SCRIPTA MANENT VERBA VOLANT

(yang tertulis akan tetap mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin)

Rabu, Desember 03, 2008

Tentang Jogja

Lima tahun aku di Jojgja, dan beberapa hari inilah waktu bagiku untuk memutuskan apakah aku masih tetap di Jogja atu kembali pulang ke kampung halaman. Beberapa bulan yang lalu aku telah menyelesaikan studiku alias diwisuda. Dengan demikian, tibalah saat bagiku untuk melakasanakan pengabdian kepada masyarakat. Dan aku harus memilih tetap di Jogja atu keluar dai Jogja.

Terasa berat untuk meninggalkan kota ini. Yah kota yang sangat nyaman, sesuai dengan semobayannya, Jogja Berhati Nyaman. Memang benar, dari beberapa kota yang pernah aku singgahi, kota inilah yang terasa sangat istimewa. Banyak hal yang unik di Jogja, banyak hal yang istimewa.

Meski sudah merupakan perkotaan, tradisi jogja masih sangat kental. Kehidupan kekeluargaan masih teras sangat hangat. Kehidupan saling mengayomi mengalahkan egoisme. Hal ini berbeda dengan kehidupan di beberapa kota besar yang lebih menonjolkan egoisme, individualisme ketimbang kolektivisme.

Hal lain yang tidak terdapat di daerah lain adalah suasana keilmuannya. Semboyan Jogja sebagai kota pelajar mungkin telah dipertanyaan oleh sebagain orang, namun semboyan itu saya rasa masih cukup relevan. Saya belum menemukan budaya baca sekuat dan semengakar di Jogja. Budaya melek informasi sangat dijunjung tinggi. Toko buku, perpustakaan tersebar di man-mana, dari kels dunia sampai dengan obral kaki lima. Para penjual buku itu akan mudah kita temui sampai di lorong-lorong gang kecil juga pinggir-pinggir jalan. Begitu juga penerbitan buku akan mudah kita dapati dari pusat kota sampai ke pedalaman pedesaan. Penyebaran buku merata. Dan kepedulian terhdap hal itu besar. Di perkampungn pedalaman pun sering kita dapati perpustakaan. Selain perpustakaan di kampung, sering juga terdapat papan khusus yang disediakan untuk koran.

Budaya membaca dan melek informasi juga dapat kita lihat di pinggir jalan. Para tukang becak tak segan menyisihkan peghasilannya untuk membeli koran dan membacanya saat waktu senggang di atas becaknya.. begitu juga bila kita masuk ke warung-warung makan, kita akan mendapatkan surat kabar harian di sana.

Yah, itulah sekelumit tentang jogjakarta, kota kebudayaan, meski sekarang juga telah terserang budaya komsumerisme. Banyak warung makan dan pusat perbelanjaan yang didirikan. Mahasiswa menjadi sasaran targetnya. Mahasiswa yang dulu identik dengan membeli buku, sekarang telah berganti mode, yaitu dengan membeli barang-barang konsumsi, asesoris, pakain, dan segala macamnya yang hanya berorientasi mode, gaya hidup dan life style manusia urban. Dan mereka punn lupa membeli buku. Wajar kalau kemudian memebuat makalahnya copy paste dari internet. Beberapa hari yang lalu ada satu penelitian yang menyebutkan bahwa pengeluaran mahasiwa Jogja untuk membeli pulsa lebih besar dari yang dikeluarkan untuk membeli buku. Namun tentu tidak semua begitu. Masih banyak mahasiswa yang baik, rajin baca buku, rajin diskusi, rajin kuliah, rajin aksi dan rajin berkreasi. Dan jogja masih tetap seperti yang dulu, berbudaya.

0 komentar:

Posting Komentar