SCRIPTA MANENT VERBA VOLANT

(yang tertulis akan tetap mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin)

Selasa, Desember 30, 2008

Pucuk Merapi

Hari ini (27/12) aku memberi materi pada Training Kepemimpinan yang diselenggrakan oleh salah satu komisariat. Aku menggantikan temanku yang harus pergi ke Jakarta untuk pertemuan dengan beberapa pengurus besar. Mendadak. Aku hanya punya waktu satu malam, bahkan kurang, untuk memprsipakan diri, karena tadi malam aku juga harus menjadi pembicara pada diskusi Usrah Daarul Hira.. Karena semalaman mempersipakan materi, aku kelelahan, tertidur di kursi ruang tamu, dan baru bangun saat satu panggilan masuk ke HP ku.



Pagi ini juga aku masih merasa ngantuk, namun aku harus segera berangkat ke lokasi pelatihan di Kaliurang. Udara terasa segar saat aku mulai menaiki jalan Kaliurang yang berliku. Angin berhembus sepoi meyapu wajahku yang tidak tertutup oleh kaca helm. Jauh di di depanku, nampak Merapi berdiri tegap menjulang langit.

Sesampai di lokasi pelatihan, aku mendapati motor salah seorang temanku masih di parkir di sana. Ini berarti dia masih menjadi pembicara di sana. Aku urung masuk, dan aku konfirmasi tentang jadwalku. ke temanku yang lain yang kebetulan juga diminta menjadi pembicara. Aku salah jam. Aku harus menunggu sekitar satu setengah jam lagi. Aku teringat kembali oleh keindahan Merapi yang nampak dari kota tadi. Aku pun naik ke atas, ke gardu pandang.

Merapi adalah gunung berapi yang masih aktif. Terakhir letusannya terjadi pada tahun 2006 yang lalu, sesaat sebelum Gempa Jogja, dan masih berlangsung sesaat setelah Gempa Jogja. Sehingga tahun 2006 adalah tahun bencana bagi Jogja. Pada tahun ini juga sosok kharismatik dan fenomenal muncul, Mbah Maridjan. Aku pernah sekali mengunjungi runahnya. Sangat sederhana, karena memang Mbah Maridjan adalah orang yang sederhana. Meski sudah nampak tua, beliau masih energik, tegas kata-katanya dan cukup berwibawa. Sayang, orang semacam beliau sering dipolitisasi karena ketenarannya, bukan hanya di Indonesia, tapi juga di Asia. Saat kunjunganku ke sana, teman-teman ku yang dari Malaysia mengatakan tidak asing dengan sosok Mbah Maridjan, bahkan mereka meminta foto bersama dan tandata tangan Mbah Maridjan.

Di sana aku duduk di satu gubug yang kosong, menatap pucuk Merapi. Memang hanya pucuknya saja yang nampak, yang lain terhalang oleh beberapa bukit yang ada di sekitar Kaliurang. Namun aku sunguh terpesona oleh pemandangan tersebut. Pagi itu cuaca Jogja masih cerah, sehingga tak sekelumitpun awan ataupun kabut membayangi pucuk gunung itu. Batu-batu dan pasir sisa-siasa letusan itu masih tampak jelas. Sebenarnya pemandangan seperti ini sudah sering kai aku saksikan, namun akli aku menemukan sesuatu yang baru, aku melihat dengan cara yang baru dan dalam suasana yang baru pula.

Saat kali ini aku datang ke gardu pandang ini sendiri. Aku pun tak tahu mengapa aku langsung menempati gubuk itu dan megeluarkan buku harianku. Aku sendirian di tengah keramain para pengunjung dari beberapa kota di Jawa ini. Maklum, hari-hari ini adalah libur panjang, dan Jogja adalah kota wisata. Pun demikian dengan daerah Kaliurang ini.

Daerah semacam Kaliurang ini sebenarnya banyak terdapat di tanah Jawa. Ada Puncak di Bogor, Batu Raden di Purwokerto, Bukit Batu di Malang. Daerah ini bukalah daerah wisata baru, namun telah berumur lebih dari dua abad. Dari buku seorang berkembnagsaan Prancis, Denys Lombard, aku mendapat data bahwa daerah-daerah semacam ini sudah ada sejak abad ke 18. orang-orang yang Eropa yang datang ke Nusantara membawa tradisi mereka ke sini. Di eropa, tempat yang paling banyak dikunjungi adalah bukit SPA, satu bukit di daerah Negara Eropa. Sekarang SPA menjadi satu kebudayaan diseluruh dunia, yaitu perwatan tubuh dengan air hangat. Dulu yang digunakan adalah air yang mendidih karena panas magma bumi. Yah, begitulah kebudayaan bertransformasi.

Aku masih menatap pucuk merapi dengan humbusan angin sepoi yang membawa lirik-lirik lagu Ebiet GAD dari pengeras suara menyebar ke daerah sekitar gardu pandang ini. Berita pada kawan, Kamelia, Elegi Esok Hari. Lagu-lagu yang sendu itu melantun, menelusuri gelombang udara menelusuk masuk ke hatiku melalui calah pori-pori. Syahdu. Aku seakan baru pertama mengalami ini, melihat pucuk merapi dalam kesyahduan. Aku hanyut dalam alam yang tak aku mengerti, yang tak pernah ku rasa sebelumnya. Saat aku asyik masuk dengan situasi itu, saat itulah seorang bapak menyapaku, duduk di sampingku. Dia dan keluarganya dari Jakarta, ke Jogja untuk menjenguk saudaranya yang terserang strock. Ternyata dia asli Lampung, satu daerah denganku. Obrolan berlangsung dalam waktu yang lamban. Mataku masih asyik dengan pucuk merapi, juga tingkah laku para pengunjung saat berpose dengan Merapi sebagai backround.

Hari semakin siang. Sedikit namun pasti, kabut putih mulai menyelimuti pucuk merapi. Dan satu setengah jam sudah aku duduk memandanginya. Akupun turun, saat beberapa bus pariwisata baru datang. Kantukku kambuh lagi. Aku mampir ke sebuah warung di pinggir jalan, menikmati segelas kopi ditemani oleh sebungkus kacang goreng. Di jalan, kendaran bermotor semakin ramai. Maklum nanti malam adalah malam minggu. Saat aku menyeruput kopi yang ada di depanku, saat itulah aku kembali merasa sendiri lagi, kesepian. Wajar. Biasanya aku lalui seruputan demi seruputan, teguk demi teguk bersama teman-temanku. Kini meraka telah pergi, kembali dan mengabdi ke daerah masing-masing. Dan aku masih di sini, entah sampai kapan.

0 komentar:

Posting Komentar