SCRIPTA MANENT VERBA VOLANT

(yang tertulis akan tetap mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin)

Jumat, Desember 26, 2008

Hijrah Dan Pembentukan Masyarakat Madani

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Anfal: 72)

Penetapan awal dalam penanggalan Islam berbeda dengan penetapan kalender masehi yang dimulai dan diambil dari hari kelahiran Al-Masih. Dalam khazanah Islam, penetapan awal tahun penanggalan adalah diambil dari peristiwa hijrah, yaitu pindahnya nabi dan umat Islam dari kota Mekah menuju Madinah yang saat itu masih bernama Yatsrib. Kita tidak bisa melupakan peran Umar bin Khatab dalam penyusunan kalender Islam ini. Mengapa harus hijrah nabi, bukan kelahiran beliau? Hal ini dikarenakan hijrah merupakan suatu momentum yang penting dalam sejarah perkembangan Islam.

Peristiwa hijrah terjadi pada tahun ke tiga belas kenabian Muhammad SAW, dan ini merupakan hijrah untuk ke sekian kali, setelah nabi mengalami kegagalan dalam hijrah-hijrah sebelumnya. Peristiwa ini sangat penting karena bisa dikatakan bahwa sajak peristiwa hijrah inilah masyarakat Islam mulai terbentuk, suatu tatanan masyarakat yang egaliter, saling menghormati dan menghargai di mana nilai-nilai keadilan ditegakkan. Masyarakat Madinah ini yang kini sering menjadi citra masyarakat ideal, masyarakat madani. Di sini kita tidak akan berbicara hijrah hanya sebagai fakta mati, tetapi kita untuk mencoba melihat metodologi Nabi Muhammad SAW dalam membangun masyarakat tersebut.

Dalam catatan sejarah kita ketahui bahwa hal yang pertama kali dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabat ketika sampai di Madinah adalah mendirikan masjid. Pada masa nabi, masjid memegang peran penting. Masjid adalah tempat ibadah, di mana umat Islam melakukan ritual peribadatan kepada Allah. Masjid juga merupakan tempat mempelajari Islam dari nabi Muhammad SAW, penanaman akidah dan candradimuka bagi generasi-generasi Islam awal.

Selain itu, masjid juga merupakan ruang publik bagi semua golongan, baik Anshor maupun Muhajirin. Tidak ada dominasi satu kabilah atau golongan di dalam masjid tersebut, semua berhak untuk melakukan aktifitas dan berpendapat. Di masjid pula tempat Nabi dan para sahabat bermusyawarah membahas permasalahan agama, masyarakat sampai pada strategi peperangan. Dengan membangun masjid, sebenarnya rasulullah SAW telah membangun akidah umat, cara pandang tauhid yang merupakan fondasi dari masyarakat Islam.

Hal yang penting dari funsi masjid sebagai malis ilmu adalah pembangunana paradigma. Pasca hijarahnya umat muslim ke Madinah, Nabi Muhammad SAW melakukan satu perubahan paradigma (paradigm change). Sebelum kedatangan Islam, masyarakat Arab, demikian juga madinah atau Yatsrib kala itu, merupakan penganut politeisme, penyembahan berhala dan ruh nenek moyang. Pandnagan tersebut kemudian berubah menjadi pandangan dan keyakian tiada tuhan selain Alah. Semua berawal dari pandangan dunia (worl view) tauhid.hal ini kemudian akan berdampak pada pola hubungan horizontal, bahwa semua manusia di depan tuhanadalah sama. Dengan demikian erciptalah persaudaran atas dasar kesamaan (egaliterian).

Hal kedua yang dilakukan Nabi adalah mempersaudarakan kaum muhajirin (orang-orang yang hijrah bersama nabi) dan kaum Anshor (masyarakat Madinah yang menolong dan menyambut Nabi), sebagaimana digambarkan dalam ayat pada awal tulisan ini. Sebelumnya, di Madinah sendiri terjadi pertengkaran yang berkepanjangan antara kaum Aus dan Khajraj. Mereka baru berdamai setelah kedatangan nabi ke Madinah.

Jika ditarik lebih jauh lagi ke pada kehidupan masyarakat Arab waktu itu, sukuisme, atau klan menempati tempat yang sentral dalam pola hubungan sosiologis. Hubungan sosial sangat ditentukan oleh kesukuan. Orang sangat bangga dengan sukunya dan rela berperang dan mati demi menjaga martabat sukunya.hal demikian tidak berlaku pasca kedatangan Islam, khususnya pasca hijrah.

Persaudaran yang dibangun bukanlah persaudaran semu, tetapi atas dasar takwa, kasih sayang dan kepedulian. Hal ini dapat dilihat bagaimana mereka melaksanakan anjuran nabi bahwa kaum Anshor harus membagikan apa yang mereka miliki kepada kaum muhajirin yang memang tidak membawa harta bendanya ketika keluar kota Mekah. Bagi mereka yang mempunyai bakat di pertanian maka diberilah ia lahan pertanian. Bagi yang pedagang dia akan mendapatkan modal. Di sinilah kemudian muncul pembangunan ekonomi kolektif.

