SCRIPTA MANENT VERBA VOLANT

(yang tertulis akan tetap mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin)

Selasa, Agustus 05, 2008

Mafia Peradilan di Negeri Maling

'Hai orang-orang beriman, jadilah kalian orang yang menegakkan keadilan dan menjadi saksi karena Allah, sekalipun terhadap diri kalian sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allahlah yang lebih patut (engkau takuti) daripada keduanya.'' (QS An-Nisaa`: 135).

Kasus korupsi, kolusi dan nepotisme alias KKN konon katanya telah membudaya bahkan mendarah daging pada diri bangsa ini. Namun pemerintah tidak patah hati dan patah semangat untuk tetap memberangus kasus korupsi dengan menangkap para koruptor, meski yang tertangkap baru koruptor kelas teri atau malah rebon. Cara lain adalah dengan membentuk lembaga-lembaga yang khusus menangani kasus-kasus korupsi. Ada Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jampisus dan Mahkamah Agung sendiri. Satu saat mungkin perlu juga membuat tim pemburu koruptor seperi tim pemburu hantu. Namun, semakin banyak lembaga yang dibentuk, KKN semakin menggila.

Belum lama ini dan masih hangat-hangatnya kita disodori realitas yang mengecutkan hati. Mahkamah Agung, sebagai lembaga terhormat, sehingga ia disebut “agung”, ternyata dengan sendirinya telah menodai kehormatannya. Lembaga yang semestinya memberikan naungan keadilan kepada rakyat justru kini menjadi pasar obral jual beli hukum. Di mana ada kasus, ada terdakwa, ada jaksa dan makelar yaitu penghubung antara jaksa dan terdakwa. Dalam banyak hal, terdakwalah yang terlebih dahulu menawar hukum dari jaksa. Dan sedikit jaksa yang menawarkan dagangannya kepada terdakwa, karena bisa jadi dia akan terjerat pasal pemerasan. Aktifitas tersebut lebih lazim disebut sebagai mafia peradilan.Kasus jual beli hukum bukan sekali dua kali terjadi. Dan ironisnya hal ini terjadi pasca reformasi, dimana hakim mempunyai independensi karena terlepas dari tekanan pemerintah otoriter.

Menjamurnya mafia peradilan bisa dimaklumi karena hal tersebut terjadi di negeri maling. Para koruptor tidak lain adalah orang yang mencuri (maling) uang rakyat. Ketika dia terpergok oleh aparat, tak sungkan maling tersebut merogoh koceknya untuk menyuap aparat. Toh itu tidak seberapa jika dibanding dengan hasil curiannya. Sementara sang hakim sendiri berangapan bahwa dia cukup aman dibawah payung lembaga kehakiman. Ditambah lagi kemampuan dia untuk memutar balikan fakta dan menafsirkan pasal-pasal yang ada dalam undang-undang.
Adanya mafia peradilan ini adalah bukti bobroknya bangsa ini dan tidak adanya integritas moral dalam diri seorang hakim. Bagaimana kita berkoar-koar dengan jargon negara hukum, sementar keadilan tidak pernah ada. Bahakn orang yang seharusnya menjadi penegak hukum itulah yang justru menjadi broker dan penyakit masyarakat. Jika ditarik lebih jauh lagi, hakim yang seperti ini sudah sejak awal tidak ada i’tikad baik untuk menegakkan hukum. Orientasi menjadi hakim tidak lain adalah materi. Hal ini yang pernaha disingguk oleh Emha Ainin Najdib sebagai nasionalisme uang. Semua berlomba-lomba untuk mengumpulkan uang, tidak peduli dari mana saja uang itu berasal.

