SCRIPTA MANENT VERBA VOLANT

(yang tertulis akan tetap mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin)

Minggu, April 05, 2009

Teather Demokrasi

Dimuat di Majalah Isra PUSHAM UII Edisi Maret Maret 2009

Pemilihan umum (Pemilu) legislatif tinggal menunggu hitungan hari lagi. Satu moment besar tersebut akan di gelar pada tanggal 9 April 2009. Meski demikian, sudah sejak jauh hari masyarakat telah dicokki dengan kampanye para calon, baik legis latif maupun eksekutif, sejak 8 bulan yang lalu. Hal ini karena peraturan terbaru yang memperbolehkan para peserta pemilu untuk mengkampanyekan dirinya 9 bulan sebelum masa pemilihan. Para partisipan tentu saja tidak ingin kehilangan momentum ini. Garis star pun dibuat, kampanye dimulai.

Kampanya pada dasarnya adalah satu kegiatan para peserta pemilihan, yaitu calon legislatif maupun eksekutif, untuk mengenalkan dirinya, termasuk visi dan misinya, kepada para calon pemilih. Hal ini dilakukan agar mereka mendapatkan suara terbanyak yang dan meloloskan mereka ke tampuk kekuasaan. Dalam mengenalkan dirinya, para kontestan ini pun kemudian berlomba-lomba agar mereka mendapatkan simpati dari para calon pemilih. Berbagai macam cara dilakukan. Kunjungn atau silaturrahmi ke tokoh-tokoh masyarakat, kunjungan ke para konstituen di daerah-daerah, mengadakan pengobatan gratis, pengajian masal, bazar sembako, memasang foto dipinggir-pinggir jalan, di media masa cetak maupun elektronik.

Teror wajah
Pasca reformasi, bangsa Indonesia seakann larut dalam ephuria kebebasan, termasuk juga dalam bidang politik. Hal ini Nampak dari banyaknya partai kontestan pada saat setiap Pemilu. Pada pemilu 2009 ini sebagany 44 partai dinyatakan lolos verivikasi dan berhak untuk mengikuti pesta demokrasi ini. Dengan demikian, atribut partai yang terpajang di pinggir jalan pun sama banyaknya dengan partai yang ada. Bisa dibayangkan, jika satu partai membuat dan memasang 5.000 atribut partai (bendera, spanduk, poster) di suatu daerah atau kota tertentu, berapa banyak atribut partai yang terpajang di suatu daerah atau kota. Belum lagi jika masing-masing partai setidaknya mempunyai 3 orang calon anggota legislative yang masing-masing membuat 5.000 gambar dirinya, berapa banyak atribut yang memenuhi tata ruang lingkunagn kita?

Ruang-ruang dalam tata kota/daerah negeri ini telah penuh sesak oleh simbol-simbol partai, atribut-atribut partai dan wajah-wajah para calon anggota legislatif-eksekutif. Kemanapun orang pergi dan berpaling, dia akan menemui hal-hal yang sama, atribut partai, wajah para kontestan pemilu. Jika diamati dari gambar wajah-wajah para calon anggota legislative yang terpampang di sepanjang jalan raya hingga ke lorong-lorong gang sempit dan pelosok desa-desa, pastilah akan ditemukan satu kesamaan. Semuanya menampakkan wajah yang sumringah, semangat, mempesona dan berwibawa. Gambar-gambar itu seakan mengatakan “inilah saya, calon anggota legislatif yang layak untuk dipilih”.

Kesamaan yang lain adalah, poster-poster tersebut hanya menampakkan dua hal, wajah dan nomor. Gambar-gambar tersebut tidak pernah ada yang menampkkan vifi dan misi para calon legislative. Gambar-gambar inilah yang sekian bulan mengisi ruang publik (public sphere) negeri ini. Masyarakat berbulan-bulan disuguhi oleh atribut partai teror wajah-wajah calon yang konon mewakili mereka.

