SCRIPTA MANENT VERBA VOLANT

(yang tertulis akan tetap mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin)

Rabu, Juni 27, 2012

Jangan Berteriak...!!!

“Diaaaaaaaaaaaaaam! Jangan terraik-teriak”, teriaku.
Kelas itu tiba-tiba hening, sehingga suara seorang anak yang berbicara langsung terdengar jelas.
“Tuh, mr. yang teriak”, kata Figo, anak yang aku teriaki untuk tidak berteriak.

Peristiwa itu terjadi saat pelajaran berlangsung setelah istirahat makan siang dan salat zuhur. AC yang tidak bekerja dengan baik menyebabkan ruangan kelas terasa panas. Di luar matahari baru sedikit bergeser dari atas kepala. Dalam suasana panas itu pembelajaran yang harus berlang dengan metode perorangan membuat suasana kurang kondusif. Anak-anak yang telah selesai dengan tugasnya membuat aktivitas sendiri. Kondisi itu tentu saja membuat konsentrasi saya terpecah. Ditambah lagi beberapa siswa kelas 2A tersebut memang mempunyai kebiasaan berteriak saat memanggil temannya atau saat merasa terganggu oleh teman-temannya. Saat itulah saya juga berteriak meminta mereka untuk diam sebagaimana di atas.

Ada dua hal yang ingin saya tulis di sini, yaitu tentang egosentris dan imitatif

1. Ego
Masa-masa keemesan (golden age) seorang anak sangat mudah menyerap informasi yang datang dari luar dirinya. pada golden age ini (0-8 tahun), menurut Frued, kontrol anak masih pada ego mereka. Artinya, anak masih menginginkan bahwa segala sesuatunya mesti berpusat kepada dia. Untuk itu, apa pun akan ia lakukan untuk menarik perhatian orang-orang di sekitar mereka. Saat anak-anak ini berbicara dengan teman sebaya mereka, bisa dipastikan tak akan ada yang mau mengalah. Masing-masing ingin pendapatnya didengar. Itulah buktinya.

Keinginan seorang anak agar dirinya menjadi pusat perhatian adalah sesuatu yang alamiah. Namun demikian hal tersebut bisa menjadi bumerang bagi perkembangan anak jika orang tua tidak memahaminya. Yang pertama: orang tua melakukan hal yang dianggap baik untuk anak dengan sangat ketat membatasi keinginan anak. Padahal hal tersebut justru menghambat perkembangan anak, karena rasa ingn tahu mereka harus tersumbat.

Kedua: orang tua sangat memanjakan anak, sehingga anak semakin bossy. Hal ini akan diperparah jika orang tua salah memilih pengasuh anak. Karena anak akan semakin bossy. Ini yang biasanya menumbuhkan sikap ingin menang sendiri, berteriak-teriak jika mempunyai keinginan.


2. imitatif
Saya ingin mengutip pepatah lawas “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Mungkin itu untuk menggambarkan peristiwa di awal tulisan ini. Memang saat itu siswalah yang berteriak terlebih dahulu, saya hanya akan menenagkan. Namun ketika anak berteraik dan kita juga berteriak, maka yang muncul adalah anak mendapatkan pembenaran terhadap apa yang ia lakukan. Itu dibuktikan oleh perilaku yang sama yang dilakukan oleh guru.


Dari persitiwa siang itu dan juga potongan dari film Nanny mcPhee di mana seorang ibu berkata pada anaknya untuk tidak berteriak dengan si ibu sendiri yang berteriak, saya mulai berpikir untuk mencari metode lain. Saya tidak langsung “menangani” anak tersebut, tetapi partnernya lah yang saya tangani terlebih dahulu, karena ia lebih mudah dikontrol. 


Cara yang lain adalah dengan bermain freezer, menjadi patung dan bertanya “suara siapa yang terakhir?”. Ternyata cara itu cukup efektif. Memang kadang siswa itu masih berteriak, namun karena tidak mendapatkan respon dari temannya yang lain, teriakannya menjadi berkurang. Bahkan kadang teman kelasnya yang mengingatkan agar dia tidak berteriak dan mengganngu temannya. Yang membuat saya lebih takjub, anak kelas dua itu membuat kesepakatan: bagi orang yang berteriak dan mengganggu orang lain akan berdiri di depan kelas sampai matapelajaran saat itu selesai.
Memang, mendidik memerlukan sebuah kesabaran.

0 komentar:

Posting Komentar