan oleh Pramoedya Ananta Toer, sebagai negeri atas angin, telah dijelajahi oleh Armda pasukan Majapahit yang datang untuk melakukan aktifitas perekonomian melalui jalur laut. Dan karena kuatnya armada laut Majapahit, lautanpun aman dan perompak atau bajak laut.

Namun ketika majapahit runtuh, tidak ada kerajaan yang mampu untuk menggantikan posisinya, menyamai besarnya armada lautnya. Tidak Tuban, tidak Pasai, tidak juga demak. Dengan lemahnya kekuatan laut nusantara, maka masuklah Portugus untuk mencari rempah-rempah yang dijual di negera-negara Eropa. Portugis masuk tidak sebagaimana negara-negra yang hendak berdagang, melainkan dengan senjata dan pasukan perang yang dilengkapi dengan peralatan yang lebih modern. Sementara kerajaan-kerajaan Nusantara mulai melemah, hancur menjadi kerajaan kecil-kecil yang saling bertikai antara satu sama lainnya, sehingga ketika Portugis masuk, mereka tak mampu melawannya. Pelawanan yang besar pernah dilakukan oleh Adipati Unus. Dia menyerbu Malaka yang dijadikan pangkalan oleh Portugis. Namun karena pengkhianatan Tuban, dan lengahnya sebagian dari pasukanya sendiri, pasukan gabungan yang dipimpin oleh Adipati Unus mengalami kekalahan, tidak kuasa menahan gempuran meriam Portugis. Namun dia diakui orang yang telah berani melawan Portugis dan berlayar dengan armada yang besar ke arah utara, Malaka. Oleh sebab itu dia digelari Pangeran Sabrang Lor.

Pasca penyerangan Unus, tidak adalagi pasukan besar yang menggempur Portugis, akhirnya Portugis menguasai lautan, menguasai daerah-daerah rempah. Karena siapa saja yang menguasai lautan, maka dia menguasai urat nadi kehidupan. Portugis menjadi lelanange jagad. Dan sejak saat itu, negara atas angin tidak lagi melakukan aktfitsnya di Nusantara. Kapal-kapal dari Nusantara pun tidak ada yang berani dan mampu berlayar ke arah utara, justru dari utara sekarang yang ke selatan. Terjadi arus balik.

Peristiwa tersebut digambarkan secara gambalng oleh Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya Arus Balik. Novel ini mencerirtakan tentang masa-masa akhir kejayaan Nusantara sebagai negeri maritim, yang kemudian runtuh dan tenggelam dan tidak bangkit lagi, sampai kini, sampai sekarang. Laut kita yang luas itu tidak pernah diimbangi dengan perhatian yang luas juga oleh para pemegang kekuasaan. Sehingga laut kita seakan menjadi laut tanpa tuan.

Penyelundupan kayu besar-besaran, jual beli anak dan wanita, imigran gelap, narkotika dan obat-batan terlarang begitu bebasnya keluar masuk ke negeri ini melalui lautan. Ikan-ikan kita dicuri oleh negeri tetangga yang memiliki peralatan yang lebih canggih, sementara nelayan kita sejak jaman Majapahit hingga sekarang masih menggunakan perahu tradisional buatan sendiri. Di laut kita kalah. Di darat kita keok, di uadara kita lemah. Masihkah kita bangga mengaku sebagai pewaris kebesaran Majapahit. Dan kita masih sibuk rebutan kue kekuasaan bertengkar sesame saudara. Saling intip, saling curiga, saling sikut, saling tidak percaya. Dan selalu yang jadi korban adalah wong cilik yang sebenarnya hanya mencari hidup sederhana saja, itupun tidak pernah diperoleh. Agenda-agenda politik, baik lokal mapun nasional tidak pernah menjadikan rakyat sebagai agenda prioritas bagi para pemegang kekuasaan, kecuali jika dia sedang membutuhkan dukungan. Apakah ini memang satu takdir negeri ini sejak dulu kala. Pertentangan, perselisihan, perebutan kekuasaan. Adakah mereka tidak belajar dari sejarah? Ah… Indonesia ku.

Kamis, November 06, 2008

Aku Tak Mau Seperti Keledai

pasca aku meninggalkan kampus
aku masih bergelut gengan buku,
meski tidak lagi berkecimpung dalam dunia akademik
namun kali inibeda,
pergelutanku dalam dunia buku adalah sebagai penjaja buku
berpindah dari satu tempat ke tempat lain,
dari pameran ke pameran lain, dari satu kota ke kota lain
kesibukkan ku dengan urusan jual beli,
tak jarang melupakan aku dari baca buku itu
aku tak mau seperti khimar atau keledai
yang memebawa bertumpuk-tumpuk buku di punggungnya
sementara dia tidak pernah memebaca
dan tidak pernah tahu kandungan dari yang ia bawa
keledai membawa salah satu sumber ilmu, namun dia tetap dungu
bahkan suara keledai disinyalir sebagai seburuk-buruk suara
itu tak lain karena keledai hanya mnementingkan diri sendiri
dantidalkalah ada yang mementingkan diri sendiri
kecuali dia adalah makhluk yang bodoh, dungu,
tidak berfikir dan tidak pernah memebaca
maka itu, aku tak mau seperti keledai
karena aku adalah manusia.

Minggu, November 02, 2008

Ponorogo

Baru beberapa hari saya di Ponorogo. lelah memeang. menjaga stand selama berhari-hari dan harus tiap malang menyetingnya. tapi itulah hidup
ada hal yang menarik saat tiba di sini. bari kali itu aku menyaksikan pertunjukkan Reog ponorogo. selama ini aku hanya mendengarnya atau hanya melihat di televisi. reog. memang asli Ponorogo.

Reog adalah kekayaan tradisi Indonesia, dan itu baru stu dari seabrek keanekaragaman budaya kita. dan saya kira itu baru salah satu tradisi di ponorogo ini. itu baru ponorogo, belum Jawa Timur. bayangkan seandainya dalam satu kabupaten ada minimal tiga seni tradisional, berapa dalam satu propinsi, dan berapa dalam satu kesantuan nusantara ini. betapa kaya seklai negeri ini. seabrek..breeeekk. 
dan kita tidak perlu pamer dengan kekeayaan kita. karena kita adalah bangsa yang besar dan kaya sejak dari sononya. dan bangsa kaya tidak mungkin mengambil milik orang lain, karena kita setidaknya tidak  berjiwa miskin. Hanya orang miskin aja yang mengambil milik orang. biarlah reog diaku bangsa lain, toh hanya diaku. pada dasar tetap milik kita.