Politik Imagologi

Seiring perkembangan teknologi informasi yang didikung oleh iklim kebebasan berekspresi, kampanye para partai politik dan para calon legislatif dan eksekutif kontestan Pemilu 2009 tidak sebatas menggunakan media poster yang dipajang di pinggir jalan dan juga di media cetak, tetapi juga merambah pada dunia digital virtual. Kampanye partai-partai politik pun mulai menggunakan media elektronik, baik audio, visual maupun audio-visual. Namun yang kedua inilah yang nampaknya dilihat mempunyai ekses yang lebih banyak sehingga dia lebih banyak pula dipilih.

Efektitifitas iklan sebagai media kampanye untuk meraih simpati para pemilih memang masih menjadi perdebatan dikalangan analisis media dan juga politik. Namun, dengan melihat realitas bahwa media elektronik (khususnya televisi) telah begitu mereaja lela hingga masuk pada ruang-ruang privat, baik di kalangan masyarakat urban maupun pedesaan, menunjukkan peluang besar untuk menarik simpati pemilih dan mendulang suara yang banyak. Partai politik melihat peluang ini dan kemudian menyambutnya. Biaya besar pun digelontorkan untuk memproduksi iklan yang menarik. Semakin besar uang digelontorkan, semakin sering partai politik kontestan pemilu tampil ditelevisi yang disaksikan oleh masyarakat negeri ini dari Merauke hingga Sabang. Iklan kampanye partai politik kemudian tidak ubahnya seperti iklan produk komersial.

Dunia politik, ketika dia telah bersinggungan dengan dunia Iklan maka sebenarnya dia telah masuk kepada dunia, yang oleh Yasraf Amir Piliang sebagai politik imagologi atau politik citra, yaitu penggunaan berbagai citra sebagai bagian dari aktivitas atau strategi politik, atau dalam pengertian lain mempolitisasi citra untuk satu kepentingan tertentu (Yasraf; 205). Kepentingan di sini adalah untuk memperoleh suara terbanyak sehingga dia bisa menjadi legislatif ataupun eksekutif. Dengan demikian politik pun mengikuti prinsip-prinsip dalam iklan yang bekerja untuk popularitas.

Dalam dunia informasi, iklan merupakan media untuk memasarkan produk kepada masyarakat umum. Dalam penyampaian tawaran melalui iklan, produsen menghadirkan produknya dengan prinsip, yang dihadirkan adalah keunggulan-keunggulan produk tersebut dan menyembunyikan keburuakan-keburukan. Dengan demikian sifat iklan adalah menunjukkan sekaligus menyembunyikan. Iklan adalah sesuatu yang ilusif dan manipiulatif. Sebagai contoh adalah group band yang mengiklankan salah satu produk rokok, namun sebenarnya mereka sendiri tidak merokok. Politik dalam bingkai citra iklan berarti dia menampakkan satu sisi ilusif dan manipultaif. Dia hanya menampakkan citra kebaikan, bukan kebaikan itu sendiri.

Teater Demokrasi
Salah satu aspek dari iklan adalah sifatnya yang persuasif. Keberhasilan iklan adalah sangat ditentukan dari kemampuan setiap orang untuk menjadi subjek, yaitu orang yang merasa bagian dari ide-ide yang ditawarkan oleh sebuah porduk. Iklan rokok berusaha menjadikan seseorang manjadi bagian dari dirinya yang jantan, pemberani. Iklan produk whitening menjadikan kaum wanita sebagai sasaran pemasaran produk, sehingga mereka dijadikan seolah-olah menjadi subjek dari produk tersebut yang merasa diri berkulit putih, langsing, bersinar. Iklan memanggil subjeknya secara simpatik. Pada kontek politik, hal ini sangat ditentukan oleh pihak mana yang membuat iklan. Apabila pembuat iklan adalah partai politik penguasa, maka yang ditampakkan adalah keberhasilan-keberhasilan yang telah dicapai pada masa pemerintahaannya, meskipun berhasilan-keberhasilan tersebut adalah keberhasilan semu. Dalam hal ini iklan politik atau kampanye, menggambarkan wajah-wajah yang cerah, ceria, dan penuh senyum dengan segala kemudahan hidup yang diperolah berkat kepemimpinan partai pemerintah. Ujung dari iklan ini dapat dipastikan, pemerintah saat ini telah berhasil, maka dia harus diteruskan.