Berlaku AdilSetidaknya ada dua prinsip yang ada dalam Al-Quran, yaitu tauhid dan keadilan. Dua prinsip ini yang harus dipegang teguh oleh seorang muslim. Al-Quran sangat menganjurkan umat manusia untuk berlaku adil, meskipun itu terhadap sanak kerabatnya, atau bahkan orang tuanya sendiri. Dalam surat Annisa ayat 135 Allah memerintahkan ''Hai orang-orang beriman, jadilah kalian orang yang menegakkan keadilan dan menjadi saksi karena Allah, sekalipun terhadap diri kalian sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allahlah yang lebih patut (engkau takuti) daripada keduanya.'' (QS An-Nisaa` [4]: 135).

Ayat di atas sangat jelas bahwa kita harus berlaku adil kepada siapapun, entah dia orang tua kita, kerabat kita, miskin ataupun kaya. Hubungan darah bukanlah penyebab kita berlaku tidak adil. Rasa kasihan terhadap orang miskin juga tidak menghalangi kita untuk menegakkan keadilan. Begitu juga kekayaan seseorang tidak mencegah kita untuk berlaku diskriminatif, dengan harapan dapat imbalan dari orang tersebut, karena disebutkan dalam ayat tersebut, Allah lebih kaya dari mereka.
Perlu kiranya kita mebuka kembali lembaran kehidupan nabi dan meneladaninya. Rasulullah telah memberikan teladan secara lisan dan perbuatan. Beliau pernah bersabda, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, pastilah saya akan memotong tangannya. Dalam satu kasus, Rasulullah SAW pernah memenangkan Bilil bin Rabah saat Bilal berselisih dengan Abu Dzar al-Ghifari, padahal Bilal adalah seorang budak, sementara Abu Dzar adalah orang ningrat. Dalam satu waktu, rasulullah juga pernah memenangkan orang yahudi. Hal ini membuktikan bahwa semua orang di depan hukum adalah sama. Tidak ada yang lebih terhormat. Tidak ada yang kebal hukum. Dengan demikian tidak akan ada diskriminasi.

Dalam menangani kasus, seorang hakim harus selalu ingat bahwa keududukan dia sebagai hakim seringkali memutuskan hal yang itu berkaitan dengan kehidupan banyak orang. Dan setiap keputusan tersebut akan dimintai pertanggungjawaban di mata Allah dan Manusia. Jangan sampai keputusannya itu menguntungkan segelintir orang dan merugikan banyak orang. Untuk itulah Rasulullah menyinggung teang perilaku hakim dalam haitsnya “, “hakim itu ada tiga macam, satu di surga, dan dua di neraka. Adapun yang di surga, yaitu orang yang mengetahui kebenaran dan dia memutuskan berdasarkan kebenaran tersebut. Sedangkan yang di neraka, adalah orang yang mengetahui kebenaran, namun dia sewenang-wenang dalam memutuskan. Dan orang yang mengadili dengan kebodohan, maka dia juga di neraka.'' (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
Memberantas Mafia peradilan Indonesia sebagai negara hukum hanya akan menjadi isapan jempol belaka, jika hukum tidak ditegakkan. Dan tidak akan terjadi penegakan hukum jika mafia peradilan masih saja bersarang di lembaga peradilan. Untuk itu hal pertama yang harus dilakukan adalah memberishkan para mafia peradilan tersebut dari MA. Hal ini dapat dilakukan dengan mengganti orang-orang yang tidak memiliki integritas moral sebagai seorang hakim dengan orang-orang baru yang bersih dan bersedia mengikat konrak engan rakyat untuk menegakkan hkum. Bagi yang tidak memiliki komitmen terhadap supremasi hokum, bukan hanya sekedar memindahkantugaskan, tetapi menonaktifkan dia dari aktifitas peradilan. Selain itu, di internal lembaga peradilan sendiri harus ada penguatan sistem pengawasan internal.
Selain itu, bisa juga dengan cara semakin memperketat pengawasan terhadap lembaga peradilan oleh KPK dan lembaga-lembaga yudikatif lainnya

0 komentar:

Posting Komentar