Selanjutanya yang dilakukan nabi adalah membangun komitmen bersama dengan ahlu kitab, Yahudi dan Nasrani, yaitu komitmen bersama untuk saling menghormati, tidak saling mengganggu dan menjaga keamanan bersama. Komitmen bersama ini kemudian yang dikenal dengan Piagam Madinah. Piagam ini bisa dikatakan konstitusi pertama yang ditetapkan atas dasar konsesus bersama antara beberapa pihak, sehingga semuanya menjunjung konsesus tersebut.piagam ini juga disinyalir sebagai dokum pertamatentang Hak Asasi Manusia. (HAM).
Pada perkembangan selanjutnya, masyarakat muslim awal ini adalah satu prototipe masyarakat Islam yang oleh Nuerchalis Madjid disebut sebagai Masyarakat Madani atau masyarakat kosmopolitan.

Menghijrahkan Indonesia
Jika kita merefleksikan diri dari perjalanan hijrah Nabi Muhammad SAW yang kemudian sampai terbentuknya masyarakat yang beradab, perlu kiranya kita untuk menghijrahkan Indonesia yang berarti menghijrahkan diri kita sebagai bangsa.. Apakah selama ini kita benar-benar mempunyai niatan untuk memperbaiki bangsa ini? Jika memang benar, perlu kiranya kita mengkoreksi diri kita. Sudahkah kita membangun cara pandang, mental dan kepribadian bangsa ini?

Masjid, yang merupakan candradimuka bagi generasi muslim kini justru menjadi tempat yang sepi dari pengunjung dan banyak dijauhi, kecuali pada hari raya. Masjid sebagai tempat pengkajian ilmu sudah sangat jarang kita temukan. Sebagai tempat yang terbuka untuk umum juga semakin sulit, karena masjid hanya dikuasi oleh satu golongan saja, lebih parah lagi untuk kepentingan politik.

Sementara sekolah (pendidikan) yang berfungsi sebagai tempat pembentukan karakter, menempa kemampuan intlektual dan mental hanya bisa diakses oleh orang berpunya saja. Meminjam bahasa Eko Prasetyo, orang miskin dilarang sekolah, sama artinya orang miskin dilarang untuk pintar, dilarang untuk mandiri, dilarang untuk memperbaiki kehidupannya, atau bahkan dilarang utuk hidup.

Setelah tidak bisa mengakses pendidikan, orang miskin dipersalahkan terkait kemajuan bangsa, bahkan mereka dianggap penyakit masyarakat yang harus disingkirkan. Tak heran jika kemudian banyak penggusuran.

Jika kita cermati bersama, yang menjadi penyakit sosial sebenarnya bukanlah kemiskinan, tetapi ketidakpedulian. Mereka memang miskin, tetapi sipa peduli dengan mereka? Siapa yang mau berkenan memberikan lapangan pekerjaan atau membagikan hartanya seperti yang dilakukan oleh kaum Anshor kepada kaum Muhajirin? Berapa banyak orang kaya di negeri ini, yang mengambil keuntungan dari naiknya harga barang, sementara miskin terengah-engah untuk hidup. Negara yang seharusnya bertanggungjawab terhadap nasib mereka justru tidak pernah memasukan mereka dalam pembangunan bangsa ini. Negara justru melakukan perselingkuhan dengan pasar, dan hanya mementingkan pasar yang uangnya masuk ke kocek para penguasa.

Hukum kitapun tidak terlepas dari keinginan pasar, dan ditetapkan atas dasar kepentingan golongan, bukan untuk kepentingan rakyat. Wajar jika kita tidak pernah tahu hukum-hukum yang keluar dari rumah dewan, karena mereka tidak mewakili kita, rakyat. Dan wajar pula ketika produk hukum kita selalu dtentang oleh rakyat, krena memang hukum tersebut dibuat bukan unttuk kemaslahatan warganya (yang diwakili), tetapi untuk kepentingan politik individu, golongan dan penguasa modal (kapitalis). Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun pernah menyatakan bahwa saat ini kita sedang berada pada moment kebangkitan nasionalisme 2009. nasionalisme, atau ketanah airan 2009 sudah mulai merucut pada satu hal. Baik presiden, DPR, pedagang, olahragawan, tau apapun dia, sedang menuju pad nasionalisme 2009, yaitu “nasionalisme uang”.
Di sini kita lihat, ternyata kita belum berniat untuk benar-benar hijrah, karena kita belum bisa meninggalkan kepentingan pribadi dan golongan untuk kepentingan bersama, kepentingan umat. Dan kita masih jauh dari masyarakat yang kita impikan.

Jangankan untuk keluar dari “kota mekah”, untuk keluar dari “rumah kita” saja kita masih berat. Rumah di sini adalah “keakuan”, “ananiyah” atau egoisme, yang berti juga nafsu. Untuk berhijrah kepada kehidupan yang lebih baik, kita harus mampu meninggalkan nafsu berkuasa, sifat tamak dan serakah serta keangkuhan yang menganggap kita yang paling benar. Kita harus bersedia menerima orang lain dan berbagi dengan mereka kaum papa. Karena melawan nafsu adalah jihad terbesar, karena dia menjadi penentu dalam perjalanan kita. Wallahu a’lam bishshawab.

0 komentar:

Posting Komentar