Berbeda dengan partai politik yang berkuasa, partai politik oposan akan memberikan gambaran-gambaran yang menjunjukkan kehidupan rakyat yang sengsara oleh karena kegagalan pemerintahan saat ini. Dalam iklan kampanyenya, bisa dipastikan, partai politik ini membeberkan kesalahan, kejelekan dan kegagalan partai politik penguasa dengan menampilkan wajah-wajah yang memelas, penuh beban dan derita. Citra yang ditampilkan adalah bahwa “pemerintah saat ini telah gagal, jangan pilih mereka. Pilihlah kami, karena kami adalah orang-orang yang memperjuangkan kepentingan rakyat”. Akhirnya selalu sama dengan iklan produk kecap, “kamilah kecap nomor satu”.

Hal tersebut di atas bisa terjadi karena iklan adalah satu penampilan yang diproduksi dengan skenario tertentu. Scenario tersebut ditentukan oleh pemesan. Partai politik tersebutlah yang mempunyai cerita. Iklan politik in sebenarnya hanyalah bagian dari scenario yang diproduksi oleh politisi. Dia hanya berada pada satu sudut panggung pementasan besar yang bertajuk peseta demokrasi. Selayaknya teater, setiap orang yang di atas panggung memerankan bagiannya masing-masing. Untuk mendukung perannya, para pemain harus di-make up dan menyembunyikan keasliannya. Kata-katanya diatur sedemikian rupa. Tema-tema yang diusung teater-teater ini antara lain kemiskinan, pengangguran, korupsi.

Dalam dunia para pemain teater, kehidupan mereka dibagi menjadi dua, yaitu di panggung dan di luar panggung. Kehidupan di luara panggung akan sangat berbeda dengan kehidupan di panggung. Dengan demikan teater ini hanyalah kamuflase, ilusi dan kebohongan. Di panggung, para politisi menjukkan diri bahwa mereka adalah para pahlawan pembela rakyat, yag mampu mengentaskan rakyat dari kesengsaraan hidup. Namun pada kenyataannya, mereka pula yang menyebabkan kesengsaraan tersebut. Dalam kampanyenya, para politisi berjanji merubah kemiskinan menjadi kemakmuran. Dia menawarkan mimpi-mimpi kepada masyarakat, tentang kesejahteraan, pengobatan gratis, pendidikan gratis, namun setelah terpilih mereka lupa dengan janji-janji tersebut.

Di mana wong cilik dalam pentas teater demokrasi tersebut? Mereka terbagi dua, ada yang ditarik ke panggung lalu dirias sedimkian rupa sehingga Nampak bahwa meraka benar-benar miskin, kemudian mereka dijadikan sebagai komoditi pilitiknya. Yang lainnya di luar panggung, menjadi penonton. Namun keduanya sama, yaitu sebagai objek. Hal ini terbukti bahwa wong cilik tidak pernah benar-benar menjadi agenda dalam setiap tindakan para politisi, kecuali saat para politisi tersebut membutuhkan wong cilik untuk mendulang perolahan suara. Di luar tersebut, tindakan para politisi tidak didasarkan pertimbangan nasib wong cilik, tetapi atas pertimbangan pasar atau kapital. Kebijakan-kebijakan yang diambil sejauh mana mereka memperoleh untung, tidak peduli rakyat yang buntung. Menaik-turunkan harga bukan atas pertimbangan kepenitngan wong cilik, tetapi atas kepentingan pasar dan, sekali lagi, citra. Alih-alih melaksanakan dan memenuhi janji-janjinya, mereka malah memperkaya dirinya. Hal ini tidak terlepas dari pencitraan mereka melalu iklan dan cost pencaonan yang telah memakan biaya banyak

Saat ini wong cilik hanya menjadi komoditas. Tidak ada yang benar-benar memperjuangkannya. Kalau saat ini partai oposisi menganggap diri sebagai partai yang peduli terhadap wong cilik, namun saat mereka berkuasa mereka juga melupakan wong cilik. Mereka hidup dalam kondisi yang serba sederhana, berkekurangan, terpinggirkan, terabaikan. Sangat kontras dengan sekelompok orang tertentu yang jumlahnya sangat terbatas yang menikmati kehidupan serba ada, mewah, dan berlebihan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini. Ironisnya, mereka inilah yang katanya memperjuangkan nasib wong cilik. Wong cilik selalu menjadi korban.

Peran Partai Islam
Sengaja, penulis hanya berbicara sedikit tentang partai Islam di sini, karena ternyata partai Islam tidak berbeda dengan partai-partai lainnya. Ada 8 partai Islam, baik yang secara eksplisit dia menggunakan dasar Islam maupun partai berbasis masa Islam, yang turut dalam Pemilu kali ini. Namun, jika berkaca dari sejarah, partai Islam kurung memiliki peran yang signifikan. Hal ini tampak dari perolahan suara parta-partai Islam. Dari delapan partai tersebut, dua partai (PMB dan PKNU), merupakan partai baru yang merupakan perpecahan dari partai sebelumnya. Sementara perpecahan di tubuh PKB sendiri sampai saat ini tidak mencapai titik temu. Hal ini menunjukkan bahwa partai-partai Islam telah terjerumus juga pada pragmatisme politik yang berorientasi pada kekuasaan semata. Fakta lain adalah, beberapa politisi yang tertangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan para politisi dari parta Islam.

Hal lain yang menjadikan partai Islam kurang dilirik oleh masyarakat Indinesia yang mayoritas muslim adalah karena elitisme partai Islam. Sebagaimana partai lain, komitmen partai Islam kepada wong cilik juga rendah. Partai-partai Islam juga hanya menjual janji-janji pepesan kosong yang kadang dibumbui oleh jargon-jargon agama.

Saat ini rakyat tidak lagi membutuhkan janji-janji pepesan kosong, tetapi langkah kongkrit dari para politisi tersebut dalam menyelesaikan problem kebangsaan ini. Rakyat tidak lagi butuh jargon-jargon agama, tetapi yang mereka butuhkan adalah pekerjaan, harga sembako yang terjangkau, sehingga mereka bisa makan dan beribadah. Bukankah kemiskinan mendekatkan pada kekufuran? Rakyat tidak lagi butuh tontonan teater dengan tema dan para pemain yang tidak pernah itu-itu saja, berganti. Yang mereka butuhkan adalah kedaulatan, di mana rakyat berperan sekaligus menjadi pertimbangan dalam setiap pengambilan kebijakan dan perubahan sosial. Komitmen partai politiklah saat ini yang dubutuhkan. Bukan lagi janji. Untuk kontrak politik antara pemilih dan yang dipilih dibutuhkan.

Dalam era pemilihan langsung ini, masyarakat haruslah cerdas dalam memilih. Jangan sampai masyarakat hanya terjebak pada jargon-jargon agama atau primordialisme. Ketika Ibrahim AS dijanjikan oleh Allah sebagai pemimipin (imam), Ibrahim bertanya, “bagaimana dengan keturunanku?” Allah menjawab, “orang-orang yang dzalim tidak layak menjadi pemimpin (meskipun itu keturunan nabi)”. Yang layak dipilih adalah orang-orang yang mempunyai integritas kepribadian. (keimanan, intelektualitas dan akhlakul karimah), bukan karena kekayaan, ketampanan atau keturunan.

Masyarakat yang sudah dewasa dan cerdas, tentu akan merasa bosan jika hanya disodori dengan pentas teater, skenario dan pemain yang sama. Jika tidak mau berbenah, maka para politisi harus siap ditinggalakn oleh para pemilih.

0 komentar:

Posting Komentar